Daftar Isi
Kadang hidup itu kayak nonton stand-up comedy, ya. Di luar, semuanya kelihatan lucu dan seru, tapi siapa yang tahu kalau di balik tawa itu ada cerita yang lebih dalam?
Cerita ini bakal bawa kamu ke dalam dunia Zoro, si pelawak yang seakan punya segalanya—selalu bikin orang ketawa, tapi siapa yang tahu kalau dia juga punya beban sendiri? Siap-siap aja deh, buat ketawa dan mikir bareng.
Canda yang Menyembuhkan
Senyum yang Terlupakan
Zoro bukan orang yang sulit dicari. Setiap sudut kampus seakan mengenalnya—dari kafe kecil di pojokan hingga ruang kelas yang selalu penuh dengan tawa. Kalau ada satu hal yang paling dikuasai Zoro, itu adalah membuat orang ketawa. Ia seperti pembawa keceriaan, pesulap tawa yang tak pernah gagal. Hari itu, seperti biasa, Zoro muncul di kafe kampus, tempat di mana teman-temannya berkumpul untuk melepas lelah setelah ujian yang melelahkan.
Tapi, kali ini ada yang berbeda. Zoro datang dengan wajah yang tidak seperti biasanya—tidak ada senyum ceria yang selalu menghiasi wajahnya. Di sekelilingnya, teman-temannya tengah asyik berbicara tentang berbagai hal yang ringan. Melati, si teman perempuan yang selalu jadi pendamping Zoro dalam keisengan, menatapnya curiga dari meja sebelah.
“Zoro, kenapa sih lo diem aja? Biasanya, sih, lo udah bikin kita ketawa duluan dari tadi,” kata Melati, menyeringai sambil meneguk kopinya.
Zoro meliriknya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Zoro hanya diam. Ia duduk di meja seberang, menatap ke luar jendela, seperti sedang mencari jawaban di luar sana, di antara langit yang cerah dan udara kampus yang tenang.
Melati, yang memang tak bisa membiarkan keanehan begitu saja, menyundul teman-temannya yang lain. “Coba kalian lihat deh, Zoro lagi beneran diem. Ada apa nih? Jangan-jangan dia abis putus sama pacarnya yang nggak pernah kita lihat itu!”
Teman-temannya tertawa, tapi Zoro tetap tidak mengubah ekspresinya. Akhirnya, salah satu dari mereka, si Damar, yang selalu jadi pengikut setia Zoro dalam segala hal konyol, menimpali. “Yah, kayaknya Zoro emang lagi di luar suasana hati, deh. Coba aja lo buka topik baru, pasti langsung kembali ke Zoro yang biasa.”
Zoro menghela napas pelan, kemudian meletakkan tangannya di atas meja. “Sebenarnya… aku cuma pengen nanya sesuatu aja,” katanya, suaranya tak setegas biasanya. Semuanya terdiam mendengarkan, karena mereka tahu, kalau Zoro sudah mulai berbicara serius, itu artinya ada sesuatu yang tidak biasa.
“Apa yang kalian rasakan waktu kalian ketawa? Maksud aku, kalian ketawa itu karena apa? Karena lucu, atau karena kalian ngerasa ada yang hilang dan kalian berusaha nyari pengganti?” Zoro menatap mereka satu per satu.
Melati dan Damar saling pandang, bingung. Mereka sudah tahu Zoro itu konyol dan nggak pernah kehilangan akal untuk membuat suasana jadi riang, tapi kali ini, ada yang berbeda.
“Lo… lo lagi mikirin hal serius kayak gitu, Zoro?” tanya Damar pelan, cemas.
“Serius,” jawab Zoro singkat. Ia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Aku cuma penasaran aja. Kenapa kita suka ketawa? Apa karena itu yang bikin kita lupa sama hal-hal yang lebih berat? Atau, kita cuma… nyari perhatian?”
