Daftar Isi
Masuki dunia emosional yang menyentuh hati melalui cerpen “Cahaya Ramadhan di Balik Duka: Kisah Kehilangan dan Kebersamaan”, yang mengisahkan perjuangan Laila dan putrinya, Aisyah, menghadapi kehilangan suami dan ayah di tengah kehangatan bulan Ramadhan. Dengan detail kehidupan kampung, tradisi Idul Fitri, dan kekuatan komunitas, cerita ini membawa Anda pada perjalanan penuh duka dan harapan. Apa yang membuat kisah ini begitu memikat? Temukan jawabannya di ulasan ini!
Cahaya Ramadhan di Balik Duka
Malam Pertama Tanpa Ayah
Di sebuah kampung kecil bernama Suka Damai, di pinggiran Yogyakarta, bulan Ramadhan tiba dengan aroma khas yang selalu membawa kenangan. Udara malam terasa sejuk, membawa bau harum ketupat yang dimasak tetangga dan suara takbir yang berkumandang dari masjid kecil di ujung kampung. Lampu-lampu minyak yang digantung di teras rumah-rumah kayu menyala redup, menciptakan siluet hangat di tengah kegelapan. Tapi bagi Laila, seorang ibu muda berusia 32 tahun, malam pertama Ramadhan tahun ini terasa seperti luka yang baru dibuka.
Laila duduk di tikar pandan di ruang tamu rumahnya yang sederhana, dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai rapuh di beberapa sudut. Di pangkuannya, Aisyah, putrinya yang berusia 6 tahun, tertidur dengan pipi masih basah oleh air mata. Rambut Aisyah yang ikal terurai di atas kain sarung yang Laila kenakan, dan napas kecilnya terdengar pelan, seperti bisikan yang mencoba menenangkan hati ibunya. Di meja kecil di samping mereka, tersaji hidangan buka puasa yang sederhana: segelas teh manis yang sudah dingin, dua potong kolak pisang yang belum disentuh, dan sepiring nasi dengan lauk tempe goreng yang Laila masak tadi sore dengan tangan gemetar.
Dua minggu lalu, suami Laila, Mas Arif, pergi untuk selamanya. Seorang pedagang sayur keliling yang selalu pulang dengan senyum lelah, Arif meninggal dalam kecelakaan motor saat hendak pulang dari pasar. Truk yang kehilangan kendali menabraknya di tikungan jalan, dan dalam sekejap, Laila kehilangan tumpuan hidupnya. Ramadhan, yang biasanya penuh dengan kehangatan keluarga—sahur bersama, buka puasa dengan canda tawa, dan salat tarawih di masjid—kini terasa hampa tanpa kehadiran Arif.
Laila memandang foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding, sebuah bingkai sederhana dari kayu yang mulai retak di sudutnya. Dalam foto itu, Arif tersenyum lebar, matanya penuh harapan, sementara Laila, dengan kebaya sederhana berwarna hijau muda, memandangnya penuh cinta. “Mas, ini Ramadhan pertama kita tanpa kamu,” bisik Laila, suaranya parau. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi Aisyah yang masih tertidur.
Tiba-tiba, suara adzan Maghrib berkumandang dari masjid. Laila menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan. Ia mengusap pipi Aisyah dengan lembut, membangunkannya. “Aisyah, sayang, bangun. Kita buka puasa dulu, ya,” katanya, berusaha tersenyum meski hatinya terasa seperti diremas.
Aisyah membuka mata perlahan, matanya yang bulat dan polos menatap Laila dengan kebingungan. “Ayah mana, Bu?” tanyanya, suaranya kecil dan penuh harap. Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk hati Laila. Aisyah belum sepenuhnya mengerti arti kehilangan, tapi setiap hari ia bertanya hal yang sama, seolah menanti Arif muncul dari pintu dengan tawa khasnya.
Laila memeluk Aisyah erat, mencium keningnya yang hangat. “Ayah… Ayah sudah di tempat yang lebih baik, Sayang. Di surga, bersama Allah. Kita doakan Ayah, ya, supaya Ayah senang di sana,” jawabnya, suaranya bergetar. Aisyah mengangguk pelan, meski matanya masih mencari-cari sosok ayahnya di sudut ruangan.
