Cahaya di Balik Buku Usang: Kisah Perjuangan Pendidikan Anak Desa

Posted on

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sebuah buku usang bisa menjadi lentera harapan di tengah keterbatasan? Cahaya di Balik Buku Usang adalah cerpen pendidikan yang menggugah, mengisahkan perjuangan Sari, seorang anak desa yang bermimpi meraih ilmu meski dihadang kemiskinan, ejekan, dan rintangan hidup. Cerita ini bukan sekadar fiksi, melainkan cerminan semangat pantang menyerah yang relevan bagi siapa saja yang percaya pada kekuatan pendidikan. Yuk, telusuri kisah emosional ini yang akan menginspirasi Anda untuk terus melangkah menuju mimpi!

Cahaya di Balik Buku Usang

Bayang-Bayang di Pagi Kelabu

Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, yang terletak di lembah hijau di kaki Gunung Ciremai, matahari pagi baru saja menyapa. Cahayanya lembut, menyelinap di sela-sela daun kelapa yang bergoyang pelan diterpa angin. Namun, di sudut desa yang jauh dari keramaian, di sebuah gubuk berdinding anyaman bambu, suasana tak secerah sinar mentari. Di sana, seorang gadis kecil bernama Sari, berusia 12 tahun, duduk di lantai tanah yang dingin, menatap buku pelajaran matematika yang sudah usang. Halaman-halaman bukunya menguning, beberapa sobek di ujungnya, dan sampulnya nyaris lepas dari jilidannya. Buku itu adalah peninggalan kakaknya, yang kini sudah tak lagi tinggal di desa.

Sari menghela napas panjang. Matanya yang bening memandang angka-angka di halaman buku, tapi pikirannya melayang jauh. Di luar gubuk, ibunya, Bu Marni, sedang mencuci pakaian di sungai kecil yang mengalir tak jauh dari rumah. Suara gemericik air bercampur dengan suara ibunya yang bersenandung pelan, lagu yang selalu dinyanyikan saat hatinya gundah. Ayah Sari sudah lama tiada, meninggal saat ia masih balita karena kecelakaan di sawah. Sejak itu, Bu Marni menjadi tulang punggung keluarga, bekerja sebagai buruh tani dan kadang membuat anyaman bambu untuk dijual di pasar.

“Sari, sudah siap ke sekolah belum?” tanya Bu Marni dari luar, suaranya lembut namun penuh kelelahan.

Sari tersentak dari lamunannya. Ia buru-buru menutup buku dan menyelipkannya ke dalam tas kain lusuh yang sudah berulang kali dijahit ibunya. “Sudah, Bu!” jawabnya, meski hatinya berat. Sekolahnya, SD Sukamaju, berjarak tiga kilometer dari rumah. Ia harus berjalan kaki melewati pematang sawah dan jalan berbatu yang licin saat musim hujan. Sepatu bututnya sudah tak lagi nyaman, solnya tipis dan sering kali membuat kakinya lecet. Namun, Sari tak pernah mengeluh pada ibunya. Ia tahu, setiap keluhan hanya akan menambah beban di pundak Bu Marni yang sudah rapuh.

Pagi itu, seperti biasa, Sari berjalan sendirian menuju sekolah. Langkahnya kecil namun penuh tekad. Di tangannya, ia menggenggam selembar kertas yang sudah kusut, berisi tugas menggambar yang diminta Bu Guru Siti, gurunya yang paling ia kagumi. Bu Guru Siti adalah satu-satunya guru di sekolah itu yang selalu tersenyum pada murid-muridnya, bahkan saat mereka tak bisa menjawab soal atau lupa mengerjakan tugas. Sari ingin membuat Bu Guru bangga. Gambar yang ia buat semalam, dengan pensil warna bekas yang warnanya sudah memudar, adalah gambar sebuah rumah megah dengan taman penuh bunga. Itu adalah mimpinya—mimpi yang ia tahu terlalu jauh untuk digapai, tapi tetap ia simpan di sudut hatinya.

Sesampainya di sekolah, suasana ramai menyambutnya. Anak-anak berlarian di halaman, beberapa bermain kelereng, yang lain tertawa di bawah pohon mangga yang rindang. Namun, Sari merasa tak sepenuhnya menjadi bagian dari keramaian itu. Baju seragamnya yang sudah pudar dan sedikit kekecilan membuatnya sering menjadi bahan ejekan teman-temannya. “Sari, bajumu kok kayak kain lap!” celetuk Budi, anak paling genit di kelas, diikuti tawa beberapa teman lainnya. Sari hanya menunduk, wajahnya memerah. Ia buru-buru masuk ke kelas dan duduk di bangku pojok, tempat favoritnya karena tak ada yang memperhatikannya di sana.

