Cahaya di Ujung Kesunyian: Kisah Kebaikan di Sekolah

Posted on

Jelajahi kisah menyentuh hati dalam cerpen Cahaya di Ujung Kesunyian: Kisah Kebaikan di Sekolah, yang menggambarkan perjuangan Rina dan Adi dalam menghadapi kesulitan hidup dan kesalahpahaman di sekolah. Cerita ini penuh emosi dan nilai moral seperti kebaikan, empati, dan solidaritas, menawarkan inspirasi bagi pembaca dari segala usia. Temukan bagaimana Rina menyalakan cahaya harapan untuk Adi di tengah kegelapan!

Cahaya di Ujung Kesunyian

Bayang di Balik Tawa

Di sebuah desa kecil bernama Sumber Rejeki, berdiri SMA Nusantara, sekolah sederhana dengan dinding beton yang sudah retak di beberapa bagian dan atap seng yang kadang berderit saat angin malam berhembus. Sekolah ini adalah harapan bagi anak-anak desa, tempat di mana mereka bermimpi melangkah keluar dari keterbatasan. Pagi itu, udara segar bercampur aroma tanah basah menyapa para siswa yang berdatangan, membawa tas usang dan senyum penuh harap.

Di antara kerumunan, ada seorang gadis bernama Rina, siswi kelas dua yang dikenal dengan rambut pendek berwarna cokelat dan mata besar yang selalu bersinar penuh semangat. Rina bukan tipe siswa yang menonjol—nilainya cukup baik, tapi ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan kecil sekolah, membaca buku-buku tua yang sudah menguning. Di balik sikapnya yang ceria, Rina menyimpan luka yang ia sembunyikan dari semua orang. Ayahnya meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan kerja di sawah, meninggalkan Rina dan ibunya dengan utang kecil yang belum lunas. Setiap hari, ia membantu ibunya menjahit baju di malam hari, hanya agar mereka bisa bertahan.

Pagi itu, Rina berjalan ke sekolah dengan langkah ringan, meski hatinya terasa berat. Ia baru saja mendengar kabar dari ibunya bahwa utang mereka bertambah karena biaya pengobatan neneknya yang sakit. Tapi Rina berusaha tersenyum, seperti biasa, percaya bahwa sekolah adalah tempat di mana ia bisa melupakan beban sejenak. Saat memasuki kelas 2A, ia disambut tawa teman-temannya yang sedang bercanda tentang ujian mendadak kemarin. Di sudut kelas, ada seorang anak laki-laki bernama Adi, yang duduk sendirian dengan wajah murung. Adi, dengan rambut acak-acakan dan seragam yang sedikit kusut, selalu menjadi sasaran ejekan karena sifatnya yang pendiam dan sikapnya yang sering terlihat cuek.

Rina memperhatikan Adi dari kejauhan. Ia pernah mendengar desas-desus bahwa Adi sering pulang larut karena membantu ayahnya di warung makan kecil, tapi ia tak pernah benar-benar tahu cerita lengkapnya. Saat bel masuk berbunyi, Bu Sari, guru bahasa Indonesia yang tegas tapi baik hati, memasuki kelas dengan buku tebal di tangannya. “Hari ini kita akan membahas puisi tentang kebaikan,” katanya dengan suara yang lembut namun penuh otoritas. “Saya ingin kalian merenung, apa arti kebaikan bagi kalian.”

Kelas langsung riuh dengan jawaban-jawaban sederhana. “Bantu temen, Bu!” teriak seorang siswa bernama Budi. “Kasih makan orang miskin!” tambah yang lain. Rina hanya tersenyum kecil, pikirannya melayang ke Adi. Ia bertanya-tanya, apakah Adi pernah merasakan kebaikan dari orang lain, mengingat ia selalu terlihat kesepian.

Setelah pelajaran selesai, Rina memutuskan untuk mendekati Adi. Ia berjalan perlahan menuju bangku Adi, yang masih menunduk menulis sesuatu di buku catatannya. “Adi, kamu baik-baik aja?” tanya Rina dengan nada lembut, mencoba memecah keheningan.

Adi mengangkat kepala, matanya yang cokelat tua tampak lelah. “Gak apa-apa,” jawabnya singkat, tapi suaranya terdengar bergetar. Ia segera menutup bukunya dan berdiri, seolah ingin menghindari percakapan lebih lanjut. Rina memperhatikan buku itu—ada noda tinta dan coretan kecil yang tampak seperti puisi setengah jadi. Tapi sebelum ia bisa bertanya lagi, Adi sudah berjalan keluar kelas, meninggalkan Rina dengan perasaan tak enak di hati.