Suasana kafe mendadak sunyi. Teman-temannya, yang biasanya merasa nyaman di bawah tawa Zoro, kini merasa canggung. Zoro bukan orang yang sering berbicara tentang hal-hal seperti ini. Biasanya, dia lebih suka menggoda Melati dengan lelucon konyolnya, atau mengerjai Damar dengan trik aneh yang membuat semua orang tertawa.
Melati akhirnya membuka mulut, mencoba mengalihkan suasana. “Zoro, lo tuh nggak bisa kayak gitu terus. Jangan bilang lo lagi overthinking, deh. Lo kan orang yang selalu bikin kita senyum. Jangan-jangan lo butuh liburan, nih!”
Zoro menggeleng pelan, matanya masih menatap kosong. “Lo tahu, Mel, aku emang udah lama gak liburan, tapi… kadang aku capek. Capek harus jadi yang lucu terus. Kadang aku pengen ngerasain jadi diri sendiri aja, tanpa harus nyari cara buat bikin orang ketawa.”
Mereka semua terdiam. Damar mencoba mencairkan suasana, “Jadi lo mau bilang kalau lo bukan orang yang selalu ceria, gitu? Gak mungkin, Zoro. Lo tuh legenda kampus, yang selalu bisa bikin semua orang tertawa!”
Zoro tersenyum, tapi kali ini senyumnya terlihat dipaksakan. “Tapi… aku tuh juga manusia, Damar. Ada saat-saat ketika ketawa bukan lagi jadi obat. Ada saat-saat aku cuma pengen tahu, apa sih yang sebenarnya bikin aku bahagia?”
Melati dan Damar bertukar pandang lagi, bingung. Mereka tak tahu harus berkata apa. Zoro memang selalu menjadi pusat perhatian, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dari sekadar lelucon dan tawa. Sesuatu yang mungkin tidak mereka pahami.
Setelah beberapa detik hening, Zoro tiba-tiba berdiri dan memegang gelas kopi di meja. “Tapi kalian gak perlu khawatir, kok. Aku masih bisa bikin kalian ketawa!” katanya dengan semangat, meskipun suaranya terdengar sedikit lemah.
Tanpa memberi kesempatan untuk melawan, Zoro berlari ke tengah kafe, lalu mulai beraksi seperti orang gila. Ia melompat-lompat, berlari mundur sambil menggerakkan tangannya seperti ayam yang terbang.
Teman-temannya langsung terbahak-bahak. Mereka tertawa lepas, seperti biasa. Zoro berhasil membawa mereka kembali ke dunia keceriaan, namun di dalam hatinya, Zoro tahu tawa yang baru saja ia buat hanyalah topeng sementara. Ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kebohongan itu. Ketawa yang ia buat bukanlah dirinya—ia hanya berusaha menyembunyikan kesedihan yang selama ini ia pendam.
Saat Zoro kembali ke mejanya, ia duduk kembali dengan senyuman palsu di wajahnya. Melati menatapnya dengan penuh kekhawatiran, namun Zoro hanya mengangkat bahu.
“Yah, ini hidup gue, Mel. Apa yang bisa gue lakuin?” Zoro berkata sambil mengangkat gelas kopi ke bibirnya, mencoba terlihat tenang, meskipun hatinya kacau.
Melati dan Damar hanya bisa saling pandang. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh teman mereka yang selalu membuat mereka tertawa. Tapi yang pasti, mereka tahu satu hal: Zoro, si pembawa tawa, juga butuh seseorang untuk membawa senyum kembali ke wajahnya.
Dan untuk saat ini, mereka hanya bisa berharap Zoro akan menemukan jawabannya sendiri.
Tawa yang Tersimpan
Pagi itu, Zoro memutuskan untuk tidak datang ke kampus. Biasanya, dia adalah orang pertama yang muncul di kafe kampus, duduk dengan posisi strategis yang menghadap jendela besar, dan mulai melontarkan lelucon yang akan menghidupkan suasana. Tapi tidak hari ini. Hari ini, Zoro memilih untuk berada di apartemennya, hanya ditemani secangkir kopi hitam dan pikirannya yang kacau.
