Daftar Isi
Dalam novel Cahaya di Balik Halaman, kisah keluarga Lintang di desa Sukamendung menghadirkan perjalanan emosional yang menggugah tentang bagaimana buku-buku tua warisan kakek menjadi jembatan untuk mempererat ikatan keluarga. Cerita ini bukan sekadar tentang membaca, tetapi tentang bagaimana literasi dapat menghidupkan kembali kenangan, menyembuhkan luka, dan membangun harapan. Artikel ini akan mengajak Anda menyelami makna mendalam literasi keluarga, mengapa kebiasaan membaca bersama bisa mengubah dinamika rumah tangga, dan bagaimana cerita sederhana dari sebuah desa kecil dapat menginspirasi kita semua untuk membuka halaman baru dalam kehidupan.
Cahaya di Balik Halaman
Bayang-Bayang di Rumah Tua
Di sebuah desa kecil bernama Sukamendung, yang terletak di lereng bukit dengan kabut tipis yang selalu menggantung di pagi hari, berdiri sebuah rumah kayu tua dengan atap seng yang mulai berkarat. Rumah itu milik keluarga Lintang, sebuah keluarga kecil yang terdiri dari tiga jiwa: Ayah Kaelan, Ibu Seruni, dan anak tunggal mereka, Gadis bernama Auralia, yang biasa dipanggil Lia. Di usianya yang baru menginjak 12 tahun, Lia memiliki mata cokelat besar yang selalu penuh rasa ingin tahu, namun di balik tatapannya tersimpan luka yang tak pernah ia ucapkan.
Hari itu, matahari pagi baru saja menyelinap di antara celah-celah jendela kayu yang sudah lapuk. Cahayanya memantul di dinding ruang tamu yang penuh dengan tumpukan buku-buku tua, beberapa di antaranya sudah menguning dan berdebu. Buku-buku itu adalah warisan dari kakek Lia, seorang guru desa yang dulu dikenal sebagai “Penyuluh Cerita” karena kebiasaannya membacakan dongeng untuk anak-anak di bawah pohon beringin besar di tengah desa. Namun, sejak kakek meninggal tiga tahun lalu, buku-buku itu hanya menjadi hiasan bisu, tak pernah disentuh lagi.
Kaelan, ayah Lia, adalah seorang tukang kayu yang tangannya kasar namun penuh kepekaan. Ia sering menghabiskan hari di bengkel kecil di belakang rumah, memahat dan menyusun potongan kayu menjadi perabot sederhana. Namun, di balik ketangguhannya, Kaelan menyimpan beban berat. Ia merasa gagal sebagai ayah karena tak mampu membaca dengan lancar, sebuah rahasia yang ia sembunyikan bahkan dari Seruni, istrinya. Setiap malam, ketika Lia tertidur, Kaelan akan duduk di sudut ruang tamu, memandangi tumpukan buku-buku tua itu dengan tatapan kosong, seolah ingin meminta maaf kepada arwah ayahnya yang begitu mencintai literasi.
Seruni, di sisi lain, adalah seorang ibu yang lembut namun teguh. Ia bekerja sebagai penjahit di desa, menjahit pakaian untuk tetangga dan kadang-kadang membuatkan baju untuk Lia dari sisa-sisa kain yang ia kumpulkan. Seruni adalah satu-satunya di keluarga itu yang bisa membaca dengan baik, meski ia hanya tamatan sekolah dasar. Ia sering mencoba membacakan cerita untuk Lia saat masih kecil, tetapi sejak Lia berusia sembilan tahun, gadis itu mulai menolak. “Aku bukan anak kecil lagi, Bu,” kata Lia suatu malam, dengan nada yang lebih tajam dari yang ia maksud. Sejak saat itu, Seruni berhenti membacakan cerita, meski hatinya terluka.
Lia sendiri adalah anak yang cerdas, tapi penuh dengan keresahan. Di sekolah, ia dikenal sebagai siswa yang pendiam namun selalu mendapat nilai bagus dalam pelajaran bahasa. Namun, ia merasa ada jurang yang memisahkannya dari teman-temannya. Anak-anak lain sering membicarakan buku-buku baru, novel-novel remaja, atau komik yang mereka pinjam dari perpustakaan desa. Lia tidak pernah ikut serta dalam obrolan itu. Bukan karena ia tak suka membaca, tetapi karena ia merasa buku-buku di rumahnya—warisan kakeknya—terlalu kuno, terlalu berat, dan penuh dengan kata-kata yang sulit dipahami. Ia malu mengakui bahwa ia tak pernah benar-benar membaca buku-buku itu, meski ia sering memandanginya dengan rasa bersalah.