Hari itu, Rina tak bisa fokus pada pelajaran. Pikirannya terus kembali ke Adi. Ia mulai menyadari bahwa di balik tawa teman-temannya, ada bayang kesunyian yang menyelimuti Adi. Di sela-sela istirahat, ia mendengar Budi dan beberapa teman lain mengolok-olok Adi. “Pasti dia gak punya temen karena sok pinter,” kata Budi sambil tertawa. Rina merasa dadaanya sesak. Ia ingin membela Adi, tapi ia juga takut menjadi sasaran ejekan. Namun, sebuah suara kecil di dalam hatinya mendorongnya untuk bertindak—mungkin ini saatnya ia menunjukkan kebaikan, seperti yang dibahas Bu Sari tadi.

Sore itu, saat hujan mulai turun membasahi halaman sekolah, Rina memutuskan untuk mencari Adi. Ia melihat anak itu berdiri di bawah pohon rindang di sudut lapangan, menatap hujan dengan ekspresi kosong. Rina mengambil payung tua dari tasnya dan berjalan mendekat. “Adi, sini, pakai payung ini. Jangan sampe sakit,” katanya sambil menawarkan payung.

Adi menoleh, terkejut. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap Rina, seolah tak percaya ada yang peduli. Akhirnya, ia mengangguk kecil dan menerima payung itu. “Makasih, Rina,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Rina tersenyum, tapi di dalam hatinya, ia tahu ini baru permulaan. Ada sesuatu tentang Adi yang membuatnya ingin menggali lebih dalam—sesuatu yang mungkin akan mengubah cara ia memandang sekolah, teman-temannya, dan bahkan dirinya sendiri.

Malam itu, saat Rina membantu ibunya menjahit di bawah lampu redup, ia tak bisa berhenti memikirkan Adi. Hujan di luar semakin deras, seolah mencerminkan badai kecil yang mulai terasa di hatinya. Ia merasa ada lentera kebaikan yang mulai menyala, tapi ia juga tahu perjalanan ini akan penuh tantangan. Besok, ia bertekad untuk mendekati Adi lagi, mencari tahu apa yang tersembunyi di balik kesunyiannya, dan mungkin, menjadi cahaya di ujung kegelapan yang ia hadapi.

Jejak di Balik Hujan

Pagi itu, langit Sumber Rejeki masih tertutup awan tebal, menyisakan genangan air dari hujan semalam. Jam menunjukkan 09:15 WIB saat Rina melangkah masuk ke halaman SMA Nusantara. Udara dingin menyelinap melalui seragamnya yang tipis, tapi hatinya terasa hangat setelah kejadian kemarin sore. Memberikan payung pada Adi bukanlah tindakan besar, tapi tatapan terima kasih di mata Adi membuat Rina merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia bertekad untuk mendekati Adi lagi hari ini, mencari tahu apa yang tersembunyi di balik kesunyiannya.

Di kelas 2A, suasana pagi terasa biasa. Teman-teman Rina sibuk mengobrol tentang ujian berikutnya, sementara Bu Sari menyiapkan papan tulis untuk pelajaran bahasa Indonesia. Rina melirik ke arah Adi, yang duduk di sudut seperti biasa. Kali ini, Adi tampak sedikit berbeda—buku catatannya terbuka, dan ia menulis dengan konsentrasi penuh, meski tangannya sesekali bergetar. Rina memutuskan untuk mendekatinya saat istirahat. Ia tak ingin terburu-buru, takut Adi akan menutup diri lagi.

Pelajaran berlangsung dengan ritme yang tenang. Bu Sari membacakan puisi karya seorang penyair lokal tentang kehilangan, dan suaranya yang lembut menggema di kelas. Rina merasa kata-kata itu menyentuh hatinya, terutama baris yang berbunyi, “Di kegelapan, kebaikan adalah cahaya yang tak pernah padam.” Ia melirik Adi lagi, dan untuk sesaat, ia melihat mata anak itu berkaca-kaca sebelum cepat-cepat diusap dengan lengan baju.

Saat bel istirahat berbunyi, Rina mengumpulkan keberanian. Ia mengambil botol air dan berjalan ke arah Adi, yang kini berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong. “Adi, ini air buat kamu. Kelihatannya kamu capek banget,” kata Rina sambil tersenyum ramah.