Zoro duduk di atas kasur, tatapannya kosong menatap langit-langit yang tak pernah berubah. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia mulai merasa begitu kosong. Rasanya, ia sudah lama tidak merasakan kebahagiaan yang asli. Kebahagiaan yang bukan berasal dari tawa orang lain, atau pujian atas leluconnya. Semua itu seperti topeng yang harus ia kenakan setiap hari, tanpa pernah ada ruang untuk ia sendiri, tanpa harus berpura-pura.
Hidupnya seperti sebuah sandiwara, di mana ia adalah pemeran utama yang selalu diperintahkan untuk tersenyum, tertawa, dan membuat dunia di sekitarnya terasa ceria. Tapi siapa yang akan menanyakan bagaimana perasaan Zoro?
Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Itu adalah pesan dari Melati, teman yang selalu ada di sampingnya, meskipun ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang Zoro rasakan.
“Zoro, gue tahu lo lagi nggak enak badan, tapi lo jangan diem aja. Kita nggak bisa ngeliat lo kayak gitu. Lo harus balik ke kampus, lo pasti bisa bikin kita ketawa lagi. Udah, jangan galau mulu.”
Zoro menatap pesan itu lama. Sebuah senyum miris terbentuk di bibirnya. Melati memang selalu mencoba untuk menghiburnya, tapi ia tidak pernah tahu bahwa Zoro sudah lelah dengan semua itu. Ia sudah lelah dengan perannya sebagai si pelawak kampus, yang selalu harus tertawa dan membuat orang lain merasa bahagia, meskipun dirinya sendiri terkadang merasa hampa.
Zoro membalas pesan itu dengan satu kalimat singkat: “Iya, gue bakal ke kampus kok.” Padahal, dalam hatinya, Zoro merasa enggan. Tapi ia tahu, jika ia tidak kembali ke dunia mereka, orang-orang yang sudah biasa melihatnya akan bertanya. Dan Zoro tidak siap menjawab pertanyaan itu.
Siang itu, Zoro akhirnya muncul di kampus, meskipun dengan langkah yang berat. Ia berjalan masuk ke kafe dengan kepala tertunduk, berusaha menghindari tatapan orang-orang yang ada di dalam. Seperti biasa, kafe itu penuh dengan mahasiswa yang bercanda dan ngobrol. Suasana ceria yang Zoro rasakan setiap hari, kini terasa begitu asing baginya.
Melati, yang sudah duduk di meja pojok, langsung mendongak ketika melihat Zoro. Wajahnya berubah cemas, tapi ia segera berdiri dan menghampiri teman baiknya itu.
“Zoro, lo kenapa? Kenapa lo keliatan beda banget?” tanya Melati dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya.
Zoro tersenyum sedikit, tapi kali ini senyumnya tidak sampai menyentuh matanya. “Gak apa-apa, Mel. Cuma capek aja,” jawabnya, mencoba terdengar se-normal mungkin.
Namun, Melati tidak begitu saja puas dengan jawaban itu. Ia mengamati Zoro lebih dalam. “Lo nggak pernah kayak gini, Zoro. Lo biasanya datang ke sini dengan tawa lo yang khas, bikin kita semua terbahak. Tapi sekarang… lo malah kelihatan seperti orang yang lagi kebingungan. Lo nggak perlu jadi superman terus, lo tahu?”
Zoro hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia sudah terbiasa dengan perhatian Melati, tapi kali ini, kata-kata itu seperti menohok hatinya. Benar, dia sudah lelah menjadi superman—sosok yang selalu ada untuk orang lain, tapi tidak pernah ada yang peduli dengan dirinya sendiri.
