Daftar Isi
Di tengah kesederhanaan hidup di desa, seorang ibu bernama Sariwulan menyalakan lentera literasi untuk anak-anaknya, mengubah buku-buku lusuh menjadi jembatan menuju mimpi yang lebih besar. Cahaya di Balik Halaman adalah cerpen menyentuh yang menggambarkan perjuangan seorang ibu dalam menanamkan cinta membaca di hati anak-anaknya, meski dihadapkan pada kemiskinan dan tantangan hidup. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami kisah inspiratif ini, mengeksplorasi pentingnya literasi keluarga, dan bagaimana peran ibu menjadi fondasi pendidikan yang tak tergantikan.
Cahaya di Balik Halaman
Bayang-Bayang di Rumah Kayu
Langit senja di Desa Lembayung memerah bagai lukisan cat air yang meleleh, menyisakan rona jingga di ujung cakrawala. Di sebuah rumah kayu bercat pudar, aroma tanah basah bercampur bau kayu lapuk menyelinap melalui celah-celah dinding. Rumah itu berdiri sederhana, dengan atap genting yang beberapa helai sudah retak, dan sebuah beranda kecil tempat sepeda tua berkarat bersandar. Di dalamnya, Nyai Sariwulan duduk di kursi goyang tua, tangannya memegang buku lusuh berjudul Kisah-Kisah dari Negeri Jauh. Matanya yang mulai keruh menelusuri baris demi baris, meski lampu minyak di meja sampingnya hanya menyisakan cahaya redup.
Sariwulan, perempuan berusia lima puluh tujuh tahun, memiliki wajah yang penuh garis-garis waktu, namun matanya menyimpan kilau semangat yang tak pernah padam. Rambutnya yang mulai memutih disanggul sederhana, dan baju kebaya usang yang dikenakannya tampak seperti peninggalan masa muda yang ia rawat dengan penuh kasih. Di depannya, tiga anaknya—Galangkara, Lintangwati, dan Bayucandra—duduk di tikar pandan, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda.
Galangkara, yang baru berusia tujuh belas tahun, bersandar ke dinding dengan wajah bosan. Matanya melirik ke luar jendela, seolah ingin melarikan diri dari ruangan itu. Rambutnya yang sedikit gondrong dan kaus oblong yang sedikit robek di bagian lengan menunjukkan sifatnya yang cuek, namun di balik itu, ia menyimpan keresahan yang tak pernah diucapkannya. Lintangwati, adiknya yang berusia empat belas tahun, duduk dengan kaki disilang, tangannya sibuk menggambar pola tak jelas di tikar dengan jari telunjuknya. Rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda seringkali jatuh menutupi wajahnya, seolah ia ingin menyembunyikan diri dari dunia. Bayucandra, si bungsu yang baru berusia sembilan tahun, adalah satu-satunya yang tampak antusias. Matanya yang bulat dan pipinya yang tembam bergerak-gerak saat ia mencondongkan tubuh, menunggu ibunya mulai membaca.
“Malam ini,” suara Sariwulan lembut namun tegas, “kita akan membaca tentang seorang pengelana yang menemukan kota terbuat dari emas di ujung dunia.”
Bayucandra tersenyum lebar, tapi Galangkara mendengus pelan. “Buah, tiap malam cerita begini. Aku sudah besar, nggak suka dongeng lagi,” katanya, nada suaranya penuh penolakan.
Sariwulan menatap anak sulungnya dengan sabar. “Galang, cerita bukan cuma untuk anak kecil. Di dalamnya ada pelajaran, ada mimpi, ada harapan. Kalau kau mau dengar, mungkin kau akan menemukan sesuatu yang kau cari.”
Galangkara hanya mengangkat bahu, tapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Di sudut hatinya, ia tahu ibunya tidak akan memaksa, namun ada sesuatu dalam nada suara Sariwulan yang selalu membuatnya bertahan. Mungkin itu kehangatan, atau mungkin kenangan masa kecil ketika ia masih suka duduk di pangkuan ibunya, mendengar cerita-cerita yang membuatnya merasa dunia begitu luas dan penuh keajaiban.
Sariwulan mulai membaca, suaranya mengalir seperti sungai yang tenang, membawa anak-anaknya ke dunia lain. Ia menceritakan tentang seorang pengelana bernama Aruna yang berjalan melintasi padang pasir, hutan belantara, dan lautan badai hanya untuk menemukan kota emas yang konon menyimpan rahasia kebahagiaan abadi. Setiap kata yang keluar dari mulut Sariwulan terasa hidup, seolah ia bukan hanya membaca, tapi juga menjalani petualangan itu sendiri. Bayucandra mendengarkan dengan mulut sedikit terbuka, Lintangwati mulai berhenti menggambar dan menatap ibunya, sementara Galangkara, meski berusaha terlihat acuh, sesekali melirik ke arah buku itu.