Mereka berdua duduk di tikar, berbagi segelas teh manis yang sudah dingin. Laila mengambil sepotong kolak dan menyuapkannya ke mulut Aisyah, tapi tangannya gemetar. Ia teringat Ramadhan tahun lalu, ketika Arif pulang membawa pisang kepok dari pasar, lalu mereka bertiga membuat kolak bersama. Arif selalu bercanda, pura-pura mencuri gula merah dari panci, membuat Aisyah tertawa hingga terpingkal-pingkal. Kini, meja kecil itu terasa terlalu besar untuk mereka berdua.
Di luar, suara anak-anak kampung terdengar riuh. Mereka berlarian dengan obor kecil dari bambu, tradisi menyambut Ramadhan yang selalu dinanti. Laila mendengar tawa mereka, dan hatinya semakin perih. Ia ingin Aisyah merasakan kebahagiaan yang sama, tapi bagaimana mungkin, ketika dunia kecil mereka baru saja runtuh?
Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar dari pintu. Laila menoleh, mengusap air matanya dengan cepat. Ia bangkit, membuka pintu, dan mendapati Bu Fatimah, tetangga sebelah, berdiri dengan nampan kecil berisi kurma dan sepiring opor ayam. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, tapi matanya penuh simpati. “Laila, ini dari kami. Buka puasa bareng, ya. Aisyah juga. Jangan sendirian di malam pertama Ramadhan,” katanya dengan suara hangat.
Laila tersenyum kecil, meski air matanya kembali mengalir. “Terima kasih, Bu. Tapi… saya belum bisa. Masih… masih terlalu berat,” jawabnya, suaranya tercekat.
Bu Fatimah mengangguk, memahami. “Kami ada di sini, Laila. Kapan saja kamu butuh teman, pintu kami selalu terbuka.” Ia meletakkan nampan itu di meja, lalu memeluk Laila dengan erat sebelum kembali ke rumahnya.
Laila menutup pintu, menatap nampan itu dengan pandangan kosong. Kebaikan Bu Fatimah menghangatkan hatinya, tapi juga mengingatkannya pada kebersamaan yang kini hilang. Malam pertama Ramadhan berlalu dengan sunyi, hanya ditemani suara Aisyah yang berdoa dengan polos sebelum tidur, “Ya Allah, titip salam buat Ayah di surga, ya.”
Di luar, bulan sabit bersinar tipis di langit, seolah menjadi saksi bisu atas duka yang menyelimuti rumah kecil itu. Ramadhan baru saja dimulai, tapi bagi Laila, perjalanan ini terasa seperti mendaki gunung dengan beban yang terlalu berat di pundaknya.
Sahur dalam Sunyi
Pagi hari kedua Ramadhan di Suka Damai dimulai dengan suara adzan subuh yang lembut, membelah kegelapan sebelum fajar. Kabut tipis menyelimuti kampung, membawa aroma tanah basah dan asap dari tungku-tungku kayu yang mulai dinyalakan oleh warga untuk memasak sahur. Di teras rumah Laila, lampu minyak tanah masih menyala redup, menyinari meja kecil yang kini hanya berisi sepiring bubur kacang hijau dan segelas air putih. Di dalam rumah, Laila duduk di lantai kayu yang sedikit berderit, mengaduk bubur dengan sendok kayu yang sudah usang, tangannya bergerak lambat seolah terbebani oleh kenangan.
Aisyah masih tertidur di kamar kecil di samping ruang tamu, tubuhnya tergulung selimut tipis yang berwarna biru pucat—pemberian Mas Arif saat Aisyah masih bayi. Laila menatap putrinya, rambut ikalnya yang acak-acakan menutupi wajahnya yang polos. Setiap kali melihat Aisyah, Laila merasa campuran cinta dan rasa bersalah yang dalam. Ia ingin menjadi kuat untuk anaknya, tapi luka kehilangan Arif masih terasa segar, seperti luka yang belum sembuh di hatinya.
