Cahaya di Ujung Jalan: Kisah Haru Anak Yatim Piatu

Posted on

Hai, guys! Pernah nggak sih kalian ngerasa hidup ini kayak roller coaster, penuh liku dan terjun bebas? Cerita ini tentang dua sahabat, Liora dan Asya, yang sama-sama anak yatim piatu. Mereka berjuang bareng menghadapi dunia yang kadang kejam. Dari tawa hingga air mata, siap-siap baper dan belajar tentang arti sejati dari harapan dan persahabatan!

 

Cahaya di Ujung Jalan

Langit yang Kosong

Hari itu seharusnya cerah, tetapi tidak bagi Liora. Dia duduk di tepi jendela kamarnya di Panti Asuhan “Cahaya Bunda,” menatap langit yang mulai kelabu. Sejak ia berusia tiga tahun, langit selalu menjadi teman sepinya. Sekarang, di usianya yang ke sepuluh, langit senja tidak lagi memancarkan kehangatan. Sebaliknya, langit itu mengingatkannya pada kosongnya hidup yang ia jalani, seolah-olah tidak ada harapan yang bisa ia gapai.

Dengan kedua kaki menggantung di luar jendela, Liora merasa seolah dunia di luar itu jauh, sangat jauh. Mungkin, jika dia bisa terbang ke sana, dia bisa melupakan semua yang menyakitkan. Sejak kehilangan ibunya, tidak ada yang lebih menyedihkan baginya selain melihat langit tak berwarna. Hanya warna abu-abu yang menemani harinya.

“Li, kamu di mana?” suara Asya memecah keheningan. Gadis itu muncul dari arah pintu, senyumnya selalu mampu memberikan sedikit cahaya di hari-hari suram Liora.

“Di sini,” jawab Liora tanpa mengalihkan pandangannya dari langit. “Lihat, senja ini jelek banget, ya?”

Asya mendekat dan berdiri di sampingnya. “Enggak juga. Justru ada keindahan dalam kegelapan,” katanya, berusaha optimis. “Kamu cuma perlu melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.”

Liora menoleh, sedikit tersenyum, meskipun tidak sepenuh hati. “Mungkin. Tapi aku lebih suka melihat bintang daripada langit kelabu kayak gini.”

“Bintang? Hmm… Bintang-bintang itu seperti kita, Li. Meski kadang kita terlihat hilang, tapi kita tetap ada di sana, di langit yang sama,” Asya berusaha menghibur.

“Entahlah, Asya. Rasanya semuanya semakin hilang,” ujar Liora. Ia bisa merasakan perasaan hampa itu semakin menggerogoti dirinya. “Kamu tahu, aku kangen sama Mama.”

Asya terdiam sejenak, menyadari betapa beratnya perasaan yang sedang dihadapi sahabatnya. “Aku juga kangen sama keluargaku,” katanya pelan. “Tapi kita punya satu sama lain. Kita bisa jadi keluarga.”

Liora melihat Asya dengan mata berbinar. “Keluarga? Rasanya aneh, ya? Kita ini seharusnya punya keluarga yang utuh, bukan?”

“Iya, tapi kita bisa menciptakan keluarga sendiri di sini,” Asya menjawab dengan semangat. “Kita bisa saling mendukung. Kita enggak sendirian.”

Liora menarik napas dalam-dalam, berusaha menyerap kata-kata Asya. Dia memang tidak sendirian. Meskipun panti asuhan itu penuh dengan anak-anak, rasa kesepian sering kali menggerogoti hatinya. Namun, bersamamu, Asya, segalanya sedikit lebih baik.

Tiba-tiba, suara pelan dari pengasuh terdengar memanggil. “Anak-anak, waktunya berkumpul untuk makan malam!”

Asya menarik tangan Liora. “Yuk, kita cepat sebelum makanan habis! Siapa tahu hari ini ada ayam goreng!”

Liora tertawa kecil, untuk pertama kalinya hari itu. “Oke, tapi kalau enggak ada ayam goreng, kita tetap bisa cari bintang di luar, kan?”

“Setuju!” Asya tersenyum lebar. “Setelah kita kenyang, kita akan melihat bintang-bintang di atap!”