Namun, di balik kehangatan malam itu, ada bayang-bayang yang mengintai. Rumah kayu itu bukan hanya tempat tinggal, tapi juga saksi bisu perjuangan keluarga kecil ini. Tujuh tahun lalu, suami Sariwulan, Prawirayuda, meninggal dalam kecelakaan saat bekerja sebagai buruh di pelabuhan. Sejak saat itu, Sariwulan menjadi tulang punggung keluarga. Pagi hingga sore, ia bekerja sebagai penjahit di pasar desa, menjahit pakaian dengan tangan yang mulai gemetar karena usia. Malam hari, ia mengajar anak-anaknya membaca dan menulis, meski dirinya sendiri hanya lulusan sekolah dasar. Buku-buku yang ia miliki adalah peninggalan Prawirayuda, yang dulu bercita-cita menjadi guru tapi terpaksa bekerja di pelabuhan untuk menghidupi keluarga.
Sariwulan tahu, literasi adalah jalan keluar dari kemiskinan yang mengikat keluarganya. Ia percaya, buku-buku itu bukan sekadar kertas dan tinta, tapi pintu menuju dunia yang lebih baik. Namun, keyakinan itu seringkali diuji. Galangkara, anak sulung yang cerdas, mulai memberontak. Ia merasa malu hidup dalam kemiskinan, malu dengan rumah kayu yang bocor saat hujan, malu dengan sepatu yang sudah usang. Ia ingin cepat dewasa, ingin bekerja, ingin membuktikan bahwa ia bisa mengubah nasib keluarganya tanpa harus membaca buku-buku yang menurutnya tak berguna.
“Ibu, aku mau kerja ke kota,” ujar Galangkara suatu malam, setelah cerita selesai. Suaranya tegas, tapi matanya menghindari tatapan Sariwulan.
Sariwulan menutup bukunya perlahan. “Ke kota? Untuk apa, Galang? Kau belum selesai sekolah.”
“Sekolah nggak akan bikin kita kaya, Bu. Aku lihat temen-temenku yang kerja di pelabuhan, mereka bisa beli motor, bisa kasih uang ke orang tua. Aku nggak mau kita terus begini.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Sariwulan. Ia tahu Galangkara tidak bermaksud menyakiti, tapi luka itu tetap terasa. Ia ingat Prawirayuda, yang juga pernah berkata hal serupa sebelum akhirnya meninggalkan mimpinya menjadi guru. “Galang,” ujarnya pelan, “bekerja memang penting, tapi ilmu adalah harta yang tak bisa dicuri. Kalau kau punya ilmu, kau bisa pergi ke mana saja, bukan cuma ke kota, tapi ke dunia yang lebih besar.”
Galangkara tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, tangannya mengepal. Di sudut ruangan, Lintangwati memeluk lututnya, matanya berkaca-kaca. Ia tahu kakaknya sedang berjuang dengan amarah dan kebingungan, tapi ia juga tahu ibunya sedang bertarung dengan ketakutan kehilangan anaknya pada dunia yang kejam. Bayucandra, yang masih terlalu kecil untuk memahami, hanya memegang tangan ibunya, seolah merasakan kesedihan yang menggantung di udara.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Sariwulan duduk di beranda, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Angin malam membawa aroma bunga kamboja dari halaman tetangga, tapi hatinya terasa berat. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku kebayanya—buku catatan harian milik Prawirayuda. Di dalamnya, tertulis impian suaminya untuk melihat anak-anak mereka menjadi orang yang berilmu, yang bisa mengubah dunia dengan pena dan pikiran. Air mata Sariwulan jatuh ke halaman buku itu, meninggalkan noda kecil di tinta yang sudah mulai pudar.
“Wirayuda, apa aku cukup kuat untuk melanjutkan mimpimu?” gumamnya pada angin. “Galang mulai menjauh, Lintang tak pernah bicara, dan Bayu masih terlalu kecil. Aku takut gagal.”
Tapi di balik ketakutannya, ada tekad yang membara. Sariwulan tahu, ia adalah cahaya bagi anak-anaknya, meski cahayanya kadang redup. Ia akan terus membaca, terus menceritakan, terus mengajarkan, sampai anak-anaknya menemukan jalan mereka sendiri. Malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah, meski dunia seolah bersekongkol melawan mimpinya.
Langit mulai gelap, dan rumah kayu itu kembali diselimuti keheningan. Di dalamnya, sebuah keluarga kecil terus berjuang, dipimpin oleh seorang ibu yang menjadikan literasi sebagai lentera di tengah kegelapan.
Halaman yang Tersembunyi
Pagi di Desa Lembayung selalu dimulai dengan kicau burung gereja yang bertengger di pohon jambu di halaman rumah-rumah warga. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun, membentuk pola-pola emas di tanah merah yang masih lembap oleh embun. Di rumah kayu milik keluarga Sariwulan, aroma kopi hitam yang diseduh di dapur kecil memenuhi udara, bercampur dengan bau kain baru yang sedang dijahit. Mesin jahit tua, peninggalan ibu Sariwulan, berdengung pelan di sudut ruangan, tempat Sariwulan sudah duduk sejak subuh, menjahit seragam sekolah untuk pesanan tetangga.
