Daftar Isi
Pernah kebayang nggak kalau di dunia ini ada seseorang yang bisa mengendalikan cahaya? Tapi, bukannya jadi pahlawan keren sejak lahir, dia malah harus menyembunyikan kekuatannya seumur hidup!
Inilah kisah Xyro, bocah yang awalnya cuma pengen hidup normal, tapi malah harus bertarung melawan makhluk kegelapan yang mau menghancurkan seluruh kota! Gimana caranya dia bisa menang? Atau… apakah cahaya kecilnya bakal padam ditelan bayangan?
Cahaya Lumina
Cahaya yang Tersembunyi
Di kota kecil bernama Lumina, sore selalu terasa hangat dengan langit jingga yang membentang luas. Penduduknya hidup damai, menjalani hari-hari tanpa banyak perubahan. Namun, tak ada yang tahu bahwa di antara mereka, ada seorang anak lelaki yang menyimpan rahasia besar—Xyro.
Xyro bukanlah anak biasa. Sejak kecil, ia menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Cahaya selalu mengikuti ke mana pun ia pergi. Saat ia sedih, lampu di sekitarnya berpendar lebih redup. Saat ia marah, kilatan cahaya melesat dari tangannya, membakar apa pun yang ada di dekatnya. Dan saat ia menyentuh seseorang yang terluka, luka itu perlahan menghilang seakan-akan waktu berbalik.
Namun, Xyro tidak pernah mengatakan ini kepada siapa pun. Ia tahu, jika penduduk kota tahu tentang kekuatannya, mereka mungkin akan menganggapnya aneh—atau lebih buruk lagi, mereka akan takut padanya.
“Hari ini cerah banget, ya.” Suara seorang gadis menyadarkannya dari lamunannya.
Di sampingnya berdiri Mira, teman masa kecilnya yang selalu ceria. Dengan rambut hitam sebahu dan mata cokelat yang berkilau, ia selalu terlihat seperti sinar matahari berjalan.
“Iya,” jawab Xyro singkat.
“Kamu kenapa? Dari tadi diem aja.” Mira menatapnya curiga.
Xyro menghela napas, melirik tangannya sendiri. “Nggak ada apa-apa.”
Mira menyipitkan mata, lalu tersenyum jahil. “Palingan kamu lagi mikirin sesuatu. Jangan-jangan kamu punya rahasia?”
Jantung Xyro berdegup kencang. Sebentar lagi matahari akan terbenam, dan seperti biasa, cahaya matahari terakhir akan terasa mengalir ke dalam tubuhnya. Itu adalah saat di mana ia paling harus berhati-hati.
“Aku nggak punya rahasia,” katanya, mencoba terdengar biasa saja.
Mira mendengus, tapi tidak memaksanya bicara. “Ya udah. Tapi kalau suatu hari nanti kamu punya cerita seru, kamu harus kasih tahu aku duluan!”
Xyro hanya tersenyum kecil.
Mereka berjalan menyusuri alun-alun kota, melewati pedagang yang mulai berkemas dan anak-anak yang masih bermain kejar-kejaran. Semuanya terlihat begitu normal. Tapi di dalam hati Xyro, ia tahu bahwa normal itu tidak akan bertahan lama.
Di kejauhan, di balik langit yang mulai gelap, ada sesuatu yang bersembunyi. Ia bisa merasakannya—sebuah kegelapan yang pelan-pelan bergerak mendekat.
Datangnya Kegelapan
Malam itu, Lumina tidak seperti biasanya. Udara terasa lebih dingin, angin bertiup lebih kencang, dan bintang-bintang yang biasanya bersinar terang tampak redup, seolah-olah takut menampakkan diri.
Xyro duduk di atap rumahnya, menatap langit yang mulai menghitam pekat. Perasaan tidak enak yang ia rasakan sejak sore semakin kuat. Ada sesuatu yang salah.
Dan benar saja.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar di langit, seperti guntur yang menggema tanpa ada kilatan petir. Awan hitam menggulung, menyebar dengan cepat, menelan cahaya bulan.
Di alun-alun kota, orang-orang mulai keluar dari rumah, kebingungan melihat langit yang berubah begitu drastis. Beberapa berbisik cemas, sementara yang lain hanya bisa menatap kosong ke atas.
“Apa yang terjadi?” Mira berdiri di tengah jalan, menatap langit dengan dahi berkerut.
Xyro turun dari atap dan berlari ke arahnya. “Aku juga nggak tahu. Tapi ini bukan hujan badai biasa.”
Tiba-tiba, sebuah suara berat menggema di seluruh kota, seperti bisikan ribuan suara sekaligus.
“Akhirnya… aku sampai.”
