Cerita Lucu Bikin Ngakak: Drama Toilet yang Tak Terlupakan!

Posted on

Oke, siap-siap ya, ini ceritanya bakal bikin kamu ketawa ngakak! Cerita ini tentang drama sekolah yang nggak terduga, yang dimulai cuma karena sebuah pintu toilet.

Kamu pernah nggak, sih, ngerasa dunia seakan berhenti gara-gara hal kecil? Nah, itulah yang terjadi! Jadi, siap-siap aja buat nyimak kisah konyol dan nggak bakal terlupakan ini. Dijamin, setelah baca, kamu nggak akan berhenti ketawa! Yuk, lanjut baca dan biar ketawa bareng!

 

Drama Toilet yang Tak Terlupakan!

Drama Darurat di Kelas Matematika

Hari itu, aku lagi duduk dengan wajah mengantuk di kelas matematika. Seperti biasa, Bu Siska, wali kelas kami yang terkenal galak, tengah berdiri di depan papan tulis menjelaskan soal-soal yang rasanya lebih rumit dari ujian kehidupan. Soal pertama tentang pecahan, yang kalau aku hitung-hitung, sudah lebih banyak dari waktu tidurku seminggu terakhir. Mata ini enggak bisa diajak kompromi. Tapi aku tahu, kalau aku tidur sekarang, bisa-bisa Bu Siska meluncurkan penghapus ke wajahku.

Dari belakang, aku bisa mendengar suara teman-teman yang juga lagi berjuang dengan ulangan ini. Ada yang nyolong lihat soal, ada yang berusaha pura-pura pusing, dan ada juga yang mukanya udah kayak hantu kelaparan karena nggak paham sama sekali. Tapi, ada satu hal yang lebih penting dari soal-soal itu semua.

Perutku.

Mulai dari jam pertama tadi, perutku udah kayak biskuit yang dipanggang terlalu lama. Ada rasa nggak enak yang merayap pelan. Mungkin ini efek makan roti bakar penuh mentega yang dibeli di warung tadi pagi. Aku pun menahan perutku yang mulai bergolak, berharap bisa bertahan sedikit lebih lama.

Tapi ternyata nggak bisa.

Rasa sakit di perut itu makin jadi. Kayak ada band yang mainin drum di dalam sana, dengan tempo yang semakin cepat. Aku enggak tahan lagi. Aku mengangkat tangan dengan gaya dramatis, mencoba sekuat tenaga untuk nggak terlihat panik.

“Bu Siska…” aku mencoba menarik perhatian, suara sedikit bergetar.

Bu Siska menoleh, mengangkat alis. “Ada apa, Juno?”

Aku meletakkan tangan di perut dan berusaha sekuat tenaga menunjukkan wajah serius. “Bu, saya… saya darurat, Bu. Bisa izin ke toilet sebentar?”

Bu Siska mendesah, lalu menatapku sejenak dengan ekspresi penuh kecurigaan. “Juno, kamu belum ngerjain satu soal pun, kamu malah minta izin ke toilet. Apa betul ini darurat?”

Aku menelan ludah. “Bu, kalau saya nggak ke toilet sekarang, bisa-bisa kelas ini jadi tsunami. Semua orang bakal kebanjiran.”

Beberapa teman di kelas mulai menoleh, bingung dan curiga dengan dramanya. Mungkin mereka kira aku cuma cari alasan buat kabur dari ulangan. Aku udah kayak orang yang terjebak di antara dua pilihan, antara merasakan sakit perut yang nggak tertahankan atau harus mati-matian melawan kecemasan Bu Siska yang pasti bakal menahan izin ke toilet.

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, Bu Siska menghela napas panjang. “Oke, Juno. Cepat, tapi jangan lama-lama ya!”

Aku melesat keluar dari kursi dengan kecepatan yang hampir bisa mengalahkan sprinter. Selama perjalanan ke toilet, pikiranku nggak bisa berhenti berpikir, Apakah ini akan berakhir dengan baik?