Pelajaran pagi itu dimulai dengan matematika, mata pelajaran yang paling sulit bagi Sari. Bu Guru Siti berdiri di depan kelas, menjelaskan tentang pecahan dengan sabun dan papan tulis yang sudah penuh coretan kapur. Sari berusaha keras mencatat, tapi pikirannya kembali melayang. Ia teringat pagi tadi, saat Bu Marni memeluknya sebelum berangkat. “Sari, belajar yang rajin, ya. Ibu cuma bisa kasih kamu buku-buku tua ini, tapi ilmu itu akan bawa kamu jauh,” kata ibunya dengan mata berkaca-kaca. Sari tahu, ibunya rela tak makan malam agar ia bisa membeli buku tulis baru. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Ia ingin sekali membuat ibunya bangga, tapi angka-angka di buku pelajarannya seolah menertawakannya, sulit dipahami dan membingungkan.

Tiba-tiba, suara Bu Guru Siti membuyarkan lamunannya. “Sari, coba jelaskan apa itu pecahan setengah!” Sari tersentak, jantungan. Semua mata di kelas tertuju padanya. Ia mencoba mengingat penjelasan Bu Guru tadi, tapi kepalanya kosong. “Ehm… pecahan setengah itu… kalau sesuatu dibagi dua, Bu?” jawabnya ragu-ragu. Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelasnya. Wajah Sari kembali memanas, dan ia menunduk dalam-dalam, berharap bisa lenyap dari ruangan itu.

Namun, Bu Guru Siti tak menyerah padanya. Dengan senyum hangat, ia mendekati bangku Sari dan berkata, “Hampir benar, Sari. Pecahan setengah artinya satu bagian dari dua bagian yang sama besar. Besok kita coba lagi, ya?” Nada suaranya penuh dorongan, bukan celaan. Sari mengangguk pelan, tapi di dalam hatinya, ia merasa gagal. Ia ingin sekali membuktikan bahwa ia bisa, bahwa ia bukan hanya anak desa miskin yang tak punya apa-apa selain mimpi.

Sepulang sekolah, Sari tak langsung pulang. Ia duduk di tepi sungai kecil di belakang sekolah, memandangi air yang mengalir tenang. Di tangannya, ia masih memegang kertas gambarnya. Gambar rumah megah itu seolah mengejeknya, mengingatkannya pada jarak antara mimpinya dan kenyataan. Tiba-tiba, air matanya menetes, membasahi kertas itu. Ia teringat kata-kata Bu Marni, “Ilmu itu cahaya, Sari. Walau hidup kita gelap, cahaya itu akan bawa kamu keluar.” Tapi bagaimana ia bisa menemukan cahaya itu, jika setiap hari ia merasa tenggelam dalam ketidakmampuan dan ejekan?

Di kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Itu Bu Guru Siti, yang ternyata melihatnya dari kejauhan. “Sari, kenapa di sini sendirian?” tanya Bu Guru dengan nada penuh perhatian. Sari buru-buru mengusap air matanya, tapi Bu Guru sudah melihatnya. Ia duduk di samping Sari, tak peduli roknya kotor terkena tanah. “Ceritakan pada Bu Guru, apa yang membuatmu sedih?”

Sari ragu sejenak, tapi kehangatan di mata Bu Guru membuatnya akhirnya bercerita. Tentang buku usangnya, tentang ejekan teman-temannya, tentang rasa takutnya bahwa ia tak akan pernah bisa membuat ibunya bangga. Bu Guru Siti mendengarkan dengan sabar, lalu memegang tangan Sari erat-erat. “Sari, setiap orang punya perjuangan. Buku usang itu, baju lusuh itu, bukan penutup ceritamu. Yang penting adalah hatimu, dan seberapa keras kamu berusaha. Bu Guru percaya, kamu bisa.”

