Cahaya di Balik Kehidupan: Kisah Elio dan Selene Tentang Arti Momen Kecil

Posted on

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup kamu datar banget, kayak kamu cuma ngikutin arus tanpa tahu tujuan yang jelas? Nah, cerita ini bakal ngajak kamu ngeliat gimana dua orang—Elio dan Selene—ngadepin hidup dengan cara yang beda.

Dari kehilangan, nyari arti hidup, sampai belajar nikmatin momen kecil yang sering kita anggap sepele. Penasaran gimana mereka nemuin cahaya di balik semua itu? Yuk, baca sampai habis, oke!

 

Cahaya di Balik Kehidupan

Bayangan di Taman Senja

Matahari mulai merayap turun di ufuk barat, meninggalkan jejak warna jingga keemasan di langit yang sebelumnya biru. Udara sore itu terasa hangat, dan suara gemerisik dedaunan tertiup angin lembut mengiringi langkah Elio Adhara menuju sebuah bangku taman yang biasa ia kunjungi. Elio duduk dengan pandangan kosong, memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Sebagian dari mereka berlari, ada yang sekadar duduk, dan lainnya berjalan cepat dengan telepon di telinga. Semua sibuk dengan dunianya masing-masing.

Elio menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sejak beberapa minggu terakhir, ia kerap datang ke taman ini—tempat yang dulu tak pernah terpikirkan olehnya sebagai destinasi relaksasi. Bagi seorang Elio, pria mapan dengan karier yang cemerlang di sebuah perusahaan besar, waktu adalah uang. Namun, akhir-akhir ini, Elio merasa semua itu tak lagi berarti banyak.

“Gue punya segalanya, tapi kok hati gue kosong ya?” pikirnya.

Dia lalu menunduk, memainkan ponselnya tanpa tujuan. Beberapa notifikasi dari grup pertemanan muncul, namun tak satupun menarik perhatiannya. Sementara itu, di seberang taman, matanya tiba-tiba menangkap sosok seorang wanita muda yang terlihat sibuk mengumpulkan sampah plastik yang berserakan di rerumputan. Rambut hitamnya diikat asal, wajahnya tak begitu jelas karena terhalang bayangan, tapi gerakannya penuh semangat. Dia tampak begitu fokus, seolah-olah membersihkan taman adalah tugas penting yang harus diselesaikan.

Elio memperhatikannya cukup lama, merasa aneh. “Itu siapa sih yang mau repot-repot ngurusin taman kayak gitu?” batinnya.

Waktu berlalu, dan wanita itu tetap tak berhenti. Elio semakin penasaran. Dia berdiri, memasukkan ponselnya ke saku, dan berjalan mendekat tanpa niat apapun selain ingin tahu. Saat jaraknya semakin dekat, Elio baru bisa melihat wajah wanita itu. Kulitnya sawo matang, senyumnya ramah meski ada sedikit lelah di sana, dan matanya berbinar cerah meski sore semakin gelap.

“Elio,” katanya memperkenalkan diri dengan nada ragu, setengah berharap wanita itu tidak berpikir dia aneh karena tiba-tiba menghampiri.

Wanita itu menoleh dan menyunggingkan senyum manis. “Selene,” balasnya singkat, sambil kembali memunguti sampah. “Kamu bisa bantu kalau mau,” tambahnya ringan, tanpa menunggu Elio bicara lebih lanjut.

Elio sedikit terkejut. Biasanya, kalau dia memperkenalkan diri, orang-orang langsung terkesan atau paling tidak pura-pura terpesona. Tapi Selene tampak acuh, bahkan cenderung tenang dan tanpa basa-basi.

“Gue cuma penasaran… kenapa lo ngelakuin ini?” tanya Elio akhirnya, sambil berjongkok di sebelah Selene, mencoba ikut memungut beberapa sampah plastik yang berserakan di rerumputan.

Selene tertawa kecil. “Karena kalau gak ada yang peduli, taman ini bakal rusak. Simpel aja sih. Lagian, gue suka aja ngelakuin hal kecil buat lingkungan. Lo pernah ngerasa damai gak sih, habis beresin sesuatu yang kacau?”

Elio terdiam sejenak, merenungkan jawabannya. Jujur saja, dia hampir tidak pernah memikirkan hal-hal seperti ini. Baginya, taman hanyalah tempat publik yang dirawat oleh dinas kebersihan. Mengapa harus repot-repot terlibat?

