Daftar Isi
Menyelami dunia fiksi ilmiah yang penuh emosi, Cahaya di Ufuk Terakhir: Kisah Harapan di Dunia yang Memudar mengajak Anda menjelajahi petualangan Aira, seorang gadis muda yang berjuang menemukan secercah harapan di tengah bumi yang hancur oleh polusi dan kekuasaan korporasi. Dengan narasi yang kaya akan detail dan emosi mendalam, cerpen ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah jiwa untuk merenungi makna pengorbanan dan harapan. Siapkah Anda terhanyut dalam kisah futuristik yang menyentuh hati ini?
Cahaya di Ufuk Terakhir
Abu dan Bayang-Bayang
Di tahun 2078, langit Jakarta tidak lagi biru. Abu-abu tebal menyelimuti cakrawala, seperti kanvas yang diluputkan dari warna. Asap industri dan kabut radiasi dari reaktor-reaktor tua yang bocor di pinggiran kota telah mencuri sinar matahari, menyisakan dunia dalam senja abadi. Gedung-gedung pencakar langit, yang dulu menjulang megah, kini berdiri miring, retak, dan dipenuhi lumut sintetis yang berpendar hijau pucat di malam hari. Udara terasa berat, berbau logam dan ozon, membuat setiap tarikan napas terasa seperti menelan serpih kaca.
Di antara reruntuhan Distrik Senayan yang dulu ramai, seorang gadis bernama Aira berjalan pelan, menyeret sepatu bot kulitnya yang usang di atas trotoar yang retak. Rambutnya yang panjang, hitam legam, diikat asal dengan tali kain yang compang-camping. Matanya, cokelat tua dengan kilau lelah, memindai lingkungan dengan waspada. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah alat kecil berbentuk tabung, “Pelacak Cahaya,” begitu ia menyebutnya. Alat itu adalah peninggalan ayahnya, satu-satunya benda yang membuatnya merasa masih terhubung dengan masa lalu.
Aira berhenti di depan sebuah kios tua yang separuh atapnya telah runtuh. Dulu, kios itu menjual es kelapa dan gorengan, tempat favoritnya dan ayahnya saat akhir pekan. Kini, hanya puing dan layar holografik rusak yang berkedip-kedip, memutar iklan minuman energi dari dekade lalu. “Hidup Lebih Cerah dengan VitaGlow!” tulis layar itu, ironis di tengah kegelapan dunia ini. Aira tersenyum tipis, tapi senyumnya cepat memudar. Kenangan itu terlalu berat untuk dipertahankan.
“Dua puluh tahun lalu, kau bilang kita akan melihat bintang lagi, Yah,” gumamnya pada dirinya sendiri, jari-jarinya mengelus pelacak cahaya yang dingin di tangannya. Ayahnya, seorang insinyur optik, pernah merancang alat itu untuk mendeteksi sumber energi foton murni—cahaya alami yang kini hampir punah di bumi. Ia percaya bahwa di suatu tempat, di balik lapisan abu dan polusi, masih ada titik cahaya yang bisa menyelamatkan dunia. Tapi ayahnya hilang dalam kerusuhan besar tahun 2065, ketika pemberontakan melawan korporasi energi berubah menjadi kekacauan berdarah. Aira, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, hanya bisa menyaksikan dari balik jendela apartemennya saat lampu-lampu kota padam satu per satu.
Kini, di usia 23 tahun, Aira hidup sebagai pengembara, berpindah dari satu distrik ke distrik lain, mencari petunjuk tentang “Cahaya Terakhir”—sumber energi foton yang konon tersembunyi di suatu tempat di Nusantara. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya mimpi ayahnya yang terlalu muluk. Tapi setiap malam, saat ia menatap langit kelabu dan merasakan dinginnya angin yang membawa bau asap, ia merasa ayahnya masih berbicara padanya melalui pelacak itu. “Cari cahayanya, Aira. Ia ada di sana, menunggu.”