Adi menoleh, terkejut, tapi kali ini ia tak langsung menjauh. Ia menerima botol itu dengan tangan yang sedikit gemetar dan berkata, “Makasih, Rina. Kamu… kamu baik banget.” Nada suaranya penuh keraguan, seolah ia tak terbiasa menerima perhatian.

Rina duduk di bangku kosong di samping Adi, mencoba menciptakan suasana nyaman. “Gak apa-apa. Aku cuma pengen kamu tahu, aku seneng bisa temenin kamu. Kamu kelihatan sedih akhir-akhir ini. Ada apa?”

Adi menunduk, jari-jarinya memainkan tutup botol air. Untuk beberapa saat, ia diam, dan Rina hampir menyesal bertanya. Tapi kemudian, Adi menghela napas panjang dan mulai berbicara. “Aku… aku gak biasa cerita. Tapi… rumahku lagi berantakan. Ayahku sakit, warung makannya tutup, dan aku harus bantu ibu cari duit. Malem kemarin, aku pulang jam dua pagi karena bantu tetangga angkut beras. Makanya aku capek.”

Rina merasa dadanya sesak mendengar itu. Ia membayangkan Adi berjalan sendirian di kegelapan malam, dengan beban yang seharusnya tak dipikul oleh seorang remaja. “Kenapa kamu gak bilang ke guru atau temen? Kita bisa bantu,” kata Rina lembut.

Adi menggeleng keras. “Gak mau. Aku gak mau orang kasihan. Lagipula, temen-temen cuma ketawa. Mereka bilang aku aneh karena gak ikut main sama mereka. Aku gak punya waktu buat main, Rina. Aku cuma pengen lulus, biar bisa bantu keluarga.”

Rina menatap Adi, dan untuk pertama kalinya, ia melihat luka yang dalam di balik sikap cueknya. Ia ingin berkata lebih banyak, tapi bel masuk memotong percakapan mereka. Adi berdiri dan berbisik, “Makasih ya, Rina. Jangan bilang ke siapa-siapa, ya?” Rina mengangguk, tapi di hatinya, ia tahu ia tak bisa diam saja.

Siang itu, Rina pulang ke rumah dengan langkah berat. Rumahnya yang sederhana terasa lebih sunyi, dengan ibunya yang sedang menjahit di sudut ruangan, wajahnya penuh kerutan karena lelah. Rina duduk di samping ibunya dan menceritakan sedikit tentang Adi, tanpa menyebut nama. “Bu, kalau ada orang yang susah tapi gak mau cerita, apa yang harus kita lakuin?” tanya Rina.

Ibu Rina berhenti menjahit, menatap putrinya dengan mata penuh kebijaksanaan. “Kamu gak bisa memaksa, Nak. Tapi kamu bisa tunjukin kebaikan kecil. Kadang, itu cukup buat bikin orang percaya lagi sama dunia. Coba bantu dengan cara yang gak bikin dia malu.”

Kata-kata ibunya menggema di pikiran Rina sepanjang malam. Di bawah lampu minyak yang redup, ia menjahit sebuah kantong kecil dari sisa kain, berencana mengisinya dengan roti untuk Adi besok. Ia juga memikirkan cara untuk membantu Adi tanpa membuatnya merasa dipermalukan. Mungkin, ia bisa mengajak teman-teman lain untuk ikut peduli, tapi ia tahu itu tak akan mudah—banyak di antara mereka yang masih mengolok-olok Adi.

Keesokan paginya, Rina bangun lebih awal, memasukkan roti buatan ibunya ke dalam kantong kain itu. Ia berjalan ke sekolah dengan hati penuh harap, tapi juga cemas. Di perjalanan, ia bertemu Budi, yang tampak tergesa-gesa. “Rina, kamu tahu gak, kemarin Adi ketahuan tidur di kelas pas pelajaran. Bu Sari marah banget!” kata Budi sambil tertawa.

Rina merasa darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. “Budi, Adi gak tidur cuma buat main-main. Dia capek karena bantu keluarganya. Kita gak tahu perjuangan orang lain, lho,” katanya tegas.