Kata-kata itu seperti angin sejuk di tengah hari yang panas. Untuk pertama kalinya hari itu, Sari merasa ada secercah harapan di dadanya. Ia memandang Bu Guru Siti, lalu ke kertas gambar di tangannya. Mungkin, cahaya yang ibunya maksud itu memang ada—hanya saja, ia harus berjuang lebih keras untuk menemukannya.

Langkah di Tengah Badai

Hari-hari berlalu di Desa Sukamaju, tapi bagi Sari, setiap hari terasa seperti perjuangan baru. Musim hujan telah tiba, mengubah jalan setapak menuju sekolah menjadi lautan lumpur yang licin. Sepatu butut Sari kini semakin rusak, solnya hampir lepas sepenuhnya, dan setiap langkah terasa seperti menantang nasib. Pagi itu, hujan gerimis membasahi wajahnya saat ia berjalan dengan tas kainnya yang mulai sobek di sisi. Di tangannya, ia menggenggam erat buku matematika usang itu, berusaha melindunginya dari air hujan dengan selembar plastik bekas yang ia temukan di dapur.

Di rumah, Bu Marni tampak semakin lelah. Malam sebelumnya, Sari mendengar ibunya batuk-batuk di tengah malam, suara yang membuat hatinya ciut. Ia tahu ibunya sedang tak sehat, tapi Bu Marni tetap berangkat ke sawah pagi ini, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. “Ibu cuma masuk angin, Sari. Kamu fokus belajar saja,” kata Bu Marni saat Sari memintanya untuk istirahat. Nada suaranya tegas, tapi Sari bisa melihat kerapuhan di matanya. Ia ingin sekali meringankan beban ibunya, tapi apa yang bisa dilakukan seorang anak 12 tahun dengan tangan kecil dan mimpi yang terasa begitu jauh?

Sesampainya di sekolah, Sari mendapati suasana yang berbeda. Di papan pengumuman yang terpaku di dinding aula sekolah, terpampang selembar kertas besar bertuliskan “Lomba Cerdas Cermat Antar Sekolah”. Lomba itu akan diadakan sebulan lagi di kota kecamatan, dan sekolah mereka akan mengirimkan tiga siswa terbaik dari kelas 6. Jantungan Sari berdetak kencang. Ia tahu, ini adalah kesempatan besar—bukan hanya untuk membuktikan dirinya, tapi juga untuk membuat Bu Marni tersenyum bangga. Hadiah lomba itu, meski hanya berupa buku-buku baru dan beasiswa kecil, terasa seperti harta karun baginya.

Namun, harapan itu segera disusul oleh keraguan. Di kelas, Bu Guru Siti mengumumkan bahwa seleksi untuk lomba akan diadakan minggu depan, dan hanya siswa dengan nilai terbaik yang akan dipilih. Sari menunduk, menatap buku catatannya yang penuh coretan-coretan kecil. Nilainya memang tak buruk, tapi ia selalu kesulitan di matematika dan sains, dua mata pelajaran yang pasti akan diuji dalam lomba. Di sisi lain, Budi, anak yang sering mengejeknya, adalah salah satu siswa terpandai di kelas. Ia selalu mendapat nilai sempurna dan tak pernah ragu memamerkannya. “Sari, ngapain ikut lomba? Buku usangmu aja nggak cukup buat belajar!” celetuk Budi saat istirahat, disusul tawa teman-temannya. Kali ini, Sari tak hanya menunduk. Ia mengepalkan tangan kecilnya, tapi tak berkata apa-apa. Amarah dan rasa malu bercampur di dadanya, namun ia tahu, membalas ejekan itu tak akan mengubah apa pun.

Sepulang sekolah, Sari tak langsung pulang. Ia mampir ke perpustakaan sekolah, sebuah ruangan kecil yang lebih mirip gudang, penuh buku-buku tua dan berdebu. Di sana, ia menemukan sebuah buku sains sederhana dengan sampul yang sudah robek separuh. Ia duduk di sudut ruangan, di bawah jendela yang bocor, dan mulai membaca dengan penuh konsentrasi. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela menerangi wajahnya yang serius. Ia mencatat setiap hal penting dengan pensil pendek yang hampir habis, berjanji pada dirinya sendiri untuk memahami setiap halaman, meski kata-kata ilmiah itu terasa asing di lidahnya.

