Catatan Hati Seorang Istri: Kisah Sedih Tentang Cinta dan Kehilangan

Posted on

Kadang, hidup itu seperti roller coaster yang penuh liku. Kamu pikir semuanya baik-baik saja, eh tiba-tiba ada yang bikin kamu terjengkang. Di sini, kita bakal nyelam ke dalam kisah Amanda, seorang istri yang lagi berjuang dengan hatinya sendiri. Biar dia nulis catatan hati, yang bukan cuma tentang cinta, tapi juga tentang kehilangan yang bikin semua mimpi hancur. Let’s dive in!!

 

Catatan Hati Seorang Istri

Bayang-Bayang Senja

Ruang tamu itu tampak sunyi, hanya ada suara detakan jam dinding yang seakan mengingatkan waktu yang terus berlalu. Amanda duduk di sofa, tangannya menggenggam pena dan catatan kecil. Matanya tertuju pada jendela, melihat langit senja yang mulai memerah. Sore itu, dia merasa seperti lukisan yang tidak ada artinya, dikelilingi oleh kerinduan dan kesedihan.

“Pasti kamu sudah sampai di kantor, kan?” gumamnya pelan, berharap suaminya, Mas Raka, akan muncul dengan senyuman hangat. Namun, harapan itu semakin pudar saat jarum jam menunjukkan angka enam. Sudah dua jam sejak Mas Raka pergi, dan Amanda merasa setiap detik berlalu dengan sangat lambat.

Dia membuka catatan itu, membaca kembali untaian kata yang ditulisnya. Setiap kalimat adalah cermin dari hatinya, menggambarkan rasa sepi yang menggerogoti dirinya. Amanda menghela napas, mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif. “Aku cuma butuh kamu di sini, Mas Raka,” katanya dalam hati, meski tahu Mas Raka sibuk dengan pekerjaannya.

Di saat itu, pintu rumah terbuka. Mas Raka muncul, tetapi Amanda merasa ada yang berbeda. Aroma parfum wanita lain menusuk hidungnya, membuatnya bergetar. Mas Raka tersenyum, tetapi senyum itu terasa hampa.

“Maaf, sayang. Aku telat,” kata Mas Raka sambil melepas jasnya.

“Kamu bilang mau pulang lebih awal hari ini, Mas Raka,” balas Amanda, suaranya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Ada apa sih? Kenapa selalu begini?”

Mas Raka menghela napas. “Kerjaan lagi numpuk, kamu tahu kan? Aku janji, minggu depan kita bisa jalan-jalan. Mungkin ke pantai?”

“Aku sudah bosan dengan janji, Mas Raka. Aku butuh kamu sekarang,” Amanda merasa air mata mengancam di sudut matanya. Mas Raka, tanpa menjawab, justru memilih untuk meraih remote TV dan menyalakan acara favoritnya.

Ketika layar televisi menyala, Amanda merasa seolah dia hanya ada di sana untuk mengisi ruang kosong. Dia berusaha mengalihkan perhatian, tetapi semua yang dilihatnya terasa membosankan. “Kamu tahu, aku benci kalau kamu seperti ini, Mas Raka. Seolah-olah kita tidak pernah punya waktu untuk berbicara.”

Mas Raka menoleh sebentar. “Amanda, jangan berlebihan. Kita kan sudah menikah, ini bagian dari kehidupan.”

“Tapi aku merasa kamu tidak mendengarkan aku, Mas! Aku merasa seperti bayangan, Mas Raka. Hanya ada di sampingmu, tanpa pernah diakui.” Suara Amanda bergetar, berusaha menahan tangis. Dia berharap kata-katanya bisa menembus dinding yang telah dibangun Mas Raka di sekitarnya.

“Aduh, jangan drama, deh. Kita sudah menikah, ini bagian dari kehidupan,” jawab Mas Raka, mengalihkan perhatian kembali ke TV. Amanda merasa seolah ada pisau yang terhunus dalam hatinya.

Setelah beberapa menit hening, dia beranjak dari sofa dan menuju ke meja makan. Di sana, ada catatan yang dia tulis sebelumnya, mengalirkan isi hatinya. Dia membuka catatan itu dan membaca satu kalimat: “Aku mencintaimu, Mas Raka, tapi di mana kamu saat ini?”

