Cahaya di Balik Buku Tua: Kisah Perjuangan Pendidikan

Posted on

Temukan kisah mengharukan Sari, seorang gadis desa yang berjuang mengejar mimpi menjadi guru di tengah kemiskinan dan tantangan hidup, dalam cerpen Cahaya di Balik Buku Tua: Kisah Perjuangan Pendidikan. Cerita ini menggambarkan semangat pantang menyerah, pengorbanan, dan kekuatan pendidikan sebagai penerang di tengah kegelapan, menginspirasi pembaca untuk menghargai setiap kesempatan belajar. Simak perjalanan emosional yang penuh makna ini dan temukan bagaimana sebuah buku tua menjadi simbol harapan yang tak pernah padam.

Cahaya di Balik Buku Tua

Bayang-Bayang di Pagi Buta

Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, yang tersembunyi di antara perbukitan hijau Jawa Barat, matahari pagi baru saja mengintip dari balik kabut tipis. Udara dingin menyapa wajah-wajah para petani yang bergegas menuju sawah, sementara anak-anak desa, dengan seragam putih-merah yang sudah pudar, berjalan kaki menuju sekolah sederhana di ujung kampung. Di antara mereka, ada seorang gadis kecil berusia 12 tahun bernama Sari, yang langkahnya selalu penuh semangat meski kakinya hanya dilindungi sandal jepit usang.

Sari tinggal bersama ibunya, Bu Marni, di sebuah rumah bambu yang atapnya sering bocor saat hujan deras. Ayahnya telah meninggal tiga tahun lalu karena sakit yang tak kunjung sembuh, meninggalkan mereka dengan utang dan sepetak sawah kecil yang kini dikelola oleh paman Sari. Kehidupan mereka sederhana, bahkan terlalu sederhana, hingga sering kali mereka hanya makan nasi dengan garam dan sambal di malam hari. Namun, di tengah kesulitan itu, Sari memiliki mimpi besar: menjadi guru. Ia ingin mengajar anak-anak di desanya, memberikan mereka harapan melalui pendidikan, seperti yang pernah ia dapatkan dari buku-buku tua peninggalan ayahnya.

Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Sari selalu menyempatkan diri membaca buku pelajaran di bawah lampu minyak yang cahayanya redup. Buku-buku itu, meski sampulnya sudah menguning dan beberapa halamannya robek, adalah harta karun baginya. Salah satu buku favoritnya adalah sebuah buku pelajaran IPA milik ayahnya saat masih sekolah, yang di dalamnya terdapat catatan tangan ayahnya dengan tulisan rapi: “Pendidikan adalah cahaya yang tak pernah padam, Nak.” Kalimat itu selalu Sari baca berulang-ulang, seolah menjadi mantra yang memberinya kekuatan untuk terus melangkah.

Pagi itu, seperti biasa, Sari duduk di sudut ruang tamu yang sempit, membaca buku IPA-nya dengan penuh konsentrasi. Cahaya lampu minyak menari-nari di wajahnya yang penuh tekad, meski matanya sedikit sembab karena kurang tidur. Semalam, ia membantu ibunya menjahit kain pesanan tetangga hingga larut malam untuk menambah penghasilan. Bu Marni, yang duduk di dekat pintu sambil menyapu lantai, memandang putrinya dengan campuran rasa bangga dan sedih. “Sari, sudah waktunya berangkat. Jangan lupa makan bekalmu, ya,” katanya lembut, menunjuk ke arah sepiring nasi yang dibungkus daun pisang.

“Iya, Bu,” jawab Sari sambil memasukkan buku ke dalam tas kain yang sudah bolong di beberapa bagian. Ia mencium tangan ibunya, lalu berlari keluar rumah, sandal jepitnya berderit di jalan tanah yang masih basah oleh embun. Jalan menuju sekolah tidaklah dekat—ia harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer, melewati sawah, sungai kecil, dan hutan bambu yang kadang membuatnya merinding saat kabut masih tebal. Tapi Sari tak pernah mengeluh. Baginya, setiap langkah adalah bagian dari perjuangan menuju mimpinya.