Langkahnya terhenti ketika pelacak di tangannya bergetar pelan. Layar kecil di sisi tabung itu menyala, menunjukkan angka koordinat yang berkedip cepat: 6.2088° S, 106.8456° E. Jantung Aira berdetak kencang. Ini bukan pertama kalinya pelacak menangkap sinyal, tapi kali ini sinyalnya lebih kuat, lebih stabil. “Dekat,” bisiknya, napasnya membentuk uap tipis di udara dingin. Koordinat itu mengarah ke utara, ke arah Teluk Jakarta yang kini telah kering, menjadi lembah lumpur dan reruntuhan kapal-kapal kargo yang ditinggalkan.
Ia menarik tudung jaketnya lebih rapat, melindungi wajah dari angin yang mulai bertiup kencang. Di kejauhan, ia mendengar suara derum mesin—mungkin drone pengintai milik korporasi atau gerombolan perampok yang berkeliaran di malam hari. Dunia ini tidak lagi ramah. Korporasi seperti LumoraCorp menguasai sisa-sisa sumber daya, mengendalikan oksigen buatan dan air sintetis, sementara orang-orang seperti Aira hidup di pinggiran, bertahan dari apa yang bisa mereka temukan. Tapi Aira tidak peduli pada bahaya. Jika Cahaya Terakhir benar-benar ada, ia harus menemukannya—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk membuktikan bahwa ayahnya tidak gila, bahwa mimpinya bukan sekadar khayalan.
Ia melangkah menuju koordinat itu, melewati jalan-jalan yang dipenuhi sampah teknologi: layar holografik pecah, lengan robot yang berkarat, dan kabel-kabel yang menjuntai seperti pembuluh darah kota yang mati. Di satu sudut, ia melihat seorang anak kecil, mungkin berusia tujuh tahun, meringkuk di bawah kain usang. Matanya kosong, menatap ke arah lampu neon yang berkedip di kejauhan. Aira ingin berhenti, ingin memberi anak itu sepotong roti sintetis dari tasnya, tapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Dunia ini sudah terlalu rusak untuk kebaikan kecil.
“Maaf,” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar, lalu melanjutkan langkah. Rasa bersalah menikam dadanya, tapi ia harus fokus. Cahaya Terakhir adalah harapan terakhirnya, harapan terakhir dunia. Jika ia gagal, maka tidak ada lagi yang tersisa—hanya abu dan bayang-bayang.
Saat ia mendekati tepi Teluk Jakarta, pelacak di tangannya bergetar lebih keras. Layar menunjukkan jarak: 500 meter. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara harapan dan ketakutan. Di depannya, lembah lumpur membentang luas, dipenuhi puing-puing kapal dan menara pengeboran yang ditinggalkan. Di kejauhan, sebuah struktur aneh berdiri—seperti kubah kaca yang retak, berpendar samar dalam kegelapan. Aira menahan napas. Apakah itu Cahaya Terakhir? Atau hanya ilusi lain dari dunia yang sudah kehilangan harapan?
Ia melangkah maju, tanpa tahu bahwa di balik kegelapan, sesuatu sedang mengintainya—mata mekanis yang berkedip merah, mengawasi setiap gerakannya.
Bisikan dari Kubah
Lembah lumpur Teluk Jakarta terasa seperti labirin kematian. Bau busuk dari sisa-sisa bahan bakar kapal yang membusuk menyengat hidung Aira, bercampur dengan aroma tanah basah yang terkontaminasi. Setiap langkahnya di lumpur tebal terdengar seperti ciuman basah, membuatnya harus berhati-hati agar tidak terperosok. Pelacak Cahaya di tangannya terus bergetar, layar kecilnya kini menunjukkan jarak hanya 200 meter menuju sumber sinyal. Kubah kaca yang retak di kejauhan, berpendar samar dengan cahaya kebiruan, tampak semakin nyata—bukan ilusi. Namun, Aira tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintainya, seperti napas dingin di tengkuknya.