Ramadhan tahun ini berbeda. Biasanya, Arif yang bangun lebih dulu untuk menyiapkan sahur—membuat teh pahit yang disukainya dan menggoreng tempe untuk Laila dan Aisyah. Ia selalu bernyanyi pelan, suara seraknya mengisi rumah dengan kehangatan. “Lai, bangun! Jangan sampai sahur cuma jadi mimpi,” katanya setiap hari, sambil mencubit pipi Laila dengan senyum nakal. Kini, suara itu hilang, digantikan oleh keheningan yang menusuk.
Laila mengambil segenggam kurma dari nampan yang diberikan Bu Fatimah semalam, meletakkannya di piring kecil di depan Aisyah. Ia membangunkan putrinya dengan lembut, mengusap rambutnya. “Sayang, sahur dulu, ya. Nanti kita salat subuh bareng,” bisiknya. Aisyah menguap, matanya masih setengah terpejam, tapi ia mengangguk patuh. Mereka duduk bersama, makan bubur dalam diam. Suara sendok yang menggores mangkuk menjadi satu-satunya irama di rumah itu.
Setelah sahur, Laila membimbing Aisyah untuk salat subuh. Mereka berbaris di ruang tamu, menggunakan sajadah tua yang sudah memudar warnanya. Aisyah mengikuti gerakan ibunya dengan serius, tapi sesekali ia menoleh ke pintu, seolah menanti Ayahnya muncul untuk bergabung. Laila menelan ludah, mencoba fokus pada doa, tapi pikirannya melayang pada Arif. Ia teringat malam-malam ketika mereka salat berjamaah di masjid, Arif memegang tangannya setelah salat, berjalan pulang sambil bercerita tentang rencana membeli sepeda baru untuk Aisyah.
Selesai salat, Laila mengajak Aisyah duduk di beranda. Udara pagi membawa suara ayam berkokok dan bising anak-anak yang mulai berlarian menuju sumur untuk mengambil air wudhu. Di kejauhan, Laila melihat Bu Fatimah mengangkut ember air dengan bantuan anaknya, Hasan. Wanita itu melambai padanya, dan Laila membalas dengan senyum kecil yang dipaksakan.
“Bunda, aku kangen Ayah,” kata Aisyah tiba-tiba, suaranya kecil namun penuh duka. Ia memeluk lututnya, matanya menatap langit yang mulai terang. “Ayah janji mau ajak aku ke pasar buat beli lampu obor.”
Laila merasakan dadanya sesak. Ia menarik Aisyah ke pelukannya, mencium kepalanya yang harum karena sampo sederhana yang mereka pakai bersama. “Aku tahu, Sayang. Ayah pasti ingin banget nemenin kamu. Tapi sekarang, kita doa buat Ayah, ya? Supaya Ayah tenang di sana,” jawabnya, suaranya bergetar. Aisyah mengangguk, tapi air matanya jatuh perlahan, membasahi tangan Laila.
Hari itu, Laila memutuskan untuk tetap di rumah. Biasanya, ia dan Arif pergi ke pasar pagi untuk membeli bahan masakan Ramadhan—cabai, bawang, dan ikan segar. Tapi kini, ia tak punya tenaga untuk melangkah ke luar. Ia memilih membersihkan rumah, menyapu lantai kayu yang penuh debu dan mengelap foto pernikahan mereka yang mulai kusam. Setiap kali menyentuh bingkai itu, ia merasa seperti menyentuh kenangan yang perlahan memudar.
Sore menjelang, Laila mulai memasak untuk berbuka. Ia menggoreng tempe dan merebus air untuk teh, aroma masakan itu mengisi rumah dengan kehangatan yang kontras dengan hati dinginnya. Aisyah duduk di samping, memainkan boneka kain pemberian Arif, bernyanyi pelan seperti yang biasa dilakukan ayahnya. Laila tersenyum tipis, tapi air matanya tak bisa ditahan lagi. Ia duduk di lantai, menangis tersedu, memeluk lututnya sendiri.