Sesampainya di sekolah, suasana ramai menyambutnya. Sekolah Dasar Sukamaju hanya memiliki tiga ruang kelas yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atap seng yang berderit saat angin kencang. Guru-gurunya hanya tiga orang, termasuk Pak Hasan, kepala sekolah sekaligus guru matematika yang terkenal tegas tapi penyayang. Hari itu, Pak Hasan mengumumkan bahwa akan ada lomba cerdas cermat tingkat kabupaten, dan sekolah mereka diundang untuk mengirimkan satu tim. “Ini kesempatan besar untuk menunjukkan bahwa anak-anak Sukamaju bisa bersaing dengan sekolah kota!” katanya dengan semangat, matanya berbinar.

Sari, yang duduk di bangku depan, merasakan jantungan hatinya. Ia ingin sekali ikut lomba itu. Ia membayangkan dirinya berdiri di panggung, menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit, dan membawa pulang piala untuk desanya. Tapi di sisi lain, ia tahu peluangnya kecil. Sekolah mereka kekurangan buku referensi, dan ia sendiri tidak punya waktu banyak untuk belajar karena harus membantu ibunya. Selain itu, ada Rina, anak kepala desa, yang selalu menjadi favorit dalam setiap kegiatan sekolah karena keluarganya mampu membeli buku-buku baru dan les privat.

Saat istirahat, Sari duduk sendirian di bawah pohon mangga di halaman sekolah, memandangi buku IPA-nya yang terbuka di halaman tentang fotosintesis. Ia mencoba menghafal rumus-rumus kimia, tapi pikirannya melayang ke ibunya yang semakin kurus dan sering batuk-batuk akhir-akhir ini. “Kalau aku menang lomba, mungkin aku bisa dapat beasiswa. Aku bisa bantu Ibu,” gumamnya pelan, tapi suaranya tertelan oleh tawa anak-anak lain yang bermain di dekatnya.

Tiba-tiba, Pak Hasan menghampirinya. “Sari, kenapa sendirian? Kamu mau ikut lomba cerdas cermat?” tanyanya dengan senyum hangat. Sari ragu-ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. “Saya mau coba, Pak. Tapi… saya takut tidak bisa,” katanya lirih, menunduk.

Pak Hasan berjongkok di depannya, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Sari, pendidikan itu bukan soal siapa yang punya buku paling banyak atau seragam paling bagus. Ini soal hati dan usaha. Kalau kamu mau berjuang, saya yakin kamu bisa.” Kata-kata itu seperti angin sejuk di tengah keraguan Sari, tapi di dalam hatinya, ia masih merasa ada bayang-bayang besar yang menghalanginya—kemiskinan, tanggung jawab di rumah, dan rasa takut gagal.

Sore itu, saat pulang sekolah, Sari berjalan lebih lambat dari biasanya. Ia memikirkan lomba cerdas cermat, ibunya, dan mimpinya menjadi guru. Di tepi sawah, ia berhenti sejenak, memandang langit yang mulai jingga. “Ayah, apa aku bisa?” bisiknya pelan, seolah berbicara pada angin. Di tangannya, buku IPA tua itu ia peluk erat, seakan itu satu-satunya pegangan yang ia miliki.

Beban di Pundak Kecil

Langit Sukamaju mulai merona jingga saat Sari tiba di rumah setelah perjalanan panjang dari sekolah. Rumah bambu yang sederhana itu tampak semakin rapuh di bawah sinar senja, dengan atap seng yang berkarat dan dinding anyaman yang mulai berlubang di beberapa bagian. Sari mendorong pintu kayu yang berderit, dan aroma nasi hangat bercampur bau tanah basah menyambutnya. Di sudut ruangan, Bu Marni sedang menjahit kain dengan tangan gemetar, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu minyak yang mulai redup. Batuk kecil yang kini sering terdengar dari ibunya membuat hati Sari mencelos.