“Nggak pernah kepikiran,” jawab Elio sambil terkekeh pelan. “Gue biasanya terlalu sibuk sama kerjaan, jarang punya waktu buat hal-hal kayak gini.”

Selene tersenyum sambil memandangi langit yang mulai memudar warnanya. “Semua orang sibuk. Tapi kadang kita lupa, ada hal-hal kecil yang justru bikin kita lebih tenang. Kebahagiaan itu bukan soal seberapa besar hal yang kita dapat, tapi kadang soal seberapa sederhana kita bisa menikmatinya.”

Elio mengerutkan kening, takjub dengan cara berpikir Selene. Selama ini, ia selalu mengejar hal besar—jabatan, uang, pengakuan. Tapi wanita di depannya ini seolah hidup di dunia yang berbeda. Dengan kesederhanaannya, Selene justru terlihat lebih bahagia.

“Lo selalu begini? Maksud gue, selalu peduli sama hal-hal kecil kayak gini?” tanya Elio, sambil melemparkan botol plastik ke dalam kantong sampah yang dipegang Selene.

Selene tertawa lagi. “Gak selalu. Gue juga manusia biasa, kadang males, kadang capek. Tapi gue percaya, kalau kita bisa ngasih sedikit kebaikan ke dunia, itu udah lebih dari cukup.”

Kata-kata itu menancap dalam di hati Elio. Betapa berbedanya dunia Selene dengan dunianya. Di mana dia selalu mengejar lebih banyak, Selene justru mencari kedamaian dalam hal kecil.

“Kayaknya lo punya cara pandang yang berbeda dari kebanyakan orang ya,” komentar Elio.

“Gak juga sih. Cuma, gue nggak pengen hidup gue cuma numpang lewat tanpa ninggalin sesuatu yang baik buat orang lain. Hidup ini singkat, kenapa gak manfaatin buat bikin orang lain bahagia juga?” jawab Selene sambil menepuk-nepuk tangannya yang mulai kotor.

Elio terdiam lagi. Ada yang menggelitik pikirannya. Dia, yang selama ini fokus pada kesuksesan pribadi, tiba-tiba merasa hidupnya begitu kosong dibandingkan dengan Selene yang hidupnya terlihat jauh lebih sederhana, namun bermakna.

Hari mulai gelap. Selene berdiri, mengangkat kantong sampah yang sudah penuh, lalu menatap Elio dengan senyuman ramah. “Makasih udah bantuin ya. Gue harus pulang sekarang. Sampai ketemu lagi?”

Elio hanya mengangguk pelan. “Iya, mungkin besok gue akan datang lagi.”

Selene tersenyum lagi sebelum berbalik meninggalkan taman, meninggalkan Elio yang masih berdiri di sana dengan pikiran yang mulai berubah.

Sambil berjalan pulang, Elio merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—perasaan lega. Mungkin benar, hidup ini bukan hanya tentang pencapaian besar. Mungkin, hidup juga tentang hal-hal kecil yang seringkali kita lewatkan.

Dan sejak hari itu, Elio tahu bahwa pertemuannya dengan Selene bukanlah kebetulan.

 

Percakapan di Tengah Kesederhanaan

Keesokan harinya, Elio kembali ke taman itu. Dia datang dengan perasaan yang berbeda—lebih ringan, seolah-olah beban di pundaknya berkurang sedikit. Mungkin karena percakapannya dengan Selene kemarin. Entah mengapa, Elio merasa ada sesuatu yang ingin ia ketahui lebih banyak dari gadis sederhana itu.

Taman masih sepi ketika Elio tiba. Matahari baru saja naik, memancarkan sinar hangat yang membasahi rumput dan pepohonan. Elio memilih duduk di bangku yang sama seperti kemarin, menunggu sambil menatap sekeliling.

Tak lama kemudian, Selene muncul dari ujung jalan setapak, seperti kemarin, dengan langkah ringan dan senyum yang sama. Kantong sampah yang ia bawa terayun di tangan kanannya. Dia tampak seperti orang yang benar-benar menikmati rutinitas kecilnya ini.

“Hey, lo datang lagi,” sapanya sambil mendekat. Tidak ada nada kaget di suaranya, seolah-olah dia sudah menduga Elio akan kembali.

Elio tersenyum tipis. “Iya, kayaknya gue penasaran sama taman ini. Atau mungkin, sama lo,” katanya setengah bercanda.