Setelah sampai di toilet, aku langsung menuju bilik terdekat dan buru-buru masuk. Tentu saja, waktu itu aku sudah merasa seperti seorang prajurit yang sedang berjuang untuk menyelamatkan dunia. Tapi masalahnya adalah… dunia ini tampaknya sedang melawan aku.

Aku menarik pintu dan…

TUT

Pintu itu nggak bisa dibuka. Aku mendorong dengan segala tenaga yang tersisa.

“Kenapa ini pintunya nggak bisa dibuka?!” aku merintih pelan.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada orang lain di toilet. Hanya aku dan masalah pintu yang tiba-tiba menjadi musuh bebuyutanku. Aku mencoba menarik gagang pintu lagi, lebih keras kali ini, seolah-olah pintu itu akan menyerah begitu saja. Tapi tetap saja, pintu itu enggak mau terbuka.

Aku menggerutu. “Gimana sih, pintu masa gini nggak bisa buka!”

Panik mulai merayap. Aku mulai berpikir kalau mungkin, mungkin… ini adalah salah satu ujian hidup yang harus aku jalani. Tapi aku nggak siap! Bagaimana aku bisa terjebak di toilet? Di sini, di sekolah?

Aku berpikir, kalau aku nggak keluar dalam lima menit, bisa-bisa Bu Siska berpikir aku pergi ke luar kota, bukan ke toilet.

Pikiranku melayang, mencari cara. Aku mencoba mendorong pintu dengan segala kekuatan yang ada. Namun, pintu itu tetap tidak bergeming. “Ayo, pintu! Aku nggak punya banyak waktu!”

Aku menendang pintu dengan satu tendangan keras, tapi malah membuat suaranya lebih keras daripada tendangan bola yang jatuh ke jendela.

Tapi tak ada yang datang.

Aku berteriak. “HEEYYY, ADA YANG DI LUAR?! TOLOOONG!”

Nggak ada yang merespons. Bahkan suara teman-temanku yang biasanya suka berisik itu nggak terdengar. Toilet ini sepi. Begitu sepi, rasanya kayak aku sedang terperangkap dalam dunia yang hanya terdiri dari satu bilik.

Aku duduk di kloset, berpikir dengan panik. Gimana ini? Aku harus gimana? Jangan sampai aku harus pulang dengan status bocah yang terjebak di toilet, kan? Kalau sampai ini jadi bahan obrolan sekelas, aku bakal langsung jadi bahan tertawaan yang nggak ada habisnya.

Aku mencoba mengingat-ingat, Apakah ada tukang kunci yang bisa menyelamatkanku? Tapi masalahnya adalah… aku di sekolah, bukan di rumah.

Di luar, tak ada yang tahu penderitaanku. Dan saat itu, aku merasa, mungkin, keputusanku untuk minta izin ke toilet tadi adalah langkah yang paling buruk dalam hidupku.

 

Pintu Toilet yang Enggan Membuka

Waktu terus berjalan, tapi pintu itu tetap nggak terbuka. Aku sudah mencoba segalanya: dorong, tarik, tendang, bahkan mengancamnya dengan kata-kata seperti “Kalau kamu nggak buka, aku panggil tukang kayu!” Tapi tetap saja, pintu itu bertahan seperti tembok beton yang nggak bisa digoyang.

Duduk di kloset dengan posisi yang semakin tidak nyaman, aku mulai berpikir bahwa mungkin ini takdir. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk menjadi seorang tahanan toilet sekolah. Tak ada yang tahu aku ada di sini, dan tidak ada yang peduli. Aku bahkan mulai berpikir, kalau aku terjebak lebih lama, bisa-bisa nama aku jadi viral di sekolah, dengan tagar #JunoTerjebakDiToilet.

Jangan tanya kenapa, tapi pikiran itu benar-benar menghantui. Bayangkan aja, kalau sampai berita ini tersebar, aku bakal jadi bahan olokan sepanjang tahun. “Juno, bocah yang nggak bisa keluar dari toilet!” Rasanya aku bisa mendengarnya di mana-mana. Aku hampir putus asa, sampai tiba-tiba terdengar suara dari luar.

“Juno? Kau masih di sana?”