“Bu, sudah makan?” tanya Sari sambil meletakkan tas kainnya di lantai. Ia berjalan mendekati ibunya, mencium tangan yang kasar karena bertahun-tahun bekerja keras. Bu Marni tersenyum tipis, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kelelahan. “Belum, Nak. Ibu mau selesaikan jahitan ini dulu. Pesanan Bu RT harus selesai malam ini,” jawabnya, suaranya parau. Sari mengangguk, meski hatinya berat. Ia tahu penghasilan dari menjahit adalah satu-satunya yang menahan mereka dari kelaparan, tapi ia juga tahu ibunya semakin lemah.

Sari bergegas ke dapur kecil di belakang rumah, mengambil sepiring nasi dan sepotong tempe goreng yang sudah dingin. Ia membawanya untuk ibunya, lalu duduk di sampingnya, membantu memasukkan benang ke jarum yang sulit dilihat di bawah cahaya redup. “Bu, tadi di sekolah Pak Hasan bilang ada lomba cerdas cermat tingkat kabupaten. Saya… saya mau coba ikut,” kata Sari hati-hati, menatap wajah ibunya untuk melihat reaksinya.

Bu Marni berhenti menjahit sejenak, matanya menyipit penuh perhatian. “Lomba? Itu bagus, Nak. Kamu pintar, pasti bisa. Tapi… apa tidak terlalu berat? Kamu sudah banyak membantu Ibu di rumah,” katanya, suaranya penuh kelembutan tapi juga kekhawatiran. Sari tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan beban di hatinya. “Saya bisa, Bu. Kalau menang, mungkin ada beasiswa. Kita bisa beli obat untuk Ibu, atau… perbaiki atap,” ucapnya, meski ia sendiri tidak yakin dari mana ia akan mendapatkan waktu untuk belajar.

Malam itu, setelah membantu ibunya menyelesaikan jahitan, Sari membuka buku IPA-nya lagi. Di bawah lampu minyak yang hampir habis, ia mencoba memahami bab tentang sistem tata surya. Matanya lelah, tapi pikirannya terus berputar pada lomba cerdas cermat. Ia tahu tim sekolah akan dipilih berdasarkan ujian sederhana minggu depan, dan hanya tiga siswa terbaik yang akan mewakili SD Sukamaju. Rina, anak kepala desa, pasti akan menjadi salah satunya. Rina selalu punya buku-buku baru, pulpen warna-warni, dan bahkan pernah ke perpustakaan kota bersama ayahnya. Sementara Sari? Ia hanya punya buku-buku tua ayahnya dan semangat yang kadang goyah oleh kelelahan.

Keesokan harinya di sekolah, Pak Hasan mengadakan pertemuan khusus untuk siswa yang ingin mengikuti seleksi lomba. Ruang kelas yang biasanya ramai kini terasa hening, hanya dihadiri oleh sepuluh siswa, termasuk Sari dan Rina. Pak Hasan berdiri di depan kelas, memegang setumpuk kertas soal yang akan digunakan untuk ujian seleksi. “Kalian semua punya kesempatan yang sama,” katanya tegas. “Lomba ini bukan cuma soal pintar, tapi soal kerja keras dan keberanian. Saya ingin kalian tunjukkan yang terbaik.”

Sari menunduk, tangannya memainkan ujung seragamnya yang sudah sobek. Ia merasa semua mata memandang Rina, yang duduk di depan dengan penuh percaya diri, buku catatannya penuh dengan stiker warna-warni. “Sari, kamu yakin mau ikut? Bukannya kamu harus bantu ibumu jahit?” tanya Rina dengan nada yang terdengar polos, tapi ada sedikit ejekan di matanya. Beberapa anak tertawa pelan, dan wajah Sari memanas. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokannya. Ia hanya mengangguk kecil dan kembali fokus ke buku di depannya.