Pagi itu, seperti biasa, Lia duduk di beranda rumah, memandangi sawah yang membentang di depan rumah mereka. Angin pagi membawa aroma tanah basah dan dedaunan, tetapi pikiran Lia melayang jauh. Ia teringat pada sebuah tugas sekolah yang diberikan oleh Bu Guru Wulan, guru bahasa yang selalu tersenyum lebar. Tugas itu sederhana namun membuat Lia gelisah: setiap siswa harus membuat presentasi tentang “Peran Keluarga dalam Membentuk Kebiasaan Membaca”. Lia tahu tugas ini seharusnya mudah, tetapi baginya, itu seperti membuka luka lama.
“Aku harus cerita apa?” gumam Lia pada dirinya sendiri, sambil memetik sehelai rumput dan memelintirnya di antara jari-jarinya. “Keluargaku bukan keluarga yang suka baca. Ayah cuma suka motong kayu, Ibu cuma suka jahit, dan aku… aku cuma pura-pura pintar.”
Lia tidak tahu bahwa di dalam rumah, Seruni sedang berdiri di dekat pintu, mendengar gumaman putrinya. Hati Seruni terasa perih, seperti ditusuk jarum jahitannya sendiri. Ia ingin menghampiri Lia, memeluknya, dan mengatakan bahwa ia salah, bahwa keluarga mereka memiliki cerita sendiri tentang buku dan literasi. Tapi Seruni hanya diam, memegang erat kain yang sedang ia jahit, dan berbalik masuk ke dalam rumah.
Sore itu, suasana di rumah Lintang terasa lebih sepi dari biasanya. Kaelan pulang dari bengkel dengan wajah lelah, tangannya penuh serpihan kayu. Ia melihat Lia duduk di meja makan, menatap buku catatan dengan wajah murung. “Ada apa, Lia?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh perhatian.
“Tugas sekolah, Yah,” jawab Lia singkat, tanpa menatap ayahnya. “Harus cerita soal keluarga dan buku. Tapi… kita kan nggak punya cerita apa-apa soal itu.”
Kaelan tersenyum kecil, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan. “Buku-buku di rak itu,” katanya sambil menunjuk tumpukan buku di sudut ruangan, “mungkin punya cerita yang bisa kamu pakai.”
Lia menghela napas. “Buku-buku tua itu? Aku nggak ngerti isinya, Yah. Terlalu susah. Lagian, siapa yang baca buku-buku itu sekarang? Kakek sudah nggak ada.”
Kata-kata Lia seperti pisau yang tak sengaja mengiris hati Kaelan. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokannya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan menuju dapur untuk mencuci tangan. Di dapur, ia bertemu Seruni yang sedang memotong sayuran untuk makan malam. Mereka saling pandang, dan tanpa kata, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang harus diubah di keluarga mereka.
Malam itu, setelah makan malam yang berlangsung dalam diam, Seruni mengambil keputusan. Ia masuk ke kamar Lia, yang sedang berbaring di tempat tidur dengan buku catatan di sampingnya. “Lia,” panggil Seruni lembut, “besok pagi, kita coba buka buku-buku kakek, ya? Ibu akan bantu kamu.”
Lia memandang ibunya dengan ragu. “Buah-buahan kuno itu? Bu, aku nggak yakin itu akan membantu.”
Seruni tersenyum, meski ada air mata yang mengintip di sudut matanya. “Kita coba dulu. Siapa tahu, ada cerita di sana yang bisa kita temukan bersama.”
Lia tidak menjawab, tapi ia mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia merasa ada sedikit harapan, meski kecil, bahwa mungkin ada sesuatu di buku-buku tua itu yang bisa mengisi kekosongan yang ia rasakan. Malam itu, ia tidur dengan perasaan campur aduk—antara rasa malu, penasaran, dan sedikit harapan yang tak ia akui.
Di ruang tamu, Kaelan masih duduk di sudut, memandangi tumpukan buku-buku tua itu. Ia mengambil salah satu buku, sebuah buku dongeng dengan sampul kulit yang sudah usang. Ia membukanya perlahan, mencium aroma kertas tua yang mengingatkannya pada malam-malam ketika ayahnya membacakan cerita untuknya. Tapi kali ini, ia tidak hanya memandang. Dengan tangan gemetar, ia mulai membaca, satu kata demi satu kata, meski tersendat-sendat. “Untuk Lia,” gumamnya pelan. “Dan untuk ayah.”
Di luar, angin malam bertiup lembut, membawa kabut tipis yang menyelimuti Sukamendung. Di rumah tua itu, sebuah perjalanan baru sedang dimulai—perjalanan untuk menemukan kembali cahaya di balik halaman-halaman yang telah lama terlupakan.