Hari ini adalah hari pasar, dan suasana rumah lebih sibuk dari biasanya. Sariwulan, dengan kebaya sederhana berwarna biru pudar dan kain batik yang diikat di pinggang, bergerak lincah meski wajahnya menunjukkan kelelahan. Matanya yang dulu cerah kini sering terlihat merah karena kurang tidur, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Bayucandra berlari masuk ke dapur, membawa buku gambarnya yang penuh coretan warna-warni.
“Bu, lihat! Aku gambar kota emas dari cerita tadi malam!” seru Bayucandra, wajahnya berseri. Gambarnya sederhana, dengan menara-menara kuning yang digambar menggunakan krayon, dikelilingi awan-awan putih yang ia buat dengan kapas.
Sariwulan berhenti menjahit sejenak, mengambil buku gambar itu dengan tangan yang sedikit kasar karena kerja keras. “Indah sekali, Bayu. Kau bikin ibu ingat cerita itu lagi,” katanya, mengelus kepala anak bungsunya. “Nanti malam kita lanjut ceritanya, ya?”
Bayucandra mengangguk antusias, lalu berlari keluar untuk menunjukkan gambarnya pada ayam-ayam di halaman, seolah mereka bisa memahami. Sariwulan menghela napas, hatinya hangat melihat semangat anak bungsunya, tapi pikirannya segera kembali pada kenyataan. Pesanan jahitan harus selesai sebelum tengah hari, dan ia masih harus ke pasar untuk membeli beras dan sayur. Dompet kain kecil di laci mejanya hanya berisi beberapa lembar uang yang sudah kusut, cukup untuk kebutuhan sehari, tapi tidak untuk membeli buku baru yang diimpikan Bayucandra.
Di sudut lain rumah, Lintangwati duduk di kamar kecil yang ia bagi dengan Bayucandra. Kamar itu sederhana, dengan kasur tipis di lantai, sebuah meja kayu kecil yang penuh goresan, dan tumpukan buku-buku bekas yang disusun rapi di sudut. Lintangwati, dengan rambut panjang yang kali ini dibiarkan tergerai, sedang menulis sesuatu di buku catatan yang ia sembunyikan di bawah bantal. Tulisannya kecil dan rapi, penuh dengan kalimat-kalimat pendek yang mengalir seperti puisi.
“Di balik halaman, ada rahasia. Di balik rahasia, ada luka. Di balik luka, ada ibu yang tak pernah menangis di depanku,” tulisnya, jari-jarinya gemetar. Lintangwati adalah anak yang pendiam, tapi di dalam hatinya ada lautan emosi yang tak pernah ia tunjukkan. Ia mencintai buku, mencintai cerita-cerita yang ibunya baca setiap malam, tapi ia juga merasa terjebak. Ia ingin menulis, ingin menciptakan cerita seperti yang ada di buku-buku itu, tapi ia takut mimpinya terlalu besar untuk seorang gadis dari desa kecil seperti Lembayung.
Pagi itu, Lintangwati mendengar suara langkah berat di beranda. Itu Galangkara, yang baru pulang dari sawah tetangga tempat ia membantu memanen padi untuk mendapat upah kecil. Wajahnya basah oleh keringat, dan kausnya kotor oleh lumpur. Ia melemparkan sabun colek yang ia bawa ke lantai beranda, lalu duduk di kursi bambu, menatap ke kejauhan.
“Galang, sudah makan?” tanya Sariwulan dari dalam, suaranya lembut tapi penuh perhatian.
“Belum, Bu. Nanti saja,” jawab Galangkara singkat, nadanya datar. Ia mengeluarkan sebatang rokok murah dari saku celananya, tapi sebelum menyalakannya, ia melirik ke dalam rumah, lalu memasukkan kembali rokok itu. Ia tahu ibunya benci melihatnya merokok, dan meski ia sering memberontak, ada rasa hormat yang masih ia pegang erat.
Sariwulan keluar ke beranda, membawa segelas teh manis yang masih mengepul. “Minum ini dulu. Panas di luar, jangan sampai kau sakit,” katanya, meletakkan gelas di samping Galangkara. Ia lalu duduk di kursi sebelahnya, menatap anak sulungnya dengan mata yang penuh pertanyaan tapi tak diucapkan.
“Bu, saya serius soal ke kota,” ujar Galangkara tiba-tiba, memecah keheningan. “Pak Tirta, tetangga sawah, bilang ada lowongan di pelabuhan. Gajinya lumayan, bisa bantu bayar sekolah Lintang dan Bayu.”
Sariwulan menghela napas panjang. “Galang, kau anak pintar. Nilaimu selalu bagus, dulu. Guru-gurumu bilang kau bisa kuliah, dapat beasiswa. Kenapa kau mau kerja yang begitu? Pelabuhan itu keras, Nak. Ayahmu…” Suaranya terhenti, seperti tercekat oleh kenangan.