Suara itu cukup familiar. Pak Sabar, petugas kebersihan sekolah. Seseorang yang kalau dibilang ramah, ya, lumayan. Tapi saat ini, dia bukan orang yang aku harapkan datang menolongku. Aku lebih berharap seorang superhero yang bisa mengeluarkan aku dari keadaan ini.

“Pak Sabar!” aku langsung teriak, lega sekaligus panik. “Pak, tolong! Saya terjebak!”

Di luar, terdengar suara langkah kaki mendekat. “Juno? Kenapa kok teriak-teriak, Nak?” Pak Sabar bertanya, sedikit bingung.

Aku mencoba menenangkan diri. “Pak, pintunya nggak mau dibuka! Tolong, Pak! Ini darurat!” Aku mengetuk-ngetuk pintu dengan harapan dia bisa mendengar ketukan itu, seperti mengetuk pintu rumah yang akan dibuka dengan segera.

Pak Sabar berhenti sejenak, mungkin sedang berpikir, lalu suara kunci terdengar dari luar. Aku merasa sedikit optimis. “Akhirnya!” pikirku.

Namun, beberapa detik kemudian, suara kunci itu berhenti. Aku mulai merasa ada yang nggak beres. “Pak? Kenapa nggak dibuka?” Aku mencoba lagi, memohon kali ini.

“Ah, pintu ini kenapa ya? Bentar, Juno. Saya coba cek dulu,” jawab Pak Sabar dari luar dengan suara serius, tapi jelas ada sedikit nada geli di sana.

Aku bisa membayangkan ekspresi Pak Sabar yang sedang tersenyum di luar, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk humor. “Pak, saya mohon! Saya nggak mau jadi penghuni toilet selamanya!” Aku mulai cemas.

Pak Sabar kemudian mulai memutar gagang pintu dengan serius, mendorongnya pelan-pelan, tapi sama sekali nggak ada tanda-tanda pintu ini bakal terbuka. Aku merasa semakin cemas. “Pak! Tolong!”

“Juno, kamu ini kok bisa ya terkunci begini?” Pak Sabar bertanya, lebih ke arah merenung. “Pintu ini susah banget dibuka. Tapi jangan khawatir, saya akan coba cara lain.”

Aku bisa mendengar Pak Sabar mundur sedikit dan mungkin merencanakan sesuatu. Sekarang, aku benar-benar terperangkap, dan semakin lama rasanya semakin nggak ada harapan. Aku mulai berpikir, Apa yang bisa aku lakukan? Berharap aja pintu ini terbuka seperti sulap?

Tak lama kemudian, terdengar lagi langkah kaki Pak Sabar yang kembali mendekat. Aku mendengar suara keras seperti benda berat jatuh ke lantai, dan itu… adalah suara yang membuat hatiku luruh.

“Pak Sabar!” aku berteriak panik. “Apa itu suara pecah? Jangan bilang itu pintu saya, Pak!”

Pak Sabar hanya tertawa pelan. “Tenang saja, Juno, ini bukan pintunya. Tapi ini adalah alat baru yang akan membantu kita mengatasi pintu bandel ini!”

Aku mendengar suara yang lebih asing. Itu seperti suara obeng. Aku bingung, “Pak, itu buat apa?”

“Apa ya, Juno… ini kunci cadangan!” jawab Pak Sabar dengan santai.

Aku menunggu dengan perasaan campur aduk—antara harapan dan ketakutan. Aku ingin berteriak lebih keras, tapi sepertinya itu nggak akan membantu. Jadi aku menunggu saja, berharap Pak Sabar bisa menyelamatkanku. Dalam kesunyian yang terasa begitu panjang, akhirnya terdengar suara ‘klik’.

“Aha! Selesai!”

Pintu terbuka sedikit. Aku hampir tidak percaya. “Pak, kamu luar biasa!” Aku menatapnya dengan wajah penuh harapan. Pak Sabar hanya tersenyum.

Aku berdiri dan mengatur napas, sementara Pak Sabar masih berdiri di luar, mungkin sedang menikmati keberhasilannya. “Kamu sih, Juno, jangan-jangan mau jadi bintang sekolah dengan cerita ini?”