Mereka berdua berlari menuju ruang makan, di mana anak-anak lain sudah berkumpul. Meski suasana penuh dengan suara gelak tawa, Liora masih merasa ada ruang kosong di hatinya. Ia mencoba untuk menikmati momen itu, meresapi kebersamaan yang ada. Namun, pikirannya kembali melayang ke ibunya.

Setelah makan malam, Liora dan Asya pergi ke atap panti asuhan, tempat mereka sering menghabiskan waktu setelah matahari terbenam. Dari sana, mereka bisa melihat langit yang luas dan bintang-bintang yang bersinar. Liora berharap bisa merasakan kehangatan yang pernah ia rasakan saat bersama ibunya.

“Li, lihat! Bintang-bintang itu seperti kilau harapan!” Asya menunjuk ke langit yang kini dipenuhi cahaya.

“Kalau saja harapan itu bisa berbicara,” Liora berbisik, sambil memejamkan mata, membayangkan jika bintang-bintang itu adalah ibu yang sedang tersenyum padanya.

Mereka berdua duduk di tepi atap, bergandeng tangan. Dalam keheningan malam, Liora merasa ada yang hilang, tapi ia juga tahu bahwa meski hidupnya terasa hampa, sahabatnya, Asya, adalah sumber harapan yang tak terduga.

Dengan bibir yang bergetar, Liora berkata, “Asya, kalau suatu saat aku merasa benar-benar sendirian, apa yang harus aku lakukan?”

Asya mengerutkan dahi, tampak berpikir. “Ingatlah, Li. Kamu punya aku. Kita akan menghadapi semuanya bersama-sama. Kita adalah bintang di langit yang sama.”

Dalam hening malam, mereka berdua berjanji untuk selalu ada satu sama lain. Meski dunia ini penuh ketidakpastian dan kehilangan, mereka akan berjuang untuk saling mendukung, berharap, dan mungkin, menemukan kembali warna di langit yang dulunya kelabu.

Tetapi malam itu, di luar jendela kamar, langit masih kelabu, dan Liora merasakan betapa dunia bisa terasa sangat sepi. Ada rasa cemas yang menyelubungi hatinya, seolah ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Sebuah pertanda yang tak terucapkan, menunggu untuk menghampiri mereka berdua.

 

Senja yang Terluka

Hari demi hari berlalu, dan kebersamaan Liora serta Asya di panti asuhan seolah menjadi pelipur lara bagi mereka. Setiap senja, mereka berdua akan duduk di atap, mengamati bintang yang berkilau di langit. Namun, semakin lama, Liora mulai merasakan ada yang tidak beres. Ada perubahan di dalam diri Asya, sesuatu yang sulit untuk dia jelaskan.

“Li, apa kamu merasa akhir-akhir ini kita semakin dekat sama satu sama lain?” Asya bertanya suatu malam, sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Liora. Senja menyelimuti langit dengan warna oranye dan ungu yang memukau, tetapi Liora merasakan ada bayang-bayang di balik keindahan itu.

“Entahlah, Asya. Mungkin kita lebih banyak menghabiskan waktu bareng?” Liora mencoba tersenyum, tetapi hatinya tak bisa berbohong. Ia merasa ada sesuatu yang menyakitkan di hati sahabatnya. “Kenapa, sih?”

Asya menghela napas, seolah beban di dalam dadanya terlalu berat untuk dibawa. “Aku merasa… aku tidak tahu berapa lama lagi kita bisa seperti ini, Li. Ada yang berbeda.”

Liora menatap Asya, bingung. “Maksudmu?”

“Kayaknya… aku enggak sekuat yang kamu pikirkan. Kadang, aku merasa capek dengan semuanya,” ujar Asya, suara yang hampir tak terdengar.

Liora merasa seperti terjepit di antara dua dunia—satu yang ingin dia lihat penuh harapan dan satu lagi yang penuh dengan ketidakpastian. “Asya, kamu bisa cerita ke aku, apa pun itu. Kita sama-sama anak yatim. Kita bisa berbagi beban.”

Asya mengangguk, tetapi mata cokelatnya tampak sayu. “Aku… aku baru saja merasa tidak enak badan akhir-akhir ini. Dan di panti ini, mereka selalu bilang aku terlalu banyak berpikir.”

“Ya, tapi kamu juga enggak boleh lupakan kesehatanmu. Kita kan mau jadi bintang di langit yang sama!” Liora mencoba membuat suasana lebih ringan.

