Cahaya di Sekolah Tua: Kisah Haru Perjuangan Guru dan Murid Menyelamatkan Pendidikan

Posted on

Di sebuah desa kecil yang hampir terlupakan, berdiri sebuah sekolah tua yang nyaris roboh. Bukan cuma bangunannya yang rapuh, tapi juga harapan untuk masa depan anak-anak di sana. Namun, seorang guru bernama Mahira dan murid-muridnya tak mau menyerah.

Dengan mimpi, keberanian, dan tekad yang kuat, mereka berjuang menyelamatkan sekolah dari ancaman penutupan. Dari miniatur jembatan hingga sebuah festival pendidikan, perjuangan mereka berhasil menarik perhatian banyak orang—bahkan mengubah nasib sekolah itu selamanya.

 

Cahaya di Sekolah Tua

Cahaya di Sekolah Tua

Di atas bukit kecil yang menghadap ke sawah luas, berdiri sekolah dasar satu-satunya di Desa Rantau Karya. Bangunannya tua, dindingnya mulai berjamur, dan beberapa atap sengnya sudah berkarat. Jika hujan turun, bocorannya bisa membuat lantai kelas seperti kubangan kecil. Tapi di sinilah Mahira, seorang guru yang pulang ke desanya setelah lama merantau, memilih untuk mengabdi.

Setiap pagi, ia tiba lebih awal dari siapa pun. Tangannya terampil menyapu ruang kelas, menghapus papan tulis, dan merapikan meja-meja kayu yang sudah mulai reyot. Sekolah itu memang tak sempurna, tapi bagi Mahira, tempat ini adalah rumah bagi ilmu.

Hari itu, seperti biasa, anak-anak mulai berdatangan dengan langkah-langkah kecil mereka yang berdebu. Beberapa di antara mereka bahkan masih mengenakan pakaian seadanya, lusuh namun tetap bersemangat.

“Aska, kamu habis main lumpur?” tanya Mahira sambil menatap bocah itu yang celananya penuh tanah kering.

Aska nyengir. “Bukan, Bu! Aku bantu Ibu panen padi tadi pagi. Habis itu langsung ke sini.”

Mahira tersenyum kecil. Bocah itu memang selalu datang dalam keadaan sedikit berantakan, tapi otaknya cemerlang. Ia sering menjelaskan pelajaran matematika ke teman-temannya dengan cara yang bahkan lebih mudah dipahami daripada buku ajar.

Di sudut lain kelas, Kirana duduk diam sambil menulis sesuatu di bukunya. Gadis itu memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan pena dan kertas daripada bermain dengan teman-temannya.

“Kirana, kamu nulis apa?” tanya Aska penasaran, ikut mengintip ke arah bukunya.

Kirana buru-buru menutup halaman yang tadi ia tulis. “Enggak apa-apa.”

“Asik! Pasti lagi bikin cerita lagi, ya?” goda Aska. “Kamu tuh tiap hari nulis, kapan bacanya?”

Mahira memperhatikan interaksi mereka dengan senyum tipis. Kirana memang pemalu, tapi diam-diam ia punya bakat luar biasa dalam merangkai kata. Sayangnya, beberapa anak lain sering mengejeknya karena dianggap aneh.

“Menulis itu bagus, Aska,” kata Mahira akhirnya. “Kirana bisa jadi penulis hebat suatu hari nanti.”

Kirana tersenyum tipis, tapi tak mengatakan apa-apa. Ia terlalu sering mendengar orang-orang bilang bahwa tulisannya tak akan membawanya ke mana-mana.

Pelajaran hari itu berlangsung seperti biasa, meskipun gangguan kecil tetap ada—seperti bocornya atap yang membuat beberapa murid harus berpindah duduk agar tidak kehujanan saat pelajaran berlangsung. Namun, tak ada yang mengeluh. Mereka sudah terbiasa.

Saat jam istirahat, beberapa anak berlarian ke halaman, sementara Mahira duduk di kursi kayu sambil menatap sekolah ini dengan penuh pemikiran. Ia tahu, sekolah ini bisa runtuh kapan saja. Jika terus begini, bukan hanya bangunannya yang hilang, tapi juga harapan anak-anak di desa ini.

Seorang guru muda dari kota bernama Pak Saka pernah berkata padanya beberapa minggu lalu, “Mahira, aku dengar sekolah ini bakal ditutup kalau muridnya makin sedikit.”