“Mel, gue cuma butuh waktu. Mungkin gue emang butuh… istirahat sebentar dari semuanya,” jawab Zoro dengan suara pelan. “Tapi gue janji, gue nggak bakal jadi orang yang bikin lo kecewa.”
Melati memandang Zoro dengan ekspresi yang penuh pengertian, namun juga terlihat khawatir. Ia tahu, Zoro bukan tipe orang yang mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan. Dan ia tahu, Zoro sedang berjuang dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar lelah fisik.
“Apa lo yakin, Zoro?” tanya Melati, merendahkan suara, “Lo tahu kan, kita semua di sini untuk lo? Lo nggak harus selalu jadi orang yang bikin orang lain ketawa. Lo cuma perlu jadi diri lo sendiri.”
Zoro menatap Melati dengan pandangan kosong. Terkadang, kata-kata yang penuh makna justru terasa paling berat untuk diterima. Ia ingin sekali percaya pada perkataan Melati, tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang berkata sebaliknya. Apa artinya jadi diri sendiri, jika dirinya sendiri terasa asing?
Sebelum Zoro bisa merespons, suara tawa dari meja lain mengalihkan perhatian mereka. Damar, yang selalu ceria dan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bercanda, terlihat sedang berusaha melakukan trik sulap yang gagal, membuat semua orang tertawa.
Zoro menoleh dan tertawa kecil. Tawa itu keluar dengan sendirinya, tanpa bisa ia tahan. Tapi tawa itu terasa begitu hampa. Ia menyadari, bahkan saat dirinya tertawa, ia tetap merasa kosong.
“Mel, lo lihat itu?” Zoro menunjuk ke arah Damar yang terus mencoba trik sulapnya yang konyol. “Kadang gue mikir, dunia ini bisa berputar hanya karena orang-orang yang bisa bikin kita ketawa. Tapi setelah semua itu selesai, kita tetap sendirian di dalam pikiran kita, kan?”
Melati diam, seolah mengerti apa yang Zoro maksudkan. Dia tahu, Zoro tidak sedang bicara tentang Damar atau trik sulapnya. Ia sedang berbicara tentang dirinya sendiri.
“Zoro…” Melati memegang lengan Zoro, kali ini dengan lembut, “Gue nggak mau lo ngerasa sendirian. Kita semua ada di sini buat lo. Lo bukan cuma pelawak kampus yang harus terus membuat orang tertawa. Lo itu teman kita, yang kita peduli.”
Zoro menatap Melati dengan mata yang sedikit berkaca. Ia merasa terharu, tetapi juga bingung. Apakah mungkin ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, atau semua ini hanya sebatas kata-kata belaka? Ia tak tahu.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, Melati kembali tersenyum. “Udah lah, Zoro. Yang penting, lo kembali ke jalan yang benar, oke? Lo nggak sendiri. Kita akan bantu lo, kok.”
Zoro mengangguk pelan, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapinya. Mungkin Melati benar. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia harus mencoba berhenti berpura-pura.
“Tapi, gue janji, gue bakal ketawa lagi, kok. Gue nggak mau lo semua khawatir,” jawab Zoro, meskipun hatinya masih penuh dengan tanda tanya.
Dan dengan itu, suasana kembali ceria, meskipun ada secercah keraguan yang masih mengambang di udara.
Dibalik Canda, Ada Luka
Sejak pertemuan itu, Zoro merasa ada yang berubah. Meskipun dia kembali ke rutinitasnya—melontarkan lelucon konyol di kelas, menggoda Melati dengan candaan receh, bahkan membuat Damar tertawa terbahak-bahak dengan kejadian-kejadian absurd—tapi ada sesuatu yang terasa semakin berat di hatinya. Seakan, seiring dengan tawa yang ia buat, ada bagian dari dirinya yang semakin terkubur dalam-dalam.