Budi terdiam, tampak terkejut dengan nada Rina. “Oh… aku gak tahu. Maaf ya,” katanya pelan sebelum berlari menuju kelas. Rina menghela napas, berharap kata-katanya bisa sedikit mengubah cara Budi memandang Adi. Saat ia sampai di kelas, ia melihat Adi duduk dengan wajah pucat, mungkin akibat kemarahan Bu Sari kemarin. Rina mendekat dan menyerahkan kantong kain itu. “Ini buat kamu. Jangan bilang ke siapa-siapa, ya? Aku cuma pengen kamu gak kelaparan,” bisiknya.

Adi membuka kantong itu perlahan, matanya melebar saat melihat roti hangat di dalamnya. “Rina… kenapa kamu baik gini?” tanyanya, suaranya penuh keheranan.

“Karena aku lihat kamu hebat, Adi. Kamu berjuang sendirian, dan itu gak gampang,” jawab Rina dengan senyum tulus.

Hujan kembali turun di luar, tapi di dalam kelas, ada secercah cahaya yang mulai menyelinap—cahaya dari kebaikan kecil yang Rina tunjukkan. Ia tahu perjalanan ini belum selesai. Ada teman-teman yang harus diyakinkan, guru yang harus dihadapi, dan mungkin rahasia Adi yang lebih dalam yang belum terungkap. Tapi Rina merasa, dengan setiap langkah kecil, ia sedang menyalakan lentera untuk Adi, dan mungkin juga untuk dirinya sendiri.

Menyusuri Kegelapan Bersama

Langit Sumber Rejeki pagi itu cerah, dengan sinar matahari lembut yang menyelinap melalui celah-celah jendela SMA Nusantara. Namun, di kelas 2A, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Rina tiba di sekolah sekitar pukul 07:30 WIB, membawa tasnya yang sedikit berat karena ia menyisipkan beberapa buah apel untuk Adi. Setelah kebaikan kecilnya kemarin dengan memberikan roti, Rina merasa Adi mulai sedikit membuka diri. Namun, ia tahu perjalanan untuk membantu Adi benar-benar diterima oleh teman-teman sekelas masih panjang.

Saat memasuki kelas, Rina melihat Adi duduk di bangkunya, kali ini dengan buku catatan yang terbuka lebar. Ia menulis dengan cepat, seolah tak ingin ada yang melihat. Rina mendekat perlahan dan menyapa, “Pagi, Adi. Aku bawa apel nih, kamu suka, kan?” Ia meletakkan dua buah apel merah di meja Adi, berharap bisa melihat senyum kecil di wajah anak itu.

Adi mengangkat kepala, matanya yang lelah tampak sedikit berbinar. “Pagi, Rina. Makasih… kamu gak perlu repot gini, kok,” katanya dengan suara pelan, tapi ada kehangatan di nadanya. Ia mengambil salah satu apel dan memandanginya sejenak sebelum menyimpannya di tas. “Aku bakal makan nanti. Aku… aku gak mau temen-temen lihat.”

Rina mengangguk, memahami keinginan Adi untuk menjaga privasi. Ia duduk di bangku depan Adi, berusaha mencari cara untuk membuka percakapan lebih lanjut. “Adi, kemarin aku dengar Bu Sari marah karena kamu ketiduran di kelas. Apa yang terjadi?”

Adi menunduk, wajahnya kembali muram. “Iya… aku gak sengaja. Aku pulang larut lagi malam itu, bantu tetangga beresin warung. Aku capek banget, Rina. Pas pelajaran Bu Sari, aku gak tahan, aku ketiduran. Bu Sari bilang aku gak menghargai pelajaran.”

Rina merasa hatinya terenyuh. Ia tahu Adi bukan siswa yang malas—ia hanya terjebak dalam situasi yang tak memberinya pilihan. “Adi, aku pikir kita harus ceritain ke Bu Sari. Dia baik, kok. Kalau dia tahu kamu lagi susah, pasti dia ngerti.”

Adi menggeleng keras, wajahnya penuh ketakutan. “Jangan, Rina. Aku gak mau Bu Sari kasihan. Aku gak mau jadi beban orang lain.”

Rina ingin membujuk lebih lanjut, tapi pelajaran dimulai. Bu Sari masuk dengan wajah yang sedikit tegang, membawa setumpuk kertas ulangan yang sudah diperiksa. “Hari ini kita akan membahas hasil ulangan minggu lalu,” katanya dengan nada serius. “Beberapa dari kalian harus lebih serius belajar.” Matanya melirik ke arah Adi, dan Rina bisa melihat Adi semakin menunduk, seolah ingin menghilang dari pandangan.