Angin malam membawa suara-suara aneh: derit logam dari reruntuhan kapal, desis angin yang terperangkap di sela-sela puing, dan sesekali, bunyi klik mekanis yang terlalu teratur untuk menjadi alami. Aira menggenggam pelacak lebih erat, jari-jarinya gemetar. Ia tahu bahwa daerah ini bukan tempat yang aman. Teluk Jakarta, sejak kering tiga dekade lalu akibat proyek reklamasi korporasi yang gagal, telah menjadi sarang perampok teknologi dan drone pengintai LumoraCorp. Korporasi itu tidak segan membunuh siapa saja yang mendekati wilayah yang mereka anggap “aset strategis.” Tapi Aira tidak punya pilihan. Jika Cahaya Terakhir benar-benar ada, kubah itu adalah petunjuk terbaik yang ia miliki.
Ia berhenti sejenak untuk memeriksa tas ranselnya yang usang. Di dalamnya, ia membawa sebotol air sintetis, dua batang roti protein, dan sebuah pisau plasma kecil yang ia temukan di pasar gelap dua tahun lalu. Pisau itu hanya mampu memotong logam tipis atau menahan serangan ringan, tapi setidaknya memberinya sedikit rasa aman. Ia juga membawa sebuah gelang logam kecil, peninggalan ibunya, yang diukir dengan tulisan Jawa kuno: “Cahya bakal nuntun dalan.” Cahaya akan menunjukkan jalan. Aira tidak begitu paham artinya, tapi gelang itu adalah satu-satunya benda yang membuatnya merasa ibunya, yang meninggal saat ia masih bayi, masih ada bersamanya.
Langkahnya kembali berlanjut, kini lebih cepat. Lumpurnya semakin dalam, mencapai betis, membuat setiap langkah terasa seperti melawan tarikan gravitasi. Cahaya dari kubah itu kini lebih terang, hampir seperti mercusuar di tengah kegelapan. Ketika ia mendekati jarak 50 meter, pelacaknya tiba-tiba mengeluarkan bunyi bip tajam, dan layar menunjukkan pesan baru: “Sinyal Foton Terdeteksi: Intensitas 87%. Peringatan: Gangguan Elektromagnetik Terdeteksi.” Aira mengerutkan kening. Gangguan elektromagnetik? Itu bisa berarti apa saja—dari badai radiasi hingga kehadiran drone. Jantungnya berdetak lebih kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap fokus. “Ayah, jika ini jebakan, kau berutang penjelasan besar padaku,” gumamnya, setengah bercanda, setengah putus asa.
Tiba-tiba, dari balik salah satu reruntuhan kapal kargo, sebuah bayangan bergerak cepat. Aira langsung berjongkok, menyembunyikan diri di balik pecahan kontainer berkarat. Napasnya tertahan, tangannya meraih pisau plasma dari tas. Bayangan itu bergerak lagi, kali ini lebih dekat, disertai bunyi klik mekanis yang kini jelas terdengar. Ia mengintip hati-hati dan melihatnya: sebuah drone pengintai LumoraCorp, berbentuk bola dengan lengan-lengan logam yang berputar seperti kaki laba-laba. Matanya yang merah berkedip, memindai area dengan sinar laser tipis. Aira tahu drone itu bukan sekadar pengintai—model seperti itu dilengkapi senjata pulsa yang bisa melumpuhkan seseorang dalam hitungan detik.
Ia menahan napas, berusaha menyatu dengan kegelapan. Drone itu melayang perlahan, sinar lasernya menyapu lumpur hanya beberapa meter dari tempat ia bersembunyi. Jantungnya berdegup kencang, dan untuk sesaat, ia teringat ayahnya, berdiri di laboratorium kecil mereka, tersenyum sambil menunjukkan pelacak cahaya yang baru selesai ia buat. “Ini akan membawamu ke tempat yang aman, Aira,” katanya waktu itu. “Cahaya selalu punya cara untuk ditemukan.” Kenangan itu membuat matanya panas, tapi ia menggigit bibir untuk menahan air mata. Bukan waktunya untuk lemah.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, drone itu akhirnya bergerak menjauh, menghilang ke arah selatan. Aira menghela napas lega, tapi tubuhnya masih gemetar. Ia bangkit perlahan, memeriksa pelacak lagi. Jarak ke kubah kini hanya 30 meter. Ia bisa melihat detailnya sekarang: kubah itu terbuat dari kaca tebal yang retak di beberapa bagian, dengan struktur logam yang berkarat di dasarnya. Di dalamnya, cahaya kebiruan berputar-putar seperti kabut, kadang membentuk pola spiral, kadang menyebar seperti aurora. Itu bukan cahaya buatan—terlalu lembut, terlalu hidup untuk menjadi holografik atau LED.