Pagi itu, Zoro sedang duduk di kafe, menunggu Melati yang sedang sibuk dengan tugas kuliah. Dia menatap secangkir kopi hitam yang baru saja ia pesan, mencoba mencari ketenangan di dalamnya. Tapi kopi hitam itu seperti tidak bisa mengusir segala kekosongan yang ia rasakan. Ia merasa, seiring berjalannya waktu, dunia semakin jauh darinya. Tawa yang dia buat, seakan hanya menjadi pelarian sementara, yang tidak pernah menyentuh inti permasalahan yang sebenarnya.
Ketika Melati akhirnya datang, Zoro tersenyum seperti biasa, meskipun senyum itu sudah tidak sama lagi. Itu bukan senyum yang tulus, hanya sebuah topeng.
“Zoro, kenapa lo kelihatan kayak orang lagi galau gini?” tanya Melati sambil duduk di seberang meja, meletakkan tas kuliahnya dengan buru-buru. “Kopi lo udah dingin, nih. Lo masih mikirin hal-hal yang aneh, kan?”
Zoro tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana. “Gak kok, Mel. Gue cuma mikirin tugas aja. Lo tahu, kan, tugas-tugas yang enggak ada habisnya ini. Jadi, kalau ketawa gak bisa ngilangin stres, ya… setidaknya bisa mengalihkan perhatian, kan?”
Melati mengernyitkan dahi, jelas tidak puas dengan jawaban Zoro. Ia tahu betul, Zoro bukan tipe orang yang begitu mudah untuk “distract” dengan hal sepele. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dia hadapi. Melati tahu itu, meskipun Zoro selalu berusaha untuk menutupinya.
“Lo nggak harus ketawa terus, Zoro,” kata Melati pelan, lebih serius dari biasanya. “Lo nggak perlu selalu jadi yang paling lucu buat semua orang. Lo cuma perlu jadi diri lo sendiri. Lo gak harus punya alasan buat bahagia.”
Zoro menatap Melati sejenak, matanya kosong. Lalu, tiba-tiba saja dia tertawa, bukan dengan tawa yang penuh, tapi dengan tawa yang sangat tipis, seolah menghindari topik yang semakin mendalam. “Diri gue sendiri? Lo tahu sendiri, Mel. Gue udah lama gak tahu siapa gue sebenarnya.”
Melati merasa gelisah. “Lo nggak pernah bilang gini ke gue sebelumnya,” katanya dengan nada khawatir. “Lo nggak bisa terus jadi orang yang lo gak kenal, Zoro. Lo punya hati, lo punya perasaan, dan gue tahu lo nggak akan kuat kalau lo terus-terusan nahan semuanya sendiri.”
Zoro menghela napas panjang, seakan-akan beban yang selama ini ia sembunyikan mulai terasa begitu berat. “Lo tahu, Mel, kadang gue cuma bingung sama perasaan gue sendiri. Kadang gue merasa, untuk bikin orang lain senang, gue harus terus bikin mereka ketawa. Gue gak pernah tahu gimana rasanya jadi orang biasa, yang gak punya tekanan untuk selalu ceria. Gue cuma pengen tahu, kapan gue bisa jadi diri gue sendiri, tanpa takut orang lain kecewa.”
Melati terdiam. Kata-kata Zoro kali ini membuat hatinya berat. Dia selalu melihat Zoro sebagai sosok yang penuh keceriaan, namun sekarang, ia menyadari, itu hanya fasad. Sebuah tampilan yang dipaksakan untuk menutupi sesuatu yang lebih dalam, yang lebih terluka.
“Zoro, lo tahu kan, kita semua punya bagian dalam diri kita yang mungkin nggak sempurna, tapi itu justru yang membuat kita… manusia,” kata Melati, suaranya pelan namun penuh keyakinan. “Lo gak harus jadi seseorang yang lo gak bisa jadi. Lo cuma perlu jadi lo, Zoro. Itu udah cukup.”