“Kamu ada di mana, Mas Raka?” bisiknya pelan, seolah berharap suaminya bisa mendengarnya. Dia menatap langit melalui jendela, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, seolah mencoba menenangkan hatinya yang terombang-ambing.

Amanda mengambil pena dan mulai menulis lagi, menumpahkan segala rasa yang tak terucapkan ke dalam catatan itu. Setiap huruf adalah ungkapan kerinduan, setiap kalimat adalah harapan untuk kembali merasakan kehadiran Mas Raka.

“Kalau bisa, aku ingin kamu tahu, betapa aku mencintaimu. Tapi entah kenapa, rasanya seperti kamu tidak pernah melihatku. Bagaimana bisa kita berlayar di lautan yang sama, tetapi kita berada di kapal yang berbeda?”

Malam semakin larut, dan Mas Raka masih tenggelam dalam program televisi, seolah tidak merasakan kehampaan yang melanda Amanda. Dia berdiri di tepi jendela, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan. “Aku hanya ingin kita bisa saling mendengarkan, Mas Raka,” ujarnya dalam hati.

Saat matahari akhirnya tenggelam, Amanda tahu, malam ini pun tidak akan membawa perubahan. Dia merasa terjebak dalam sebuah hubungan yang hanya ada di permukaan. Semua yang diharapkannya seakan sirna, dan dia hanya bisa menuliskan semua rasa itu di dalam catatan hatinya.

 

Jejak yang Hilang

Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus celah tirai, menyelimuti kamar dengan kehangatan. Namun, bagi Amanda, pagi itu tidak membawa kebahagiaan. Dia mengusap wajahnya yang lelah, mengingat kembali semalam yang penuh rasa sepi. Ketika Mas Raka beranjak dari tempat tidur, dia masih terjebak dalam mimpinya, jauh dari realitas yang menyakitkan.

“Selamat pagi, sayang,” sapa Mas Raka, suaranya ceria, seolah tidak ada yang salah.

“Pagi, Mas Raka,” jawab Amanda, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat. Dia melihat Mas Raka yang sibuk dengan ponselnya, seolah-olah dunia hanya berputar di sekitar layar itu.

Amanda mengalihkan pandangannya, melihat foto-foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Senyuman di foto-foto itu terasa jauh dari kenyataan sekarang. Dia merindukan masa-masa ketika Mas Raka bisa meluangkan waktu untuknya, ketika perhatian tidak terpecah oleh pekerjaan dan kesibukan.

“Sepertinya aku akan terlambat lagi hari ini,” kata Mas Raka, sambil menyiapkan sarapan dengan terburu-buru. “Aku ada meeting penting.”

“Meeting lagi?” Amanda bertanya, berusaha menyimpan rasa kecewa. “Kapan kamu akan memberi tahu tentang kehidupan kita, Mas Raka? Sepertinya kamu lebih mengutamakan pekerjaan daripada kita.”

Mas Raka menoleh, sedikit terkejut. “Amanda, aku bekerja keras untuk kita. Kamu tahu kan, aku ingin memberi yang terbaik.”

“Memberi yang terbaik? Tapi aku merasa kamu sudah kehilangan jejak, Mas Raka. Sejak kapan uang dan pekerjaan lebih penting daripada kebersamaan kita?” Amanda merasa suara hatinya mulai membesar.

“Jangan berlebihan. Kita bisa atur semuanya!” jawab Mas Raka, dengan nada defensif. “Lagipula, kamu punya banyak waktu sendiri. Kenapa tidak pergi ke tempat yang kamu suka?”

Amanda menatapnya, merasa hatinya semakin terjepit. “Aku ingin kamu, Mas Raka. Bukan tempat atau barang-barang.”

“Aku tidak bisa selalu ada untukmu, Amanda,” kata Mas Raka, suaranya mulai terdengar lelah. “Kamu harus bisa mengerti posisiku.”

“Tapi aku merasa sendirian, Mas Raka. Setiap kali kamu pergi, aku merasa seperti kehilangan diri sendiri,” ungkap Amanda, suaranya bergetar.

Mas Raka terdiam sejenak, mengamati wajah Amanda yang penuh harap. Namun, harapan itu tampak tidak berbalas. Amanda merasakan kerinduan yang mendalam, seolah dia sedang menunggu seseorang yang tidak pernah datang.

