Daftar Isi
Masuki dunia penuh emosi dalam cerpen Bunga Mawar untuk Hari Guru: Kisah Cinta dan Kehilangan, sebuah cerita yang menggambarkan perjalanan Sari dalam merayakan Hari Guru dengan cara yang tak terlupakan. Berlatar di sebuah desa sederhana, cerpen ini mengisahkan kerinduan mendalam seorang murid pada gurunya yang telah tiada, Bu Ratna, melalui sentuhan bunga mawar putih dan taman kenangan yang penuh makna. Dengan alur yang mendalam dan detail yang mengharukan, cerita ini akan mengajak Anda merasakan cinta, kehilangan, dan kekuatan untuk mengenang, menjadikannya bacaan yang sempurna untuk menghormati jasa para guru.
Bunga Mawar untuk Hari Guru
Bunga untuk Bu Ratna
Pagi itu, udara di Desa Sumber Rejo terasa sejuk, dengan embun yang masih bergelayut di ujung-ujung daun padi. Langit perlahan berubah dari kelabu menjadi biru muda, sementara sinar matahari pagi menyelinap di antara celah-celah pohon mangga yang berjejer di tepi jalan desa. Di sebuah sekolah dasar kecil bernama SD Harapan Jaya, suasana terasa lebih ramai dari biasanya. Hari itu adalah Hari Guru, 25 November 2025, dan para murid tampak sibuk mempersiapkan kejutan untuk guru-guru mereka. Tawa dan celoteh anak-anak memenuhi halaman sekolah, dihiasi bunga-bunga kertas yang mereka buat sendiri sebagai bagian dari perayaan.
Di sudut kelas 5A, seorang gadis kecil bernama Sari duduk sendirian di bangkunya. Matanya yang bulat dan cokelat tampak berkaca-kaca, menatap setangkai bunga mawar putih yang ia pegang erat. Bunga itu ia petik pagi tadi dari kebun kecil di belakang rumahnya, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Bu Ratna, wali kelasnya yang paling ia sayangi. Sari mengenakan seragam putih-merah yang sedikit kusut, tapi ia tak peduli. Pikirannya penuh dengan kenangan tentang Bu Ratna, guru yang telah mengubah hidupnya selama dua tahun terakhir.
Bu Ratna adalah guru yang berbeda. Ia bukan hanya mengajar membaca dan menulis, tapi juga mengajarkan keberanian dan kasih sayang. Sari masih ingat betul saat ia pertama kali masuk kelas 3A, sebagai murid baru yang pendiam dan penuh rasa takut. Ia sering diejek teman-temannya karena logatnya yang kental—ia baru pindah dari sebuah desa terpencil di Nusa Tenggara Timur setelah ayahnya meninggal dalam kecelakaan kapal nelayan. Ibunya, yang kini bekerja sebagai buruh tani, berjuang keras membawa Sari dan adiknya ke Sumber Rejo untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tapi bagi Sari yang waktu itu berusia 8 tahun, dunia baru itu terasa asing dan menakutkan.
Hari pertama di sekolah, Sari menangis di sudut kelas, takut berbicara karena takut diejek. Bu Ratna, dengan senyum lembut dan mata yang penuh kehangatan, mendekatinya. “Sari, suaramu itu seperti musik dari laut. Jangan sembunyikan, ya,” katanya sambil mengusap kepala Sari. Sejak itu, Bu Ratna menjadi pelindungnya. Ia sering mengajak Sari ke kebun sekolah, mengajarinya menanam bunga sambil bercerita tentang keajaiban alam. “Bunga itu seperti kita, Sari. Harus kuat meski ada badai,” ujar Bu Ratna suatu hari, sambil menunjukkan bunga mawar putih yang baru mekar. Kata-kata itu tertanam kuat di hati Sari, memberinya keberanian untuk menghadapi ejekan teman-temannya.