Setelah sekolah, Pak Hasan memanggil Sari ke ruang guru. “Sari, saya lihat kamu serius ingin ikut lomba ini. Tapi saya juga tahu kamu punya banyak tanggung jawab di rumah. Kalau kamu mau, saya bisa bantu kamu belajar setelah jam sekolah,” tawarnya. Mata Sari berkaca-kaca. Ia tidak terbiasa menerima kebaikan seperti ini, dan rasa haru bercampur dengan rasa takut gagal membuat dadanya sesak. “Terima kasih, Pak. Saya akan coba,” jawabnya pelan.

Selama beberapa hari berikutnya, Sari membagi waktunya antara sekolah, membantu ibunya, dan belajar bersama Pak Hasan. Setiap sore, setelah anak-anak lain pulang, Sari tinggal di sekolah, duduk di bangku kayu yang sudah tua, mendengarkan Pak Hasan menjelaskan soal-soal matematika, IPA, dan sejarah. Pak Hasan sering membawa buku-buku dari koleksi pribadinya, meski sebagian besar sudah usang. “Ini bukan soal buku baru, Sari. Ini soal bagaimana kamu memahami dan berpikir,” katanya suatu sore, saat Sari kesulitan memahami rumus luas lingkaran.

Namun, di rumah, tekanan semakin berat. Bu Marni semakin sering batuk, dan pesanan jahitan semakin banyak karena musim pernikahan di desa tetangga. Sari sering begadang untuk membantu ibunya, lalu bangun pagi dengan mata sembab untuk membaca buku. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur desa dan atap rumah mereka bocor lagi, Sari duduk di sudut ruangan, memegang ember untuk menampung air hujan, sementara tangan lainnya memegang buku. Air mata jatuh perlahan ke pipinya, bercampur dengan tetesan air hujan yang dingin. “Bu, kalau saya gagal di lomba ini, apa Ibu kecewa?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar di antara deru hujan.

Bu Marni, yang sedang menjahit di sampingnya, berhenti. Ia meraih tangan Sari, memegangnya erat. “Sari, Ibu tidak akan pernah kecewa sama kamu. Kamu sudah berjuang lebih keras dari yang Ibu bayangkan. Menang atau kalah, kamu tetap anak Ibu yang hebat,” katanya, suaranya penuh kehangatan meski tubuhnya lemah. Sari memeluk ibunya, menahan tangis. Di dalam hatinya, ia berjanji akan memberikan yang terbaik, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk ibunya yang telah berkorban segalanya.

Hari ujian seleksi tiba. Pagi itu, Sari berjalan ke sekolah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya, tapi bayang-bayang keraguan masih menghantuinya. Di kelas, ia duduk di bangku belakang, memandang soal-soal di depannya. Ada 50 soal pilihan ganda dan esai, mencakup semua mata pelajaran. Saat membaca soal pertama tentang fotosintesis, ia teringat buku IPA tua ayahnya. Ia tersenyum kecil, menggenggam pensilnya erat, dan mulai menulis.

Cahaya Redup di Ujung Jalan

Hari pengumuman hasil seleksi lomba cerdas cermat tiba dengan langit mendung yang menggantung berat di atas Sukamaju. Hujan gerimis membasahi jalan tanah menuju sekolah, membuat sandal jepit Sari licin dan berlumpur. Ia berjalan dengan hati-hati, tas kainnya yang sudah usang ia peluk erat untuk melindungi buku-buku tuanya dari air. Di dalam dadanya, ada campuran harap dan takut yang bercampur baur. Ujian seleksi kemarin terasa seperti perjuangan terberat dalam hidupnya—setiap soal yang ia jawab, setiap rumus yang ia tulis, adalah bukti bahwa ia ingin melangkah lebih jauh dari batas-batas kemiskinan yang mengikatnya.