“Baiklah, Amanda. Mungkin aku bisa pulang lebih awal hari ini. Kita bisa bicara,” Mas Raka akhirnya berkata, meski nada suaranya terdengar kurang meyakinkan.

“Benarkah, Mas Raka? Kamu janji?” tanya Amanda, harap-harap cemas.

“Ya, janji,” jawab Mas Raka, lalu kembali fokus pada sarapannya. Amanda merasa sedikit lebih baik, meski masih ada keraguan di hatinya.

Seiring hari berlalu, Amanda mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan rumah. Dia menyapu lantai, mencuci piring, dan merapikan rumah. Namun, pikiran tentang Mas Raka selalu menyertainya. Setiap sudut rumah mengingatkan pada kenangan yang mereka bagi, dan setiap kenangan itu seakan semakin menguatkan rasa kesepian dalam dirinya.

Sore menjelang, dan Amanda menunggu Mas Raka di ruang tamu. Dia mengatur segalanya agar terlihat rapi dan nyaman, berharap ini bisa mengubah suasana. Namun, saat jam menunjukkan angka tujuh, harapan itu mulai memudar. Mas Raka belum juga pulang.

“Mas Raka, kamu di mana?” bisiknya dalam hati, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Setiap detak jam seakan mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan tanpa menunggu.

Ketika akhirnya pintu terbuka, Mas Raka masuk dengan penampilan yang terlihat lelah. “Maaf, Amanda. Aku terjebak macet,” katanya, tetapi Amanda bisa melihat dari raut wajahnya bahwa dia tidak ingin berbicara.

“Jadi, kita tidak jadi bicara?” tanya Amanda, suaranya hampir tidak terdengar.

“Lain kali, ya?” jawab Mas Raka, memilih untuk langsung ke kamar.

Air mata Amanda mengalir tanpa bisa ditahan. Dia merasa seolah harapannya hancur dalam sekejap. “Apa aku harus terus menunggu? Kapan kamu akan melihatku, Mas Raka?” gumamnya, merasakan sakit yang semakin mendalam.

Malam itu, Amanda menulis lagi dalam catatannya. “Setiap hari aku berjuang untuk menunggu kamu. Tapi apakah kamu juga berjuang untukku? Aku merasa seperti tak ada yang mengerti. Aku ingin kita bisa berbagi, bukan hanya sekadar hidup bersama. Kenapa semua ini terasa begitu sulit?”

Ketika kertas itu terisi dengan air mata, Amanda tahu satu hal: dia tidak bisa terus bertahan dalam kesepian ini. Dia ingin menemukan jalan keluar, meski entah ke mana langkah itu akan membawanya.

 

Titik Balik yang Menghantui

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun bagi Amanda, setiap detiknya terasa semakin berat. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya. Mas Raka masih sama; kesibukan dan pekerjaan menghalangi mereka untuk berbagi. Meskipun di luar tampak normal, di dalam hatinya, ada keretakan yang semakin membesar.

Suatu pagi, Amanda memutuskan untuk menyiapkan sarapan spesial. Dia ingin membuat Mas Raka terkesan dan berharap bisa menciptakan suasana yang lebih hangat. Dengan penuh harapan, dia memotong sayuran, menggoreng telur, dan menyiapkan kopi kesukaan Mas Raka.

Ketika Mas Raka masuk ke dapur, matanya langsung tertuju pada makanan yang disajikan. “Wah, sarapan yang cantik!” pujinya, meski nada suaranya masih terdengar lelah.

“Terima kasih, Mas Raka. Aku ingin kita bisa lebih sering seperti ini,” kata Amanda, berusaha tersenyum. Namun, senyum itu tampak dipaksakan.

“Ya, semoga setelah ini kita bisa pergi jalan-jalan,” jawab Mas Raka sambil menyantap sarapan. Dia terlihat sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan yang masuk, seolah-olah Amanda tidak ada di sampingnya.

“Mas Raka, bisa tidak kita bicara sebentar?” pinta Amanda, mengumpulkan keberanian. “Tentang kita, tentang hubungan ini.”

Mas Raka menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Bisa, tapi nanti saja. Aku ada meeting yang harus dipersiapkan,” katanya dengan nada terburu-buru.