Asya tersenyum kecil, tetapi Liora tahu bahwa senyuman itu tidak sepenuh hati. Di dalam hati kecilnya, dia merasa ada sesuatu yang lebih serius. Apakah Asya menyimpan rahasia yang lebih besar?

Keesokan harinya, Liora melihat Asya duduk sendiri di pojok ruangan. Gadis itu tampak termenung, menatap jauh ke luar jendela. Rasa cemas menyergap Liora. Ia menghampiri dan duduk di samping Asya.

“Ada apa, Asya?” tanya Liora pelan.

“Li, aku… ada yang harus aku beritahukan ke kamu. Sesuatu yang penting,” suara Asya bergetar, seolah ada badai yang ingin menerjang.

Liora berdebar. “Katakan saja, aku di sini untuk mendengarkan.”

“Aku pergi ke dokter minggu lalu. Dan… aku didiagnosis penyakit yang cukup serius,” Asya mengucapkan kalimat itu dengan susah payah.

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Liora. “Penyakit? Apa maksudmu?”

Asya menggigit bibir, air mata menggenang di sudut matanya. “Penyakit jantung, Li. Mereka bilang… aku harus menjalani perawatan intensif. Dan… dan ada kemungkinan aku enggak akan sembuh.”

Liora merasa seluruh dunia seolah runtuh di hadapannya. “Tapi… tapi itu enggak mungkin! Kamu kuat! Kamu harus berjuang, Asya!”

“Tapi kadang, tubuh enggak bisa diajak berjuang. Enggak seperti hati kita, yang selalu ingin berharap,” Asya menjawab dengan suara lembut. “Aku takut, Li. Takut kehilangan semua yang kita punya.”

Liora merasa jantungnya berdegup kencang. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa sahabatnya harus merasakan hal ini? “Enggak! Kita bisa berjuang sama-sama. Kita bisa!”

Asya menggelengkan kepala, terisak. “Mungkin… mungkin kita hanya perlu menghargai waktu yang ada. Kita sudah punya kenangan indah, kan?”

Liora berusaha menahan air mata yang mengancam. “Jangan bicara seperti itu, Asya! Kita bisa pergi ke dokter lain, kita bisa cari cara pengobatan yang lebih baik!”

“Li, kadang hal-hal yang kita inginkan itu tidak selalu sesuai kenyataan,” Asya berusaha menenangkan, meski suaranya bergetar.

Liora merasa hatinya terhimpit. “Tapi aku tidak mau kehilangan kamu, Asya. Kamu adalah bintang terindah di langitku. Apa yang harus aku lakukan tanpa kamu?”

Asya menatapnya dalam-dalam. “Jangan biarkan kesedihan menguasaimu. Kita akan selalu memiliki kenangan. Kita bisa menciptakan momen berharga di waktu yang tersisa.”

Hari-hari berlalu dengan lambat. Asya mulai menjalani perawatan di rumah sakit, dan Liora selalu berusaha menjenguknya. Namun, semakin sering Liora melihat sahabatnya terbaring lemah, semakin ia merasa hatinya hancur.

Suatu sore, Liora kembali ke panti asuhan, dengan rasa sedih yang tak tertahankan. Ia duduk di atap, melihat bintang-bintang yang bersinar, tetapi kali ini, mereka tampak jauh dan tak terjangkau.

“Kenapa, ya? Kenapa dunia selalu memberi kita kesedihan?” bisiknya pada dirinya sendiri, membiarkan air matanya jatuh ke pipi. “Aku sudah berusaha menjadi kuat, tapi aku tidak bisa.”

Saat itulah, ia merasakan sentuhan lembut di bahunya. “Li?” suara Asya membuatnya terkejut. Gadis itu muncul dari balik atap, tampak lebih cerah meskipun wajahnya agak pucat.

“Asya! Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya istirahat?” Liora langsung berdiri, memegang tangan Asya dengan cemas.

“Aku hanya ingin melihat bintang, sama seperti dulu. Kapan pun aku melihat bintang, aku merasa enggak sendirian,” jawab Asya, suara penuh harapan meskipun matanya tampak lelah.

“Kalau begitu, kita lihat bersama-sama. Kita bisa buat momen baru,” Liora tersenyum, meski di dalam hatinya masih ada rasa takut yang menyelimuti.