Di sekolah, suasana di ruang kelas penuh dengan bisik-bisik antusias. Anak-anak berkumpul di sekitar papan pengumuman yang baru saja ditempel oleh Pak Hasan. Sari berdiri di belakang, tidak berani mendekat. Jantungan hatinya semakin kencang saat ia melihat Rina, dengan seragam yang masih rapi meski basah, tersenyum lebar sambil berbisik pada teman-temannya. “Pasti aku masuk tim. Ayahku bilang aku yang terbaik,” kata Rina dengan nada penuh percaya diri, cukup keras hingga Sari mendengarnya. Kata-kata itu seperti jarum kecil yang menusuk hati Sari, tapi ia mencoba mengabaikannya, mengingatkan diri sendiri pada kata-kata Pak Hasan: “Ini soal hati dan usaha.”

Akhirnya, Sari memberanikan diri melangkah mendekati papan pengumuman. Matanya menyusuri daftar nama yang ditulis rapi dengan tinta biru. Ada tiga nama: Rina, Budi, dan… Sari. Jantungan hatinya seolah berhenti sejenak. Namanya ada di sana, di urutan ketiga. Ia terpilih. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah cahaya di ujung jalan panjang yang ia tempuh. Tapi sebelum ia bisa tersenyum, Rina menghampirinya. “Sari, kamu masuk tim? Wah, tidak disangka,” katanya dengan senyum yang sulit dibaca, antara kagum dan meremehkan. “Tapi lomba di kota itu berat, lho. Apa kamu yakin bisa?”

Sari menunduk, tangannya mencengkeram tali tasnya. “Saya akan coba, Rina,” jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara tawa anak-anak lain. Ia ingin mengatakan lebih banyak, ingin membuktikan bahwa ia tidak kalah, tapi keraguan itu kembali menggerogoti hatinya. Ia berjalan menjauh dari kerumunan, duduk di bangku kayu di sudut kelas, dan membuka buku IPA-nya, seolah mencari perlindungan di antara halaman-halaman yang sudah ia hafal.

Setelah sekolah, Pak Hasan memanggil ketiga anggota tim—Sari, Rina, dan Budi—ke ruang guru untuk membahas persiapan lomba. “Lomba ini akan diadakan dua minggu lagi di kota kabupaten. Kalian bertiga harus bekerja sama sebagai tim. Setiap hari setelah sekolah, kita akan latihan soal dan strategi,” jelas Pak Hasan sambil membagikan beberapa lembar kertas berisi contoh soal. Sari memandang kertas itu dengan penuh tekad, tapi ia juga merasa tekanan yang semakin berat. Ia tahu Rina dan Budi punya keunggulan—Rina dengan buku-buku barunya, dan Budi dengan ingatannya yang tajam untuk sejarah dan bahasa Indonesia. Sementara Sari hanya punya buku tua dan waktu yang terbatas.

Malam itu, di rumah, Sari duduk di bawah lampu minyak yang semakin redup karena minyaknya hampir habis. Ia mencoba mengerjakan soal-soal dari Pak Hasan, tapi pikirannya terus melayang ke ibunya. Bu Marni kini batuk lebih sering, dan malam ini ia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Sari membawakan segelas air hangat untuk ibunya, lalu duduk di sampingnya, memegang tangan yang semakin kurus. “Bu, saya masuk tim lomba,” katanya pelan, berharap kabar itu bisa membawa sedikit keceriaan.

Bu Marni membuka matanya, tersenyum lemah. “Ibu bangga, Nak. Kamu harus terus belajar, apa pun yang terjadi. Jangan pikirkan Ibu, pikirkan mimpimu,” katanya, suaranya terputus oleh batuk kecil. Sari mengangguk, tapi hatinya terasa seperti diremas. Ia tahu ibunya berusaha kuat demi dirinya, tapi ia juga tahu bahwa biaya untuk berobat ke dokter di kota jauh melampaui kemampuan mereka. Jika ia menang lomba, mungkin ada hadiah atau beasiswa yang bisa membantu ibunya. Tapi jika ia gagal, ia takut tidak hanya mengecewakan dirinya sendiri, tapi juga ibunya yang telah menaruh harapan besar.