“Meeting terus. Kapan kamu akan meluangkan waktu untukku? Aku merasa semakin jauh dari kamu, Mas Raka. Setiap hari yang kita lewati membuatku bertanya-tanya, apakah kamu masih mencintaiku?” Amanda berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski hatinya bergetar.

Mas Raka menghentikan aktivitasnya dan menatap Amanda dengan tatapan kosong. “Aku mencintaimu, Amanda. Tapi aku juga memiliki tanggung jawab yang harus diemban,” jawabnya, tidak sepenuh hati.

“Tanggung jawab yang menghalangimu untuk melihatku? Yang membuat kita semakin terpisah?” Amanda merasakan air mata mulai menggenang. Dia tidak ingin berdebat, tetapi rasa kesepian itu terlalu menyakitkan.

Mas Raka menghela napas. “Aku tahu ini sulit, tapi ini hanya sementara. Kita akan baik-baik saja.”

“Berapa lama ‘sementara’ itu, Mas Raka?” tanya Amanda, merasakan kepedihan semakin dalam. “Aku butuh kepastian. Aku butuh kamu sekarang.”

“Satu minggu lagi, Amanda. Aku akan berusaha lebih keras untuk pulang tepat waktu,” janji Mas Raka, meski Amanda meragukan kesungguhannya.

Setelah Mas Raka berangkat, Amanda kembali ke catatan hatinya. “Mungkin ini saatnya aku membuat keputusan. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Cinta tidak seharusnya menyakitkan, bukan?”

Dia menuliskan rencananya, bertekad untuk mengubah hidupnya. Selama beberapa hari ke depan, Amanda mulai merancang aktivitas untuk dirinya sendiri. Dia mendaftar kursus memasak, berolahraga, dan mencoba hobi baru. Dia menyadari bahwa kebahagiaannya tidak boleh bergantung pada kehadiran Mas Raka.

Namun, saat malam tiba, rasa sepi itu kembali menyelimuti. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan Mas Raka menyapanya, dan setiap kali itu juga, Amanda merasa ada yang hilang dari dirinya.

Suatu malam, Amanda menerima pesan singkat dari Mas Raka. “Maaf, Amanda. Aku tidak bisa pulang malam ini. Ada pekerjaan mendesak yang harus diselesaikan.”

Air mata Amanda mengalir, dan dia merasakan hatinya remuk. “Kapan semua ini akan berakhir?” bisiknya. Dalam ketidakpastian yang menyakitkan, dia merasa terjebak.

Saat beranjak tidur, Amanda teringat akan janji Mas Raka. Harapan yang semula terlihat cerah kini menguap, dan dia merasakan ketidakpastian seperti awan gelap yang menggantung di atas kepalanya.

Keesokan harinya, Amanda berusaha keras untuk tetap tegar. Dia memutuskan untuk mengunjungi seorang sahabatnya, Tia, yang selalu bisa memberi semangat. Saat Amanda tiba di kafe tempat mereka janjian, Tia sudah menunggu dengan senyuman lebar.

“Am, kamu terlihat lesu. Ada apa?” tanya Tia, meraih tangan Amanda.

“Aku… merasa terasing,” jawab Amanda, menahan air mata. “Mas Raka terlalu sibuk, dan aku merasa seolah aku tidak ada di hidupnya.”

“Coba bicarakan lagi, Am. Mungkin dia tidak menyadari apa yang kamu rasakan,” saran Tia. “Atau mungkin kamu perlu mengekspresikan perasaanmu dengan cara lain?”

Amanda mengangguk, merasa sedikit lebih baik. Mereka berbincang dan tertawa, dan untuk sesaat, dia lupa akan kesedihannya. Namun, saat pulang, perasaan hampa itu kembali menyapa.

Malam itu, saat Amanda berbaring di tempat tidur, dia mendengarkan lagu-lagu yang mengingatkannya pada kenangan indah bersama Mas Raka. Suara musik mengalun lembut, tetapi semua itu tidak bisa menghapus rasa sakit yang mendalam di hatinya. Dia menulis lagi dalam catatannya, “Aku bertahan bukan karena aku kuat, tapi karena aku takut kehilangan satu-satunya orang yang aku cintai.”

Saat mata Amanda terpejam, dia merasakan beratnya beban di hatinya. Dia tahu, dalam keadaan seperti ini, akan ada titik balik yang harus dihadapinya. Apakah dia siap untuk mengambil langkah yang mungkin mengubah segalanya?