Halaman yang Berbicara
Pagi di Sukamendung datang dengan aroma tanah basah dan suara burung pipit yang berlompatan di ranting-ranting pohon akasia di depan rumah keluarga Lintang. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah retak, menyapu tumpukan buku-buku tua di sudut ruang tamu dengan lembut, seolah mengundang mereka untuk kembali hidup. Auralia, atau Lia, bangun dengan perasaan yang masih campur aduk dari malam sebelumnya. Janji ibunya, Seruni, untuk membuka buku-buku warisan kakek terngiang di kepalanya, membawa secercah rasa ingin tahu yang bercampur dengan keraguan.
Lia duduk di tepi ranjangnya, memandangi kamar kecilnya yang sederhana. Dinding kayu di kamarnya dihiasi dengan beberapa gambar yang ia buat sendiri—sketsa pensil burung, pohon, dan sawah yang ia lihat setiap hari. Di sudut kamar, ada meja kecil dengan buku catatan sekolahnya yang masih terbuka di halaman tugas dari Bu Guru Wulan. Kata-kata “Peran Keluarga dalam Membentuk Kebiasaan Membaca” terpampang besar di atas kertas, ditulis dengan tinta biru yang sudah sedikit memudar. Lia menghela napas panjang, merasa tugas itu seperti beban yang terlalu berat untuk pundaknya yang kecil.
Di dapur, Seruni sudah sibuk menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng dengan bumbu sederhana—bawang putih, kecap, dan sedikit cabai—mengisi udara. Ia mengaduk nasi di wajan dengan gerakan yang lincah, namun pikirannya melayang ke percakapan malam tadi dengan Lia. Seruni tahu bahwa putrinya merasa terputus dari dunia buku, dan itu membuat hatinya terasa perih. Ia teringat masa kecilnya sendiri, ketika ibunya—nenek Lia—mengajarkannya membaca dengan sabun batangan yang digunakan untuk menggambar huruf di lantai kayu. “Huruf itu seperti benih,” kata ibunya dulu. “Kalau kamu rawat, mereka akan tumbuh jadi cerita.” Seruni ingin Lia merasakan keajaiban yang sama, tapi ia tahu itu tidak akan mudah.
Kaelan, ayah Lia, sudah berada di bengkel kecilnya di belakang rumah sejak subuh. Tangan kasarnya menggenggam pahat, memotong kayu jati dengan ketelitian seorang seniman. Namun, pagi ini, pikirannya tidak sepenuhnya pada pekerjaannya. Ia teringat buku dongeng yang ia buka semalam, dan betapa sulitnya ia menyusun kata-kata dalam kepalanya. Setiap huruf yang ia baca terasa seperti teka-teki yang tak pernah selesai. Kaelan tidak pernah mengenyam pendidikan yang layak; ia hanya sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar sebelum harus membantu ayahnya di ladang. Namun, ia tidak ingin Lia tahu tentang kekurangannya. “Dia harus lebih baik dari aku,” gumam Kaelan pada dirinya sendiri, sambil mengusap keringat di dahinya dengan lengan bajunya.
Saat sarapan, suasana di meja makan terasa hening. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring dan desau angin pagi yang masuk melalui jendela terbuka. Lia makan dengan cepat, ingin segera kembali ke kamarnya, tapi Seruni menahannya dengan suara lembut. “Lia, setelah ini, kita buka buku-buku kakek, ya? Ibu sudah siapkan beberapa di meja tamu.”
Lia memandang ibunya dengan alis terangkat. “Bu, aku nggak yakin itu akan membantu. Buku-buku itu… terlalu kuno. Aku nggak ngerti bahasanya.”
Seruni tersenyum, meski ada sedikit kesedihan di matanya. “Kita nggak harus mengerti semuanya, Lia. Kadang, cerita itu bukan cuma soal kata-kata, tapi apa yang kita rasakan saat membacanya.”
Lia mengangguk pelan, lebih karena tidak ingin mengecewakan ibunya daripada karena ia yakin. Setelah sarapan, mereka berdua berjalan ke ruang tamu. Di atas meja kayu yang sudah usang, Seruni telah menata tiga buku tua dengan hati-hati. Sampulnya berwarna pudar, dengan tulisan timbul yang hampir tak terbaca. Salah satunya adalah buku dongeng yang semalam disentuh Kaelan, dengan judul Kisah-kisah dari Bukit Sukamendung. Dua lainnya adalah novel tua berjudul Langit di Atas Sawah dan sebuah buku puisi tanpa judul yang hanya memiliki inisial “R.S.” di sampulnya.