Tapi setahun yang lalu, semuanya berubah. Bu Ratna jatuh sakit. Awalnya, ia hanya sering kelelahan dan pucat, tapi ia tetap tersenyum dan mengajar. Hingga suatu hari, ia pingsan di kelas saat sedang menulis di papan tulis. Para murid panik, dan Sari adalah yang paling histeris. Ia masih ingat bagaimana ia memeluk kaki Bu Ratna, menangis dan memohon agar gurunya tidak pergi. Bu Ratna dibawa ke rumah sakit, dan setelah beberapa minggu, ia didiagnosis menderita kanker paru-paru stadium lanjut. Dokter bilang ia hanya punya waktu beberapa bulan.
Bu Ratna memilih untuk menghabiskan sisa waktunya di rumah, di sebuah gubuk sederhana di pinggir desa. Ia tak lagi mengajar, tapi sering mengirim pesan lewat guru lain, menyapa murid-muridnya dengan penuh kasih. “Belajar yang rajin, ya. Bu Ratna selalu doakan kalian,” tulisnya dalam secarik kertas yang diberikan pada Sari. Tapi Sari tak bisa menerima kenyataan itu. Ia sering menyelinap ke rumah Bu Ratna setelah sekolah, membawakan bunga mawar putih dari kebunnya, berharap gurunya akan sembuh. “Bu, ini bunga kesukaan Ibu. Nanti kalau Ibu sembuh, kita tanam lagi, ya,” kata Sari suatu sore, dengan mata penuh harap. Bu Ratna hanya tersenyum lemah, menggenggam tangan kecil Sari. “Terima kasih, Sari. Bunga ini indah sekali, seperti hatimu.”
Namun, seminggu sebelum Hari Guru, kabar duka itu datang. Bu Ratna meninggal dunia di malam yang hening, ditemani keluarganya. Sari mendengar kabar itu dari ibunya, dan malam itu ia menangis hingga tertidur, memeluk bantal kecil yang dulu diberikan Bu Ratna sebagai hadiah ulang tahun. Ia merasa dunia runtuh. Bagaimana mungkin Bu Ratna pergi, padahal ia belum sempat mengucapkan terima kasih dengan benar?
Kini, di kelas 5A, Sari menatap bunga mawar putih di tangannya. Hari Guru tahun ini terasa hampa tanpa Bu Ratna. Teman-temannya sibuk menghias kelas dengan bunga kertas dan menulis kartu ucapan untuk guru-guru mereka, tapi Sari hanya diam. Ia ingin memberikan bunga ini untuk Bu Ratna, meski ia tahu gurunya tak lagi ada. Di sudut hatinya, ia berjanji akan pergi ke makam Bu Ratna sore ini, untuk meletakkan bunga itu dan berbicara pada gurunya seperti dulu.
Di luar kelas, suara bel berbunyi, menandakan dimulainya upacara Hari Guru. Sari bangkit perlahan, menggenggam bunga mawar itu erat-erat, seolah tak ingin kehilangan satu-satunya kenangan yang ia miliki dari Bu Ratna. Ia tahu perjalanan untuk mengenang gurunya baru saja dimulai, dan hatinya dipenuhi campuran rindu, sedih, dan cinta yang tak akan pernah padam.
Upacara yang Hampa
Halaman SD Harapan Jaya dipenuhi oleh deretan murid yang berdiri rapi dalam barisan, mengenakan seragam putih-merah yang bersih dan topi merah di kepala mereka. Bendera merah-putih berkibar perlahan di tiang bendera, diterpa angin pagi yang sejuk pada 25 November 2025. Upacara Hari Guru dimulai dengan penuh semangat, dipimpin oleh Pak Budi, kepala sekolah yang dikenal tegas namun penyayang. Ia berdiri di depan mikrofon sederhana, suaranya menggema di halaman sekolah saat ia membacakan pidato tentang pentingnya peran guru dalam membentuk masa depan anak-anak desa.
“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,” kata Pak Budi dengan nada penuh makna. “Mereka tidak hanya mengajar, tapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan. Hari ini, kita berkumpul untuk menghormati mereka, termasuk mereka yang telah berpulang, seperti Bu Ratna, yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar SD Harapan Jaya.”