Galangkara menoleh, matanya menyala oleh campuran amarah dan kesedihan. “Ayah mati di pelabuhan, Bu. Tapi bukan berarti aku akan sama. Aku nggak mau kita terus hidup susah. Ibu jahit sampai malam, Lintang pakai seragam yang sudah kekecilan, Bayu minta buku tapi kita nggak bisa beli. Aku nggak tahan lihat begitu!”
Kata-kata itu seperti cambuk bagi Sariwulan. Ia ingin membantah, ingin bilang bahwa ia baik-baik saja, tapi ia tahu Galangkara melihat kebenaran yang ia coba sembunyikan. Tangan-tangannya yang penuh kapalan, punggungnya yang mulai bungkuk, dan buku-buku yang semakin usang adalah bukti bahwa perjuangannya belum cukup.
“Galang,” ujarnya pelan, “Ibu tahu kau ingin membantu. Tapi ilmu itu lebih berharga dari uang. Kalau kau punya ilmu, kau bisa bikin hidup kita lebih baik, bukan cuma untuk sekarang, tapi untuk selamanya.”
Galangkara tidak menjawab. Ia hanya menatap gelas teh yang sudah mulai dingin, tangannya mengepal. Di dalam hatinya, ia terpecah antara ingin membuktikan dirinya dan rasa bersalah karena menentang ibunya. Ia ingat malam-malam ketika ia masih kecil, ketika ibunya membaca cerita tentang pahlawan-pahlawan yang menaklukkan dunia dengan keberanian dan kebijaksanaan. Dulu, ia percaya cerita itu. Tapi sekarang, dunia baginya hanyalah pasar, pelabuhan, dan kemiskinan yang tak berujung.
Sementara itu, di dalam rumah, Lintangwati mendengar percakapan itu. Ia berdiri di balik pintu, memeluk buku catatannya erat-erat. Air matanya jatuh ke halaman buku, membasahi tulisan-tulisannya. Ia ingin berlari keluar, ingin bilang bahwa ia tak ingin kakaknya pergi, tapi kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Lintangwati selalu merasa dirinya tak terlihat, seperti bayang-bayang di antara keluarganya. Galangkara adalah pemberani, Bayucandra adalah cahaya, dan ibunya adalah pilar. Tapi ia? Ia hanya gadis yang suka menulis, yang tak pernah berani menunjukkan puisinya pada siapa pun.
Siang itu, setelah Galangkara pergi ke rumah temannya, Sariwulan memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia mengambil sepeda tua dari beranda dan bersepeda ke pasar kota, membawa beberapa potong kain yang ia jahit menjadi tas sederhana. Di pasar, ia menawarkan tas-tas itu kepada pedagang yang dikenalnya, berharap mendapat uang tambahan. Pasar Lembayung ramai, penuh dengan suara tawar-menawar, aroma ikan segar, dan warna-warni sayuran yang ditata di los. Tapi di tengah keramaian itu, Sariwulan merasa sendiri. Ia teringat masa ketika Prawirayuda masih ada, ketika mereka bermimpi bersama membangun perpustakaan kecil untuk anak-anak desa.
Di salah satu sudut pasar, ia bertemu dengan Ibu Suryani, seorang guru honorer yang sering membeli jahitan darinya. “Nyai Sari, saya dengar Galangkara mau kerja ke kota?” tanya Suryani sambil memilih tas.
Sariwulan tersenyum kecil, menyembunyikan kegelisahannya. “Anak muda, Bu. Pikirannya penuh mimpi besar, tapi saya khawatir.”
Suryani mengangguk penuh pengertian. “Sariwulan, kau ibu yang hebat. Aku tahu kau ajar anak-anakmu baca setiap malam. Itu bukan hal kecil. Kalau boleh saran, ajak Galangkara ke perpustakaan kota. Biar dia lihat, buku bukan cuma cerita, tapi juga jalan keluar.”
Kata-kata itu seperti cahaya kecil di tengah kegelapan. Sariwulan mengangguk, hatinya sedikit lebih ringan. Ia tahu perjuangannya belum selesai, tapi ia juga tahu bahwa ia punya senjata: literasi, cinta, dan keteguhan. Malam ini, ia akan membaca lagi, menceritakan lagi, dan berharap anak-anaknya melihat cahaya yang ia lihat di balik setiap halaman.
Perjalanan ke Perpustakaan Kota
Langit pagi di Desa Lembayung berwarna kelabu, dengan awan tebal yang menggantung rendah, seolah menahan napas menjelang hujan. Di beranda rumah kayu keluarga Sariwulan, aroma teh pandan yang diseduh pagi itu masih mengepul dari cangkir-cangkir seng yang sudah usang. Sariwulan berdiri di dekat pintu, memakai selendang batik tua yang sedikit berbau kapur barus, tangannya sibuk memeriksa keranjang anyaman yang berisi bekal untuk perjalanan hari ini: beberapa potong nasi bungkus daun pisang, sebotol air putih dalam botol bekas sirup, dan dua buah pisang yang sudah matang dari pohon di halaman belakang.