Seruni mengambil buku dongeng itu dan membukanya perlahan. Aroma kertas tua langsung menguar, membawa kenangan yang samar bagi Lia—mungkin kenangan saat kakek masih hidup, duduk di beranda sambil membacakan cerita dengan suara yang hangat. “Ayo, kita baca satu cerita,” kata Seruni, suaranya penuh semangat yang sengaja ia ciptakan untuk menular pada Lia.
Mereka duduk berdampingan di sofa tua yang berderit. Seruni mulai membaca dengan suara yang lembut namun jelas, tentang seorang anak laki-laki bernama Tarian yang tinggal di desa yang dikelilingi kabut. Anak itu menemukan sebuah buku ajaib di bawah pohon beringin, yang setiap halamannya mengungkap rahasia tentang hutan di sekitar desa. Lia awalnya mendengarkan dengan setengah hati, tapi perlahan, ia terseret ke dalam cerita itu. Deskripsi tentang hutan yang lebat, suara angin yang berbisik di antara daun, dan petualangan Tarian yang penuh keberanian membuat matanya berbinar.
Namun, di tengah cerita, Seruni tiba-tiba berhenti. Ia menutup buku itu perlahan dan menatap Lia. “Lia, apa kamu tahu kenapa kakek suka banget sama buku-buku ini?”
Lia menggeleng, sedikit bingung dengan perubahan suasana. “Karena dia guru, kan? Guru suka buku.”
Seruni tersenyum tipis. “Bukan cuma itu. Kakek bilang, buku itu seperti jendela. Bisa bawa kita ke mana saja, bahkan ke tempat yang nggak pernah kita lihat. Tapi yang lebih penting, buku itu bisa bikin kita ngobrol sama orang-orang yang kita sayang, meski mereka udah nggak ada.”
Lia menunduk, merasa ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Ia teringat kakek, yang selalu membawa buku ke mana pun ia pergi, bahkan ke sawah. “Tapi, Bu,” katanya pelan, “kenapa kita nggak pernah baca bareng lagi? Dulu Ibu suka baca buat aku, tapi sekarang… kayaknya kita lupa.”
Seruni terdiam. Ia ingin menjelaskan bahwa ia berhenti karena Lia pernah menolak, tapi ia tahu itu bukan jawaban yang tepat. “Ibu salah, Lia,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Ibu pikir kamu sudah besar, nggak butuh cerita lagi. Tapi sebenarnya, Ibu juga kangen baca bareng kamu.”
Lia tidak menjawab, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa bersalah karena pernah menolak ibunya, tapi di saat yang sama, ia merasa ada kehangatan yang lama hilang mulai kembali. Mereka melanjutkan membaca, dan kali ini, Lia ikut membaca beberapa kalimat, meski dengan suara pelan dan ragu-ragu.
Sore itu, Kaelan pulang lebih awal dari bengkel. Ia terkejut melihat Seruni dan Lia duduk bersama di ruang tamu, dikelilingi buku-buku tua. Ia berdiri di ambang pintu, tidak ingin mengganggu, tapi Seruni melihatnya dan tersenyum. “Mas, masuk. Coba dengar cerita ini. Lia lagi baca tentang Tarian dan buku ajaibnya.”
Kaelan ragu-ragu, tapi ia melangkah masuk dan duduk di kursi kayu di dekat mereka. Lia melirik ayahnya, sedikit canggung, tapi ia melanjutkan membaca. Suaranya semakin jelas, dan tanpa ia sadari, ia mulai menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kaelan mendengarkan dengan saksama, meski sesekali ia harus memicingkan mata untuk mengikuti kata-kata yang Lia ucapkan. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk belajar lebih keras, agar suatu hari ia bisa ikut membaca bersama Lia.
Saat matahari mulai tenggelam, mereka selesai membaca satu cerita. Lia menutup buku itu dengan hati-hati, seolah takut merusak halaman-halamannya yang rapuh. “Bu, Yah,” katanya pelan, “mungkin aku bisa ceritain ini di sekolah. Soal kakek, soal buku-bukunya… dan soal kita.”
Seruni memeluk Lia erat, air mata kecil mengalir di pipinya. Kaelan hanya mengangguk, tapi tangannya meraih tangan Lia dan meremasnya pelan. Di luar, kabut Sukamendung mulai turun, menyelimuti rumah tua itu dengan kelembutan. Di dalam, halaman-halaman buku tua itu mulai berbicara, membawa keluarga Lintang lebih dekat satu sama lain, menyalakan cahaya yang lama redup di hati mereka.