Saat itu, Mahira hanya diam. Tapi kata-kata itu terus terngiang.

Tidak, sekolah ini tidak boleh tutup. Harus ada cara untuk menyelamatkannya.

Mimpi di Antara Sawah dan Buku

Malam di Desa Rantau Karya selalu tenang, hanya diiringi suara jangkrik dan gemerisik daun yang tertiup angin. Namun, di sebuah rumah kecil di pinggir sawah, Aska masih terjaga. Tangannya sibuk menggambar sesuatu di kertas bekas bungkus gula yang ia temukan di dapur.

“Aska, tidur! Besok kamu sekolah,” suara ibunya terdengar dari dalam kamar.

“Sebentar lagi, Bu!” sahutnya sambil terus menggoreskan garis-garis lurus, mencoba membangun sesuatu dalam imajinasinya.

Ia menggambar jembatan. Bukan sembarang jembatan, tapi jembatan kayu yang kuat dan bisa dilewati anak-anak desa saat hujan tiba. Jembatan impian—begitulah ia menyebutnya. Saat ini, anak-anak harus melewati jalan becek penuh lumpur jika ingin ke sekolah. Jika hujan turun, mereka bahkan tak bisa lewat sama sekali.

Di rumah lain yang tak jauh dari sana, Kirana juga belum tidur. Ia duduk di bawah lampu minyak, menulis dalam buku lusuhnya. Tangannya lincah, menciptakan cerita tentang seorang anak perempuan yang menemukan buku ajaib dan mengubah desanya dengan tulisan.

Saat sedang asyik menulis, tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Kirana, ngapain kamu malam-malam begini masih nulis?” suara kakaknya, Adi, terdengar ketus.

Kirana buru-buru menutup bukunya. “Aku cuma… belajar.”

Adi mendecak. “Udahlah, Kirana. Nulis terus, nanti juga nggak ada gunanya. Ibu dan Bapak lebih butuh kamu bantu di ladang.”

“Tapi aku mau jadi penulis,” gumam Kirana, hampir tak terdengar.

Adi menghela napas, lalu duduk di pinggir ranjang. “Dengar, aku juga dulu punya mimpi. Tapi mimpi nggak kasih makan, Kirana. Besok bantu Ibu jual hasil panen di pasar, ya.”

Kirana menggigit bibirnya. Ia tahu keluarganya sedang kesulitan. Menulis memang tak menghasilkan uang—setidaknya belum. Tapi bagaimana jika suatu hari nanti?

Keesokan paginya di sekolah, Aska dan Kirana sama-sama terlihat mengantuk.

“Kamu kenapa, Kirana?” tanya Aska sambil menguap. “Kayaknya kamu lebih pucat dari biasanya.”

“Nggak apa-apa,” jawab Kirana pelan.

Bu Mahira yang memperhatikan mereka dari meja guru akhirnya bicara, “Kalian berdua kenapa? Kalau kurang tidur, belajar juga jadi nggak fokus.”

Aska tersenyum lelah. “Aku cuma lagi gambar sesuatu semalam, Bu. Aku punya ide bikin jembatan dari kayu supaya kita nggak kesusahan kalau hujan.”

Mata Mahira berbinar mendengar itu. “Ide yang bagus, Aska! Kamu sudah membuat perhitungannya?”

“Belum sih, aku cuma gambar-gambar aja. Tapi aku yakin pasti bisa dibuat.”

Mahira menepuk bahu Aska. “Nanti habis sekolah, tunjukkan gambarnya ke Ibu, ya. Mungkin kita bisa buat sesuatu dari ide kamu.”

Sementara itu, Kirana hanya diam, memainkan ujung bukunya dengan gelisah.

“Kirana, kamu juga terlihat tidak semangat hari ini,” ujar Mahira.

Kirana mengangkat wajah. “Aku cuma… ngerasa percuma aja kalau terus nulis. Kata orang, itu nggak ada gunanya.”

Mahira menatapnya dalam, lalu tersenyum lembut. “Siapa yang bilang? Kalau menulis nggak ada gunanya, dunia ini nggak bakal punya buku, surat kabar, atau cerita yang menginspirasi.”

“Tapi keluargaku butuh aku bantu mereka,” Kirana mengaku dengan suara lirih.