Malam itu, di gubuk kecil mereka, Sari belajar di bawah lampu minyak yang cahayanya redup. Listrik di desa mereka sering padam saat musim hujan, dan lilin adalah barang mewah yang tak bisa mereka beli setiap hari. Bu Marni duduk di sampingnya, menjahit tas kain Sari yang semakin rusak. “Sari, kenapa kamu belajar sampai malam begini?” tanya ibunya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Sari ragu sejenak, lalu menceritakan tentang lomba cerdas cermat. Ia tak ingin memberi harapan kosong pada ibunya, tapi ia tak bisa menahan diri. “Kalau aku menang, Bu, aku bisa dapat buku baru. Mungkin… aku juga bisa bantu Ibu,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Bu Marni berhenti menjahit. Matanya berkaca-kaca, tapi ia segera tersenyum untuk menyembunyikan air matanya. “Sari, Ibu nggak butuh apa-apa selain melihat kamu bahagia dan pintar. Belajar yang rajin, ya. Tapi jangan lupa istirahat.” Ia memeluk Sari erat, dan untuk sesaat, gubuk kecil itu terasa hangat di tengah dinginnya malam hujan.

Namun, keesokan harinya, badai yang lebih besar datang. Saat Sari tiba di sekolah, ia mendengar kabar bahwa Bu Guru Siti sakit dan harus dirawat di puskesmas kecamatan. Guru pengganti, Pak Hasan, dikenal keras dan tak sabaran. Di kelas, ia langsung memberikan latihan soal matematika yang sulit, penuh dengan pecahan dan persamaan yang membuat kepala Sari pusing. “Kalau kalian nggak bisa mengerjakan ini, jangan harap bisa ikut lomba!” bentak Pak Hasan, suaranya menggema di kelas yang tiba-tiba hening. Sari berusaha sekuat tenaga, tapi ia hanya bisa menjawab separuh soal. Saat kertasnya dikumpulkan, ia melihat Budi tersenyum lebar, yakin dengan jawabannya. Hati Sari ciut. Tanpa Bu Guru Siti, ia merasa kehilangan cahaya penuntunnya.

Sepulang sekolah, Sari kembali ke sungai kecil di belakang sekolah, tempat ia sering melarikan diri dari dunia. Hujan sudah reda, tapi langit masih kelabu, mencerminkan perasaannya. Ia memandang bayangannya di air, bertanya-tanya apakah ia benar-benar mampu. Ejekan Budi, buku usangnya, dan kesehatan ibunya yang memburuk terasa seperti beban yang terlalu berat untuk pundak kecilnya. Ia mengeluarkan kertas gambar rumah megahnya dari tas, yang kini sedikit basah karena hujan. Gambar itu, mimpinya, terasa semakin jauh. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ia tak mengusapnya. Ia membiarkan air mata itu mengalir, seolah ingin melepaskan semua rasa takut dan keraguan.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki. Itu adalah Iwan, teman sekelasnya yang pendiam dan jarang bicara. Iwan bukan siswa yang menonjol, tapi ia selalu baik pada semua orang, termasuk Sari. “Sari, aku lihat kamu belajar di perpustakaan kemarin. Kamu mau ikut lomba cerdas cermat, ya?” tanya Iwan dengan suara pelan. Sari mengangguk, tak yakin harus berkata apa. Iwan tersenyum kecil. “Aku juga mau coba. Kalau mau, kita belajar bareng. Aku punya buku sains dari kakakku, lumayan lengkap.” Tawaran itu sederhana, tapi bagi Sari, itu seperti seberkas cahaya di tengah badai.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Sari tak belajar sendirian. Di gubuk kecil Iwan, yang tak jauh dari rumahnya, mereka duduk bersama di bawah lampu minyak, membaca buku sains dan saling menjelaskan apa yang mereka pahami. Iwan tak pandai menjelaskan, tapi kesabarannya membuat Sari merasa tak sendirian. Di tengah halaman-halaman buku yang penuh istilah asing, Sari mulai merasakan sesuatu yang baru—bukan hanya harapan, tapi juga keberanian untuk terus melangkah, meski badai masih mengintai di depan.

Ujian di Bawah Tekanan

Hari seleksi lomba cerdas cermat tiba dengan cepat, membawa angin dingin yang bercampur aroma tanah basah di Desa Sukamaju. Langit pagi itu kelabu, awan tebal menggantung rendah seolah mencerminkan beban di hati Sari. Ia berdiri di depan cermin kecil yang retak di sudut gubuknya, merapikan seragamnya yang semakin ketat di pundak. Tas kainnya, yang kini dijahit ulang oleh Bu Marni dengan benang warna-warni, terasa lebih berat dari biasanya, penuh dengan buku pinjaman dari Iwan dan catatan kecil yang ia tulis dengan susah payah di malam-malam sebelumnya. Di sudut hatinya, ia merasa seperti prajurit kecil yang bersiap menuju medan perang, tapi tanpa perisai yang kokoh.