Jembatan di Antara Huruf
Pagi di Sukamendung terasa lebih cerah dari biasanya, meski kabut masih setia menyelimuti sawah dan bukit di kejauhan. Di rumah kayu keluarga Lintang, aroma teh jahe buatan Seruni menguar dari dapur, bercampur dengan suara gemerisik halaman buku yang dibuka-dibuka oleh Lia. Sejak sore kemarin, ketika ia, ibunya, dan ayahnya duduk bersama membaca cerita tentang Tarian dan buku ajaibnya, Lia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Buku-buku tua warisan kakek, yang selama ini ia anggap kuno dan tak relevan, kini terasa seperti pintu menuju dunia baru—dunia yang menghubungkannya dengan masa lalu keluarganya.
Lia duduk di meja tamu, buku catatan sekolahnya terbuka lebar di samping buku dongeng Kisah-kisah dari Bukit Sukamendung. Ia mencoba menuliskan ide untuk presentasi tugas sekolahnya, tetapi pikirannya terus kembali ke momen kemarin, ketika ia membaca keras untuk ibu dan ayahnya. Suara ayahnya yang pelan saat mengatakan, “Bagus, Lia,” masih terngiang di telinganya. Itu adalah pujian sederhana, tapi entah kenapa, kata-kata itu terasa begitu berat, seolah membawa beban harapan yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Seruni masuk ke ruang tamu dengan nampan berisi dua cangkir teh jahe dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Ia meletakkan nampan di meja, lalu duduk di samping Lia. “Sudah dapat ide untuk tugasmu, Lia?” tanyanya, sambil meniup uap dari cangkirnya.
Lia mengangguk ragu-ragu. “Aku pikir… aku mau ceritain soal kakek. Soal buku-bukunya. Tapi aku nggak yakin itu cukup. Teman-temanku di sekolah punya cerita yang lebih… modern. Mereka cerita soal perpustakaan, novel baru, atau aplikasi baca di ponsel. Kalau aku cerita soal buku-buku tua ini, kayaknya mereka bakal ketawa.”
Seruni memandang putrinya dengan lembut, tangannya meraih buku dongeng di atas meja. “Lia, cerita itu bukan soal seberapa baru bukunya, tapi seberapa besar artinya buat kamu. Buku-buku ini,” ia menepuk sampul buku itu pelan, “mungkin terlihat tua, tapi mereka punya cerita tentang kakek, tentang desa kita, dan sekarang, tentang kita bertiga.”
Lia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung halaman buku catatan. “Tapi, Bu, aku nggak tahu caranya ceritain ini supaya menarik. Aku takut Bu Guru Wulan bilang ini biasa aja.”
Seruni tersenyum kecil. “Kalau begitu, kita cari cara supaya ceritamu istimewa. Apa kamu mau coba buka buku yang lain? Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa membantu.”
Lia mengangguk, meski masih ragu. Mereka berdua mulai membongkar tumpukan buku di sudut ruangan. Debu beterbangan saat mereka mengangkat buku-buku itu satu per satu, dan Lia tak bisa menahan diri untuk tidak bersin. Di antara tumpukan itu, ia menemukan sebuah buku kecil dengan sampul kain biru tua yang sudah pudar. Di sampulnya, tertulis “Catatan Harian R.S.” dengan tulisan tangan yang rapi namun sedikit gemetar, seolah ditulis oleh tangan yang sudah tua. Lia membukanya perlahan, dan di halaman pertama, ia melihat nama lengkap kakeknya: Raden Suryo.
“Ini… diary kakek?” tanya Lia, matanya membesar karena penasaran.
Seruni mengintip dari balik bahu Lia, dan wajahnya langsung berubah. “Ya Tuhan, aku hampir lupa buku ini. Kakek pernah bilang dia suka menulis catatan tentang hari-harinya, tapi aku nggak pernah baca. Aku pikir ini cuma coretan biasa.”
Lia mulai membaca halaman pertama. Tulisan tangan kakeknya kecil namun terbaca, penuh dengan kalimat-kalimat sederhana yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari di Sukamendung. Ada catatan tentang anak-anak desa yang belajar membaca di bawah pohon beringin, tentang malam ketika ia membacakan dongeng untuk Kaelan kecil, dan tentang mimpinya agar setiap anak di desa bisa merasakan keajaiban buku. Namun, di antara catatan itu, ada satu paragraf yang membuat Lia terdiam:
“Aku tahu Kaelan tidak suka membaca. Anakku itu lebih suka kayu daripada buku, dan aku tidak bisa memaksanya. Tapi aku berharap, suatu hari, ia akan menemukan caranya sendiri untuk mencintai huruf-huruf ini. Mungkin bukan untuk dirinya, tapi untuk anaknya kelak. Aku hanya ingin keluargaku tahu bahwa di setiap halaman, ada cinta yang tak pernah pudar.”