Selene tertawa kecil, lalu duduk di bangku yang sama dengan Elio. Dia meletakkan kantong sampahnya di samping, dan untuk sesaat, keduanya hanya duduk diam menikmati udara pagi.

“Elio, kenapa lo balik lagi ke sini?” Selene akhirnya bertanya dengan nada santai, namun ada rasa ingin tahu dalam sorot matanya.

Elio mengangkat bahu. “Gue gak tahu pasti. Mungkin karena lo bikin gue mikir soal hidup kemarin. Rasanya, gue selama ini kayak robot. Kerja, ngejar target, dapet ini itu, tapi tetap aja kosong. Sedangkan lo… lo kayak orang yang udah tau apa tujuan hidup lo. Gue jadi penasaran.”

Selene menatap Elio sejenak, lalu tersenyum. “Semua orang pasti pernah merasa kayak gitu, kok. Kadang kita terlalu sibuk nyari sesuatu yang besar, sampe lupa kalau hal-hal kecil di sekitar kita juga punya makna.”

“Kayak lo yang beresin taman ini tiap hari?” Elio bertanya, setengah serius.

“Bisa dibilang begitu,” Selene menjawab ringan. “Ini cuma hal kecil, tapi bikin gue senang. Gue gak berharap dapat penghargaan atau pujian. Buat gue, cukup kalau taman ini bisa tetap bersih dan nyaman buat orang lain.”

Elio terdiam mendengar jawaban itu. Cara pandang Selene yang sederhana benar-benar bertolak belakang dengan dirinya. Di dunia Elio, segalanya tentang pencapaian, tentang siapa yang bisa mendapat lebih banyak, lebih cepat, dan lebih tinggi. Sementara Selene hidup dengan nilai-nilai yang berbeda—membuat Elio semakin tertarik untuk memahami.

“Lo gak pernah pengen yang lebih dari hidup lo?” tanya Elio, kali ini suaranya lebih pelan. “Lo gak pernah pengen punya semua yang lo mau?”

Selene memandang Elio dengan sorot mata yang lebih dalam dari biasanya. “Gue gak bilang gue gak pengen apa-apa. Gue juga punya mimpi, Elio. Tapi gue gak ngerasa kalau semua mimpi itu harus diwujudkan sekarang, atau dengan cara yang orang lain anggap ‘hebat.’ Gue cuma pengen hidup dengan cara yang gue nikmati, tanpa terlalu dibebani ekspektasi yang besar. Lo ngerti maksud gue?”

Elio mengangguk perlahan. Ada sesuatu dalam kata-kata Selene yang membuatnya merenung. Ternyata, hidup tak selalu harus dipenuhi dengan ambisi besar untuk merasa berarti. Ada kebahagiaan dalam melakukan hal-hal kecil dengan tulus.

Mereka kembali duduk diam, membiarkan keheningan taman menemani pikiran masing-masing. Tiba-tiba, Selene mengubah posisi duduknya, menoleh ke arah Elio dan berkata dengan nada yang lebih ceria.

“Lo pernah ikut bantu-bantu di taman kayak gini?” tanya Selene sambil menunjuk kantong sampah yang tadi dia bawa.

Elio tertawa kecil. “Gue? Bantuin? Kayaknya enggak pernah deh. Buat gue, taman ini cuma tempat buat lari pagi atau sekedar duduk aja.”

Selene menggeleng pelan, seolah tidak terkejut dengan jawaban itu. “Nah, hari ini kesempatan lo buat nyoba. Gak usah muluk-muluk, cukup bantuin gue kumpulin sampah lagi.”

Elio mengerutkan dahi, merasa sedikit canggung dengan ajakan itu. “Serius lo ngajak gue ngumpulin sampah, lagi?”

Selene mengangguk, tersenyum penuh percaya diri. “Kenapa enggak? Lo gak bakal tau serunya kalau gak pernah coba. Lagian, ini bisa jadi pengalaman baru buat lo, kan?”

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Selene berdiri dan mulai berjalan ke arah yang berbeda, mencari sampah-sampah kecil yang terserak di rerumputan. Elio, yang awalnya merasa ragu, akhirnya mengikuti langkah Selene.