Ketika ia akhirnya sampai di depan kubah, ia menemukan pintu masuk kecil, setengah terkubur di lumpur. Pintunya terbuat dari logam berat, dengan panel kontrol yang sudah rusak, berkedip lemah. Aira mencoba menyentuh panel itu, dan tiba-tiba, pelacak di tangannya menyala lebih terang, mengeluarkan suara mendengung pelan. Seperti ada koneksi antara pelacak dan pintu. Ia menempelkan pelacak ke panel, dan dengan derit keras, pintu itu bergeser perlahan, membuka celah sempit yang cukup untuk ia masuki.
Di dalam kubah, udara terasa berbeda—lebih bersih, lebih ringan, hampir seperti udara sebelum dunia ini rusak. Cahaya kebiruan memenuhi ruangan, berasal dari sebuah mesin aneh di tengah kubah. Mesin itu berbentuk silinder besar, dengan tabung-tabung kaca yang berisi cairan berpendar. Di sekitarnya, layar-layar holografik kecil mengambang, menampilkan data dalam bahasa yang tidak Aira kenali—mungkin kode atau bahasa pemrograman kuno. Tapi yang membuatnya terpaku adalah sebuah pesan holografik besar di tengah ruangan, berputar perlahan seperti papan reklame digital. Tulisannya sederhana, tapi membuat jantungnya hampir berhenti:
“Untuk Aira. Cahaya ini milikmu. —Ayah”
Aira terhuyung mundur, tangannya menutup mulut untuk menahan isak. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Bagaimana mungkin? Ayahnya sudah hilang 13 tahun lalu. Apakah ini jebakan? Atau benar-benar pesan darinya? Ia mendekati mesin itu, tangannya gemetar saat menyentuh permukaan silinder yang dingin. Saat jari-jarinya menyentuh kaca, cahaya di dalam mesin berpulsasi lebih cepat, dan sebuah suara lembut—suara ayahnya—terdengar dari dalam.
“Aira, jika kau mendengar ini, kau sudah menemukan Cahaya Terakhir. Maafkan aku karena meninggalkanmu. Tapi ini adalah harapan terakhir kita. Jaga cahaya ini, dan ia akan menunjukkan jalan.”
Suaranya memudar, digantikan oleh deru mesin yang semakin keras. Aira menoleh ke belakang, tiba-tiba menyadari bahwa pintu masuk kubah mulai tertutup. Di luar, bunyi klik mekanis kembali terdengar, kali ini lebih banyak, lebih dekat. Cahaya merah dari mata drone menyelinap melalui celah pintu yang semakin sempit. Aira menggenggam pisau plasmanya, napasnya tersengal. Cahaya Terakhir ada di depannya, tapi bahaya kini mengintai dari belakang.
Jebakan dalam Cahaya
Dalam kegelapan kubah kaca yang retak, cahaya kebiruan dari mesin silinder memantul di dinding, menciptakan bayang-bayang yang menari seperti hantu. Aira berdiri membeku, tangannya masih menyentuh permukaan dingin mesin itu, suara ayahnya yang lembut masih bergema di kepalanya. “Jaga cahaya ini, dan ia akan menunjukkan jalan.” Namun, deru mesin yang kini semakin keras dan bunyi klik mekanis dari luar kubah dengan cepat menariknya kembali ke kenyataan. Pintu masuk yang setengah terbuka kini hanya menyisakan celah sempit, dan di baliknya, sinar merah dari mata drone LumoraCorp berkedip seperti mata predator yang lapar.
Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang. Ia tahu waktu sangat terbatas. Jika drone-drone itu masuk, ia tidak akan punya kesempatan melawan. Pisau plasmanya mungkin bisa menghancurkan satu atau dua drone, tapi suara di luar menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian—mungkin ada selusin, atau lebih. Ia memindai ruangan dengan cepat, mencari apa saja yang bisa digunakan sebagai pertahanan atau jalan keluar. Kubah ini, meskipun rapuh, tampak seperti laboratorium bawah tanah yang dirancang untuk tahan lama. Dindingnya dilapisi panel logam berkarat, dan di sudut ruangan, ia melihat tumpukan kotak-kotak penyimpanan yang ditutupi debu tebal. Mungkin ada sesuatu di sana—alat, senjata, atau petunjuk.