Malam sebelumnya, Sari dan Iwan belajar bersama hingga larut di gubuk Iwan. Di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip, mereka mengulang pelajaran sains tentang gaya dan gerak, serta matematika tentang pecahan dan persentase. Iwan, dengan kesabaran yang tak pernah Sari duga, menjelaskan konsep-konsep sulit dengan cara sederhana, menggunakan batu kecil dan ranting untuk menggambarkan gaya gravitasi. “Bayangin aja, Sari, seperti buah mangga jatuh dari pohon. Itu gaya tarik bumi,” kata Iwan sambil tersenyum malu-malu. Sari mengangguk, mencatat setiap kata dengan teliti, meski tangannya gemetar karena lelah. Ia tak ingin mengecewakan Iwan, yang telah rela berbagi buku dan waktunya, apalagi Bu Marni, yang kini batuknya semakin parah.

Namun, pagi ini, kekhawatiran baru menyelimuti Sari. Saat ia membantu ibunya menyiapkan sarapan—nasi dingin dengan sedikit sambal dari cabe tetangga—Bu Marni tiba-tiba pingsan di dapur. Wajahnya pucat, keringat membasahi dahinya, dan napasnya tersengal. Sari panik, berlari memanggil Mbok Sarijah, tetangga mereka, yang segera membantu membawa Bu Marni ke puskesmas desa dengan gerobak kayu. “Jangan khawatir, Sari, Ibu cuma kecapekan. Kamu ke sekolah dulu, ya,” kata Mbok Sarijah dengan nada menenangkan, tapi mata Sari sudah berkaca-kaca. Ia ingin tinggal di sisi ibunya, tapi Bu Marni, meski lemah, memegang tangannya erat dan berbisik, “Pergi, Sari. Jangan buang kesempatanmu.” Dengan hati terbelah, Sari menurut, berlari menuju sekolah dengan air mata yang tak sempat ia usap.

Di sekolah, suasana aula kecil penuh sesak dengan murid-murid kelas 6 yang tampak tegang. Meja-meja disusun rapi, masing-masing dengan kertas soal dan pensil. Pak Hasan, guru pengganti yang keras, berdiri di depan dengan wajah serius. “Hari ini kita pilih tiga siswa terbaik untuk lomba cerdas cermat. Kalian punya satu jam untuk mengerjakan soal-soal ini. Jangan buang waktu!” bentaknya, membuat beberapa anak menunduk ketakutan. Sari duduk di barisan belakang, di samping Iwan, yang memberinya senyum kecil untuk menguatkan. Tapi pikiran Sari terpecah—antara soal-soal yang akan ia hadapi dan gambaran Bu Marni yang terbaring lemah di puskesmas.

Soal-soal seleksi itu terasa seperti gunung yang tak bisa didaki. Ada pertanyaan tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, sains tentang siklus air, dan matematika penuh pecahan yang rumit. Sari mencoba fokus, tapi tangannya gemetar saat menulis jawaban. Ia teringat malam-malam belajar bersama Iwan, kata-kata Bu Guru Siti tentang keyakinan, dan bisikan Bu Marni pagi tadi. “Jangan buang kesempatanmu,” gema suara ibunya di kepalanya. Dengan sekuat tenaga, ia menjawab satu per satu soal, meski beberapa kali ia harus menghapus jawabannya karena ragu. Di sisi lain, Budi, yang duduk di barisan depan, tampak percaya diri, menulis dengan cepat dan sesekali melirik ke arah Sari dengan senyum mengejek.

Waktu satu jam terasa seperti sekejap. Ketika bel berbunyi, Sari merasa dadanya sesak. Ia tahu ia telah berusaha, tapi keraguan menggerogoti hatinya. Apakah jawabannya cukup baik? Apakah ia bisa mengalahkan Budi dan siswa lain yang jauh lebih siap? Saat kertas-kertas dikumpulkan, Pak Hasan mengumumkan bahwa hasil akan diumumkan sore ini. “Pulang dulu, dan kembali jam tiga sore!” katanya dengan nada datar. Sari menunduk, merasa seperti telah gagal bahkan sebelum hasil diumumkan.