Lia merasa dadanya sesak. Ia melirik ke arah pintu, tempat Kaelan biasanya masuk setelah pulang dari bengkel. Ia teringat wajah ayahnya kemarin, yang mendengarkan bacaannya dengan penuh perhatian, meski sesekali terlihat kebingungan. “Bu, apa Ayah beneran nggak suka baca?” tanyanya pelan, hampir seperti berbisik.
Seruni menghela napas. “Ayahmu… dia bukan nggak suka, Lia. Dia cuma nggak punya kesempatan. Dulu, kakekmu sibuk mengajar anak-anak desa, dan Ayahmu harus bantu di ladang sejak kecil. Tapi dia selalu bilang, dia ingin kamu jadi anak yang pintar, yang bisa baca apa saja.”
Lia menunduk, merasa bersalah karena pernah menganggap ayahnya tidak peduli dengan buku. Ia membalik halaman diary kakek, dan menemukan sebuah catatan lain yang ditulis dengan tinta yang lebih pudar, seolah ditulis dengan tergesa-gesa: “Hari ini, aku mengajar Auralia huruf pertama. Matanya berbinar saat aku bilang ‘A’ itu seperti atap rumah yang melindungi. Aku harap dia akan membaca buku-buku ini suatu hari, dan menemukan dunia yang lebih besar dari Sukamendung.”
Air mata Lia tiba-tiba menetes, mengenai halaman diary itu. Ia teringat samar-samar saat ia berusia empat tahun, duduk di pangkuan kakeknya di beranda, sambil menunjuk huruf-huruf yang kakek tulis di papan kecil. Kenangan itu terasa begitu jauh, namun begitu hidup di saat yang sama. “Aku lupa, Bu,” katanya dengan suara parau. “Aku lupa kakek pernah ngajarin aku huruf.”
Seruni memeluk Lia erat, membiarkan putrinya menangis dalam pelukannya. “Kamu nggak lupa, Lia. Kamu cuma perlu diingetin. Dan sekarang, kita bisa buat kenangan baru, bareng-bareng.”
Sore itu, ketika Kaelan pulang dari bengkel, ia menemukan Lia dan Seruni masih di ruang tamu, dikelilingi buku-buku dan diary kakek. Lia langsung berlari ke arah ayahnya, memeluknya erat, sesuatu yang jarang ia lakukan sejak ia mulai besar. “Yah, aku nemu diary kakek. Dia nulis soal Ayah, soal aku… soal buku-buku ini.”
Kaelan terkejut, tangannya yang kasar membelai rambut Lia dengan lembut. “Apa yang dia tulis?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Lia mengambil diary itu dan membacakan bagian tentang Kaelan. Saat mendengar kata-kata ayahnya tentang harapan agar ia mencintai huruf untuk anaknya, Kaelan menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku… aku nggak pernah tahu dia nulis ini,” katanya pelan. “Aku pikir dia kecewa karena aku nggak suka baca.”
Seruni meraih tangan Kaelan, menatapnya dengan penuh kasih. “Ayahmu nggak pernah kecewa, Mas. Dia cuma ingin kita punya cara sendiri untuk nyambung sama buku-buku ini.”
Malam itu, mereka bertiga duduk bersama di ruang tamu, membaca diary kakek secara bergantian. Kaelan, dengan ragu-ragu, mencoba membaca beberapa baris, meski terbata-bata. Lia dan Seruni tidak tertawa atau mengoreksi; mereka hanya mendengarkan, memberikan ruang untuk Kaelan menemukan ritmenya sendiri. Setiap kata yang Kaelan ucapkan terasa seperti jembatan kecil yang menghubungkan mereka—jembatan yang dibangun dari huruf-huruf yang dulu terasa asing baginya.
Di luar, bulan purnama menerangi Sukamendung, menyinari rumah tua yang kini penuh dengan suara cerita dan tawa pelan. Lia mulai menulis draf presentasinya, kali ini dengan keyakinan baru. Ia tahu ceritanya bukan tentang buku-buku modern atau perpustakaan besar, tapi tentang keluarganya—tentang kakek yang menanam benih literasi, tentang ayah yang belajar demi anaknya, dan tentang ibu yang tak pernah menyerah menghidupkan kembali cahaya di balik halaman.