Aku menggeleng. “Pak, jangan bilang siapa-siapa ya. Kalau sampai cerita ini bocor, saya bakal jadi bahan tertawaan sepanjang tahun.”

Pak Sabar cuma tertawa. “Siapa yang mau cerita? Kamu sendiri kan yang bikin drama begini.”

Aku bisa mendengar deru napas lega keluar dari dadaku. Akhirnya, aku berhasil keluar dari situ. Tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Mungkin hidupku akan jadi lebih menarik kalau aku nggak perlu ngurusin soal-soal ulangan dan lebih fokus mikirin pintu toilet yang bermasalah ini.

Tapi satu hal yang jelas—aku nggak akan pernah lagi pergi ke toilet tanpa memastikan pintunya benar-benar bisa dibuka. Itu pasti!

 

Kembali ke Kelas, Tapi…

Setelah bebas dari drama pintu toilet, aku melangkah keluar dengan perasaan lega, meski malu sedikit. Ada sesuatu yang terasa aneh, tapi aku nggak bisa memikirkan hal itu lama-lama. Ada urusan yang lebih penting: ulangan Fisika! Dosen Tuan Gilang pasti sudah siap mempersiapkan otak kami untuk ujian yang bakal berlangsung setengah jam lagi.

Aku berjalan cepat menuju kelas, berharap bisa masuk tanpa ada yang menyadari drama toilet yang baru saja terjadi. Namun, takdir—seperti biasa—berpihak pada kekacauan. Sesampainya di depan pintu kelas, aku langsung berhenti. Ada sesuatu yang mencurigakan.

Di luar kelas, tampak beberapa temanku berkumpul, mereka membicarakan sesuatu dengan serius. Mereka sempat berhenti dan menoleh ke arahku. Oh, jelas mereka tahu. Mereka pasti sudah mendengar!

“Sssssttt, Juno!” bisik Agung, temanku yang paling cepat dapet kabar. “Kamu nggak usah kelihatan kayak gitu, deh. Udah pada tahu semua, tuh!”

Aku terdiam. “Apa maksudnya?” tanyaku, sambil mencoba menyembunyikan rasa cemas yang mulai menyeruak.

“Ya itu, kamu…” Agung mulai tertawa, dan dengan cepat diikuti oleh yang lain. “Toilet, dong. Gila! Gimana rasanya terjebak di dalam?”

Aku menatap mereka satu per satu. Gagal. Semua sudah tahu. Kalau di sekolah ini, nggak ada yang bisa disembunyikan. Bahkan rahasia yang cuma berlangsung 15 menit bisa jadi bahan obrolan selama seminggu. Aku pun mendesah panjang. “Jangan mulai, deh. Itu cuma kecelakaan kecil!”

Dina, teman cewek yang paling cerewet, tiba-tiba melangkah maju dengan tatapan penasaran. “Kecelakaan kecil? Kecelakaan kecil yang bikin kamu terjebak di dalam toilet seharian? Gila! Aku kira kamu bakal jadi bahan pembicaraan selama seminggu ini!”

Aku mengelus wajah. Ini lebih buruk dari yang kukira. Ulangan Fisika seharusnya jadi tantangan terbesar hari ini, tapi ternyata aku malah berurusan dengan berita sensasional.

“Aduh, kalian ini!” Aku berusaha tenang. “Udah, jangan bahas ini. Kita kan harus fokus ujian!”

Tapi entah kenapa, semakin aku berusaha menepis, semakin mereka semua tertawa terbahak-bahak. “Tapi, Juno,” Agung berhenti sejenak, “serius deh, kapan lagi ada yang bisa ngelihat kamu terjebak di toilet. Itu aja udah kayak episode komedi yang nggak akan kita lupakan!”