Nama Bu Ratna yang disebut membuat hati Sari bergetar. Ia berdiri di barisan paling belakang kelas 5A, tangannya masih menggenggam erat bunga mawar putih yang ia bawa. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha menahan tangis. Di sekitarnya, teman-temannya tampak ceria, beberapa di antaranya memegang kartu ucapan dan bunga kertas untuk diberikan kepada guru-guru mereka setelah upacara. Ada yang berbisik tentang kejutan kecil yang mereka siapkan—sebuah lagu yang akan dinyanyikan bersama untuk menghibur para guru. Tapi Sari tak bisa ikut merasakan keceriaan itu. Baginya, Hari Guru kali ini hanya mengingatkan pada kehilangan yang masih terasa begitu dalam.
Setelah pidato Pak Budi selesai, upacara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh seorang murid kelas 6. Puisi itu berjudul “Guruku, Cahaya Hidupku”, dan setiap baitnya dipenuhi dengan ungkapan terima kasih atas jasa guru. Saat bait terakhir dibacakan—“Guruku, meski kau pergi, cahayamu abadi di hati”—Sari tak bisa lagi menahan air matanya. Ia menunduk, membiarkan tetesan air mata jatuh ke tanah berpasir di bawah kakinya. Bunga mawar putih di tangannya terasa semakin berat, seolah membawa semua rindu yang tak bisa ia ungkapkan.
Upacara berakhir dengan tepuk tangan meriah dari para murid. Mereka berhamburan menuju guru-guru mereka, memberikan kartu ucapan, bunga kertas, dan pelukan hangat. Bu Wulan, wali kelas 5A yang baru, dikerubungi murid-murid yang tersenyum lebar, menyerahkan hadiah kecil berupa kaligrafi nama yang mereka buat sendiri. Sari memperhatikan dari kejauhan, tapi ia tak bergerak dari tempatnya. Ia merasa asing di tengah keramaian itu, seperti bunga yang layu di antara taman yang sedang mekar.
“Sari, ayo ikut ke Bu Wulan!” seru Dika, teman sekelasnya yang selalu ceria. Dika memegang bunga kertas berwarna kuning yang ia buat dengan penuh semangat. “Bu Wulan baik, kok. Dia pasti senang kalau kamu kasih sesuatu.”
Sari menggeleng pelan, tersenyum kecil untuk menutupi kesedihannya. “Nanti aja, Ka. Aku… aku mau ke tempat lain dulu,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar di tengah hiruk-pikuk anak-anak.
Dika mengangguk, meski ada kebingungan di matanya. Ia kemudian berlari menuju Bu Wulan, meninggalkan Sari yang kembali tenggelam dalam pikirannya. Sari menatap bunga mawar putih di tangannya, mengingat kembali saat-saat terakhir ia bertemu Bu Ratna. Seminggu sebelum Bu Ratna meninggal, Sari datang ke rumahnya dengan seikat bunga mawar yang ia petik dari kebun. Bu Ratna terbaring lemah di ranjang bambu sederhana, kulitnya pucat dan tangannya kurus, tapi senyumnya tetap hangat seperti dulu.
“Sari, kamu datang lagi,” kata Bu Ratna, suaranya lemah tapi penuh kasih. “Bunga ini… indah sekali. Makasih, ya. Kamu selalu bikin Ibu bahagia.”
Sari duduk di samping ranjang, menahan tangis. “Bu, Ibu harus sembuh. Nanti kita ke kebun lagi, ya. Kita tanam mawar putih yang banyak, biar kebun kita jadi taman yang paling indah di desa.”
Bu Ratna tersenyum, tangannya yang gemetar mengusap pipi Sari. “Ibu janji akan selalu melihatmu dari mana pun Ibu berada. Kamu harus jadi anak yang kuat, ya. Jangan lupa, bunga yang kuat itu selalu mekar meski badai datang.”
Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepala Sari, membuat dadanya semakin sesak. Ia menatap langit yang kini mulai terang, sinar matahari menyelinap di antara awan putih. Upacara telah selesai, dan murid-murid mulai kembali ke kelas mereka untuk mengikuti kegiatan berikutnya—pembacaan surat cinta untuk para guru. Tapi Sari tak ingin ikut. Ia ingin ke makam Bu Ratna sekarang, sebelum keberaniannya hilang.
Dengan langkah kecil, Sari berjalan keluar dari halaman sekolah, melewati gerbang kayu yang sudah tua. Ia tahu makam Bu Ratna tak jauh dari sini, di sebuah pemakaman kecil di pinggir desa, dekat dengan sungai yang mengalir tenang. Jalan menuju makam itu dipenuhi rumput liar dan bebatuan kecil, tapi Sari tak peduli. Ia terus berjalan, menggenggam bunga mawar itu erat-erat, seolah itu satu-satunya jembatan yang menghubungkannya dengan Bu Ratna.
Di kejauhan, suara anak-anak yang bernyanyi untuk para guru masih terdengar samar. Tapi bagi Sari, suara itu hanya membuatnya semakin rindu. Hari Guru ini seharusnya menjadi hari untuk merayakan, tapi baginya, ini adalah hari untuk mengenang—dan mungkin, untuk mengucapkan selamat tinggal.
Di Tepi Makam
Langkah kecil Sari terdengar pelan di atas tanah berbatu yang dipenuhi rumput liar, saat ia berjalan menuju pemakaman kecil di pinggir Desa Sumber Rejo. Matahari pagi pada 25 November 2025 sudah naik lebih tinggi, sinarnya menyelinap di antara daun-daun pohon jati yang berjejer di sisi jalan setapak. Sungai kecil yang mengalir di dekat pemakaman memantulkan cahaya matahari, menciptakan kilauan lembut yang kontras dengan suasana hening di sekitar. Bau tanah basah dan aroma daun kering tercium di udara, membawa Sari pada kenangan-kenangan tentang Bu Ratna yang sering mengajaknya berjalan di tepi sungai sambil bercerita tentang kehidupan.
Pemakaman itu sederhana, hanya berupa tanah lapang dengan beberapa nisan kayu dan batu yang ditumbuhi lumut. Makam Bu Ratna berada di sudut pemakaman, di bawah pohon kamboja tua yang ranting-rantingnya meliuk anggun. Nisan kayu sederhana bertuliskan “Ratna Wulandari, 1985-2025” berdiri tegak, dikelilingi beberapa bunga liar yang tumbuh alami. Di sekitar makam, terlihat jejak kunjungan sebelumnya—beberapa helai bunga kamboja kering dan lilin kecil yang sudah meleleh, mungkin dari keluarga atau murid lain yang juga merindukan Bu Ratna.
Sari berhenti di depan makam, matanya tertuju pada nisan itu. Ia merasa kakinya lelet, seolah tanah di bawahnya mencoba menahannya. Bunga mawar putih di tangannya kini sedikit layu karena genggaman yang terlalu erat, tapi Sari tak peduli. Ia hanya ingin berada di sini, bersama Bu Ratna, meski hanya dalam bentuk kenangan. Dengan hati-hati, ia berlutut di depan makam, meletakkan bunga mawar itu tepat di atas tanah yang masih tampak gembur. Angin pagi bertiup pelan, membawa aroma kamboja yang harum, seolah menyapa Sari dengan kelembutan yang sama seperti senyum Bu Ratna dulu.
“Bu Ratna…,” bisik Sari, suaranya bergetar. “Hari ini Hari Guru, Bu. Semua temen-temen di sekolah bikin kartu sama bunga kertas buat guru-guru mereka. Tapi aku… aku cuma punya ini buat Ibu.” Ia menunjuk bunga mawar putih itu, air matanya mulai menetes perlahan. “Aku kangen Ibu. Aku kangen kebun kita, kangen Ibu ajarin aku tanam bunga, kangen Ibu ceritain tentang laut sama bunga-bunga.”