Namun, sebelum pulang, kabar lain datang seperti petir di siang hari. Iwan, yang baru saja berbicara dengan salah satu guru, mendekati Sari dengan wajah penuh kekhawatiran. “Sari, aku dengar dari Bu Yuni di kantor guru. Bu Guru Siti… kondisinya memburuk. Dia harus dirujuk ke rumah sakit di kota.” Sari merasa dunia di sekitarnya hening seketika. Bu Guru Siti, orang yang selalu memberinya harapan, kini sedang berjuang untuk sembuh. Air mata yang ia tahan sejak pagi kini mengalir deras. Ia teringat senyum hangat Bu Guru, kata-katanya yang penuh dorongan, dan janjinya untuk membuat Bu Guru bangga. Kini, semua itu terasa seperti mimpi yang memudar.

Iwan memegang pundak Sari pelan. “Sari, Bu Guru pasti ingin kita terus berjuang. Ayo, kita ke puskesmas dulu, lihat keadaan Ibumu.” Sari mengangguk, meski kakinya terasa lelet. Mereka berjalan bersama menuju puskesmas desa, melewati jalan berlumpur yang kini terasa lebih berat. Di puskesmas, Sari menemukan Bu Marni terbaring di ranjang sederhana, wajahnya masih pucat tapi ia sudah sadar. “Sari, kamu sudah selesai ujiannya?” tanya ibunya dengan suara lemah. Sari mengangguk, tak mampu berkata banyak. Ia memeluk ibunya erat, berjanji dalam hati untuk tak menyerah, apa pun hasil seleksi nanti.

Sore itu, Sari dan Iwan kembali ke sekolah dengan hati penuh beban. Di aula, Pak Hasan berdiri dengan selembar kertas di tangan. “Setelah memeriksa semua jawaban, berikut adalah tiga siswa yang akan mewakili SD Sukamaju di lomba cerdas cermat,” katanya. Jantungan Sari berdetak kencang. Ia memejamkan mata, berdoa dalam hati untuk sebuah keajaiban. “Budi, Rina, dan… Sari.” Nama terakhir itu terdengar seperti mimpi. Sari membuka mata, tak percaya. Iwan tersenyum lebar di sisinya, meski namanya sendiri tak disebut. “Kamu berhasil, Sari!” bisiknya.

Namun, kegembiraan itu tak bertahan lama. Budi, yang berdiri di depan, berbalik dan berkata dengan nada sinis, “Sari? Serius? Pasti cuma keberuntungan.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Sari. Ia tahu, perjuangan sebenarnya baru saja dimulai. Dengan Bu Marni yang masih sakit, Bu Guru Siti yang dirawat di rumah sakit, dan tekanan untuk membuktikan dirinya di lomba, Sari merasa seperti berjalan di tepi jurang. Tapi di sudut hatinya, ia mendengar suara kecil—suara Bu Guru Siti, suara ibunya, dan suara Iwan—yang mengingatkannya bahwa cahaya itu masih ada, meski ia harus melangkah melalui kegelapan untuk menemukannya.

Cahaya yang Ditemukan

Hari lomba cerdas cermat tiba dengan langit cerah yang tak biasa di musim hujan Desa Sukamaju. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah awan, menerangi jalan berlumpur yang kini sedikit mengering. Sari berdiri di depan gubuk kecilnya, mengenakan seragam yang telah dijahit ulang oleh Bu Marni dengan penuh kasih sayang. Meski masih ketat di pundak, seragam itu terasa seperti baju zirah bagi Sari, simbol perjuangannya selama berminggu-minggu. Di tangannya, ia memegang tas kain yang kini diperkuat dengan tambalan baru, berisi buku usang dan catatan kecil yang penuh coretan semangat. Di dadanya, jantungan berdetak kencang, bercampur antara harapan dan ketakutan.