Mereka duduk berdua, bergandeng tangan, menatap bintang-bintang yang bersinar. Saat malam semakin larut, Liora berjanji dalam hati, bahwa ia akan berjuang untuk sahabatnya. Mereka berdua adalah bintang di langit yang sama, dan Liora bertekad untuk tidak membiarkan Asya merasa sendirian dalam pertempuran ini.

Namun, di luar sana, bayang-bayang kegelapan mulai mengintai, menanti saat yang tepat untuk menerkam. Liora tidak tahu, perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan ujian yang harus mereka hadapi.

 

Pertarungan di Ujung Senja

Kehidupan di panti asuhan terus berlanjut, tetapi bagi Liora, setiap hari terasa seperti berjuang di medan perang. Meski Asya kembali ke panti asuhan setelah menjalani perawatan, perubahan pada diri sahabatnya tidak bisa diabaikan. Wajah Asya tampak lebih kurus, dan langkahnya semakin lambat. Namun, di balik semua itu, ada semangat yang masih menyala.

“Li, lihat! Bintang-bintang malam ini sangat cerah,” Asya berkata sambil duduk di atap, mengarahkan jarinya ke langit yang berbintang.

“Ya, sangat indah,” Liora menjawab, meski hatinya tergerus oleh ketakutan yang terus menghantuinya. “Tapi tidak seindah kamu, Asya. Kamu masih bisa bersinar di tengah kegelapan ini.”

Asya tersenyum, tetapi Liora bisa merasakan bahwa senyuman itu tidak sepenuh hati. “Kadang, aku merasa seperti bintang yang pudar. Mungkin waktuku sudah dekat.”

“Jangan bilang gitu! Kita masih punya banyak waktu untuk berpetualang, untuk bermimpi,” Liora berusaha mengalihkan pikiran negatif Asya.

Namun, Asya hanya menggelengkan kepala. “Li, hidup ini enggak selalu tentang berpetualang. Kadang kita perlu menerima kenyataan. Dan aku… aku ingin kamu tahu bahwa kamu adalah teman terbaikku. Aku bersyukur punya kamu.”

Liora merasakan air mata menggenang di matanya. “Asya, kita akan menghadapi semua ini bersama-sama. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Kita akan mencari cara untuk menyembuhkanmu.”

Malam demi malam berlalu, dan harapan Liora semakin menipis. Dia mulai mencari informasi tentang penyakit jantung, mencoba menghubungi dokter yang bisa membantu Asya. Namun, semua usaha itu terasa sia-sia ketika ia melihat sahabatnya semakin lemah.

Satu malam, ketika Liora sedang duduk di samping tempat tidur Asya di panti, gadis itu tiba-tiba berbicara dengan suara pelan. “Li, kamu tahu tidak, aku punya mimpi.”

“Mimpi apa?” Liora bertanya, mengerutkan dahi.

“Aku ingin melihat laut sebelum semuanya berakhir. Aku ingin merasakan pasir di antara jari kaki dan mendengar suara ombak,” jawab Asya dengan tatapan kosong.

Liora merasa hatinya hancur. “Kita bisa pergi ke pantai, Asya! Kita akan lakukan itu. Kita akan melihat laut bersama-sama!”

Asya tersenyum lembut, tetapi air mata mengalir di pipinya. “Li, kadang aku merasa waktu tidak berpihak padaku. Kita harus siap menghadapi kenyataan, meski menyakitkan.”

Mendengar itu, Liora merasakan kepedihan yang menyayat. “Aku tidak mau! Aku tidak mau menerima kenyataan ini. Kita harus berjuang, Asya!”

Asya menggenggam tangan Liora dengan lembut. “Jika waktu kita terbatas, aku ingin menghabiskannya dengan kenangan yang indah. Biarkanlah kita menciptakan satu kenangan terakhir di pantai.”

Hati Liora bergetar mendengar kata-kata sahabatnya. “Baiklah, kita akan pergi ke pantai. Aku janji, Asya. Kita akan pergi ke sana besok!”

Keesokan harinya, Liora mengumpulkan semua keberanian dan menyusun rencana. Dia meminta izin dari pengurus panti asuhan untuk membawa Asya ke pantai, menjelaskan pentingnya perjalanan ini bagi sahabatnya. Setelah beberapa negosiasi, mereka akhirnya mendapat izin dengan syarat ditemani seorang pengasuh.

