Daftar Isi [hide]
Cahaya di Tengah Gelap
Cahaya di Balik Papan Tulis
Di kaki gunung yang hijau, berdiri sebuah sekolah sederhana bernama SD Pelita Bangsa. Dindingnya sedikit retak, jendela kayunya berderit ketika dibuka, dan atap sengnya kadang bocor saat hujan deras. Namun, bagi anak-anak desa, sekolah ini adalah tempat yang penuh kehangatan. Semua itu berkat sosok Pak Wisnu, seorang guru yang lebih dari sekadar pengajar—ia adalah mentor, sahabat, dan ayah kedua bagi murid-muridnya.
Pagi itu, sinar matahari perlahan menyelinap melalui celah dedaunan, menyapu pelataran sekolah dengan cahaya keemasan. Pak Wisnu sudah datang lebih awal seperti biasa. Ia menyapu ruang kelas, menata buku-buku di meja, lalu menulis materi di papan tulis dengan kapur yang sudah mulai pendek.
Saat bel berbunyi, anak-anak berlarian masuk ke kelas. Beberapa masih menyeka keringat di dahi mereka, tanda perjalanan ke sekolah yang tidak mudah. Salah satu murid terakhir yang masuk adalah Saka. Bocah itu melangkah masuk dengan mata yang terlihat sayu, kantung matanya menghitam, dan langkahnya sedikit terseret.
Pak Wisnu mengamati Saka yang berjalan menuju bangkunya di barisan tengah. Anak itu meletakkan tasnya, lalu mendesah pelan sambil menyandarkan kepala di meja.
“Saka, kamu baik-baik aja?” tanya Pak Wisnu setelah beberapa saat.
Saka mengangkat kepalanya dan berusaha tersenyum kecil. “Iya, Pak. Cuma kurang tidur aja.”
Pak Wisnu melipat tangannya di depan dada. “Kurang tidur kenapa? Kamu begadang main-main?”
Saka langsung menggeleng. “Enggak, Pak. Aku bantu Ibu nyiapin dagangan semalam.”
Ruangan mendadak hening. Beberapa murid menoleh ke arah Saka, tapi anak itu tetap menunduk, enggan bertatap mata dengan siapapun.
Pak Wisnu menghela napas pelan. Ia tahu kondisi keluarga Saka tidak mudah. Ibunya seorang penjual sayur keliling, dan ayahnya hanya bekerja serabutan. Sudah beberapa kali ia melihat Saka tertidur di kelas, tetapi baru kali ini anak itu mengaku alasannya.
Pak Wisnu tidak ingin mempermalukannya di depan teman-temannya. Ia tersenyum, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut, “Kalau gitu, aku enggak akan ngomel. Tapi, jangan sampai kamu sakit, ya? Kesehatan itu penting.”
Saka mengangguk pelan.
Pak Wisnu berdehem dan menepuk tangannya, mengembalikan fokus kelas. “Oke, hari ini kita belajar tentang tata surya! Ada yang tahu berapa jumlah planet di tata surya kita?”
Beberapa tangan terangkat. Seorang anak perempuan di barisan depan menjawab dengan semangat, “Delapan, Pak!”
“Betul! Dulu ada sembilan, tapi sekarang Pluto enggak lagi dianggap sebagai planet utama,” jelas Pak Wisnu sambil menggambar sketsa matahari dan planet-planet di papan tulis.
Mata-mata kecil menatap gambar itu dengan penuh rasa ingin tahu. Namun, Saka masih terlihat sedikit lesu. Sesekali ia menguap dan berusaha menahan kantuknya. Pak Wisnu menghela napas pelan. Ia harus melakukan sesuatu.
Ia berbalik ke arah kelas dengan senyum jahil. “Gimana kalau kita jadi planet? Siapa mau jadi Bumi?”
Beberapa tangan terangkat dengan antusias. “Aku, Pak!”
“Baik! Lalu siapa yang mau jadi Mars? Jupiter?”
Anak-anak berlomba-lomba maju ke depan, berdiri melingkar seperti planet mengelilingi matahari. Kelas berubah jadi sedikit riuh, dipenuhi tawa dan obrolan. Saka, yang tadinya terlihat lemas, kini mulai duduk lebih tegak.
Pak Wisnu menoleh padanya. “Saka, kamu mau jadi Matahari?”
Murid-murid lain menoleh ke arahnya. Saka tampak terkejut, lalu menunjuk dirinya sendiri. “Aku, Pak?”
“Iya! Matahari itu sumber energi, dia yang menyinari planet-planet lain. Kamu cocok!”
Saka ragu sejenak, tetapi akhirnya ia tersenyum kecil dan bangkit dari kursinya. Ia maju ke depan, berdiri di tengah lingkaran. Anak-anak yang lain mulai berputar mengelilinginya sambil tertawa.