Dengan hati-hati, ia melangkah menjauh dari mesin silinder, menjaga pisau plasma di tangan kanannya tetap siaga. Cahaya kebiruan dari mesin itu menerangi wajahnya, menonjolkan garis-garis lelah di bawah matanya dan noda lumpur yang menempel di pipinya. Ia bergerak menuju tumpukan kotak, tetapi sebelum sampai, sebuah ledakan kecil mengguncang kubah. Pintu masuk meledak terbuka, dan tiga drone pengintai melayang masuk, lengan-lengan logam mereka berputar cepat, masing-masing memancarkan sinar laser merah yang menyapu ruangan.
Aira langsung menjatuhkan diri ke lantai, bersembunyi di balik mesin silinder. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup seperti ingin melompat keluar dari dadanya. Drone-drone itu bergerak dengan presisi mengerikan, suara motor mereka berdengung seperti serangga raksasa. Salah satu drone mendekati mesin, sinar lasernya menyapu permukaan silinder, dan tiba-tiba, pesan holografik ayahnya muncul lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras: “Aira, aktifkan protokol pengaman! Kunci ada di pelacakmu!” Pesan itu berulang, seolah-olah dipicu oleh kehadiran drone.
“Kunci? Protokol pengaman?” Aira bergumam, panik. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan pelacak cahaya. Layar kecilnya kini menunjukkan ikon baru: sebuah simbol lingkaran dengan garis-garis yang menyerupai sidik jari. Tanpa berpikir panjang, ia menekan jempolnya ke layar. Pelacak bergetar hebat, dan tiba-tiba, mesin silinder memancarkan kilatan cahaya putih menyilaukan. Drone-drone itu berhenti bergerak sejenak, seolah-olah terganggu oleh pulsa elektromagnetik. Aira memanfaatkan momen itu untuk berlari ke tumpukan kotak, berharap menemukan sesuatu yang berguna.
Di antara kotak-kotak itu, ia menemukan sebuah panel kontrol tua yang tersembunyi di dinding. Panel itu penuh dengan tombol-tombol berkarat dan layar retak yang nyaris tidak bisa dibaca. Tapi di sudut layar, ia melihat kata-kata yang membuatnya terpaku: “Protokol Cahaya Terakhir: Aktivasi Manual.” Di bawahnya, ada slot kecil yang bentuknya persis seperti pelacak cahaya. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan pelacak ke dalam slot. Layar panel menyala, dan serangkaian perintah muncul dalam bahasa yang sama anehnya dengan yang ada di holografik tadi. Aira tidak mengerti, tapi instingnya menyuruhnya menekan tombol hijau besar di tengah panel.
Sebuah suara mekanis keras menggema, dan dinding kubah mulai bergetar. Dari langit-langit, panel logam besar turun perlahan, menutup pintu masuk sepenuhnya. Drone-drone itu, yang kini mulai bergerak lagi, menabrak panel dengan suara dentang keras, tetapi tidak bisa menembusnya. Aira menghela napas lega, tapi kelegaan itu hanya sesaat. Mesin silinder di tengah ruangan mulai berdengung lebih keras, dan cahaya kebiruan di dalamnya berubah menjadi merah menyala. Layar holografik menunjukkan hitungan mundur: “Aktivasi Penuh: 10 menit.”
Aira mundur, bingung. “Aktivasi penuh? Apa artinya ini, Yah?” Ia menatap pesan holografik ayahnya, yang kini mulai memudar. Rasa takut bercampur dengan kemarahan. Ayahnya meninggalkan pesan, tapi tidak cukup petunjuk. Apakah mesin ini akan meledak? Apakah ini benar-benar Cahaya Terakhir, atau justru senjata yang akan menghancurkan segalanya? Ia teringat kata-kata ayahnya di masa kecil: “Cahaya bukan hanya energi, Aira. Ia adalah harapan, kebenaran, dan kehidupan.” Tapi di dunia yang penuh abu dan bayang-bayang ini, harapan terasa seperti lelucon kejam.