Selama beberapa menit berikutnya, Elio mencoba beradaptasi dengan tugas barunya—memungut sampah yang berserakan di taman. Awalnya, ia merasa canggung, tapi lama-kelamaan, ada semacam perasaan puas yang muncul setiap kali ia melemparkan sampah ke dalam kantong. Aneh, tapi Elio mulai mengerti apa yang dimaksud Selene tentang kebahagiaan dari hal kecil.

“Gimana rasanya?” Selene bertanya sambil tersenyum usil ketika Elio mendekatkan kantong sampah yang mulai penuh.

Elio menarik napas panjang dan tersenyum tipis. “Jujur, gak seburuk yang gue kira. Rasanya… menyenangkan juga, ya.”

Selene tertawa. “Tuh kan, gue bilang juga apa. Kadang hal kecil gini bisa bikin lo lebih lega.”

Mereka berdua duduk kembali di bangku taman, masing-masing dengan kantong sampah yang penuh. Elio merasa sedikit kelelahan, tapi ada rasa puas yang tidak ia rasakan selama bertahun-tahun. Percakapan sederhana dengan Selene, ditambah kegiatan kecil tadi, membuat pikirannya lebih tenang daripada hari-hari sibuknya di kantor.

“Gue belajar banyak dari lo,” kata Elio akhirnya. “Tentang gimana cara lo nikmatin hidup. Mungkin selama ini gue terlalu keras sama diri gue sendiri.”

Selene memandang Elio dengan mata berbinar. “Semua orang punya jalannya masing-masing. Yang penting, lo sadar kapan harus istirahat dan kapan harus ngejar mimpi lo. Hidup gak perlu buru-buru, Elio.”

Elio tersenyum. Kata-kata Selene terasa begitu benar di hatinya. Mungkin, selama ini ia terlalu terobsesi dengan tujuan besar yang bahkan tak ia sadari, ia lupa bagaimana caranya menikmati proses dan menghargai hal-hal kecil di sekelilingnya.

 

Sebuah Malam yang Tak Terduga

Malam itu, Elio sedang duduk di depan layar laptopnya. Seharusnya, dia mengerjakan laporan bulanan untuk proyek yang sedang ia tangani, tapi pikirannya terus saja kembali ke taman, ke percakapan dengan Selene, dan ke perasaan tenang yang tiba-tiba memenuhi dirinya sejak pertemuan itu. Selene. Gadis sederhana yang perlahan tapi pasti, membuat Elio melihat hidup dengan cara yang berbeda.

Dari layar laptopnya, tampak setumpuk angka dan grafik yang terus menuntut perhatiannya. Namun, semakin lama Elio menatapnya, semakin hilang motivasinya untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Dia mendesah berat dan akhirnya menutup laptopnya.

Malam terasa begitu sunyi, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Elio merasa ingin keluar, sekadar berjalan-jalan, menghirup udara malam. Taman sepertinya masih menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi—bahkan dalam suasana malam.

Berbekal jaket dan earphone, Elio keluar dari apartemennya. Jalan-jalan kota mulai sepi, hanya beberapa kendaraan yang lewat. Lampu-lampu jalan menyinari trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan yang bergerak pelan seiring langkah Elio.

Sesampainya di taman, Elio tak terlalu berharap banyak. Biasanya, taman itu akan kosong di malam hari, hanya menyisakan suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Namun kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Di salah satu bangku taman, Selene duduk sendirian, ditemani secangkir kopi di tangannya.

Elio berhenti sejenak, terkejut sekaligus penasaran. Apa yang dilakukan Selene di sini malam-malam begini?

Dia mendekat perlahan, lalu menyapa dengan suara pelan, “Selene?”

Selene menoleh dan tersenyum begitu melihat Elio. “Elio! Gue gak nyangka lo bakal datang ke sini malam-malam.”

Elio duduk di bangku yang sama dengannya. “Harusnya gue yang bilang gitu. Apa yang lo lakuin di sini?”

Selene tertawa kecil, menyesap kopinya sebelum menjawab. “Kadang gue suka datang ke sini malam-malam. Suasana malam itu beda, lebih tenang, lebih bebas. Gue bisa duduk lama sambil mikir tanpa terganggu. Lo sendiri? Kok lo di sini?”

Elio menghela napas panjang. “Gue… bosen aja di rumah. Kayaknya pekerjaan udah bikin gue jenuh. Dan entah kenapa, gue kepikiran buat ke sini. Sepertinya tempat ini udah jadi semacam pelarian buat gue.”