Aku ingin berteriak dan bilang kalau aku nggak mau jadi bahan tertawaan mereka, tapi siapa yang akan percaya? Bahkan aku sendiri yang mengalami kejadian itu jadi merasa seolah-olah aku sedang berada dalam komedi absurd. Kalau saja ada cara untuk melupakan ini…

Setelah beberapa menit di luar kelas, akhirnya mereka berhenti tertawa, dan kami semua masuk ke dalam kelas. Tapi aku tahu, ini baru awal. Drama toilet ini nggak akan pernah selesai di sini. Aku duduk di kursiku, merasa lebih canggung dari sebelumnya. Setiap teman yang lewat menatapku dengan senyum aneh—seolah-olah mereka semua sedang menunggu episode berikutnya.

Pak Gilang masuk dengan wajah serius, seperti biasanya. Dia menaruh buku ulangan di meja dan mulai menjelaskan soal-soal yang akan muncul. Tapi jujur saja, aku nggak bisa fokus. Mataku terus melayang ke arah temanku yang sudah mulai ngegosip lagi, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya.

Selama ujian, pikiranku melayang. Satu-satunya hal yang bisa aku fokuskan adalah soal-soal yang berkaitan dengan fisika. Aku berusaha mencoret-coret kertas, tapi tangan ini rasanya gemetar. Aku enggak tahu kenapa. Aku berusaha mengingat rumus, tetapi bayangan pintu toilet yang tak bisa dibuka itu tiba-tiba muncul lagi di benakku.

Waktu terus berjalan dan akhirnya aku bisa menyelesaikan ulangan. Pak Gilang memberi tanda, dan aku keluar dari kelas dengan sedikit lega, meskipun perasaan canggung itu masih tetap ada.

Tapi yang lebih membuatku terkejut adalah, saat aku hendak melangkah keluar, aku melihat seorang guru baru berdiri di luar ruang kelas dengan ekspresi yang nggak bisa aku tafsirkan. Guru ini baru pertama kali aku lihat. Mungkin ini adalah guru pengganti atau mungkin ada kelas tambahan.

Tapi, dia sedang menatapku. Seperti menilai sesuatu. Ah, jangan bilang dia tahu tentang toilet itu juga.

“Eh… Kamu Juno, kan?” tanyanya dengan suara halus, masih menatapku.

Aku mengangguk ragu. “Iya, Pak. Ada apa?”

Guru itu tersenyum tipis. “Wah, saya dengar cerita menarik tentang kamu, Juno. Semoga kamu nggak terbiasa terjebak ya, haha!”

Aku menahan tawa, sambil menggaruk kepala. “Iya, Pak, saya janji nggak bakal ada drama toiletnya lagi.”

Pak Gilang, yang lewat, menoleh dan menimpali dengan senyum. “Iya, Juno. Kalau begitu, jangan sampe kejadian yang lebih gawat lagi. Tapi kalau ada cerita baru, kabarin kita, ya?”

Aku hanya bisa tertawa terpaksa, sambil berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah membiarkan pintu toilet menguasai hidupku lagi. Tapi, satu hal yang pasti, cerita ini akan terus mengikutiku ke mana-mana, sampai akhir tahun!

 

Akhir dari Drama yang Tak Terlupakan

Pulang dari sekolah, aku merasakan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, aku merasa lega karena drama pintu toilet akhirnya bisa ditinggalkan, namun di sisi lain, aku tahu bahwa ceritanya bakal terus menjadi topik pembicaraan selama beberapa waktu ke depan. Ada yang menyebutku pahlawan, ada juga yang bilang aku “berhasil lolos” dari jebakan pintu, dan tak sedikit yang merasa bahwa kejadian itu seharusnya jadi bagian dari acara stand-up comedy.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan berbaring di tempat tidur. Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Waktu ujian pun rasanya seperti berlarut-larut, apalagi dengan segala gosip yang beredar. Bahkan saat makan malam, ibu sempat menanyakan kenapa aku kelihatan cemberut.

“Kenapa, Juno? Ada masalah di sekolah?” tanya ibu sambil menyajikan sepiring nasi goreng kesukaanku.

Aku hanya menggeleng pelan. “Nggak, Bu. Semua baik-baik aja.” Padahal, kalau bisa aku teriak dari atap rumah, aku bakal bilang kalau semua itu nggak baik-baik aja! Tapi aku nggak ingin bikin ribut di rumah.

Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah. Dan tentu saja, drama pintu toilet itu kembali jadi bahan tertawaan. Tapi kali ini aku sudah terbiasa, dan aku menyadari sesuatu. Mungkin aku nggak bisa menghindar dari gosip atau jadi pusat perhatian, tapi aku bisa membuatnya menjadi hal yang lebih ringan.

Ketika aku masuk ke kelas dan melihat Agung lagi nyengir lebar, aku langsung menatapnya. “Oke, oke. Kalau kalian mau ketawa tentang drama toilet itu, kita harus bikin peraturan.”

Agung mengernyit. “Peraturan apa?”

“Setiap kali kalian ngomongin tentang kejadian itu, kalian harus bayar 1 ribu rupiah!” kataku sambil melipat tangan. “Dana yang terkumpul bakal dipake buat beli camilan bareng, jadi gue juga dapet untung.”

Semua tertawa, tapi kali ini lebih santai. Agung langsung menyerah dan mengangguk. “Oke, Juno. Setuju, deh. Tapi ingat, jangan harap bisa bebas dari hukuman!” katanya dengan tertawa.

Aku merasa lega. Ternyata, cara menghadapi situasi aneh seperti ini dengan sedikit humor bisa meredakan banyak ketegangan. Gosip nggak akan hilang begitu saja, tapi setidaknya, aku bisa jadi lebih santai menghadapinya. Dan yang lebih penting, aku nggak perlu merasa terjebak di dalam cerita yang terus terulang.

Di akhir pekan, aku memutuskan untuk melupakan kejadian itu sepenuhnya. Aku menghabiskan waktu dengan teman-teman di luar sekolah, bermain bola, dan menonton film. Semua orang tampaknya sudah mulai bergerak maju, bahkan meski ada beberapa yang sesekali melemparkan senyum lebar ke arahku, atau melontarkan lelucon ringan tentang pintu toilet. Aku sudah terbiasa.

Hari-hari pun berlalu, dan meskipun aku merasa kejadian itu nggak akan hilang begitu saja, aku sadar bahwa segala hal—bahkan yang paling konyol sekalipun—akan berlalu seiring waktu. Dan siapa tahu, mungkin suatu saat nanti, kami semua bakal mengenang hari-hari itu dengan tawa yang lebih besar.

Saat ujian berikutnya tiba, aku masuk kelas dengan kepala tegak. Kali ini bukan karena aku merasa malu, tapi karena aku sadar bahwa segala hal yang terjadi—baik itu kejadian konyol atau momen canggung—adalah bagian dari hidup yang harus dihadapi dengan senyuman. Setiap drama, setiap tawa, setiap komentar dari teman-teman hanya menambah warna dalam perjalanan ini.

Dan di ujung cerita ini, pintu toilet yang menjadi pusat drama itu, meskipun dulu sempat menghalangi, akhirnya jadi bagian dari kenangan yang tidak akan pernah terlupakan. Sering-sering, sih, kita nggak bisa menebak bagaimana cara hidup mempermainkan kita. Tapi yang pasti, kita selalu bisa memilih untuk tertawa, bahkan kalau itu harus dengan cara yang paling absurd sekalipun.

Dan ya, kejadian toilet ini mungkin akan jadi bahan obrolan di reuni 10 tahun lagi. Tapi aku nggak peduli. Selama bisa tertawa, itu sudah cukup buatku.

 

Nah, itu dia cerita dari drama toilet yang nggak terduga! Udah ketawa puas, kan? Emang, sih, hidup ini sering banget kasih kejutan absurd yang bikin kita bingung, tapi jangan khawatir—ketawa aja!

Meskipun kadang kejadian konyol muncul di saat yang nggak tepat, yang penting kita bisa ngehadepinya dengan senyum dan tawa. Semoga cerita ini nggak cuma bikin kamu ketawa, tapi juga bikin hari-harimu lebih cerah. Sampai ketemu di cerita konyol selanjutnya!

Leave a Reply