Selama dua minggu berikutnya, Sari menjalani hari-harinya seperti berlari di atas tali tipis. Pagi ia berangkat ke sekolah, sore ia berlatih cerdas cermat bersama Rina dan Budi, dan malam ia membantu ibunya menjahit hingga larut. Tidur menjadi barang mewah baginya—matanya sering sembab, dan tubuhnya terasa lemas. Namun, setiap kali ia ingin menyerah, ia membuka buku IPA tua ayahnya dan membaca catatan tangan itu: “Pendidikan adalah cahaya yang tak pernah padam, Nak.” Kalimat itu seperti nyala api kecil yang terus membakar semangatnya.

Latihan tim tidak selalu berjalan mulus. Rina sering mendominasi diskusi, menjawab soal dengan cepat dan kadang menyela Sari sebelum ia selesai berpikir. Budi, yang lebih pendiam, cenderung mengikuti Rina, membuat Sari merasa seperti bayang-bayang dalam tim. Suatu sore, saat mereka berlatih soal IPA tentang siklus air, Rina menjawab dengan yakin, tapi Sari tahu jawabannya salah. Dengan ragu, ia mengangkat tangan. “Pak, saya pikir itu bukan kondensasi, tapi evaporasi,” katanya pelan, menunjuk ke diagram di kertas soal.

Pak Hasan mengangguk, matanya berbinar. “Benar, Sari. Bagus sekali.” Rina memandang Sari dengan alis terangkat, tapi tidak berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, Sari merasa sedikit lebih percaya diri, meski di dalam hatinya ia masih takut akan hari lomba yang semakin dekat.

Malam sebelum lomba, hujan kembali mengguyur Sukamaju. Atap rumah Sari bocor lebih parah, dan ember-ember di ruangan hampir penuh dengan air hujan. Bu Marni terbangun karena batuk yang tak kunjung reda, dan Sari harus berlari ke tetangga untuk meminjam jahe untuk dibuatkan minuman hangat. Saat ia kembali, ia menemukan ibunya pingsan di lantai. Panik, Sari berteriak memanggil tetangga, dan mereka membawa Bu Marni ke bidan desa. Bidan hanya bisa memberikan obat sederhana dan menyarankan agar Bu Marni segera dibawa ke dokter di kota.

Sari duduk di samping ibunya yang kini terbaring lemah, air matanya jatuh tanpa suara. Ia memegang tangan ibunya, berbisik, “Bu, saya akan ke lomba besok. Saya janji akan menang untuk Ibu.” Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya soal lomba, tapi juga soal melawan ketakutan dan beban yang terasa terlalu berat untuk pundak kecilnya. Di sudut ruangan, buku IPA tua itu tergeletak, sampulnya basah oleh tetesan air hujan, tapi kalimat ayahnya masih terbaca jelas di pikirannya, memberinya secercah harapan di tengah kegelapan.

Nyala di Tengah Badai

Pagi hari lomba cerdas cermat tiba dengan langit yang masih kelabu, sisa-sisa hujan semalam meninggalkan genangan di jalan tanah menuju kota kabupaten. Sari bangun sebelum fajar, tubuhnya lelah setelah malam yang penuh kekhawatiran. Bu Marni, ibunya, masih terbaring lemah di tempat tidur, napasnya tersengal meski bidan desa telah memberikan obat. Di sudut ruangan, ember-ember penuh air hujan menjadi pengingat bahwa rumah mereka semakin rapuh, sama seperti harapan yang kadang goyah di hati Sari. Namun, di pagi itu, ia memegang buku IPA tua ayahnya, membaca kembali catatan tangan yang telah menjadi mantra hidupnya: “Pendidikan adalah cahaya yang tak pernah padam, Nak.” Ia menarik napas dalam, menguatkan diri untuk hari yang akan menentukan.