Ia kembali ke tumpukan kotak, membongkarnya dengan tergesa-gesa. Di dalam salah satu kotak, ia menemukan sebuah buku catatan kulit tua, halaman-halamannya menguning dan penuh coretan tulisan tangan ayahnya. Ia membukanya dengan hati-hati, matanya menelusuri baris-baris yang ditulis dengan tinta biru pudar. “Cahaya Terakhir bukan sekadar energi foton,” tulis ayahnya. “Ia adalah inti dari reaktor eksperimental yang bisa memurnikan atmosfer bumi. Tapi LumoraCorp mengetahuinya. Mereka akan menghentikan siapa saja yang mencoba mengaktifkannya. Jika kau membaca ini, Aira, kau adalah harapan terakhirku. Kunci ada di gelang ibumu.”
Aira terpaku, tangannya otomatis meraba gelang logam di pergelangan tangannya. Tulisan Jawa kuno itu—Cahya bakal nuntun dalan—tiba-tiba terasa lebih berat. Ia melepas gelang itu dan memeriksanya dengan saksama. Di bagian dalam gelang, ia menemukan ukiran kecil yang sebelumnya tidak ia sadari: sebuah kode alfanumerik, hampir tak terlihat karena tertutup noda waktu. Ia berlari kembali ke panel kontrol, memasukkan kode itu ke layar. Layar berkedip, lalu menunjukkan pesan baru: “Kunci Diterima. Aktivasi Cahaya Terakhir Dimulai. Harap Tetap di Tempat.”
Tapi sebelum ia bisa merasakan lega, kubah berguncang lagi, kali ini lebih keras. Dari luar, suara ledakan dan deru mesin berat terdengar. LumoraCorp tidak hanya mengirim drone—mereka mengirim pasukan. Aira menoleh ke mesin silinder, yang kini bergetar hebat, cairan di dalam tabung-tabungnya berputar liar seperti badai. Hitungan mundur di holografik kini menunjukkan “7 menit.” Ia tahu ia harus bertahan, tapi bagaimana? Kubah ini adalah perlindungan sekaligus jebakan.
Di tengah kepanikan, ia teringat anak kecil yang ia lihat di Distrik Senayan, matanya yang kosong menatap lampu neon. Jika ia gagal, anak itu, dan semua orang lain di dunia ini, tidak akan pernah melihat cahaya sejati lagi. Air mata mengalir di pipinya, tapi kali ini bukan karena sedih—melainkan tekad. “Aku tidak akan menyerah, Yah,” bisiknya. Ia menggenggam pisau plasma lebih erat, bersiap menghadapi apa pun yang akan menembus kubah itu.
Di luar, suara mesin berat semakin mendekat, disertai teriakan perintah dalam bahasa yang keras dan asing. Aira tahu waktu hampir habis. Cahaya Terakhir ada di tangannya, tapi apakah ia cukup kuat untuk melindunginya?
Fajar yang Dirindukan
Kubah kaca bergetar hebat, seolah-olah dunia di luar berusaha merobeknya dari akar-akarnya. Suara ledakan bergema, disusul oleh deru mesin berat dan teriakan perintah yang teredam oleh dinding logam tebal. Aira berdiri di dekat mesin silinder, tangannya mencengkeram pisau plasma dengan kuat, meskipun ia tahu senjata kecil itu hampir tidak berguna melawan pasukan LumoraCorp yang kini mengepung kubah. Layar holografik di tengah ruangan menunjukkan hitungan mundur yang semakin mendekati nol: “3 menit 42 detik.” Cahaya merah dari mesin silinder berputar liar, memenuhi ruangan dengan denyut energi yang terasa seperti detak jantung raksasa. Aira bisa merasakan panasnya di kulitnya, seperti matahari yang telah lama dilupakannya.