Tiba-tiba, ketukan di pintu terdengar lagi. Laila mengusap wajahnya dengan lengan baju, bangkit untuk membuka pintu. Kali ini, bukan Bu Fatimah, melainkan Pak Hadi, ketua RT kampung, bersama beberapa warga lain. Mereka membawa nampan berisi soto ayam, lontong, dan beberapa kantong beras. “Laila, ini dari kami semua. Kami tahu kamu sedang susah. Mari, buka puasa bareng kami malam ini,” kata Pak Hadi dengan suara tegas namun penuh kelembutan.
Laila terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menolak, tapi tatapan warga yang penuh simpati membuatnya tak mampu berkata tidak. “Terima kasih, Pak. Saya… saya akan coba,” jawabnya pelan. Warga masuk, mengisi ruang tamu dengan tawa dan cerita, membawa kehidupan yang selama dua hari terakhir hilang dari rumah itu.
Malam itu, Laila dan Aisyah berbuka bersama warga. Aisyah tertawa kecil saat Hasan, anak Bu Fatimah, bercanda dengan bonekanya. Laila memandang mereka, hatinya terasa hangat sekaligus perih. Kehadiran warga mengingatkannya pada kebaikan yang masih ada, tapi juga pada kekosongan yang ditinggalkan Arif. Di luar, bulan sabit bersinar lebih terang, seolah memberikan harapan kecil di tengah duka yang menyelimuti keluarga kecil itu.
Tarawih di Masjid Kecil
Hari ketiga Ramadhan di Suka Damai tiba dengan suasana yang sedikit lebih cerah, meski langit pagi masih diselimuti awan tipis yang membawa aroma hujan. Di kampung kecil itu, aktivitas warga mulai terasa hidup seiring tradisi Ramadhan yang terus berjalan. Anak-anak berlarian dengan obor kecil di tangan menjelang sore, sementara para ibu sibuk menyiapkan hidangan buka puasa—aroma ketupat dan opor ayam tercium dari dapur-dapur kayu. Di masjid kecil di ujung kampung, lampion-lampion kertas warna-warni digantung di sepanjang teras, menyala lembut di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam.
Laila berdiri di beranda rumahnya, memandang Aisyah yang sedang bermain dengan Hasan, anak Bu Fatimah, di halaman depan. Aisyah memegang boneka kain pemberian Arif, tertawa kecil saat Hasan membuat gerakan lucu dengan tangannya, menirukan ayam berkokok. Tawa Aisyah membawa sedikit kelegaan di hati Laila, tapi juga perih yang tak kunjung reda. Ia tahu Aisyah berusaha ceria di depannya, tapi di malam hari, ia sering mendengar putrinya menangis pelan di bawah selimut, memanggil-manggil ayahnya dalam tidur.
Malam sebelumnya, kehadiran warga yang datang untuk berbuka bersama telah memberikan sedikit kehangatan pada rumah kecil mereka. Soto ayam dan lontong yang dibawa Pak Hadi disantap bersama, ditemani cerita-cerita ringan dari warga yang berusaha menghibur Laila. Tapi setelah mereka pulang, kehampaan kembali menyelimuti. Laila merasa seperti hidup dalam dua dunia—satu dunia penuh kebersamaan yang ditawarkan warga, dan dunia lain yang penuh dengan bayang-bayang Arif yang tak pernah benar-benar pergi.
Sore itu, saat Laila menyiapkan hidangan buka puasa—sepiring kolak pisang dan segelas air kurma—Bu Fatimah datang lagi. Wanita itu mengenakan jilbab cokelat tua yang serasi dengan baju kurungnya, tangannya membawa sekeranjang kecil berisi telur ayam kampung. “Laila, malam ini tarawih di masjid, ya. Ayo ikut. Aisyah juga. Biar kamu tidak sendirian di rumah,” ajaknya dengan senyum hangat.