Perjalanan ke kota dilakukan dengan mobil tua mil milik kepala desa, yang dengan baik hati mengantar tim SD Sukamaju. Sari duduk di kursi belakang, diapit oleh Rina dan Budi. Rina tampak percaya diri, mengobrol tentang buku-buku barunya dan les privat yang ia ikuti, sementara Budi hanya mengangguk sesekali, matanya fokus ke jendela. Sari diam, tangannya mencengkeram tas kain yang berisi buku tua dan selembar kertas berisi catatan latihan dari Pak Hasan. Pikirannya terbelah antara lomba dan ibunya yang terbaring di rumah. “Kalau aku menang, mungkin aku bisa dapat beasiswa. Aku bisa bawa Ibu ke dokter,” gumamnya dalam hati, berusaha menahan air mata yang mengintai.

Sesampainya di aula kabupaten, suas8ana ramai menyambut mereka. Aula itu megah bagi Sari, dengan dinding putih bersih, lampu-lampu terang, dan panggung besar yang dihiasi spanduk bertuliskan “Lomba Cerdas Cermat Tingkat Kabupaten 2025”. Tim-tim dari sekolah kota tampak berbeda—seragam mereka rapi, buku-buku mereka tebal dan baru, dan beberapa anak bahkan membawa tablet untuk belajar. Sari merasa kecil di antara mereka, sandal jepitnya yang usang terasa seperti sorotan di tengah sepatu-sepatu mengkilap. Rina, yang duduk di sampingnya, berbisik, “Lihat, Sari, mereka dari sekolah kota. Kita cuma anak desa, susah bersaing.” Nada Rina terdengar seperti ejekan, tapi Sari hanya mengangguk, menolak membiarkan kata-kata itu meruntuhkan semangatnya.

Lomba dimulai dengan babak penyisihan. Tim SD Sukamaju duduk di meja nomor 7, menghadapi soal-soal yang jauh lebih sulit dari latihan Pak Hasan. Sari, Rina, dan Budi bekerja sama, tapi ketegangan di antara mereka terasa. Rina sering menjawab tanpa berkonsultasi, dan beberapa kali jawabannya salah, membuat tim mereka kehilangan poin. Budi, yang biasanya pendiam, mulai kesal, berbisik pada Sari, “Kalau dia terus begini, kita bisa kalah.” Sari hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia tahu ia harus berbuat sesuatu.

Di babak semifinal, tim mereka menghadapi soal IPA tentang hukum Newton. Rina ragu-ragu, dan Budi tampak bingung. Sari, yang telah menghafal bab itu dari buku tua ayahnya, mengangkat tangan dengan gemetar. “Hukum ketiga Newton: setiap aksi memiliki reaksi yang sama besar dan berlawanan arah,” jawabnya dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Ruangan hening sejenak, lalu juri mengangguk. “Benar!” Tim mereka mendapat poin besar, dan untuk pertama kalinya, Rina memandang Sari dengan ekspresi yang berbeda—bukan meremehkan, tapi kagum.

Babak final adalah yang terberat. Hanya tiga tim tersisa, dan SD Sukamaju berhadapan dengan dua sekolah kota yang terkenal. Soal terakhir adalah esai tentang dampak pendidikan bagi masyarakat desa. Juri memberikan waktu lima menit untuk berdiskusi, dan Sari mengambil inisiatif. “Kita harus ceritakan apa yang kita rasakan di desa. Pendidikan itu seperti… seperti cahaya yang membuka jalan, meski kita miskin,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Rina dan Budi mengangguk, dan untuk pertama kalinya, mereka bekerja sama dengan harmonis, menyusun jawaban yang mengalir dari hati.

Saat tim mereka membacakan jawaban, Sari yang berbicara di depan mikrofon. “Di desa kami, banyak anak yang tidak punya buku baru atau seragam bagus. Tapi pendidikan memberi kami harapan. Ia mengajarkan kami bahwa meski hidup susah, kami bisa bermimpi besar. Pendidikan adalah cahaya yang tidak pernah padam, seperti yang ayah saya tulis di buku tuanya.” Suaranya bergetar, air mata menggenang di matanya saat ia teringat ibunya. Aula sunyi, lalu tepuk tangan riuh menggema. Bahkan juri tampak terharu.