 

Keterpurukan yang Tak Terelakkan

Hari-hari berlalu, dan Amanda semakin merasa terjebak dalam pusaran kesedihan. Setiap pagi, saat Mas Raka berangkat kerja, dia merasakan berat di hatinya, seolah ada sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan. Keberanian untuk berbicara sudah ada dalam dirinya, tetapi entah mengapa, kata-kata itu tak kunjung keluar.

Suatu sore, setelah seharian menunggu, Amanda memutuskan untuk mengejutkan Mas Raka di kantornya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia masih peduli dan berharap bisa mendiskusikan masalah ini. Dengan harapan yang menggebu, Amanda berangkat menuju kantor Mas Raka.

Setibanya di sana, dia merasa gugup saat melangkah masuk. Dia berdiri di depan meja resepsionis dan meminta untuk bertemu Mas Raka. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dia diperbolehkan masuk. Amanda melihat Mas Raka sedang berbincang dengan seorang rekan kerjanya, tampak ceria dan jauh dari kesan tertekan.

“Mas Raka,” panggil Amanda, berusaha tersenyum, meski hatinya berdebar. “Aku ingin bicara.”

Mas Raka menatapnya, ekspresinya langsung berubah. “Amanda, ada apa? Aku sedang sibuk,” katanya, suaranya terasa dingin.

“Aku tahu, Mas Raka. Tapi kita perlu membicarakan hubungan kita,” Amanda berkata dengan tegas, berusaha menyampaikan perasaannya.

“Sekarang bukan waktu yang tepat. Aku janji, kita bisa bicara nanti,” jawab Mas Raka sambil mengalihkan pandangannya.

“Jadi, kita hanya akan terus menghindar?” tanya Amanda, frustrasi. “Aku ingin kamu mendengarkanku. Aku merasa sendirian.”

Rekan kerja Mas Raka menatap mereka berdua dengan ragu, lalu meninggalkan ruangan. Suasana semakin tegang, dan Amanda merasakan matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak bisa terus begini, Mas Raka. Aku butuh kamu, bukan hanya sebagai suami, tapi juga sebagai teman.”

Mas Raka terdiam. Dalam hening itu, Amanda merasakan betapa banyak yang belum dia katakan. “Mungkin aku harus pergi untuk sementara. Memberi kita waktu untuk berpikir.”

“Jangan, Amanda. Jangan pergi. Aku butuh kamu di sini,” jawab Mas Raka, suaranya sedikit bergetar.

“Tapi kamu sudah terlalu jauh dari aku. Kamu tidak bisa melihat rasa sakitku,” kata Amanda, tak mampu menahan air matanya lagi. “Aku bukan hanya sekadar istri yang menunggu di rumah. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu.”

Mas Raka menghela napas dalam-dalam, seolah menimbang apa yang seharusnya dia katakan. “Aku minta maaf jika aku membuatmu merasa seperti itu. Ini bukan karena aku tidak mencintaimu, Amanda. Aku hanya… aku hanya terjebak dalam pekerjaan dan tanggung jawab.”

“Dan aku terjebak dalam kesedihan,” sahut Amanda. “Ini bukan hidup yang aku inginkan. Aku ingin kita saling mendukung, bukan menjauh.”

Setelah hening sejenak, Mas Raka meraih tangan Amanda. “Aku tidak mau kehilanganmu. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Namun, saat Amanda menatap matanya, dia melihat bayangan kesedihan yang dalam. Mas Raka berusaha kuat, tetapi Amanda tahu bahwa tidak ada jaminan bahwa semuanya akan kembali seperti semula.

“Aku sudah berusaha, Mas Raka. Tapi aku tidak bisa terus menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi. Mungkin kita butuh waktu terpisah untuk merenung,” ucapnya, merasakan hatinya hancur.

Mas Raka terdiam, tampak bingung. “Apakah ini benar-benar yang kamu inginkan?”

“Aku hanya ingin kita bahagia, apapun itu artinya. Aku akan pergi untuk sementara waktu. Kita bisa berpikir tanpa tekanan,” jawab Amanda, suara bergetar, air mata mengalir di pipinya.