Laila ragu. Sejak Arif meninggal, ia belum pernah melangkah ke masjid. Dulu, mereka selalu pergi bersama—Arif memegang tangan Aisyah di sisi kanan, sementara Laila berjalan di sisi kiri, membawa sajadah dan Al-Qur’an kecil. Masjid kecil itu penuh kenangan, dan Laila takut kenangan itu akan membuatnya runtuh lagi. Tapi melihat Aisyah yang tampak bersemangat mendengar kata “masjid”, ia akhirnya mengangguk. “Baik, Bu. Saya coba,” jawabnya pelan, suaranya penuh keraguan.
Setelah buka puasa, Laila mengganti pakaiannya dengan baju kurung sederhana berwarna abu-abu, yang dulu dibelikan Arif saat mereka baru menikah. Ia mengikat rambutnya dengan jilbab putih yang sudah sedikit kusam, lalu membantu Aisyah mengenakan gamis kecil berwarna pink yang dihiasi bordir bunga di bagian dada. Aisyah tersenyum lebar, memeluk bonekanya erat-erat. “Bunda, aku mau lihat lampion di masjid! Ayah bilang lampion itu kayak bintang di bumi,” katanya dengan mata berbinar.
Laila tersenyum kecil, tapi hatinya terasa seperti diremas. Ia menggenggam tangan Aisyah, mengambil sajadah tua mereka, dan melangkah keluar rumah. Udara malam terasa sejuk, membawa bau tanah dan daun yang basah karena gerimis kecil yang baru saja reda. Di sepanjang jalan menuju masjid, warga kampung berjalan bersama, beberapa membawa anak-anak mereka, sementara yang lain mengobrol tentang menu buka puasa tadi. Laila berjalan di belakang, tangannya erat menggenggam tangan Aisyah, seolah takut kehilangan satu-satunya yang tersisa baginya.
Masjid kecil Suka Damai terlihat ramai malam itu. Karpet hijau tua di dalam masjid sudah digelar, dan aroma kapur barus yang khas tercium di udara. Lampion-lampion kertas di teras menyala terang, menciptakan bayangan warna-warni di dinding kayu masjid. Aisyah berlari kecil menuju lampion, matanya penuh kekaguman. “Bunda, lihat! Cantik banget!” serunya, menunjuk lampion berbentuk bintang yang berwarna merah.
Laila tersenyum, tapi matanya tertuju pada sudut masjid tempat ia dan Arif biasa salat. Di sudut itu, dekat jendela kecil yang menghadap ke sawah, mereka selalu meletakkan sajadah mereka. Arif selalu membacakan surat pendek untuk Aisyah setelah tarawih, suaranya yang lembut membuat Aisyah tertidur di pangkuannya. Kini, sudut itu kosong, hanya ditempati oleh angin malam yang masuk melalui celah-celah jendela.
Salat tarawih dimulai. Laila berdiri di barisan perempuan, Aisyah di sampingnya, mengikuti gerakan salat dengan penuh konsentrasi. Suara imam, Pak Ustadz, terdengar merdu membaca surat Al-Fajr, dan Laila merasakan air matanya perlahan mengalir. Ayat-ayat itu seolah berbicara padanya, mengingatkannya bahwa hidup ini sementara, bahwa Arif kini berada di tempat yang lebih baik. Tapi kebenaran itu tidak menghapus rasa sakit di hatinya.
Setelah tarawih selesai, warga berkumpul di teras masjid, berbagi cerita dan tawa. Aisyah bermain dengan anak-anak lain, berlarian di sekitar lampion sambil tertawa riang. Laila duduk sendirian di sudut teras, memandang putrinya dengan tatapan penuh cinta bercampur duka. Bu Fatimah mendekatinya, duduk di sampingnya dengan piring kecil berisi kue apem. “Laila, makan dulu. Ini aku bawa dari rumah,” katanya lembut.
Laila mengambil sepotong kue, menggigitnya perlahan. Rasa manis gula merah di kue itu mengingatkannya pada kue yang biasa dibuat Arif untuk Aisyah setiap Ramadhan. “Terima kasih, Bu. Aku… aku cuma belum bisa lepas dari bayang-bayang Mas Arif. Apalagi di masjid ini,” katanya, suaranya tercekat.