Hari ini, Sariwulan bertekad membawa anak-anaknya ke perpustakaan kota, seperti yang disarankan Ibu Suryani di pasar kemarin. Ia percaya, melihat dunia buku yang lebih luas mungkin bisa membuka mata Galangkara, yang semakin keras kepala ingin bekerja di pelabuhan. Lintangwati dan Bayucandra, meski tak banyak bicara, juga diharapkannya bisa menemukan sesuatu yang membangkitkan semangat mereka. Perpustakaan kota, yang terletak sekitar dua jam perjalanan dengan angkutan desa, adalah tempat yang belum pernah mereka kunjungi bersama. Bagi Sariwulan, ini bukan sekadar perjalanan, tapi sebuah langkah kecil untuk mempertahankan mimpi yang ia warisi dari Prawirayuda.
“Galang, Lintang, Bayu, ayo siap-siap! Angkutan lewat sebentar lagi,” panggil Sariwulan dari beranda, suaranya tegas tapi penuh kehangatan.
Bayucandra berlari keluar dari kamar, memakai kaus bergambar burung yang sudah sedikit memudar dan celana pendek yang dijahit ulang oleh ibunya. Tas kain kecil di pundaknya berisi buku gambar dan pensil warna, matanya berbinar penuh semangat. “Bu, di perpustakaan ada buku tentang kota emas nggak, ya?” tanyanya, melompat kecil di lantai kayu yang berderit.
Sariwulan tersenyum, mengelus kepala Bayucandra. “Pasti ada, Bayu. Mungkin kau juga bisa pinjam buku tentang kapal laut atau hutan ajaib. Kita lihat nanti, ya.”
Lintangwati keluar dengan langkah pelan, rambut panjangnya diikat kuncir kuda yang sedikit berantakan. Ia memakai rok panjang yang sedikit kekecilan dan blus putih yang sudah agak menguning di bagian kerah. Di tangannya, ia memegang buku catatan kecil yang selalu ia bawa, jari-jarinya meremas pinggirannya seolah mencari pegangan. “Bu, aku boleh bawa ini?” tanyanya pelan, menunjukkan buku catatannya.
“Tentu, Lintang. Siapa tahu kau dapat ide baru untuk tulisanmu,” jawab Sariwulan, matanya penuh kelembutan. Ia tahu Lintangwati menyimpan rahasia di buku itu, tapi ia tidak pernah memaksa anaknya untuk membagikannya. Ia percaya, suatu hari Lintangwati akan membuka hatinya sendiri.
Galangkara adalah yang terakhir keluar. Ia memakai kaus hitam yang sedikit robek di lengan dan celana jeans yang sudah pudar di bagian lutut. Wajahnya cemberut, tangannya dimasukkan ke saku, seolah ingin menunjukkan bahwa ia hanya ikut karena terpaksa. “Bu, buang-buang waktu ini. Mending aku kerja sama Pak Tirta di sawah,” gumamnya, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk didengar.
Sariwulan menatap anak sulungnya dengan sabar. “Galang, cuma sehari. Ibu janji, kalau kau nggak suka, kita nggak akan ke sana lagi. Tapi coba dulu, ya? Untuk ibu.”
Galangkara mendengus pelan, tapi ia tidak membantah lagi. Ia tahu ibunya jarang meminta sesuatu, dan meski hatinya penuh keresahan, ia tak bisa menolak tatapan penuh harap itu. Ia mengangguk singkat, lalu berjalan menuju jalan desa tempat angkutan biasa lewat.
Perjalanan ke kota dimulai dengan angkutan desa yang berderit, sebuah mobil tua dengan bangku kayu yang sudah licin karena usia. Di dalamnya, bau solar bercampur dengan aroma bawang dari karung-karung yang dibawa penumpang lain. Sariwulan duduk di dekat jendela, Bayucandra di pangkuannya, sementara Lintangwati dan Galangkara duduk berdampingan di belakang. Pemandangan di luar jendela berubah dari sawah hijau yang membentang luas menjadi jalan beraspal yang dipenuhi toko-toko kecil dan rumah-rumah bata. Bayucandra menunjuk-nunjuk setiap kali melihat sesuatu yang menarik—sebuah warung dengan balon warna-warni, seekor kambing yang berlari di pinggir jalan, atau tiang listrik yang dipenuhi sarang burung.
“Bu, kota itu besar, ya?” tanya Bayucandra, matanya lebar penuh kagum.
“Ya, Bayu. Tapi ingat, besar atau kecil, yang penting kita punya hati yang besar untuk belajar,” jawab Sariwulan, tersenyum kecil.
Lintangwati diam, tapi tangannya sibuk menulis di buku catatannya. Ia mencatat pemandangan, suara klakson angkutan, dan bahkan bau solar yang menyengat. “Jalan ini seperti cerita,” tulisnya. “Penuh liku, penuh debu, tapi menuju ke suatu tempat yang belum kukenal.” Ia melirik Galangkara, yang menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong, dan hatinya terasa berat. Ia tahu kakaknya sedang berjuang, tapi ia tak tahu bagaimana membantunya.