Sejak seleksi seminggu lalu, Sari dan dua teman timnya, Budi dan Rina, telah berlatih di bawah bimbingan Pak Hasan. Latihan itu tak mudah. Pak Hasan, dengan sikapnya yang keras, sering memarahi mereka jika salah menjawab, terutama Sari, yang dianggapnya “kurang siap”. Budi, seperti biasa, tak melewatkan kesempatan untuk menyindir. “Sari, jangan bikin tim kita malu di kota, ya,” katanya suatu sore, membuat Rina tertawa kecil. Namun, Sari tak lagi menunduk seperti dulu. Ia hanya menatap Budi sekilas, lalu kembali fokus pada buku sainsnya, bertekad membuktikan bahwa ia bukan hanya anak desa dengan buku usang.

Pagi itu, sebelum berangkat ke kota kecamatan, Sari mengunjungi Bu Marni, yang kini sudah boleh pulang dari puskesmas meski masih lemah. Wajah ibunya pucat, tapi matanya berbinar saat melihat Sari dalam seragam rapi. “Sari, Ibu tahu kamu bisa. Apa pun hasilnya, Ibu sudah bangga,” kata Bu Marni, suaranya serak namun penuh kehangatan. Sari memeluk ibunya erat, merasakan kelembutan tangan ibunya yang kasar karena kerja keras. “Ibu harus sembuh, ya. Aku mau Ibu lihat aku menang,” bisik Sari, air matanya hampir jatuh. Bu Marni hanya tersenyum, menyembunyikan batuk kecil yang masih mengganggunya.

Perjalanan ke kota kecamatan dilakukan dengan mobil tua milik kepala desa, yang mengangkut tim SD Sukamaju bersama Pak Hasan. Sepanjang jalan, Sari memandang keluar jendela, melihat sawah hijau dan gunung Ciremai yang berdiri gagah di kejauhan. Ia teringat Iwan, yang meski tak terpilih, tetap mendukungnya dengan penuh semangat. Malam sebelumnya, Iwan memberikan pinjaman buku sejarah milik kakaknya dan berkata, “Sari, kamu pasti bisa. Ceritain nanti ya, gimana rasanya di kota!” Senyum Iwan yang tulus itu menjadi bahan bakar bagi Sari untuk tetap melangkah, meski kini ia merasa sendirian di antara Budi dan Rina, yang sibuk mengobrol tentang strategi tanpa melibatkannya.

Sesampainya di aula kecamatan, suasana lomba terasa begitu asing bagi Sari. Aula itu besar, dengan dinding dicat putih bersih dan deretan kursi yang diisi oleh siswa-siswa dari sekolah lain. Mereka tampak percaya diri, mengenakan seragam yang jauh lebih rapi dan membawa buku-buku baru yang mengilap. Sari menunduk, merasa kecil di antara keramaian itu. Meja lomba sudah disiapkan, lengkap dengan bel dan papan skor. Empat tim dari sekolah berbeda akan bertanding, dan SD Sukamaju adalah salah satunya. Pak Hasan memberikan instruksi terakhir, “Jangan sampai kalian bikin malu sekolah. Fokus, dan jawab cepat!”

Lomba dimulai dengan babak penyisihan, di mana setiap tim harus menjawab soal secara bergiliran. Sari duduk di tengah, diapit Budi dan Rina. Soal pertama adalah tentang sejarah, sesuatu yang Sari pelajari dengan tekun berkat buku pinjaman Iwan. “Siapa presiden pertama Indonesia?” tanya pembawa acara. Sari menekan bel dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. “Ir. Soekarno,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar. “Benar!” seru pembawa acara, dan tepuk tangan menggema. Budi meliriknya dengan kaget, tapi tak berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, Sari merasa secercah keberanian di dadanya.

Namun, babak berikutnya jauh lebih sulit. Soal-soal sains dan matematika datang bertubi-tubi, dan Budi serta Rina mengambil alih sebagian besar jawaban. Sari sempat menjawab beberapa soal, tapi sekali ia salah menjawab tentang rumus luas lingkaran, dan Budi mendengus kesal. “Sudah kubilang, dia cuma keberuntungan,” gumam Budi pada Rina, cukup keras hingga Sari mendengar. Wajah Sari memanas, tapi ia menggigit bibir, berusaha fokus. Ia teringat kata-kata Bu Guru Siti, yang kini masih terbaring di rumah sakit: “Yang penting adalah hatimu, dan seberapa keras kamu berusaha.” Sari menarik napas dalam, berjanji pada dirinya sendiri untuk tak menyerah.