Mahira berpikir sejenak, lalu berkata, “Kirana, Ibu nggak akan menyuruhmu berhenti bantu orang tuamu. Tapi Ibu juga ingin kamu tahu, kalau kamu punya bakat, kamu harus berjuang untuk itu. Mungkin sekarang terasa sulit, tapi kalau kamu terus menulis, siapa tahu suatu hari tulisanmu akan mengubah sesuatu.”

Kirana tidak langsung menjawab. Tapi di dalam hatinya, kata-kata itu terus terngiang.

Di sekolah yang hampir roboh itu, dua anak dengan mimpi besar sedang berjuang. Aska dengan jembatannya, Kirana dengan ceritanya. Namun, mereka belum tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai.

Festival Harapan

Hari itu, langit Desa Rantau Karya begitu cerah, seolah ikut mendukung semangat yang sedang menyala di sekolah kecil di atas bukit. Namun, di balik cahaya mentari yang hangat, bayangan ketidakpastian masih menggantung.

Pak Saka, guru muda dari kota, datang ke sekolah membawa kabar buruk. “Mahira, aku sudah dengar dari orang dinas. Kalau dalam dua bulan jumlah murid di sekolah ini nggak bertambah, kemungkinan besar sekolah ini akan ditutup.”

Mahira menghela napas panjang. “Aku sudah menduganya. Tapi kita nggak bisa diam aja. Harus ada cara buat menyelamatkan sekolah ini.”

Pak Saka menatapnya serius. “Kamu punya rencana?”

Mahira berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. “Festival Pendidikan.”

Pak Saka mengernyit. “Festival?”

“Iya. Kita tunjukkan ke warga desa kalau sekolah ini masih hidup. Kalau anak-anak di sini punya potensi. Kita buat acara yang menarik supaya makin banyak orang tertarik buat menyekolahkan anaknya di sini.”

Keesokan harinya, Mahira mengumpulkan murid-muridnya di halaman sekolah yang penuh rerumputan liar.

“Kalian semua mau sekolah ini tetap ada, kan?” tanyanya dengan suara lantang.

“Mau, Bu!” jawab mereka serempak.

“Kalau gitu, kita harus berjuang. Kita akan buat Festival Pendidikan, di mana semua orang bisa lihat betapa luar biasanya kalian!”

Anak-anak saling berpandangan.

“Aska, kamu bisa bikin miniatur jembatanmu buat dipamerkan di festival,” ujar Mahira.

Aska langsung bersinar. “Beneran, Bu? Aku boleh?”

“Tentu saja! Dan Kirana, kamu bisa membaca cerita buatanmu di panggung.”

Kirana menelan ludah. “Aku… di depan orang banyak?”

Mahira tersenyum meyakinkan. “Ya. Tulisanmu bagus, Kirana. Sudah saatnya kamu berbagi dengan orang lain.”

Hari-hari berikutnya penuh kesibukan. Murid-murid bergotong-royong membersihkan sekolah. Aska sibuk dengan potongan kayu kecilnya, mencoba membangun miniatur jembatan impiannya. Kirana menulis naskah ceritanya sambil terus berlatih membaca dengan lantang, meskipun suaranya masih sering bergetar.

Sementara itu, Mahira dan Pak Saka menyebarkan kabar ke warga desa, berharap banyak yang akan datang.

Hari festival pun tiba.

Sejak pagi, halaman sekolah sudah ramai. Warga desa yang biasanya tak peduli dengan sekolah kini berdatangan. Beberapa membawa jajanan, beberapa datang hanya karena penasaran. Tapi yang jelas, perhatian mereka tertuju pada panggung kecil yang dibuat dari meja-meja tua.

Pertunjukan pertama dimulai. Anak-anak menampilkan tarian daerah, lalu ada kuis pendidikan dengan hadiah kecil dari Mahira dan Pak Saka.

Kemudian, tibalah giliran Aska.

Dengan penuh percaya diri, ia membawa miniatur jembatan kayunya ke depan dan mulai menjelaskan. “Aku buat ini karena aku tahu kalau hujan turun, jalanan desa jadi susah dilewati. Aku pengen suatu hari nanti bisa bikin jembatan beneran buat kita semua!”

Orang-orang bersorak, beberapa orang tua saling berbisik. Bocah itu memang cerdas, pikir mereka.

Lalu, tibalah giliran Kirana.