Saat kertas ulangan dibagikan, Rina melihat nilai Adi—50, jauh di bawah rata-rata kelas. Bu Sari memanggil Adi ke depan kelas. “Adi, nilai kamu menurun drastis. Apa yang terjadi? Kamu terlihat tidak fokus akhir-akhir ini,” tanya Bu Sari dengan nada yang tegas tapi penuh perhatian.

Adi berdiri dengan kepala tertunduk, tangannya memegang erat kertas ulangan. “Maaf, Bu… saya… saya gak bisa fokus,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Beberapa siswa di belakang mulai berbisik, dan Rina mendengar Budi berkata dengan nada sinis, “Pasti males belajar.”

Rina tak bisa menahan diri lagi. Ia berdiri dari bangkunya dan berkata dengan suara lantang, “Bu, boleh saya bicara? Ini bukan salah Adi sepenuhnya. Dia… dia lagi susah di rumah. Dia kerja sampe larut malem buat bantu keluarganya, makanya dia capek dan gak bisa fokus.”

Kelas tiba-tiba hening. Bu Sari menatap Rina dengan ekspresi terkejut, lalu beralih ke Adi. “Adi, apa ini benar?” tanyanya, suaranya kini lebih lembut.

Adi mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Iya, Bu. Ayah saya sakit, dan saya harus bantu ibu cari uang. Saya gak bilang karena… karena saya gak mau orang kasihan.”

Bu Sari menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan penyesalan. “Adi, kenapa kamu tidak bilang dari awal? Saya bisa bantu, setidaknya memberi keringanan tugas. Kamu tidak perlu menanggung ini sendirian.” Ia menoleh ke seluruh kelas. “Dan kalian, saya harap kalian belajar dari ini. Jangan cepat menilai teman kalian. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka hadapi.”

Beberapa siswa, termasuk Budi, menunduk, merasa bersalah. Rina merasa lega, tapi ia juga tahu ini belum selesai. Meski Bu Sari kini memahami situasi Adi, teman-teman sekelas masih perlu diyakinkan untuk berhenti mengolok-olok Adi. Ia melirik Adi, yang kini duduk kembali dengan wajah sedikit lebih tenang, meski matanya masih merah.

Setelah pelajaran selesai, Rina mendekati Adi lagi. “Adi, aku minta maaf kalau tadi bikin kamu malu. Aku cuma gak mau kamu disalahin terus,” katanya dengan nada penuh penyesalan.

Adi menggeleng, senyum kecil muncul di wajahnya untuk pertama kalinya. “Gak apa-apa, Rina. Makasih… makasih udah bela aku. Aku gak nyangka ada yang peduli.”

Sore itu, saat Rina berjalan pulang, ia merasa ada beban yang terangkat dari hatinya. Tapi ia juga tahu, perjalanan ini belum selesai. Ia harus mencari cara agar teman-teman sekelasnya benar-benar menerima Adi, bukan hanya karena merasa bersalah, tapi karena mereka memahami nilai kebaikan dan empati. Di kejauhan, ia melihat awan mulai mengumpul lagi, tanda hujan akan turun. Tapi di hatinya, Rina merasa ada cahaya kecil yang semakin terang—cahaya yang ia harap bisa menerangi kegelapan yang Adi hadapi.

Lentera yang Menyala

Pagi ini, 09:18 WIB, Jumat, 23 Mei 2025, udara di Sumber Rejeki terasa segar setelah hujan semalam. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, menyelinap melalui jendela-jendela SMA Nusantara, menciptakan pantulan cahaya lembut di lantai kelas 2A. Rina tiba di sekolah dengan hati yang bercampur harap dan cemas. Setelah keberaniannya membela Adi di depan Bu Sari kemarin, ia merasa ada perubahan kecil di kelas—bisik-bisik ejekan mulai berkurang, meski pandangan teman-teman terhadap Adi belum sepenuhnya hangat. Rina tahu, untuk benar-benar mengubah suasana, ia harus melakukan sesuatu yang lebih besar.

Di dalam kelas, Adi duduk di bangkunya seperti biasa, tapi kali ini ia tampak sedikit lebih rileks. Setelah apel dan roti yang diberikan Rina, Adi mulai membalas senyum kecil setiap kali mereka bertemu. Rina mendekatinya dengan ide yang telah matang di pikirannya semalam. “Adi, aku punya rencana. Aku mau ajak temen-temen bikin proyek bareng—cerita atau gambar tentang kebaikan yang pernah kita lihat. Aku pikir ini bisa bikin mereka ngerti kamu, dan kita semua bisa saling dekat. Kamu ikut, kan?”