Zoro menundukkan kepala, matanya memandang kosong ke arah meja. Seolah kata-kata Melati menyentuh bagian terdalam dari hatinya, namun dia masih bingung harus mulai dari mana. Sebab, selama ini, dia tak pernah benar-benar memperbolehkan dirinya merasa rapuh di hadapan orang lain. “Gue nggak tahu, Mel. Gue nggak tahu gimana cara berhenti jadi orang yang selalu ceria. Gue nggak tahu gimana caranya nggak takut lagi untuk… merasa lemah.”
Melati meraih tangan Zoro, menggenggamnya pelan, mencoba memberikan kekuatan meski tidak tahu apakah itu cukup. “Lo gak sendirian, Zoro. Kita semua ada buat lo. Lo gak harus ngerasa sendirian.”
Zoro menatap tangan Melati yang menggenggam tangannya. Ada kehangatan dalam sentuhan itu, tapi di dalam dirinya, Zoro masih merasa terisolasi. Ia ingin percaya pada kata-kata Melati, tapi ada ketakutan yang terus menghantuinya—takut kalau ia berhenti menjadi tawa untuk orang lain, ia akan kehilangan semua yang ia punya.
Namun, entah kenapa, saat itu, Zoro merasa sedikit lebih ringan. Seolah-olah, untuk pertama kalinya, ia bisa mengungkapkan sesuatu yang selama ini tertahan di dalam dirinya.
“Terima kasih, Mel,” katanya pelan, matanya masih menatap tangan mereka yang saling bergenggaman. “Gue… gue nggak tahu harus ngomong apa. Tapi gue senang lo ada di sini.”
Melati hanya tersenyum, meski ada kekhawatiran yang tetap menggelayuti hatinya. Dia tahu, Zoro masih jauh dari sembuh, jauh dari menemukan jawabannya. Tapi setidaknya, saat itu, dia merasa Zoro mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit. Mungkin, itu adalah langkah pertama untuk menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.
Namun, di dalam hati Zoro, masih ada pertanyaan yang menggantung. Bisa kah ia berhenti menjadi orang yang selalu ada untuk orang lain, tanpa takut kehilangan dirinya sendiri?
Zoro pun kembali tersenyum, kali ini senyum yang sedikit lebih tulus, meskipun tetap ada rasa cemas yang mengintai di baliknya.
Canda yang Menyembuhkan
Hari-hari berlalu, dan Zoro mulai merasakan perubahan kecil yang perlahan menyentuh dirinya. Meskipun tawa dan lelucon masih menjadi bagian dari dirinya, ia kini tidak lagi merasa terjebak dalam kewajiban untuk selalu ceria. Sesekali, ia membiarkan dirinya merasa lelah, merasa kosong, dan itu tidak lagi membuatnya merasa bersalah. Bahkan, ia mulai menerima bahwa rasa hampa itu tidak harus selalu disembunyikan.
Di kampus, ia tidak lagi merasa terbebani untuk menjadi pusat perhatian. Tentu saja, lelucon-lelucon receh tetap ia lontarkan, namun kali ini, senyumannya lebih datang dari hati. Kadang, tawa yang keluar bukan untuk membuat orang lain bahagia, tetapi karena ia merasa sedikit lega, sedikit lebih bebas.
Suatu siang, Zoro dan Melati duduk di kafe kampus yang ramai. Melati sibuk dengan tugasnya, sementara Zoro memerhatikan suasana sekitar. Orang-orang di sekitar mereka terlihat tertawa, berbicara, dan hidup dengan riang. Di tengah kebisingan itu, Zoro merasa damai. Ia merasa seperti bagian dari dunia ini, bukan hanya pengamat yang terus-menerus berusaha menenangkan orang lain.
Melati menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Lo kelihatan beda, Zoro. Kayak lo udah mulai nemuin tempat lo.”