Pak Wisnu tersenyum puas. “Nah, sekarang kita tahu gimana tata surya bekerja! Dan Saka, kamu tahu enggak? Ilmu itu kayak matahari. Dia bisa menyinari hidup kamu kalau kamu enggak nutup matamu.”
Saka terdiam sejenak. Lalu, untuk pertama kalinya pagi itu, matanya berbinar. Seakan kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya.
Di belakang kelas, Pak Wisnu mengamati murid-muridnya. Ia tahu, ini baru permulaan. Masih banyak perjalanan yang harus dilalui, terutama bagi Saka. Tapi ia percaya, cahaya yang kecil pun bisa tumbuh menjadi terang.
Dan tugasnya sebagai guru adalah memastikan cahaya itu tidak pernah padam.
Langkah Kecil Saka
Matahari mulai condong ke barat ketika lonceng sekolah berdentang, menandakan waktu pulang. Anak-anak segera berhamburan keluar kelas, berceloteh riang sambil berlari menuju jalan setapak yang mengarah ke rumah mereka. Beberapa masih sibuk mengobrol soal permainan di lapangan, sementara yang lain tertawa membahas pelajaran tadi.
Di antara mereka, Saka berjalan sedikit lebih lambat. Tasnya ia gendong dengan satu tangan, sementara pikirannya melayang-layang. Kata-kata Pak Wisnu tadi masih terngiang di kepalanya. Ilmu itu seperti matahari. Dia bisa menyinari hidupmu kalau kamu enggak nutup matamu.
Saka menendang-nendang kerikil kecil di jalan, sesekali menghela napas. Ia ingin belajar lebih rajin seperti yang dikatakan Pak Wisnu, tapi bagaimana caranya kalau sepulang sekolah ia harus membantu ibunya?
Di ujung jalan, sebuah gerobak kayu sederhana sudah menunggu di depan rumahnya. Ibunya, Bu Ratri, sedang mengikat kantong-kantong sayur di sisi gerobak. Wajahnya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum ketika melihat Saka datang.
“Kamu pulang, Nak. Tadi sekolahnya gimana?”
Saka meletakkan tasnya di bangku kecil dekat pintu. “Baik, Bu. Tadi belajar tentang tata surya.”
Bu Ratri tersenyum sambil terus mengikat sayuran. “Wah, bagus! Jadi kamu tahu sekarang planet apa yang paling besar?”
“Jupiter,” jawab Saka cepat.
Bu Ratri tertawa kecil. “Anakku makin pintar.”
Saka ingin percaya itu. Tapi kenyataannya, ia tetap merasa tertinggal dibanding teman-temannya. Ia sering tidak sempat mengulang pelajaran karena harus membantu ibunya menyiapkan dagangan untuk keesokan harinya. Malam-malamnya dihabiskan untuk memilah-milah sayur, mengikat daun bawang, dan membersihkan wortel, sementara buku pelajaran tetap tertutup di meja.
Malam itu, seperti biasa, Saka duduk di lantai dengan tumpukan sayur di hadapannya. Tangannya lincah mengikat beberapa ikat bayam, tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Ia melirik buku matematikanya yang tergeletak di sudut meja.
“Aku boleh belajar dulu enggak, Bu?” tanyanya ragu-ragu.
Bu Ratri menghentikan pekerjaannya dan menatap anaknya. “Kamu mau belajar sekarang?”
Saka mengangguk pelan.
Bu Ratri tersenyum, meski sorot matanya sedikit khawatir. “Ya sudah, kamu belajar dulu. Ibu bisa beresin sendiri.”
Saka tersenyum lebar. “Serius, Bu? Aku janji nanti bantu kalau sudah selesai!”
“Serius,” kata Bu Ratri sambil mengusap kepala anaknya.
Tanpa pikir panjang, Saka langsung mengambil buku matematikanya dan duduk di kursi dekat lampu minyak. Ia membuka halaman terakhir yang diajarkan Pak Wisnu tadi, mencoba memahami soal-soal yang tertulis di sana. Tapi baru beberapa menit, matanya sudah terasa berat.
Ia menggigit bibirnya, menampar pipinya pelan agar tetap terjaga. Namun, semakin ia berusaha fokus, semakin huruf-huruf di bukunya terasa kabur.
Tak butuh waktu lama sebelum kepalanya akhirnya jatuh ke atas meja, napasnya mulai teratur. Ia tertidur, dengan jari-jarinya masih menyentuh lembaran buku yang belum sempat ia baca.
Esok paginya, Pak Wisnu berdiri di depan kelas sambil membagikan kertas latihan. “Hari ini kita coba latihan soal matematika dulu, ya. Aku mau lihat siapa yang sudah paham materi kemarin.”
Anak-anak mulai menunduk, mengerjakan soal yang diberikan. Beberapa langsung menulis dengan cepat, sementara yang lain masih berpikir.
Saka menatap kertas di depannya. Ia membaca soal pertama dan merasa familiar, tapi pikirannya seakan kosong. Ia mencoba mengingat rumus yang tadi malam sempat ia pelajari sebelum tertidur, namun tidak ada yang muncul di kepalanya.