Setelah dua jam yang terasa panjang, mereka tiba di kota. Perpustakaan kota berdiri di tengah alun-alun, sebuah bangunan tua dengan dinding putih yang mulai mengelupas dan jendela-jendela besar yang berbingkai kayu. Di depannya, ada taman kecil dengan pohon beringin yang rindang, tempat beberapa anak bermain layang-layang. Sariwulan memimpin anak-anaknya masuk, tangannya memegang erat keranjang bekal seolah itu jangkarnya di tengah dunia yang asing.
Di dalam perpustakaan, aroma kertas tua dan lem buku menyambut mereka. Rak-rak kayu setinggi plafon dipenuhi buku-buku, dari ensiklopedia tebal hingga novel-novel tipis dengan sampul berwarna. Seorang petugas perpustakaan, seorang perempuan muda dengan kacamata besar, menyapa mereka dengan ramah. “Selamat datang! Kalau perlu bantuan mencari buku, bilang saja, ya,” katanya, tersenyum.
Bayucandra langsung berlari ke bagian buku anak-anak, matanya berbinar saat melihat deretan buku bergambar dengan sampul penuh warna. Lintangwati berjalan pelan ke rak sastra, jari-jarinya menyentuh punggung buku-buku dengan hati-hati, seolah takut merusaknya. Galangkara, bagaimanapun, hanya berdiri di dekat pintu masuk, tangannya masih di saku, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan.
“Galang, coba lihat buku di sana,” ujar Sariwulan, menunjuk rak yang bertuliskan “Sains dan Teknologi”. “Dulu kau suka baca tentang mesin-mesin, kan?”
Galangkara mengangguk setengah hati, lalu berjalan ke rak itu. Ia mengambil sebuah buku berjudul Dasar-Dasar Teknik Mesin, membukanya dengan acuh, tapi matanya mulai tertarik saat melihat diagram sebuah mesin kapal. Ia ingat dulu, saat masih kecil, ia pernah bermimpi menjadi insinyur yang membuat kapal-kapal besar. Tapi mimpi itu terasa jauh sekarang, terkubur di bawah tumpukan kemiskinan dan tanggung jawab.
Sementara itu, Lintangwati menemukan sebuah buku puisi karya penyair lokal. Ia duduk di sudut ruangan, membaca baris demi baris dengan hati yang bergetar. “Kata-kata adalah rumah,” tulis salah satu puisi itu, dan Lintangwati merasa air matanya menetes. Ia ingin menulis seperti itu, ingin kata-katanya menjadi rumah bagi orang lain, tapi ia takut tulisannya tak akan pernah dibaca.
Bayucandra, dengan tumpukan buku bergambar di pelukannya, mendekati ibunya yang duduk di meja baca. “Bu, boleh pinjam semua ini?” tanyanya, menunjukkan buku tentang dinosaurus, kapal bajak laut, dan kota-kota dongeng.
Sariwulan tertawa kecil. “Kita tanya dulu, ya, berapa yang boleh dipinjam.” Ia lalu berjalan ke petugas perpustakaan, yang menjelaskan bahwa mereka bisa meminjam tiga buku per orang dengan kartu anggota. Sariwulan mengangguk, meski hatinya sedikit berat—ia harus membayar biaya keanggotaan, yang berarti mengurangi uang untuk kebutuhan minggu ini. Tapi ia tahu, ini adalah investasi untuk anak-anaknya.
Saat mereka bersiap pulang, Galangkara tiba-tiba mendekati ibunya, memegang buku teknik mesin itu. “Bu, boleh pinjam ini?” tanyanya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Sariwulan menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Boleh, Galang. Baca baik-baik, ya.”
Perjalanan pulang terasa lebih ringan, meski angkutan desa masih berderit dan penuh sesak. Bayucandra bercerita tentang dinosaurus yang ia baca, Lintangwati memeluk buku puisinya erat-erat, dan Galangkara, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tersenyum kecil saat membaca bukunya di bawah cahaya senja. Sariwulan memandang anak-anaknya dari samping, hatinya penuh harap. Perpustakaan itu, meski hanya sebuah bangunan tua, telah menjadi jembatan kecil menuju mimpi yang ia perjuangkan.
Tapi di sudut hatinya, ia tahu perjalanan ini belum selesai. Galangkara masih gelisah, Lintangwati masih menyimpan rahasia, dan Bayucandra masih terlalu kecil untuk memahami dunia. Malam ini, ia akan membaca lagi, menceritakan lagi, dan berdoa agar cahaya literasi terus menyala di hati anak-anaknya.
Lentera yang Tak Pernah Padam
Hujan gerimis menyapa Desa Lembayung saat malam tiba, menyelimuti rumah kayu keluarga Sariwulan dengan aroma tanah basah dan suara tetes air yang berdenting di genting bocor. Di dalam ruangan kecil yang diterangi lampu minyak, Sariwulan duduk di tikar pandan, dikelilingi oleh anak-anaknya: Galangkara, Lintangwati, dan Bayucandra. Di tangannya, ia memegang buku Kisah-Kisah dari Negeri Jauh, yang kini terlihat semakin usang, dengan beberapa halaman yang mulai lepas dari jilidannya. Namun, malam ini ada yang berbeda. Di samping buku tua itu, ada tumpukan buku baru yang mereka pinjam dari perpustakaan kota: buku tentang mesin untuk Galangkara, puisi untuk Lintangwati, dan buku bergambar tentang petualangan untuk Bayucandra.