Pengumuman pemenang menjadi momen yang paling mendebarkan. Saat juri menyebutkan bahwa SD Sukamaju meraih juara kedua, Sari, Rina, dan Budi melompat dari kursi mereka, saling berpelukan. Juara kedua bukan yang terbaik, tapi bagi Sari, itu adalah kemenangan besar. Mereka mendapat piala kecil dan beasiswa pendidikan untuk masing-masing anggota tim. Sari memegang piala itu erat-erat, air matanya jatuh. Ia tahu beasiswa ini bisa membantu ibunya berobat, meski hanya sedikit.

Pulang ke Sukamaju malam itu, Sari duduk di samping Pak Hasan di mobil. “Sari, kamu luar biasa hari ini,” kata Pak Hasan, suaranya penuh kebanggaan. “Kamu membuktikan bahwa kerja keras dan hati yang tulus bisa mengalahkan segala keterbatasan.” Sari tersenyum, tapi pikirannya sudah melayang ke ibunya. Ia ingin segera sampai di rumah, menunjukkan piala itu, dan memberi tahu ibunya bahwa ia tidak mengecewakan.

Namun, saat tiba di rumah, suasana berbeda. Tetangga berkumpul di depan rumah bambu mereka, wajah mereka penuh duka. Sari berlari masuk, jantungan hatinya seolah berhenti. Bu Marni terbaring di tempat tidur, napasnya sudah tidak ada. Bidan desa, yang berdiri di samping, memandang Sari dengan mata berkaca-kaca. “Maaf, Sari. Ibumu… sudah pergi tadi sore,” katanya pelan.

Sari ambruk di samping ibunya, piala di tangannya jatuh ke lantai. Ia memeluk tubuh ibunya yang sudah dingin, air matanya membanjiri wajahnya. “Bu, saya menang… saya bawa piala untuk Ibu…” isaknya, tapi suaranya hanya bergema di ruangan yang kini terasa kosong. Di sudut ruangan, buku IPA tua itu masih tergeletak, basah oleh air hujan, tapi catatan ayahnya tetap terbaca jelas di pikiran Sari.

Hari-hari setelah kepergian ibunya terasa seperti mimpi buruk. Tapi di tengah duka, Sari menemukan kekuatan. Beasiswa dari lomba memungkinkannya melanjutkan sekolah tanpa beban biaya, dan piala itu menjadi pengingat bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Ia pindah ke rumah pamannya, dan setiap malam, ia membaca buku tua ayahnya, berjanji pada dirinya sendiri dan ibunya bahwa ia akan menjadi guru, seperti mimpinya sejak kecil.

Di bawah langit Sukamaju yang kini cerah, Sari berjalan ke sekolah dengan langkah yang lebih teguh. Ia membawa buku tua itu di tangannya, bukan lagi sebagai beban, tapi sebagai cahaya yang akan menuntunnya. Di hatinya, ia membawa kenangan ibunya dan ayahnya, serta tekad untuk menyalakan cahaya pendidikan bagi anak-anak desa lainnya, seperti yang pernah mereka lakukan untuknya.

Cerpen Cahaya di Balik Buku Tua: Kisah Perjuangan Pendidikan bukan hanya sebuah kisah, tetapi juga pengingat bahwa pendidikan adalah cahaya yang mampu mengubah nasib, bahkan di tengah keterbatasan. Kisah Sari mengajarkan kita untuk terus berjuang demi mimpi, menghargai setiap peluang, dan menyalakan harapan bagi generasi mendatang. Jangan lewatkan cerita inspiratif ini yang akan menggetarkan hati dan memotivasi Anda untuk melihat pendidikan dari sudut pandang baru.

Leave a Reply