Cahaya yang Tak Padam
Hari itu tiba dengan cepat, membawa angin sepoi-sepoi yang membelai sawah hijau di Sukamendung. Langit cerah, hanya dihiasi beberapa awan tipis yang bergerak lamban, seolah memberi ruang bagi matahari untuk menyinari desa kecil itu. Di rumah kayu keluarga Lintang, suasana pagi terasa berbeda—penuh dengan semangat yang baru lahir. Auralia, atau Lia, duduk di beranda dengan buku catatan sekolahnya di pangkuan, pena di tangannya bergerak cepat, menuliskan kalimat-kalimat terakhir untuk presentasi tugasnya tentang “Peran Keluarga dalam Membentuk Kebiasaan Membaca”. Di sampingnya, diary kakeknya, Raden Suryo, terbuka di halaman yang sudah ditandai dengan sehelai daun kering, simbol kecil dari masa lalu yang kini hidup kembali.
Lia telah menghabiskan beberapa hari terakhir bersama Seruni dan Kaelan, menyelami buku-buku tua warisan kakek. Setiap malam, mereka bertiga duduk di ruang tamu, bergantian membaca cerita dari Kisah-kisah dari Bukit Sukamendung atau potongan diary yang penuh dengan kenangan. Kaelan, yang awalnya ragu-ragu, kini mulai membaca dengan lebih percaya diri, meski masih terbata-bata. Lia sering menahan senyum saat melihat ayahnya mengerutkan kening, berusaha menyusun kata-kata, tapi ia juga merasa bangga—bangga pada ayah yang tak pernah menyerah, meski huruf-huruf itu terasa seperti musuh baginya.
Seruni, dengan kelembutannya, menjadi jangkar keluarga. Ia tidak hanya membacakan cerita, tetapi juga mengajak Lia dan Kaelan untuk berbagi perasaan mereka tentang apa yang mereka baca. Suatu malam, saat mereka membaca sebuah puisi dari buku tanpa judul berinisial “R.S.”, Seruni menangis pelan. Puisi itu bercerita tentang seorang ayah yang merindukan anaknya yang mulai besar, dan Kaelan, tanpa berkata apa-apa, meraih tangan istrinya, seolah memahami bahwa puisi itu adalah cerminan perasaan kakek terhadapnya. Lia menyaksikan momen itu dengan hati yang penuh, merasa bahwa buku-buku tua itu bukan hanya kumpulan kata, tetapi jembatan yang menghubungkan mereka dengan kakek, dan dengan satu sama lain.
Hari ini adalah hari presentasi di sekolah. Lia bangun lebih pagi dari biasanya, jantungnya berdetak kencang karena campuran antara gugup dan antusiasme. Ia mengenakan seragam sekolahnya yang sudah dijahit rapi oleh Seruni, dengan tambahan pita kecil dari kain sisa yang ibunya suling dengan benang emas. “Buah karya Ibu untuk putri yang akan bersinar hari ini,” kata Seruni sambil tersenyum, pagi itu, saat membantu Lia menata rambutnya.
Kaelan, yang biasanya sudah berada di bengkel sejak fajar, memilih untuk tinggal di rumah lebih lama. Ia duduk di meja makan, memegang cangkir teh jahe yang sudah dingin, matanya mengikuti setiap gerakan Lia. “Lia,” panggilnya pelan, suaranya sedikit serak. “Ayah nggak pinter ngomong, tapi… Ayah tahu kamu bisa. Ceritain apa yang ada di hati kamu. Itu yang bikin ceritamu beda.”
Lia memandang ayahnya, matanya berkaca-kaca. “Makasih, Yah,” katanya, suaranya hampir berbisik. Ia merasa ada kekuatan baru dalam dirinya, seolah kata-kata ayahnya adalah dorongan yang ia butuhkan untuk melangkah ke sekolah.
Di sekolah, suasana kelas ramai dengan suara tawa dan obrolan siswa. Bu Guru Wulan, dengan senyum lebarnya yang khas, berdiri di depan kelas, meminta siswa untuk bersiap. Satu per satu, teman-teman Lia mempresentasikan cerita mereka. Ada yang bercerita tentang ayahnya yang bekerja di kota dan selalu membelikan novel baru, ada yang menceritakan ibunya yang mengelola perpustakaan kecil di rumah, dan ada pula yang dengan bangga memamerkan aplikasi baca di ponsel mereka. Lia mendengarkan dengan perasaan campur aduk—kagum, tapi juga cemas. Cerita mereka terasa begitu modern, begitu cemerlang, dibandingkan dengan ceritanya tentang buku-buku tua dan diary kakek.
Ketika tiba gilirannya, Lia berdiri di depan kelas, tangannya sedikit gemetar saat memegang buku catatan dan diary kakek. Ia menarik napas dalam-dalam, mengingat malam-malam bersama ibu dan ayahnya, dan mulai berbicara. “Keluargaku bukan keluarga yang punya banyak buku baru,” katanya, suaranya pelan tapi jelas. “Kami cuma punya buku-buku tua, warisan dari kakekku, Raden Suryo. Dulu aku pikir buku-buku itu cuma benda usang, nggak ada artinya. Tapi sekarang, aku tahu mereka lebih dari itu.”