Ia menoleh ke panel kontrol di dinding, tempat pelacak cahaya masih terpasang di slotnya. Layar panel kini menampilkan diagram kompleks: grafik energi yang melonjak, peta atmosfer yang berputar, dan kata-kata yang berkedip cepat—“Stabilisasi Foton: 92%. Risiko Kegagalan: 8%.” Aira tidak sepenuhnya mengerti apa artinya, tetapi catatan ayahnya di buku kulit tua itu jelas: Cahaya Terakhir adalah reaktor eksperimental yang bisa memurnikan atmosfer bumi, mengembalikan udara bersih dan sinar matahari yang telah direnggut oleh polusi dan radiasi. Tapi aktivasi penuh membutuhkan waktu, dan waktu adalah sesuatu yang tidak ia miliki.
Suara dentang keras mengguncang kubah. Panel logam di pintu masuk mulai melengkung ke dalam, memancarkan percikan api saat sinar laser berenergi tinggi mencoba menembusnya. Aira tahu bahwa pasukan LumoraCorp tidak akan berhenti. Mereka pasti sudah mendeteksi lonjakan energi dari mesin ini dan tidak akan membiarkan siapa pun—apalagi seorang pengembara seperti Aira—mengganggu monopoli mereka atas sumber daya bumi. Ia membayangkan wajah-wajah tanpa nama di balik helm tempur mereka, orang-orang yang rela mengorbankan dunia demi keuntungan korporasi. Kemarahan membakar dadanya, tapi di balik itu, ada rasa takut yang lebih dalam—takut bahwa semua ini sia-sia, bahwa mimpinya dan ayahnya hanya akan berakhir di bawah puing-puing.
“Ayah, apa yang harus aku lakukan?” bisiknya, suaranya pecah. Ia meraba gelang ibunya di pergelangan tangannya, tulisan Jawa kuno itu terasa seperti mantra yang memberinya kekuatan: Cahya bakal nuntun dalan. Cahaya akan menunjukkan jalan. Ia menutup mata sejenak, mencoba mengingat wajah ayahnya—senyumnya yang hangat, tangannya yang kasar namun lembut saat mengelus rambutnya. “Kau bilang cahaya ini adalah harapan. Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat untuk menjaganya?”
Sebuah ledakan keras memotong pikirannya. Panel logam di pintu akhirnya jebol, dan asap tebal membanjiri ruangan. Enam sosok berarmor hitam masuk dengan langkah terkoordinasi, senjata pulsa mereka menyala biru di ujung laras. Di belakang mereka, dua drone pengintai melayang, mata merah mereka menyapu ruangan. Salah satu tentara, yang helmnya memiliki garis emas—tanda pangkat tinggi—mengangkat tangan, memerintahkan yang lain untuk berhenti. Suaranya, yang diperkuat oleh modulator, menggema dingin: “Serahkan mesin itu, pengembara. Kau tidak tahu apa yang kau mainkan. Ini bukan mainan anak-anak.”
Aira menatapnya, napasnya tersengal. Ia tahu menyerah berarti mengkhianati semua yang ayahnya perjuangkan. Tapi melawan berarti kematian. Ia melirik layar holografik: “1 menit 18 detik.” Mesin itu hampir selesai. Jika ia bisa menahannya sedikit lebih lama, mungkin… mungkin dunia ini masih punya harapan. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan pisau plasmanya ke arah drone terdekat. Pisau itu mengenai lengan logam drone, memicu ledakan kecil yang membuatnya jatuh ke lantai dalam percikan api.
Tentara berarmor emas menggeram, mengarahkan senjatanya ke Aira. “Kau bodoh!” teriaknya. Tapi sebelum ia bisa menembak, mesin silinder mengeluarkan suara menderu yang memekakkan telinga. Cahaya merah di dalamnya berubah menjadi putih menyilaukan, begitu terang hingga semua orang di ruangan, termasuk tentara, menutup mata mereka. Aira jatuh berlutut, tangannya melindungi wajah, tapi ia bisa merasakan kehangatan cahaya itu—bukan panas yang membakar, melainkan kelembutan yang mengingatkannya pada pagi-pagi di masa kecilnya, ketika matahari masih bersinar di Jakarta.