Selene tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Taman ini punya efek gitu, ya. Mungkin karena suasananya yang sederhana, tapi bikin orang nyaman.”

Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, membiarkan suasana malam meresap ke dalam pikiran masing-masing. Ada sesuatu yang magis tentang malam ini—tidak seperti malam biasanya. Ada ketenangan yang mendalam, dan Elio merasa terhubung dengan Selene lebih dari sebelumnya.

“Lo tahu gak, gue gak nyangka bisa ketemu orang kayak lo,” kata Elio tiba-tiba, memecah kesunyian. “Maksud gue, gue sering banget ke taman ini, tapi lo muncul di waktu yang tepat ketika gue ngerasa kayak butuh sesuatu yang lebih dari hidup gue.”

Selene menatap Elio dengan serius. “Kebetulan mungkin, atau bisa juga takdir. Kadang orang muncul di hidup kita karena ada alasan tertentu, tapi kita baru sadar itu setelah semuanya berlalu.”

Elio terdiam, merenungkan kata-kata itu. Mungkin ada benarnya. Mungkin Selene memang hadir di waktu yang tepat dalam hidupnya, saat dia sedang berada di persimpangan jalan, mencari arah baru.

“Apa lo pernah ngerasa kayak gini sebelumnya?” tanya Elio. “Maksud gue, ketemu orang yang bikin lo mikir ulang tentang hidup lo?”

Selene berpikir sejenak sebelum menjawab. “Gue pernah. Ada seseorang yang pernah hadir di hidup gue, yang ngerubah cara gue liat dunia. Tapi… dia gak lama ada di hidup gue. Dia pergi, dan itu ngebuat gue makin yakin kalau hidup gue harus gue jalanin dengan cara gue sendiri.”

Elio menatap Selene dengan tatapan penasaran. “Siapa orang itu?”

Selene tersenyum samar, tapi ada bayangan kesedihan di matanya. “Seseorang dari masa lalu gue. Gak penting siapa dia sekarang, yang jelas, dia ngajarin gue banyak hal. Dan setelah dia pergi, gue belajar untuk menghargai momen-momen kecil dalam hidup.”

Elio ingin bertanya lebih jauh, tapi dia merasakan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk menggali lebih dalam. Selene mungkin punya masa lalu yang tidak ingin dia ungkapkan sepenuhnya. Tapi satu hal yang jelas—Selene adalah seseorang yang telah melalui banyak hal, dan itu membuat Elio semakin mengaguminya.

Malam semakin larut, namun mereka berdua tak menunjukkan tanda-tanda ingin pulang. Seolah-olah taman ini menjadi tempat di mana waktu berhenti dan dunia di luar tidak lagi penting. Mereka terus berbicara, dari hal-hal kecil seperti cuaca hingga percakapan yang lebih mendalam tentang tujuan hidup.

“Apa lo gak takut?” tanya Elio tiba-tiba.

Selene menatapnya, bingung. “Takut apa?”

“Takut… kalau lo terus hidup seperti ini, tanpa tujuan besar, tanpa rencana masa depan yang jelas. Gimana kalau suatu hari lo sadar kalau lo ketinggalan banyak hal?”

Selene tersenyum kecil. “Gue gak takut. Karena buat gue, setiap hari itu penting. Setiap langkah yang gue ambil, sekecil apa pun, adalah bagian dari perjalanan gue. Gue gak perlu ngejar tujuan yang besar buat merasa berarti. Yang penting, gue menikmati setiap momennya.”

Jawaban itu membuat Elio tertegun. Selene benar-benar berbeda dari kebanyakan orang yang dia kenal. Dia hidup dengan cara yang sederhana, tapi memiliki kedalaman yang luar biasa.

“Elio, lo masih punya waktu buat nemuin cara hidup lo sendiri,” lanjut Selene. “Gue gak bilang cara hidup gue yang paling bener, tapi kalau lo mulai belajar buat menghargai hal-hal kecil di sekitar lo, mungkin lo bisa nemuin makna yang lo cari.”

Elio tersenyum, merasa sedikit lebih ringan. “Mungkin lo bener. Selama ini gue terlalu fokus sama tujuan besar, sampe lupa gimana caranya menikmati hidup.”

Suasana hening lagi, tapi kali ini, itu adalah keheningan yang nyaman. Mereka hanya duduk di bangku taman, menikmati malam yang tenang, sementara cahaya bulan lembut menerangi wajah mereka.