Tanah bergetar, lampu-lampu jalan mulai berkedip dan padam satu per satu. Orang-orang menjerit dan berlari mencari tempat berlindung.
Dari dalam bayangan yang menyelimuti kota, sosok tinggi dengan sayap hitam lebar perlahan muncul. Matanya bersinar merah menyala, dan di sekelilingnya, udara terasa semakin dingin.
Xyro menelan ludah. Ia tahu siapa ini.
Umbrax.
Makhluk kegelapan yang selama ini hanya ia dengar dari legenda tua yang diceritakan orang-orang tua di Lumina. Konon, Umbrax adalah entitas yang membenci cahaya, dan di mana pun ia muncul, kegelapan akan mengambil alih segalanya.
Mira merapat ke Xyro, suaranya bergetar. “Xyro… apa itu?”
Umbrax mengangkat satu tangannya, dan bayangan hitam mulai merayap di tanah, menelan apa saja yang dilewatinya—tanaman layu, dinding rumah membusuk, dan udara menjadi semakin sulit dihirup.
Penduduk yang tadinya hanya ketakutan kini berubah panik. Mereka berlarian, menjerit, berusaha menghindari bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup.
Xyro mengepalkan tangan. Ia bisa merasakan tubuhnya bereaksi, cahaya di dalam dirinya berdenyut, ingin keluar. Tapi ini terlalu cepat. Ia belum siap.
Umbrax menoleh ke arahnya, seolah merasakan sesuatu. Ia menyeringai, lalu berbicara dengan suara yang dalam dan menggetarkan tanah.
“Kau… Aku bisa mencium cahaya di dalam dirimu.”
Xyro tersentak. Ia merasa seperti tenggelam dalam tatapan Umbrax.
“Menarik. Tapi kau tidak akan bisa menghentikanku.”
Dalam sekejap, Umbrax mengayunkan tangannya. Bayangan hitam melesat ke arah Xyro seperti tombak.
Xyro hanya punya satu pilihan.
Ia harus bertarung.
Terang dalam Kegelapan
Bayangan hitam melesat cepat menuju Xyro. Udara di sekelilingnya terasa menekan, seakan seluruh dunia menyusut di antara kegelapan itu.
Xyro melompat ke samping, nyaris terjatuh saat bayangan tajam menghantam tanah tempatnya berdiri. Permukaan batu yang terkena serangan itu langsung retak dan menghitam, seolah-olah dirusak oleh waktu dalam sekejap.
Orang-orang menjerit ketakutan, berhamburan mencari perlindungan. Mira berusaha menarik Xyro menjauh. “Xyro! Kita harus pergi dari sini!”
Tapi Xyro tidak bisa. Tubuhnya gemetar bukan karena takut, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai bangkit. Cahaya. Ia bisa merasakannya.
Umbrax tertawa rendah. “Lihat dirimu. Kau bahkan tidak bisa melindungi temanmu.”
Xyro mengepalkan tangan. Ia ingin melawan, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Seumur hidup, ia selalu menahan kekuatannya agar tidak terlihat. Sekarang, ketika saatnya tiba, ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Umbrax mengangkat tangannya lagi. “Berakhir sudah.”
Gelombang bayangan hitam yang lebih besar terbentuk di atasnya, berputar-putar seperti pusaran badai. Jika serangan ini dilepaskan, bukan hanya dirinya—seluruh kota bisa hancur.
Mira menatap Xyro dengan mata penuh ketakutan. “Xyro… lakukan sesuatu!”
Xyro menarik napas dalam-dalam. Ia harus percaya pada dirinya sendiri. Jika kegelapan bisa menyebar, maka cahaya juga bisa.
Tangan Xyro mulai bersinar perlahan. Awalnya hanya percikan, lalu semakin terang, membentuk pola cahaya di lengannya. Sensasi hangat menyelimuti tubuhnya, berbeda dengan dinginnya malam yang diciptakan Umbrax.
Umbrax menyipitkan mata. “Oh? Jadi kau memang istimewa.”
Xyro tidak menjawab. Ia hanya fokus. Cahaya dari tubuhnya semakin membesar, menyebar seperti gelombang hangat ke seluruh alun-alun kota. Bayangan yang semula bergerak liar di tanah perlahan memudar.
Umbrax mendengus. “Cahaya tidak akan cukup untuk mengalahkanku.”
Ia melontarkan serangan.
Tapi kali ini, Xyro siap.
Dengan satu gerakan cepat, ia mengangkat tangannya, dan cahaya meledak dari telapak tangannya seperti kilatan petir.
Serangan Umbrax berhenti di udara. Untuk pertama kalinya, makhluk kegelapan itu terlihat terganggu.
Xyro menatap tangannya, terkejut sekaligus lega. Ia bisa melawan.