Bu Fatimah menggenggam tangan Laila erat-erat. “Aku tahu, Nak. Duka itu tidak akan hilang begitu saja. Tapi kamu tidak sendiri. Kami semua di sini, Laila. Aisyah juga butuh melihat ibunya kuat. Biar dia punya alasan untuk tersenyum lagi.”
Kata-kata Bu Fatimah terasa seperti pelukan hangat di tengah malam yang dingin. Laila mengangguk, air matanya jatuh perlahan. Di kejauhan, Aisyah berlari mendekat, membawa sehelai daun yang ia temukan di halaman masjid. “Bunda, ini buat Bunda! Aku tadi lihat di pohon, kayak bintang jatuh!” katanya dengan wajah penuh semangat.
Laila tersenyum, mengambil daun itu dan memeluk Aisyah erat. Di bawah sinar lampion yang berkelap-kelip, ia merasakan sedikit cahaya Ramadhan yang mulai menyelinap ke dalam hatinya, meski duka itu masih setia menemani.
Idul Fitri di Bawah Cahaya Bulan
Malam kesepuluh Ramadhan di Suka Damai membawa angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja dari pekarangan masjid. Langit malam terlihat jernih, dengan bulan sabit yang bersinar terang di antara bintang-bintang, seolah menjadi simbol harapan di tengah duka yang masih membayangi hati Laila. Di teras rumahnya, Laila duduk bersama Aisyah, menganyam daun kelapa untuk membuat ketupat, sebuah tradisi yang biasanya dilakukan bersama Mas Arif menjelang Idul Fitri. Tangan Laila bergerak perlahan, sementara Aisyah, dengan penuh semangat, mencoba meniru gerakan ibunya, meski hasilnya masih acak-acakan.
Sejak malam tarawih di masjid, Laila merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Dukungan Bu Fatimah, kehadiran warga, dan tawa Aisyah yang perlahan kembali mengisi rumah telah membawa sedikit cahaya ke dalam jiwanya yang kelam. Namun, bayang-bayang Arif masih hadir di setiap sudut—di meja makan tempat ia biasa duduk, di dinding tempat fotonya tergantung, dan di udara yang penuh kenangan. Laila tahu, kehilangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tapi ia mulai belajar hidup bersamanya.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, Laila mendengar suara riuh dari arah masjid. Ia menoleh dan melihat Pak Hadi, ketua RT, berjalan menuju rumahnya bersama beberapa warga lain, membawa nampan-nampan berisi kue nastar, kue kacang, dan beberapa potong daging kurban yang disiapkan untuk Idul Fitri yang tinggal beberapa hari lagi. “Laila, kami bantu siapin buat lebaran. Mari, kita kerjain bareng,” kata Pak Hadi dengan senyum lebar, menempatkan nampan di meja kecil di beranda.
Aisyah berlari mendekat, matanya berbinar melihat kue-kue itu. “Bunda, kita bikin kue bareng Pak Hadi, ya?” tanyanya dengan suara ceria. Laila tersenyum, mengangguk. Kehadiran warga membawa kehangatan yang selama ini hilang, dan untuk pertama kalinya sejak Arif pergi, ia merasa ada alasan untuk merayakan.
Malam itu, rumah Laila dipenuhi tawa dan aroma kue yang dipanggang. Bu Fatimah membawa panci kecil berisi rendang, sementara Hasan membantu Aisyah mengaduk adonan kue dengan serius. Laila duduk di tengah mereka, menguliti bawang untuk sambal, tangannya yang biasanya gemetar kini bergerak lebih mantap. Di sudut ruangan, foto Arif tampak tersenyum, seolah ikut menyaksikan kebersamaan itu. Laila berhenti sejenak, menatap foto itu, dan berbisik, “Mas, lihat, Aisyah bahagia lagi. Terima kasih karena pernah memberiku dia.”