“Selene,” Elio akhirnya berkata dengan suara yang lebih tenang, “gue bersyukur ketemu lo. Mungkin lo gak sadar, tapi lo udah banyak bantu gue ngebuka mata tentang hidup.”

Selene hanya tersenyum hangat. “Gue juga bersyukur bisa kenal lo, Elio. Lo orang yang baik, lo cuma perlu waktu buat nemuin arah lo sendiri.”

Malam itu, di bawah sinar bulan dan langit berbintang, Elio merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—Selene telah memberikan perspektif baru tentang hidup yang belum pernah dia sadari sebelumnya.

 

Menemukan Cahaya di Tengah Kegelapan

Pagi datang terlalu cepat. Elio terbangun dengan perasaan baru yang entah bagaimana sulit ia deskripsikan. Malam itu bersama Selene terasa seperti mimpi, tapi dampaknya begitu nyata. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus memikirkan setiap kata yang Selene ucapkan. Tentang makna hidup, kebahagiaan kecil, dan bagaimana menikmati perjalanan alih-alih hanya fokus pada tujuan.

Namun, ada satu hal yang mengganjal di hati Elio—rahasia Selene tentang masa lalunya. Seolah ada bagian dari Selene yang masih belum ia pahami sepenuhnya. Elio sadar, jika ia ingin lebih jauh mengenalnya, dia harus siap menerima apa pun yang Selene sembunyikan.

Hari itu, Elio memutuskan untuk bertemu lagi dengan Selene. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai antara mereka—bukan hanya dalam percakapan, tapi dalam perjalanan hidup masing-masing. Ia ingin mendengar lebih banyak, memahami lebih dalam.

Setelah beberapa pesan singkat, mereka sepakat bertemu di kafe kecil dekat taman tempat mereka sering berbincang. Selene sudah menunggu ketika Elio tiba, duduk di sudut dengan cangkir kopi di tangannya. Kali ini, ada aura tenang yang sama, tapi dengan sedikit bayangan gelisah di balik mata Selene.

“Elio,” sapa Selene lembut. “Lo gak capek ketemu gue terus-terusan?”

Elio tertawa kecil, duduk di hadapannya. “Capek sih enggak. Tapi gue jadi penasaran—gimana lo bisa keliatan selalu tenang? Lo punya masalah apa pun, lo selalu keliatan oke.”

Selene tersenyum, tapi kali ini senyumnya lebih lemah dari biasanya. “Lo tahu, Elio… kadang tenang bukan berarti gak ada apa-apa. Gue ngelewatin banyak hal dalam hidup gue, dan semua itu ngajarin gue untuk gak terlalu banyak berharap atau takut. Gue cuma berusaha ngelewatin hari-hari gue dengan senyuman.”

Elio mengangguk pelan, tapi tatapannya tajam. “Gue ngerti. Tapi gue juga tahu kalau lo punya masa lalu yang lo gak mau ceritain. Gue gak mau maksa lo cerita, tapi gue pengen lo tahu kalau gue di sini buat dengerin, kapan pun lo siap.”

Selene terdiam. Dia menatap secangkir kopinya sejenak, seolah merenung. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, dia mulai berbicara.

“Waktu itu gue masih muda, mungkin terlalu muda buat ngerti hidup sepenuhnya. Gue ketemu seseorang yang gue pikir bakal jadi segalanya buat gue. Dia ngasih gue harapan, mimpi, tapi akhirnya dia pergi. Bukan pergi dalam arti pindah tempat atau ninggalin gue—dia pergi selamanya.”

Elio membeku. “Dia… meninggal?”

Selene mengangguk, wajahnya masih terarah pada kopinya. “Iya. Dia kecelakaan. Dan setelah itu, hidup gue berubah. Gue mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Gue sadar kalau hidup ini gak bisa diprediksi, dan karena itu, gue berhenti terlalu peduli sama hal-hal besar. Gue mulai hidup untuk momen-momen kecil yang bisa gue nikmatin sekarang, karena gue tahu semuanya bisa hilang dalam sekejap.”

Elio merasa hatinya ikut berat mendengar cerita itu. Dia bisa membayangkan betapa hancurnya Selene setelah kehilangan orang yang dia sayangi, dan betapa kuatnya Selene harus membangun dirinya kembali dari kehancuran itu.