Mira, yang berdiri di belakangnya, menatapnya dengan mata terbelalak. “Xyro… kamu…?”
Xyro menoleh, sedikit tersenyum. “Aku nggak akan lari lagi.”
Cahaya di tubuhnya semakin terang, seolah merespons tekadnya. Umbrax menatapnya tajam, lalu tersenyum dingin.
“Menarik,” katanya. “Mari kita lihat seberapa jauh cahaya itu bisa bertahan.”
Pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.
Cahaya Lumina
Umbrax melayang di udara, sayap hitamnya mengepak pelan, memancarkan bayangan pekat yang seolah mencoba menelan seluruh kota. Namun, Xyro tidak mundur. Cahaya di tubuhnya semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang siap meledak.
Kegelapan dan cahaya saling berhadapan di tengah alun-alun kota yang hancur. Penduduk yang bersembunyi di balik reruntuhan menatap dengan mata penuh harapan dan ketakutan.
Umbrax mengangkat tangannya. “Lihat sekelilingmu, Xyro. Kegelapan selalu lebih kuat. Cahaya hanya bertahan sebentar sebelum lenyap.”
Xyro mengepalkan tangan. “Bukan tentang seberapa lama cahaya bertahan. Tapi seberapa besar cahaya bisa mengubah sesuatu.”
Tanpa menunggu lebih lama, Umbrax menyerang lebih dulu. Gelombang bayangan mengalir deras seperti badai, menyapu tanah, merobohkan bangunan yang tersisa. Xyro berdiri tegak, lalu melompat ke udara, menghindari serangan itu. Saat tubuhnya berputar di udara, ia mengumpulkan cahaya di kedua tangannya, membentuk bola terang yang berkilauan.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan Lumina.”
Dengan dorongan penuh, Xyro melemparkan bola cahaya itu ke arah Umbrax.
Ledakan terang memenuhi langit. Umbrax meraung kesakitan, sayapnya bergetar saat cahaya mulai membakar tubuhnya. Ia mencoba melawan, tapi semakin kuat ia berusaha, semakin banyak cahaya yang mengelilinginya.
Xyro melayang di udara, matanya memancarkan cahaya keemasan. Ia tahu ini kesempatan terakhirnya. Dengan seluruh kekuatan yang ia miliki, ia melesat ke depan, menembus badai bayangan, dan meninju tepat ke dada Umbrax.
Gelombang cahaya meledak dari tubuhnya, menyapu seluruh kota.
Umbrax menjerit keras. Tubuhnya mulai retak, bayangan yang melilit Lumina perlahan menghilang. “T-Tidak… ini tidak mungkin…”
Xyro menatapnya dengan mata tajam. “Kegelapan mungkin selalu ada, tapi selama masih ada satu cahaya, kegelapan tidak akan pernah menang.”
Dengan satu kilatan terakhir, tubuh Umbrax meledak menjadi serpihan bayangan yang menghilang bersama angin. Langit kembali bersih, bintang-bintang muncul lagi, dan bulan bersinar terang, seolah menyaksikan kemenangan itu.
Xyro jatuh ke tanah, terengah-engah. Tubuhnya masih memancarkan cahaya redup, tetapi ia bisa merasakan kekuatannya melemah setelah pertarungan itu.
Mira berlari ke arahnya. “Xyro! Kamu nggak apa-apa?”
Xyro tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja.”
Penduduk kota mulai keluar dari persembunyian, menatap Xyro dengan takjub. Bisikan-bisikan kekaguman terdengar di antara mereka.
“Dia menyelamatkan kita…”
“Dia pahlawan…”
“Dia Cahaya Lumina!”
Xyro menghela napas, menatap kota yang perlahan kembali hidup. Ia tidak pernah ingin menjadi pusat perhatian, tetapi malam ini, ia tidak bisa menyangkal satu hal—ia memang berbeda. Dan untuk pertama kalinya, ia bangga akan hal itu.
Mira menepuk pundaknya. “Jadi, gimana rasanya jadi pahlawan?”
Xyro tertawa kecil. “Melelahkan.”
Mereka berdua tertawa, sementara angin malam berhembus lembut.
Lumina kembali damai. Untuk saat ini.
Dan Xyro tahu, jika kegelapan datang lagi, ia akan selalu siap berdiri sebagai cahaya di tengahnya.
Dan begitulah, Xyro—anak biasa yang ternyata nggak biasa—berhasil menyelamatkan Lumina. Tapi, apakah itu akhir dari segalanya? Siapa yang tahu? Karena satu hal yang pasti, di mana ada cahaya, kegelapan pasti bakal datang lagi. Dan kalau itu terjadi… well, Xyro pasti udah siap buat bertarung lagi!