Zoro menatapnya dan tertawa, tawa yang lebih dalam kali ini, bukan hanya sekadar canda. “Iya, Mel. Gue mulai nemuin tempat gue, meskipun gue gak tahu gimana akhirnya. Tapi, ya… gue merasa lebih ringan.”
“Kalau lo lebih ringan, berarti lo udah lepas dari beban, kan?” tanya Melati, matanya bersinar dengan harapan.
Zoro mengangguk pelan. “Iya, meskipun gak semuanya hilang. Tapi gue belajar buat gak terlalu keras sama diri gue sendiri. Ternyata, gak apa-apa kalau gue gak selalu bikin orang ketawa. Gue bisa bahagia dengan cara gue sendiri.”
Melati tersenyum, dan kali ini senyum itu penuh kebanggaan. “Gue senang denger itu, Zoro. Lo nggak perlu jadi apa-apa buat gue, lo udah cukup jadi diri lo sendiri.”
Zoro melihat Melati dengan penuh rasa terima kasih. “Lo tahu, Mel, selama ini gue sering mikir kalau gue nggak bisa jadi siapa-siapa tanpa jadi pelawak. Tapi ternyata, ada banyak cara buat bahagia selain bikin orang tertawa.”
Melati mengangguk, matanya berbinar. “Dan lo bakal lebih bahagia kalau lo ngerasa bebas jadi diri lo sendiri.”
“Aku tahu,” Zoro menjawab dengan suara yang lebih serius namun penuh ketenangan. “Sekarang gue nggak takut lagi kalau orang nggak suka sama gue atau kalau gue nggak selalu lucu. Gue cuma… ingin jadi orang yang bisa menikmati hidupnya tanpa harus berpura-pura.”
Melati tersenyum lebar. “Itu yang gue harap lo temuin, Zoro. Lo nggak perlu takut. Kita semua di sini buat lo, lo tahu kan?”
Zoro menatap sahabatnya itu, hatinya hangat. Ia tidak pernah merasa lebih diterima daripada sekarang. Dan meskipun perjalanan ini masih panjang, ia tahu bahwa sekarang ia memiliki orang-orang yang peduli padanya, yang tidak melihatnya sebagai “pelawak” tetapi sebagai seorang teman yang berharga.
Kemudian, saat mereka berdua melanjutkan obrolan ringan mereka, Zoro merasa sesuatu yang jarang ia rasakan—kebahagiaan yang datang tanpa usaha berlebihan. Ia hanya duduk di sana, menikmati momen, dan tertawa, kali ini bukan untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri.
Ketika Zoro bangkit dan melangkah keluar dari kafe, ia merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapa wajahnya, dan entah kenapa, itu membuatnya merasa bebas. Dunia di luar sana mungkin masih penuh dengan tantangan, namun Zoro kini tahu, tawa bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Tawa adalah bagian dari kebahagiaan yang alami, yang datang ketika hati merasa ringan.
Ia tidak lagi berusaha mengubah dunia, karena kini ia tahu, dengan menerima dirinya sendiri, dunia pun akan berubah sesuai dengan caranya yang lebih sederhana dan lebih bahagia. Zoro tahu, perjalanan ini baru dimulai. Tapi kali ini, ia sudah siap untuk menjalani setiap langkah dengan lebih percaya diri, tanpa harus terus berpura-pura.
Dan dengan tawa yang lebih tulus di bibirnya, Zoro melangkah ke depan, siap menghadapi hari-hari yang penuh warna. Tanpa beban, tanpa tekanan, hanya diri yang sebenarnya.
Jadi, intinya, gak semua tawa itu berarti bahagia, dan gak semua orang yang ketawa itu nggak punya masalah. Terkadang, kita cuma perlu berhenti sejenak, ngelihat diri kita sendiri, dan ngerasain apa yang sebenernya kita butuhin.
Gak ada salahnya buat jadi orang yang ngerasa bebas, tanpa takut harus jadi siapa-siapa buat orang lain. Semoga ceritanya bikin lo ketawa!