Saat cahaya memudar, ia membuka mata. Mesin silinder kini berputar pelan, tabung-tabung kacanya memancarkan kilau lembut seperti aurora. Layar holografik menunjukkan pesan baru: “Aktivasi Selesai. Pemurnian Atmosfer Dimulai.” Di luar kubah, melalui celah-celah kaca yang retak, Aira melihat sesuatu yang membuatnya terpaku: langit kelabu mulai pecah, sinar keemasan samar menyelinap di antara awan abu-abu, seperti fajar yang telah lama dirindukan.
Tapi kemenangan itu tidak datang tanpa harga. Tentara berarmor emas bangkit, wajahnya yang tersembunyi di balik helm tampak marah. “Kau pikir ini selesai?” bentaknya. Ia menembakkan senjata pulsanya, dan Aira hanya punya sepersekian detik untuk menghindar. Pulsa energi itu mengenai bahunya, membuatnya terhuyung dengan rasa sakit yang membakar. Ia jatuh ke lantai, darah merembes dari luka di lengan kirinya. Rasa sakit membuat pandangannya kabur, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap sadar. Ia merangkak menuju panel kontrol, berharap ada sesuatu—apa saja—yang bisa menghentikan mereka.
Saat tangannya menyentuh panel, sebuah tombol merah berkedip di sudut layar, dengan tulisan kecil: “Protokol Darurat: Pelepasan Energi.” Aira tahu apa artinya. Melepaskan energi mesin ini sekarang mungkin akan menghancurkan kubah—dan semua orang di dalamnya, termasuk dirinya. Tapi itu juga akan menghentikan LumoraCorp, setidaknya untuk sementara, dan memberi waktu bagi Cahaya Terakhir untuk bekerja, untuk memurnikan atmosfer dan mengembalikan harapan ke dunia.
Dengan tangan gemetar, ia menatap gelang ibunya di pergelangan tangannya. “Maaf, Yah, Ibu,” bisiknya, air mata mengalir di pipinya. “Aku harap ini cukup.” Ia menekan tombol itu. Mesin silinder mengeluarkan suara menderu yang memekakkan telinga, dan cahaya putih kembali meledak, kali ini begitu kuat hingga seluruh kubah bergetar hebat. Tentara berteriak panik, tapi suara mereka tenggelam dalam deru energi. Aira menutup mata, membayangkan wajah ayahnya, wajah anak kecil di Distrik Senayan, dan langit biru yang ia lihat di masa kecilnya.
Ketika cahaya memudar, keheningan menyelimuti. Kubah itu hancur, hanya menyisakan puing-puing kaca dan logam yang berserakan di lembah lumpur. Tidak ada tanda-tanda tentara atau drone. Di tempat mesin silinder berdiri, sebuah bola cahaya kecil mengambang, memancarkan kilau lembut yang menyebar ke udara. Langit di atas Teluk Jakarta kini terbelah, sinar matahari sejati menyelinap melalui celah awan, menyentuh tanah untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun.
Jauh di Distrik Senayan, anak kecil yang pernah dilihat Aira mengangkat kepala, matanya yang kosong kini bersinar saat ia menatap sinar emas di langit. Di seluruh kota, orang-orang keluar dari tempat persembunyian mereka, menatap langit dengan takjub. Cahaya Terakhir telah bekerja. Atmosfer mulai memurni, udara menjadi lebih ringan, dan untuk pertama kalinya dalam satu generasi, dunia merasakan harapan.
Tapi Aira tidak ada di sana untuk melihatnya. Di antara puing-puing kubah, hanya gelang ibunya yang tersisa, berkilau samar di bawah sinar matahari baru. Tulisan Jawa kuno itu masih utuh: Cahya bakal nuntun dalan. Dan di suatu tempat, di balik ufuk, cahaya akhirnya menunjukkan jalan.
Cahaya di Ufuk Terakhir bukan sekadar cerpen fiksi ilmiah, melainkan cerminan harapan yang tetap hidup meski dunia berada di ambang kehancuran. Kisah Aira mengingatkan kita bahwa bahkan di tengah kegelapan, satu tindakan keberanian dapat mengubah masa depan. Jangan lewatkan cerita ini yang akan membuat Anda terpaku dari awal hingga akhir, merenungi kekuatan cahaya dalam jiwa manusia.