Saat hari yang dinanti tiba, Liora dan Asya duduk di kursi belakang mobil, memandang keluar dengan antusias. Perjalanan menuju pantai terasa lebih lama karena gemuruh ombak semakin mendekat. Asya tampak lebih cerah saat melihat pemandangan laut yang membentang di depan mereka.

“Li, lihat! Laut!” seru Asya dengan mata berbinar.

Liora ikut tersenyum. “Iya! Kita sudah sampai!”

Begitu tiba di pantai, Asya melangkah perlahan menuju pasir yang hangat, sementara Liora mengikuti di belakang. Saat kaki Asya menyentuh pasir, senyum merekah di wajahnya, seolah semua beban seketika terangkat.

“Ini luar biasa, Li. Terima kasih sudah membawa aku ke sini,” Asya berkata, menatap langit biru.

“Tidak ada yang lebih berharga daripada melihatmu bahagia,” jawab Liora, merasa harapannya sedikit pulih.

Mereka berlarian di tepi pantai, meskipun langkah Asya terlihat lebih lambat. Liora berusaha membuat sahabatnya tertawa, mencoba menciptakan momen-momen berharga. Mereka bermain air, menciptakan jejak kaki di pasir, dan berbagi cerita tentang impian mereka.

“Li, aku ingin kita membuat janji,” Asya berkata sambil berbaring di pasir. “Janji untuk selalu mengingat kenangan ini.”

“Janji!” Liora berusaha tersenyum, meski di dalam hatinya ada rasa pahit yang menyelimuti.

Saat matahari mulai terbenam, langit berwarna oranye keemasan, dan Liora merasakan kehangatan dalam hatinya. Namun, saat itu juga, ia melihat Asya duduk terdiam, menatap jauh ke laut.

“Asya, ada apa?” tanya Liora, khawatir.

“Aku cuma… merasa tenang di sini. Tapi kadang, aku khawatir akan hilang dan tidak bisa kembali,” ujar Asya, suara bergetar.

“Jangan berpikir seperti itu! Kita akan selalu bersama, di mana pun kita berada. Kamu adalah bintangku, dan aku akan selalu mencarimu,” jawab Liora berusaha menenangkan.

Asya tersenyum, meski senyum itu menyimpan kesedihan yang mendalam. “Terima kasih, Li. Kamu adalah cahaya dalam hidupku. Aku tidak akan melupakan momen ini.”

Malam mulai merangkak mendekat, dan bintang-bintang satu persatu muncul di langit. Liora dan Asya duduk berdampingan, memandangi bintang-bintang yang bersinar. Dalam keheningan itu, Liora berdoa agar waktu tidak segera menyingkirkan sahabatnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa realita pahit itu tetap mengintai.

Kembali ke panti asuhan, Liora merasakan beban yang lebih berat di pundaknya. Dia tahu perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan di depan belum terbayangkan. Asya membutuhkan dukungan lebih dari sebelumnya. Dengan semangat yang tersisa, Liora bertekad untuk terus berjuang, tak peduli seberapa sulit jalan yang harus mereka lalui.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Hari-hari setelah perjalanan ke pantai menjadi semakin sulit bagi Liora. Kesehatan Asya semakin memburuk, dan setiap kali Liora melihatnya terkulai lemah, hatinya terasa seperti dilindas batu besar. Kenangan indah di pantai seolah menjadi bayang-bayang yang menyakitkan, pengingat akan betapa cepatnya waktu berlalu.

Suatu sore, saat Liora datang mengunjungi Asya di panti asuhan, dia menemukan sahabatnya terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya tampak pucat. Liora menggerakkan kursi dan duduk di sampingnya. “Hey, Asya. Kamu sudah minum obatnya?” tanyanya, berusaha terdengar ceria.

Asya hanya mengangguk pelan, lalu menatap langit-langit ruangan. “Li, kamu tahu, kadang aku merasa sangat lelah. Seperti semua ini sudah berakhir.”

“Jangan bilang begitu!” Liora berusaha tegas. “Kita masih bisa berjuang, Asya. Kita sudah melewati banyak hal bersama.”

Asya menoleh, menyapu wajah Liora dengan tatapan lembut. “Kadang, aku hanya ingin merasakan kedamaian. Jika semua ini harus berakhir, aku ingin pergi dengan cara yang baik.”