Sariwulan menarik napas dalam, mencium aroma kertas tua yang bercampur dengan bau minyak tanah. Matanya menelusuri wajah anak-anaknya, mencari tanda-tanda perubahan sejak perjalanan ke perpustakaan dua minggu lalu. Bayucandra, seperti biasa, duduk dengan penuh semangat, tangannya memegang buku bergambar yang sudah ia baca berkali-kali. Lintangwati, yang biasanya menyembunyikan diri di balik rambut panjangnya, kali ini duduk dengan postur lebih tegak, buku catatannya terbuka di pangkuannya. Galangkara, meski masih dengan ekspresi datar, tidak lagi bersandar ke dinding dengan sikap acuh. Di tangannya, buku teknik mesin dari perpustakaan terbuka di halaman diagram mesin uap, dan jari-jarinya sesekali menelusuri garis-garis sketsa itu.
“Malam ini,” ujar Sariwulan, suaranya lembut namun penuh makna, “kita selesaikan cerita tentang Aruna, pengelana yang mencari kota emas. Tapi sebelum itu, Ibu ingin dengar dari kalian. Apa yang kalian pelajari dari buku-buku baru itu?”
Bayucandra langsung mengangkat tangan, seperti murid di kelas. “Bu, aku baca tentang kapal bajak laut! Mereka punya bendera dengan gambar tengkorak, dan kaptennya punya burung yang bisa bicara! Aku mau bikin cerita sendiri tentang kapal!” Matanya berbinar, dan ia mulai menggambar kapal di udara dengan jari-jarinya, seolah dunia imajinasinya sedang hidup di depannya.
Sariwulan tertawa kecil, hatinya hangat. “Bagus, Bayu. Tulis ceritamu itu, ya. Siapa tahu suatu hari kau jadi penulis terkenal.”
Lintangwati menunduk, jari-jarinya meremas buku catatannya. “Aku… aku baca puisi,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar. “Ada satu puisi tentang ibu yang… yang bikin aku ingat Ibu. Dia bilang, ibu adalah seperti pohon, selalu memberikan naungan meski cabangnya patah.”
Sariwulan menatap Lintangwati, matanya berkaca-kaca. Ia tahu anak tengahnya itu jarang berbicara, tapi kata-kata itu terasa seperti pelukan yang tak pernah Lintangwati berikan secara fisik. “Lintang, kau punya hati yang lembut. Tulis apa yang kau rasakan, ya. Dunia perlu mendengar suaramu.”
Galangkara tetap diam, tapi matanya melirik ibunya. Sariwulan menunggu, tidak memaksa, tahu bahwa anak sulungnya selalu butuh waktu untuk membuka diri. Akhirnya, Galangkara menghela napas dan berkata, “Buku ini… tentang mesin. Aku baca tentang kapal uap. Dulu aku pikir mesin cuma soal kerja kasar, tapi ternyata ada ilmu di baliknya. Matematika, fisika… susah, tapi… menarik.”
Sariwulan tersenyum lebar, meski ia berusaha menyembunyikan kegembiraannya agar tidak membuat Galangkara canggung. “Itu artinya kau mulai melihat, Galang. Ilmu itu seperti peta. Kalau kau tahu caranya membaca, kau bisa pergi ke mana saja.”
Malam itu, Sariwulan melanjutkan cerita tentang Aruna. Dalam cerita, Aruna akhirnya menemukan kota emas, tapi ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada emas, melainkan pada perjalanan dan pelajaran yang ia dapatkan di sepanjang jalan. Suara Sariwulan mengalir seperti lagu, membawa anak-anaknya ke dunia yang penuh warna dan harapan. Bayucandra mendengarkan dengan mulut terbuka, Lintangwati menulis sesuatu di buku catatannya, dan Galangkara, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, benar-benar mendengarkan tanpa memalingkan muka.
Namun, di balik kehangatan malam itu, ada ketegangan yang belum terselesaikan. Beberapa hari sebelumnya, Galangkara mendapat kabar dari Pak Tirta bahwa pekerjaan di pelabuhan sudah menantinya. Gajinya memang menggiurkan, cukup untuk membeli beras untuk sebulan dan bahkan memperbaiki genting rumah yang bocor. Tapi setelah membaca buku teknik mesin, ia mulai ragu. Ia teringat kata-kata ibunya tentang ilmu sebagai harta yang tak bisa dicuri, dan diagram-diagram mesin itu seolah membuka pintu ke dunia yang dulu ia impikan sebagai anak kecil.