Adi memandang Rina dengan mata penuh keraguan, tapi ada secercah harapan di wajahnya. “Aku… aku gak pandai ngomong di depan. Tapi kalau kamu yakin, aku coba,” katanya pelan.

Rina tersenyum lebar. Ia segera mengumumkan rencananya kepada Bu Sari, yang dengan senang hati menyetujui. “Bagus sekali, Rina. Ini bisa jadi pelajaran berharga untuk kalian semua,” kata Bu Sari. Dengan bantuan Bu Sari, Rina dan Adi mulai mempersiapkan proyek itu, mengumpulkan kertas, pensil warna, dan buku catatan dari perpustakaan sekolah.

Hari pelaksanaan proyek tiba. Kelas 2A dihias sederhana dengan karya-karya siswa yang ditempel di dinding—ada puisi tentang bantuan tetangga saat banjir, gambar tentang ibu yang bekerja keras, dan cerita pendek tentang persahabatan. Rina meminta Adi menjadi yang terakhir presentasi, memberinya waktu untuk mempersiapkan diri. Satu per satu, siswa maju, dan suasana kelas dipenuhi tawa, air mata, dan kekaguman.

Saat giliran Adi, suasana menjadi tegang. Rina berdiri di sampingnya, memberikan dukungan. Adi mengangkat selembar kertas yang ia gambar semalaman—gambar seorang anak kecil berdiri di depan warung sederhana, memegang lentera kecil di tangannya. “Ini… ini aku waktu kecil,” katanya dengan suara gemetar. “Aku suka bantu ayah di warung, nyalain lentera pas malam datang. Tapi sekarang, ayah sakit, warung tutup, dan aku cuma pengen bantu keluarga. Aku gak tidur di kelas sengaja, aku cuma capek. Makasih, Rina, karena bikin aku percaya lagi sama kebaikan.”

Kelas hening. Air mata menggenang di mata beberapa siswa, termasuk Budi, yang kini menunduk dengan wajah penuh penyesalan. Tiba-tiba, Budi berdiri dan berkata, “Adi, maaf ya. Aku gak tahu kamu lagi susah. Aku janji gak bakal olok-olok lagi.” Siswa lain ikut bertepuk tangan, dan untuk pertama kalinya, Adi tersenyum lebar, meski matanya basah.

Bu Sari mendekati Adi dan Rina setelah presentasi selesai. “Adi, saya bangga dengan ketabahanmu. Dan Rina, inisiatifmu luar biasa. Mulai sekarang, saya akan beri kamu keringanan tugas, Adi, sampai situasimu membaik. Kalian semua, pelajari ini—kebaikan bisa mengubah segalanya,” katanya dengan suara penuh emosi.

Malam itu, Rina duduk di beranda rumahnya, menatap langit penuh bintang. Ia memikirkan perjalanan yang ia lalui—dari seorang gadis yang hanya ingin melupakkan beban dengan membaca, menjadi seseorang yang menyalakan lentera kebaikan untuk Adi. Ia juga memikirkan Adi, yang kini mulai diterima oleh teman-temannya, dan ibunya, yang tersenyum lega saat Rina menceritakan hari itu.

Di kejauhan, suara jangkrik malam bercampur dengan deru mesin jahit ibunya. Rina mengambil buku catatannya dan mulai menulis puisi kecil—tentang lentera yang menyala di kegelapan, tentang kebaikan yang tumbuh dari hati. Ia tahu, meski hidupnya masih penuh tantangan, cahaya itu akan terus menyala, tidak hanya untuk Adi, tapi untuk semua yang membutuhkannya di Sumber Rejeki.

Cahaya di Ujung Kesunyian bukan hanya cerita indah, tetapi juga cermin nyata tentang kekuatan kebaikan dan empati dalam mengubah kehidupan, terutama di lingkungan sekolah. Cerpen ini mengajak kita untuk lebih peka terhadap perjuangan orang lain dan menjadi sumber inspirasi untuk menjalani hari dengan hati terbuka. Jangan lewatkan kisah ini yang akan menyentuh jiwa Anda dan membawa pelajaran berharga!

Leave a Reply