Lia menceritakan tentang kakeknya, tentang pohon beringin tempat anak-anak desa belajar membaca, tentang diary yang penuh dengan harapan kakek untuk keluarganya. Ia bercerita tentang ayahnya, Kaelan, yang belajar membaca demi dia, meski setiap kata terasa seperti mendaki bukit. Ia juga bercerita tentang ibunya, Seruni, yang menghidupkan kembali cerita-cerita lama dengan suaranya yang lembut. “Buku-buku itu mengajarkan aku bahwa literasi itu nggak cuma soal baca tulis,” kata Lia, suaranya kini lebih kuat. “Tapi soal bagaimana kita saling mengerti, saling mendengar, dan saling berbagi cerita.”
Saat ia membacakan potongan dari diary kakeknya, kelas menjadi hening. Bahkan anak-anak yang biasanya suka mengobrol diam, terpaku pada kata-kata Lia. “Kakek bilang, di setiap halaman, ada cinta yang tak pernah pudar,” tutup Lia, matanya berkaca-kaca tapi wajahnya penuh senyum. “Dan sekarang, aku tahu itu benar. Karena buku-buku itu membawa keluargaku lebih dekat.”
Saat ia selesai, ruangan meledak dengan tepuk tangan. Bu Guru Wulan berdiri, matanya berkilau karena terharu. “Lia, itu cerita yang luar biasa,” katanya. “Kamu nggak cuma cerita soal buku, tapi soal hati. Itu yang bikin literasi hidup.”
Pulang dari sekolah, Lia berlari menuju rumah, diary kakek di tangannya. Ia menemukan Seruni di dapur, sedang menjahit, dan Kaelan di beranda, memahat kayu kecil berbentuk burung. “Bu, Yah!” serunya, napasnya tersengal. “Aku dapat tepuk tangan tadi! Bu Guru bilang ceritaku luar biasa!”
Seruni dan Kaelan berhenti sejenak, lalu tersenyum lebar. “Tentu saja, Lia,” kata Seruni, memeluk putrinya erat. “Kamu ceritain hati kita semua.”
Malam itu, keluarga Lintang kembali duduk di ruang tamu. Kali ini, mereka tidak hanya membaca buku atau diary, tetapi juga berbagi cerita tentang hari itu—tentang presentasi Lia, tentang kebanggaan Kaelan, dan tentang harapan Seruni untuk masa depan. Kaelan, dengan tangan yang masih berbau serpihan kayu, mengambil sebuah buku baru dari tumpukan—sebuah novel sederhana yang ia beli diam-diam di pasar desa. “Aku mau coba baca ini,” katanya, tersenyum malu-malu. “Tapi kalian harus bantu aku, ya.”
Lia dan Seruni tertawa, dan ruangan itu penuh dengan kehangatan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Di luar, kabut Sukamendung menyelimuti rumah tua mereka, tetapi di dalam, cahaya dari halaman-halaman buku terus menyala, menerangi hati mereka. Buku-buku tua itu, yang dulu hanya debu dan kenangan, kini menjadi simbol cinta yang tak pernah padam—cinta dari kakek, cinta antar keluarga, dan cinta untuk cerita yang akan terus mereka tulis bersama.
Di bawah sinar bulan, Lia menulis satu kalimat terakhir di buku catatannya: “Literasi bukan hanya tentang membaca buku, tapi tentang membaca hati orang-orang yang kita sayangi.” Ia menutup buku itu, tersenyum, dan tahu bahwa perjalanan keluarganya dengan huruf dan cerita baru saja dimulai.
Cahaya di Balik Halaman mengajarkan kita bahwa literasi keluarga adalah lebih dari sekadar membaca buku; ini tentang membaca hati satu sama lain, menghidupkan kenangan, dan menanam benih harapan untuk generasi mendatang. Kisah Lia, Kaelan, dan Seruni mengingatkan kita bahwa di setiap halaman buku, ada peluang untuk mempererat ikatan keluarga dan menemukan cahaya yang tak pernah padam. Mari jadikan literasi sebagai warisan berharga yang terus kita bagikan, baik di rumah maupun di komunitas, untuk menciptakan dunia yang lebih terhubung dan penuh makna.
Terima kasih telah menyimak perjalanan literasi keluarga dalam Cahaya di Balik Halaman. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk membuka buku bersama orang-orang tersayang dan menemukan cerita-cerita baru yang memperkaya hati. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa—setiap halaman yang Anda baca adalah langkah menuju cahaya yang lebih terang!