“Gue… gak tahu harus bilang apa,” kata Elio pelan. “Gue cuma bisa bilang, gue kagum sama lo. Lo masih bisa berdiri dan menghadapi hidup meskipun lo udah kehilangan hal yang penting.”

Selene tersenyum, kali ini sedikit lebih tulus. “Gue gak sempurna, Elio. Kadang gue masih ngerasa kehilangan, masih ngerasa sakit, tapi gue berusaha buat tetap jalan ke depan. Gue percaya, selama kita bisa menghargai setiap momen, kita bisa menemukan kebahagiaan, walaupun cuma sedikit.”

Elio terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Selene menyelinap ke dalam pikirannya. Mungkin itulah yang selama ini dia cari—cara untuk menghadapi ketidakpastian hidup tanpa rasa takut berlebihan. Dan Selene, dengan segala kesederhanaannya, telah mengajarkannya hal itu.

“Lo benar, Selene,” ujar Elio akhirnya. “Hidup bukan tentang seberapa besar mimpi yang kita kejar, tapi tentang seberapa dalam kita bisa menikmati setiap langkah. Gue selalu fokus sama tujuan besar gue, tapi ternyata gue lupa menikmati hal-hal kecil di sepanjang jalan.”

Selene tersenyum, menyesap kopi terakhir dari cangkirnya. “Gue senang kalau lo bisa ngambil sesuatu dari cerita gue, Elio. Tapi ingat, kita semua punya cara sendiri untuk menjalani hidup. Apa yang gue alami mungkin beda sama apa yang lo akan alamin. Yang penting, lo gak takut buat terus maju.”

Setelah percakapan panjang itu, Elio merasa hatinya lebih ringan. Selene sudah membuka bagian terdalam dari dirinya yang paling rapuh, dan entah bagaimana, itu membuat hubungan mereka semakin dekat. Bukan hubungan romantis seperti yang sering dipikirkan orang, tapi sebuah ikatan yang dalam dan saling memahami.

Hari mulai sore ketika mereka meninggalkan kafe. Di luar, angin sore berhembus lembut, membawa aroma dedaunan kering yang beterbangan. Mereka berjalan beriringan tanpa bicara, tapi keheningan itu terasa nyaman. Dunia di sekitar mereka bergerak, tapi mereka tetap dalam momen itu—sebuah momen yang tak perlu dijelaskan, hanya perlu dirasakan.

“Elio,” Selene memecah keheningan saat mereka tiba di ujung jalan, “terima kasih udah ada buat dengerin cerita gue.”

Elio menatap Selene dan mengangguk. “Selalu. Gue gak akan pergi ke mana-mana, Selene. Lo bisa cerita apa pun ke gue, kapan pun lo butuh.”

Selene tersenyum lagi, kali ini dengan cahaya di matanya yang tak pernah Elio lihat sebelumnya. Mungkin Selene sudah menemukan sedikit kedamaian dari cerita yang selama ini dia pendam. Mungkin, malam ini adalah awal dari perjalanan baru—bukan hanya untuk Selene, tapi juga untuk Elio.

Ketika mereka berpisah, Elio merasa hidupnya telah berubah. Selene telah mengajarinya tentang cara melihat hidup dengan lebih sederhana, tentang pentingnya menghargai momen-momen kecil, dan tentang keberanian untuk terus maju meskipun kita tak tahu apa yang ada di depan.

Malam itu, sebelum tidur, Elio memejamkan matanya dengan perasaan tenang yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mungkin hidup tak selalu harus dipenuhi dengan mimpi-mimpi besar. Mungkin, kebahagiaan sejati ada di momen-momen kecil yang sering kita abaikan.

Dan mungkin, Selene telah membawa cahaya baru dalam hidupnya, seperti bulan yang bersinar lembut di malam gelap.

 

Jadi, itulah perjalanan Elio dan Selene. Dari obrolan biasa sampai ngebuka hati soal hidup dan kehilangan. Kadang, kita terlalu fokus sama hal-hal besar dan lupa nikmatin momen kecil yang sebenarnya bisa bikin kita bahagia.

Intinya, hidup nggak harus selalu dipenuhi mimpi-mimpi gede. Kadang, yang kita butuhin cuma berhenti sebentar dan nikmatin apa yang ada di depan mata. Gimana? kamu sendiri udah nemuin cahaya kamu belum?

Leave a Reply