Hari-hari berikutnya berlalu dengan penuh aktivitas. Warga bergotong-royong membersihkan kampung, menggambar pola kembang-kolam di halaman rumah, dan menyiapkan pakaian baru untuk anak-anak. Laila membeli kain sederhana untuk dirinya dan Aisyah, menggunakan sedikit tabungan yang ditinggalkan Arif. Ia menjahit gamis pink untuk Aisyah dengan tangan, menambahkan bordir bunga kecil di bagian lengan, mengingat betapa Aisyah menyukai bunga-bunga di gamis lamanya.
Pagi Idul Fitri tiba dengan suara takbir yang menggema dari masjid, membawa kegembiraan yang bercampur nostalgia. Laila dan Aisyah berdandan dengan pakaian baru mereka, berdiri di beranda sambil menunggu warga untuk salat Id bersama. Aisyah memakai gamis barunya, memutar-mutar badan sambil tertawa. “Bunda, aku kayak putri! Ayah pasti seneng lihat aku gini,” katanya, matanya penuh harap.
Laila memeluk Aisyah, air matanya jatuh perlahan. “Iya, Sayang. Ayah pasti bangga sama kamu,” jawabnya, suaranya lembut. Mereka berjalan menuju masjid, bergabung dengan warga yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Di masjid, salat Id berlangsung khusyuk, diakhiri dengan doa bersama untuk Arif dan semua yang telah pergi. Laila merasa damai untuk pertama kalinya, seolah doa itu menghubungkannya kembali dengan Arif.
Setelah salat, tradisi salaman dimulai. Aisyah berlari dari satu warga ke warga lain, menerima angpao kecil berisi uang logam dan ucapan selamat. Laila tersenyum, tapi hatinya terasa penuh saat ia bersalaman dengan Bu Fatimah. “Terima kasih, Bu. Kalau bukan karena kalian, aku tidak tahu bagaimana melewati ini,” katanya, suaranya bergetar.
Bu Fatimah mengusap pundak Laila dengan penuh kasih. “Kita keluarga, Laila. Arif juga bagian dari kita. Sekarang, kamu dan Aisyah bagian dari kehidupan kami.”
Malam Idul Fitri, kampung diramaikan dengan kenduri kecil di lapangan terbuka. Warga membawa hidangan—rendang, ketupat, dan kue-kue kering—berbagi dengan penuh keakraban. Laila duduk di tikar bersama Aisyah, memandang warga yang bercanda dan bernyanyi. Di langit, bulan purnama bersinar terang, menciptakan pantulan indah di sawah yang basah oleh hujan sore tadi. Aisyah bersandar di pangkuan Laila, memakan sepotong kue nastar sambil mengantuk.
“Bunda, aku seneng banget hari ini. Tapi… aku kangen Ayah,” bisik Aisyah, matanya setengah terpejam.
Laila mengelus rambut Aisyah, air matanya jatuh diam-diam. “Aku juga, Sayang. Tapi lihat, Ayah kasih kita keluarga besar ini. Dia ada di sini, dalam doa dan cinta kita,” jawabnya, menatap langit. Ia merasa Arif dekat malam itu, seolah bisikan senyumnya terdengar dalam angin sepoi-sepoi.
Di kejauhan, suara takbir Idul Fitri masih bergema, membawa harapan baru. Laila memeluk Aisyah erat, merasakan cahaya Ramadhan yang akhirnya menyelinap ke dalam hatinya. Duka itu tetap ada, tapi kebersamaan warga dan kekuatan cinta untuk Aisyah memberinya alasan untuk melangkah maju. Di bawah cahaya bulan, ia berdoa, memohon kekuatan untuk hari-hari yang akan datang, sambil mengenang Arif dengan senyum tipis yang penuh makna.
“Cahaya Ramadhan di Balik Duka” bukan hanya cerita tentang kehilangan, tetapi juga tentang kekuatan cinta, doa, dan kebersamaan yang menyala di bulan suci. Melalui perjalanan Laila, cerpen ini mengajarkan kita untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan, terutama menjelang Idul Fitri. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan emosi mendalam ini dan bagikan inspirasi kepada orang-orang tersayang.