Liora menggenggam tangan Asya, berusaha memberikan kekuatan. “Tapi kita bisa menciptakan lebih banyak kenangan! Kita bisa pergi ke tempat-tempat lain, melihat hal-hal baru! Kita bisa—”

“Li, cukup!” Asya memotong, suaranya bergetar. “Aku menghargai semua usaha dan cintamu. Tapi aku sudah lelah. Kadang, melepaskan adalah pilihan terbaik.”

Air mata Liora menetes. “Aku tidak ingin kehilangan kamu, Asya. Kamu adalah segalanya bagiku.”

Asya tersenyum lembut. “Aku akan selalu bersamamu, di dalam hatimu. Ingat semua kenangan kita, dan bawa aku bersamamu.”

Hari-hari berikutnya, Liora berusaha menciptakan momen-momen kecil yang berharga. Ia membacakan buku cerita untuk Asya, memasak makanan kesukaan sahabatnya, dan mengajak Asya berbicara tentang impian-impian yang belum terwujud. Namun, semakin lama, semangat Asya semakin memudar, dan senyum di wajahnya semakin jarang terlihat.

Satu malam, saat Liora berbaring di samping Asya, sahabatnya memegang tangan Liora dengan erat. “Li, aku ingin membuat sebuah permintaan,” katanya dengan suara pelan.

“Permintaan apa?” Liora bertanya, hatinya berdebar.

“Bisa tidak, kamu menuliskan cerita kita? Tentang semua yang kita alami, tentang mimpi dan harapan kita. Aku ingin dunia tahu betapa berharganya hidup ini,” Asya meminta, matanya berbinar dengan harapan.

Liora mengangguk, merasakan air mata kembali menggenang. “Tentu, Asya. Aku akan menuliskannya. Aku berjanji!”

Asya tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. “Jika nanti aku pergi, kamu harus terus hidup dan berjuang. Ingat, kamu adalah bintang yang bersinar.”

Mendengar kalimat itu, Liora merasa hatinya teriris. “Tidak! Kita akan terus bersama. Kamu tidak akan pergi!”

Tapi saat Liora beranjak ke kursi di dekat jendela, Asya terkulai dengan tenang. Di saat itu, Liora merasakan keheningan yang menyakitkan. Dia tahu, saat itu juga, Asya telah pergi dari dunia ini. Kesedihan menimpa hatinya, seolah semua warna hilang dari hidupnya.

Malam itu menjadi saksi bisu perpisahan yang tak terduga. Liora menangis, memeluk tubuh Asya yang kaku. “Aku berjanji, Asya. Aku akan menuliskan cerita kita. Tidak akan pernah kulupakan.”

Setelah pemakaman Asya, Liora merasakan kehampaan yang mendalam. Namun, dia tahu bahwa sahabatnya akan selalu hidup dalam kenangan. Dia mengumpulkan semua momen berharga yang telah mereka lalui dan mulai menulis. Dengan setiap kata yang ditulis, rasa sakitnya perlahan berkurang, digantikan oleh rasa syukur atas cinta dan persahabatan yang telah mereka miliki.

Liora menyelesaikan cerita itu dan membacanya di depan anak-anak di panti asuhan. Cerita tentang dua gadis yang saling menguatkan, tentang mimpi, dan tentang pentingnya mencintai satu sama lain meski hidup kadang terasa tidak adil.

Di tengah semua kesedihan itu, Liora menemukan harapan. Dia berjanji untuk terus memperjuangkan impian mereka, untuk tidak membiarkan semangat Asya pudar.

Dalam hatinya, Liora mengingat kata-kata sahabatnya: “Kamu adalah bintang yang bersinar.” Dan meski Asya telah pergi, cahaya itu akan selalu hidup dalam dirinya, memberi kekuatan untuk melanjutkan hidup dan berbagi cinta.

 

Jadi, begitulah kisah Liora dan Asya. Kadang hidup nggak selalu kasih kita apa yang kita mau, tapi selalu ada alasan buat kita terus berdiri. Mungkin, dari cerita mereka, kita bisa belajar bahwa meski gelap, selalu ada cahaya di ujung jalan. Terima kasih udah ikut dalam perjalanan ini, guys. Semoga kalian juga bisa menemukan cahaya kalian sendiri!

Leave a Reply