Gadis itu berdiri di atas panggung dengan tangan gemetar, menatap puluhan pasang mata yang tertuju padanya.

Kirana menarik napas dalam, lalu mulai membaca.

Suasana berubah hening. Kata-katanya mengalir, menceritakan kisah tentang seorang gadis yang bermimpi besar meski hidupnya penuh keterbatasan. Kata-katanya menyentuh hati. Beberapa ibu-ibu bahkan mengusap air mata tanpa sadar.

Saat Kirana menyelesaikan ceritanya, tepuk tangan bergema di seluruh halaman sekolah.

Kirana menunduk, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa tulisannya dihargai.

Di antara kerumunan, seorang pria dengan kamera menggantung di lehernya tersenyum kagum. Tanpa mereka sadari, festival kecil ini akan membawa perubahan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Lentera yang Tak Padam

Festival Pendidikan di sekolah tua itu menjadi perbincangan seluruh desa. Kabar tentang anak-anak berbakat di sekolah kecil itu menyebar lebih cepat dari angin yang bertiup di antara sawah. Namun, ada satu hal yang tidak disadari oleh Mahira dan murid-muridnya—pria berkamera yang hadir di festival itu bukan sekadar penonton biasa.

Dua hari setelah festival, sebuah artikel muncul di surat kabar lokal dengan judul “Sekolah di Ujung Bukit: Cahaya di Tengah Keterbatasan.” Artikel itu menceritakan perjuangan Mahira, semangat Aska dan Kirana, serta kehangatan yang terasa saat festival berlangsung. Foto Kirana yang sedang membaca ceritanya terpampang besar di halaman utama, begitu pula gambar miniatur jembatan buatan Aska.

Sejak saat itu, sesuatu yang luar biasa terjadi.

Orang-orang dari desa lain mulai datang untuk melihat sekolah itu. Beberapa orang tua yang sebelumnya enggan menyekolahkan anaknya kini berubah pikiran.

“Habis baca koran itu, saya pikir… anak saya juga harus sekolah di sini,” ujar seorang bapak yang datang mendaftarkan putranya.

Tak hanya itu, beberapa donatur mulai tertarik membantu. Seorang pengusaha kayu dari kota menyumbangkan bahan bangunan untuk memperbaiki atap sekolah yang bocor. Seorang arsitek muda menawarkan bantuan untuk merancang jembatan sungguhan berdasarkan ide Aska.

Aska hampir tak percaya saat mendengar berita itu. “Jembatanku bakal beneran dibangun?” tanyanya dengan mata berbinar.

Pak Saka mengangguk. “Iya, Aska. Kamu nggak cuma bermimpi. Kamu bikin sesuatu yang nyata!”

Di sisi lain, Kirana juga mendapat kejutan. Seorang penulis terkenal yang membaca artikel tentangnya mengirimkan surat dan sekotak buku.

“Jangan pernah berhenti menulis. Kata-kata punya kekuatan lebih besar dari yang kamu bayangkan.”

Kirana menangis membaca surat itu. Untuk pertama kalinya, ia percaya bahwa mimpinya bukan sekadar angan-angan.

Sementara itu, Mahira berdiri di depan sekolah, menatap bangunan yang mulai diperbaiki sedikit demi sedikit. Ia menghela napas lega.

Sekolah ini tidak jadi ditutup.

Anak-anak desa masih punya tempat untuk belajar, untuk bermimpi, untuk berjuang.

Dan meskipun ia tahu tantangan akan terus datang, Mahira percaya satu hal—pendidikan adalah lentera yang tak akan pernah padam.

Perjuangan Mahira, Aska, Kirana, dan seluruh murid di sekolah tua itu membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya soal gedung megah atau fasilitas lengkap, tapi tentang semangat, mimpi, dan keberanian untuk terus melangkah.

Dari sebuah desa kecil, mereka berhasil menginspirasi banyak orang, menunjukkan bahwa setiap usaha—sekecil apa pun—bisa membawa perubahan besar. Kisah ini bukan hanya tentang menyelamatkan sebuah sekolah, tapi tentang bagaimana ilmu dan harapan bisa menembus batas keterbatasan. Jadi, apakah kamu siap ikut berjuang untuk pendidikan di sekitarmu? Karena satu cahaya kecil saja bisa menerangi kegelapan yang luas.

Leave a Reply