Tangannya mencengkram pensil lebih erat. Matanya mulai beralih ke teman-temannya yang tampak serius menulis jawaban. Ia menoleh ke arah Pak Wisnu yang sedang berjalan mengitari kelas, memeriksa pekerjaan murid-muridnya.
“Saka, kamu kenapa?” suara Pak Wisnu membuatnya tersentak.
Saka menunduk, menggenggam pensilnya lebih erat. “Aku… aku lupa rumusnya, Pak.”
Pak Wisnu menarik kursi dan duduk di samping Saka. “Kamu belajar tadi malam?”
Saka mengangguk pelan. “Iya… tapi aku ketiduran.”
Pak Wisnu terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Aku tahu kamu sudah berusaha, dan itu yang penting.”
Saka mengangkat kepalanya. “Tapi kalau aku enggak bisa jawab, apa gunanya?”
Pak Wisnu tertawa kecil. “Belajar itu bukan tentang bisa atau enggak hari ini. Yang penting kamu enggak berhenti nyoba. Aku yakin kalau kamu terus berusaha, lama-lama kamu pasti bisa.”
Saka menatap Pak Wisnu dengan mata penuh keraguan, tapi ada sesuatu dalam nada suara gurunya yang membuatnya ingin percaya.
“Jadi gimana? Mau aku bantu jelasin lagi?” tanya Pak Wisnu.
Saka menatap soal di depannya, lalu mengangguk mantap. “Mau, Pak.”
Pak Wisnu tersenyum dan mulai menjelaskan dengan sabar. Di luar, matahari bersinar terang, seolah mengamini bahwa hari ini Saka telah mengambil satu langkah kecil menuju masa depannya.
Menjadi Cahaya
Hari perlombaan tiba lebih cepat dari yang Saka bayangkan. Pagi itu, ia berdiri di depan sekolah, mengenakan seragam terbaiknya. Jantungnya berdebar kencang, dan tangannya berkeringat.
Di sampingnya, Pak Wisnu menepuk pundaknya dengan lembut. “Gimana, siap?”
Saka menghela napas. “Aku gugup, Pak.”
Pak Wisnu tersenyum. “Itu wajar. Tapi ingat, kamu enggak harus jadi yang terbaik. Yang penting, kamu sudah berani mencoba.”
Saka mengangguk pelan. Kata-kata itu sedikit menenangkannya.
Perlombaan diadakan di sekolah kecamatan, tempat yang jauh lebih besar dari SD Pelita Bangsa. Ruangan lomba dipenuhi anak-anak dari berbagai sekolah, semuanya terlihat percaya diri. Saka duduk di barisan peserta, matanya melirik ke kiri dan kanan, merasa kecil di antara mereka.
Tapi kemudian, ia mengingat semua yang telah ia lalui. Malam-malamnya belajar meski lelah, sore-sore bersama Pak Wisnu, dan tekadnya untuk tidak menyerah. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu membukanya kembali dengan lebih mantap.
Soal-soal mulai dibagikan. Saka membaca soal pertama, lalu tersenyum. Aku tahu ini.
Ia mulai menulis jawaban dengan hati-hati, satu demi satu. Ada beberapa yang sulit, tapi ia berusaha mengingat cara Pak Wisnu menjelaskan.
Beberapa jam berlalu, dan akhirnya pengumuman pemenang pun tiba. Juri naik ke panggung, membawa amplop berisi hasil akhir.
“Juara ketiga… dari SD Harapan Mulya!”
Tepuk tangan menggema.
“Juara kedua… dari SD Pelita Bangsa, Saka Pratama!”
Saka terdiam. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pak Wisnu, yang berdiri di belakang, langsung bertepuk tangan dengan bangga.
“Saka, kamu menang!” bisik salah satu peserta di sebelahnya.
Dengan langkah gemetar, Saka maju ke panggung. Ia menerima piala kecil dan sertifikat, lalu menatap ke arah kerumunan. Di sana, Pak Wisnu tersenyum lebar, memberikan anggukan bangga.
Saat perjalanan pulang, Saka memeluk pialanya erat. Ia masih tidak percaya bahwa anak yang dulu ragu-ragu kini berdiri di sini, membawa sesuatu yang bisa ia banggakan.
Ketika ia sampai di rumah, Bu Ratri sudah menunggu di depan pintu. Begitu melihat piala di tangan anaknya, mata wanita itu berkaca-kaca.
“Saka…”
Saka tersenyum lebar. “Bu, aku menang!”
Bu Ratri menarik anaknya ke dalam pelukan. “Ibu bangga banget sama kamu, Nak.”
Di belakang mereka, Pak Wisnu melihat pemandangan itu dengan hati hangat.
Saka telah menemukan cahayanya. Dan ia tahu, cahaya itu akan terus bersinar ke depannya.