Di babak final, SD Sukamaju bersaing ketat dengan tim dari SD Harapan Jaya, sekolah kota yang terkenal unggul. Skor imbang, dan soal terakhir menentukan. Pembawa acara membacakan soal sains: “Jelaskan proses terjadinya hujan dalam siklus air!” Sari merasa jantungnya hampir berhenti. Ini adalah topik yang ia pelajari berulang-ulang bersama Iwan di bawah lampu minyak. Tanpa menunggu Budi atau Rina, ia menekan bel dengan tangan gemetar. “Proses terjadinya hujan dimulai dari evaporasi, di mana air di permukaan bumi menguap karena panas matahari, lalu membentuk uap air. Uap itu naik, mengalami kondensasi di udara dingin, membentuk awan. Ketika awan terlalu berat, air jatuh sebagai hujan,” jelasnya dengan suara yang kini lebih teguh. Aula hening sejenak, lalu pembawa acara berseru, “Benar! SD Sukamaju memenangkan lomba cerdas cermat!”

Tepuk tangan membahana, tapi bagi Sari, dunia seolah berhenti. Ia tak percaya timnya menang, dan jawabannya—jawaban anak desa dengan buku usang—yang membawa kemenangan. Budi dan Rina menatapnya dengan ekspresi campur aduk, tapi untuk pertama kalinya, Budi tak berkata apa-apa. Pak Hasan, yang biasanya keras, hanya mengangguk kecil, ada sedikit kebanggaan di matanya.

Malam itu, ketika Sari kembali ke desa dengan piala kecil dan setumpuk buku baru sebagai hadiah, ia langsung berlari ke gubuknya. Bu Marni, yang sedang berbaring di tikar, tersenyum lebar saat melihat piala di tangan Sari. “Sari… Ibu tahu kamu bisa,” katanya, air mata mengalir di pipinya yang pucat. Sari memeluk ibunya, menangis dalam kebahagiaan dan kelegaan. “Ini buat Ibu, dan buat Bu Guru Siti,” bisiknya.

Beberapa hari kemudian, kabar baik datang. Bu Guru Siti pulih dari sakitnya dan kembali ke sekolah. Saat bertemu Sari, ia memeluknya erat. “Sari, kamu adalah cahaya yang aku maksud. Buku usang itu hanyalah alat—cahayanya ada di hatimu,” katanya dengan suara penuh kebanggaan. Sari tersenyum, memandang buku-buku baru di tangannya dan gambar rumah megah yang masih ia simpan di tasnya. Mimpinya tak lagi terasa jauh. Ia tahu, dengan ilmu dan tekad, ia bisa membawa cahaya itu untuk ibunya, untuk Bu Guru Siti, dan untuk dirinya sendiri.

Di tepi sungai kecil di belakang sekolah, Sari duduk bersama Iwan, menceritakan semua tentang lomba. Angin sore membawa aroma tanah basah, dan matahari terbenam mewarnai langit dengan warna jingga. “Iwan, terima kasih. Tanpa kamu, aku nggak akan bisa,” kata Sari, matanya berkaca-kaca. Iwan hanya tersenyum malu-malu. “Kita kan temen, Sari. Nanti, ajarin aku juga, ya, biar kita menang bareng suatu hari.” Sari mengangguk, merasakan kehangatan persahabatan yang baru ditemukannya. Di depannya, sungai mengalir tenang, mencerminkan cahaya matahari yang perlahan tenggelam—cahaya yang kini ia tahu selalu ada, di balik buku usang dan perjuangan panjangnya.

Cahaya di Balik Buku Usang mengajarkan kita bahwa ilmu adalah cahaya yang mampu menerangi jalan, bahkan di tengah kegelapan hidup. Kisah Sari mengingatkan kita bahwa setiap perjuangan, sekecil apa pun, adalah langkah menuju perubahan yang lebih baik. Cerpen ini bukan hanya tentang pendidikan, tetapi juga tentang keberanian, persahabatan, dan cinta keluarga yang tak pernah pudar. Jadilah seperti Sari, temukan cahaya Anda sendiri, dan wujudkan mimpi Anda dengan tekad yang kuat!

Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif Cahaya di Balik Buku Usang. Semoga cerita ini membawa semangat baru dalam perjalanan Anda menuju ilmu dan mimpi. Jangan lupa bagikan artikel ini kepada teman dan keluarga, dan tetaplah terinspirasi untuk mengejar cahaya di setiap langkah hidup Anda. Sampai jumpa di kisah inspiratif berikutnya!

Leave a Reply