Malam semakin larut, dan hujan mulai reda, meninggalkan suara jangkrik yang nyaring di luar. Setelah cerita selesai, Sariwulan menutup bukunya dan berkata, “Anak-anak, Ibu tahu hidup kita tidak mudah. Tapi buku-buku ini, cerita-cerita ini, adalah lentera. Mereka menunjukkan jalan, meski kadang jalannya gelap dan berliku. Ibu cuma minta kalian pegang lentera itu erat-erat.”
Lintangwati tiba-tiba berdiri, wajahnya penuh tekad yang tak biasa. “Bu,” katanya, suaranya gemetar tapi tegas, “aku mau baca puisiku.” Tanpa menunggu jawaban, ia membuka buku catatannya dan mulai membaca dengan suara pelan tapi jelas:
Di rumah kayu yang tua,
ada ibu yang tak pernah lelah.
Tangannya menjahit mimpi,
suaranya menyanyikan harapan.
Di balik halaman buku,
aku temukan dunia yang ia ciptakan,
dunia tempat aku bukan lagi bayang-bayang,
tapi cahaya yang menyala.
Saat Lintangwati selesai, ruangan hening. Bayucandra menatap kakaknya dengan kagum, sementara Galangkara menunduk, matanya berkaca-kaca. Sariwulan bangkit dan memeluk Lintangwati, air matanya jatuh ke rambut anaknya. “Lintang, kau luar biasa,” bisiknya. “Terus tulis, Nak. Jangan pernah berhenti.”
Malam itu menjadi titik balik. Galangkara, yang selama ini terbelah antara mimpi dan kenyataan, akhirnya membuat keputusan. Keesokan paginya, ia mendatangi Pak Tirta dan menolak pekerjaan di pelabuhan. “Aku mau lanjut sekolah, Pak,” katanya, suaranya penuh keyakinan. “Aku mau belajar soal mesin, mungkin jadi insinyur suatu hari.”
Pak Tirta mengangguk, tersenyum kecil. “Pilihan bagus, Nak. Ibumu pasti bangga.”
Sementara itu, Lintangwati mulai berani menunjukkan puisinya kepada Ibu Suryani, guru honorer di desa. Dengan bantuan Suryani, ia mengirimkan salah satu puisinya ke lomba puisi tingkat kabupaten, dan beberapa bulan kemudian, ia mendapat kabar bahwa puisinya memenangkan juara kedua. Hadiahnya, sebuah buku antologi puisi dan beasiswa kecil, menjadi hadiah pertama yang membuatnya merasa bahwa suaranya didengar.
Bayucandra, dengan imajinasinya yang liar, mulai menulis cerita-cerita pendek di buku gambarnya. Cerita pertamanya tentang kapal bajak laut bernama Lentera Laut diilhami oleh ibunya, yang ia gambarkan sebagai kapten yang tak pernah menyerah meski badai datang. Sariwulan, melihat anak-anaknya mulai menemukan jalan mereka, merasa hatinya penuh. Ia tahu perjuangan belum selesai—genting rumah masih bocor, beras masih sering habis sebelum akhir bulan—tapi ia juga tahu bahwa lentera literasi yang ia nyalakan telah memberikan cahaya bagi anak-anaknya.
Satu tahun kemudian, rumah kayu itu masih berdiri, meski kini ada tambalan baru di atapnya, hasil tabungan kecil dari pekerjaan tambahan Galangkara sebagai asisten mekanik di bengkel desa. Di beranda, sebuah rak buku kecil berdiri, diisi dengan buku-buku pinjaman dari perpustakaan dan beberapa buku bekas yang Sariwulan beli dari pasar loak. Setiap malam, keluarga itu masih berkumpul, mendengarkan cerita-cerita baru, baik dari buku maupun dari hati mereka sendiri.
Sariwulan, dengan kebaya usangnya yang kini sedikit lebih rapi, duduk di kursi goyang, memandang anak-anaknya dengan cinta yang tak pernah pudar. Di tangannya, buku catatan Prawirayuda terbuka, dan di halaman terakhir, ia menulis dengan tangan gemetar: “Wirayuda, mimpimu hidup di anak-anak kita. Aku tak pernah sendiri.”
Di bawah langit Lembayung yang penuh bintang, rumah kayu itu menjadi saksi bisu bagaimana seorang ibu, dengan literasi sebagai senjatanya, mengubah nasib keluarganya. Cahaya di balik halaman tak pernah padam, dan lentera itu akan terus menyala, dari generasi ke generasi.
Kisah Cahaya di Balik Halaman mengingatkan kita bahwa literasi bukan sekadar membaca buku, tetapi menyalakan harapan di tengah kegelapan. Perjuangan Sariwulan menunjukkan bahwa dengan cinta, ketekunan, dan sebuah buku, seorang ibu dapat mengubah nasib keluarganya, membuka pintu menuju dunia yang lebih luas. Jadilah seperti Sariwulan: nyalakan lentera literasi di keluarga Anda, dan biarkan cahayanya menerangi masa depan anak-anak Anda.
Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif Cahaya di Balik Halaman. Mari terus dukung literasi keluarga dengan berbagi cerita dan pengetahuan. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan tetaplah membaca untuk menyalakan cahaya di hati Anda!