Akhirnya, Amanda memutuskan untuk pergi ke rumah orangtuanya. Dia berharap bisa menemukan ketenangan dan memikirkan masa depannya tanpa terganggu oleh bayang-bayang kesedihan. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi dia tahu ini adalah pilihan yang tepat untuk dirinya.

Di rumah orangtuanya, Amanda merasa sedikit lebih baik. Ia menceritakan semua yang terjadi kepada ibunya, dan ibunya mengusap punggungnya. “Kadang, kita perlu menjauh untuk melihat dengan jelas,” ucap ibunya lembut.

Namun, saat malam tiba, rasa rindu terhadap Mas Raka semakin menyiksa. Dia teringat senyum Mas Raka, canda tawa mereka, dan semua kenangan manis yang telah dilalui. Amanda merasa seolah ada yang hilang, dan hatinya bergetar saat membayangkan kemungkinan hidup tanpa Mas Raka di sisinya.

Hari-hari berlalu, dan Amanda mulai merenung. Apakah cinta yang mereka miliki cukup untuk melewati semua rintangan ini? Namun, saat menulis di catatannya, harapan itu terasa semakin tipis.

Ketika Mas Raka meneleponnya untuk pertama kalinya, hatinya berdebar. “Sayang, aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu?” tanyanya.

“Aku juga merindukanmu, Mas Raka,” jawab Amanda pelan. “Tapi kita perlu bicara dengan jujur tentang apa yang kita inginkan.”

“Mungkin kita bisa memperbaiki semuanya,” kata Mas Raka penuh harap.

Saat mereka bertemu di sebuah kafe, Amanda merasakan campuran harapan dan ketakutan. Namun, saat percakapan dimulai, dia menyadari bahwa walaupun cinta mereka kuat, ada jarak yang sulit untuk dijembatani. Setiap kali Mas Raka berbicara tentang pekerjaannya, Amanda merasa seolah dirinya semakin menjauh.

“Amanda, aku berjanji akan berusaha lebih keras untuk kita. Aku tidak mau kehilanganmu,” ucap Mas Raka, mencoba meyakinkannya.

“Tapi Mas Raka, apakah kamu benar-benar bisa?” Amanda bertanya, merasakan keputusasaan yang mendalam. “Aku tidak ingin hanya menjadi pelengkap hidupmu.”

Akhirnya, setelah berjam-jam berbicara, mereka berdua menyadari satu hal: kadang cinta tidak cukup untuk membuat dua jiwa bisa bersatu. Ketika Amanda kembali ke rumah, dia merasakan hampa yang mendalam.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan saat Amanda menerima kabar bahwa Mas Raka terlibat dalam kecelakaan saat bekerja, dunia seolah runtuh di hadapannya. Dia bergegas ke rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Saat melihat Mas Raka terbaring tak berdaya, Amanda merasa seluruh hidupnya hancur.

“Mas Raka, bangunlah. Aku di sini,” bisiknya, meraih tangan Mas Raka yang dingin. Tidak ada jawaban. Air matanya mengalir deras, dan dia menyadari bahwa semua harapan dan impian mereka sirna dalam sekejap.

Ketika dokter keluar dengan wajah muram, Amanda tahu, semua harapannya telah pupus. Mas Raka pergi meninggalkannya dengan sejuta kenangan dan ketidakpastian. Dalam keterpurukan yang tak terelakkan, Amanda menuliskan catatan terakhir di buku harinya, “Cinta tidak selalu cukup. Terkadang, kita harus belajar melepaskan untuk menemukan kedamaian.”

Dengan air mata yang tak kunjung berhenti, Amanda merasakan kesedihan yang mendalam, mengingat semua yang hilang. Dia mengerti bahwa hidup harus terus berjalan, meskipun tanpa sosok yang paling dicintainya. Dalam kesunyian malam, dia berdoa untuk Mas Raka, berharap dia menemukan kedamaian di tempat yang lebih baik.

 

Dan begitulah, Amanda akhirnya belajar bahwa nggak semua cinta bisa berakhir bahagia. Kadang, hidup kasih kita pilihan yang nggak enak, tapi harus dijalanin juga. Meski sakit, dia ngerti kalau melepaskan itu bagian dari perjalanan hidup. Mungkin ini bukan akhir yang dia mau, tapi siapa yang tahu, kan? Hidup kadang aneh, tapi itulah cara kita belajar buat jadi lebih kuat.

Leave a Reply