Sari menunduk, tangannya memainkan ujung seragamnya yang kusut. Ia teringat betul bagaimana Bu Ratna selalu sabar mendengarkannya, bahkan ketika ia kesulitan membaca atau takut berbicara di depan kelas. Bu Ratna pernah bilang, “Sari, setiap orang punya waktu sendiri untuk mekar. Kamu nanti akan jadi bunga yang paling indah, asal kamu percaya sama diri sendiri.” Kata-kata itu menjadi pegangan Sari, terutama di saat-saat ia merasa minder karena logatnya atau karena ia tak punya seragam baru seperti teman-temannya.
Tapi kini, Bu Ratna tak lagi ada untuk mengucapkan kalimat-kalimat penuh semangat itu. Sari merasa kehilangan arah. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana ia bisa menjadi “bunga yang kuat” seperti yang Bu Ratna harapkan, kalau gurunya sendiri tak lagi ada untuk membimbingnya? Ia menutup mata, mencoba mengingat wajah Bu Ratna—senyumnya yang hangat, matanya yang penuh kasih, dan suaranya yang lembut saat memanggil namanya.
Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar dari belakang. Sari menoleh, terkejut melihat Dika, teman sekelasnya, berdiri di sana dengan ekspresi canggung. Dika mengenakan seragam yang sedikit kotor karena ia berlari dari sekolah, dan di tangannya, ia memegang selembar kertas yang dilipat rapi. Rambutnya yang pendek tampak basah oleh keringat, tapi matanya penuh perhatian saat menatap Sari.
“Sari, aku tahu kamu ke sini,” kata Dika, suaranya pelan. “Aku… aku khawatir. Kamu tadi kelihatan sedih banget pas upacara. Aku tanya Bu Wulan, katanya kamu mungkin ke makam Bu Ratna.”
Sari mengusap air matanya dengan cepat, berusaha tersenyum. “Makasih, Ka. Aku… aku cuma mau kasih ini buat Bu Ratna.” Ia menunjuk bunga mawar di depan makam.
Dika berjalan mendekat, lalu berlutut di samping Sari. Ia membuka lipatan kertas yang ia bawa, memperlihatkan gambar sederhana yang ia buat dengan crayon: seorang guru yang tersenyum di depan kebun bunga, dikelilingi anak-anak kecil. “Aku bikin ini tadi pas di kelas. Bu Wulan suruh kita gambar kenangan sama guru yang kita sayang. Aku gambar Bu Ratna, soalnya aku juga kangen dia. Dia yang ajarin aku nggak takut sama matematika.”
Sari menatap gambar itu, air matanya kembali mengalir. Gambar itu sederhana, tapi penuh makna. Ia bisa melihat Bu Ratna di sana, berdiri di tengah kebun dengan senyum lelet yang khas. “Bagus banget, Ka,” katanya, suaranya serak. “Bu Ratna pasti seneng lihat ini.”
Dika tersenyum kecil, lalu meletakkan gambar itu di samping bunga mawar Sari. “Kita kasih ini bareng-bareng, ya. Biar Bu Ratna tahu kita nggak lupa sama dia.”
Mereka duduk berdua di depan makam, diam dalam keheningan yang penuh makna. Angin kembali bertiup, membawa kelopak kamboja yang gugur dari pohon di atas, jatuh lembut di atas tanah makam. Sari merasa sedikit lebih ringan, tahu bahwa ia tidak sendirian dalam kerinduannya. Kehadiran Dika, meski sederhana, memberinya kekuatan untuk menghadapi kesedihan ini.
Namun, di sudut hatinya, Sari masih merasa ada yang belum selesai. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih untuk mengenang Bu Ratna, sesuatu yang bisa membuat gurunya bangga, meski dari tempat yang jauh. Ia menatap bunga mawar putih itu, dan sebuah ide muncul di benaknya—sesuatu yang akan menjadi hadiah terakhirnya untuk Bu Ratna di Hari Guru ini.
Taman Kenangan
Pagi yang cerah di Desa Sumber Rejo, 25 November 2025, membawa angin sepoi-sepoi yang membelai rumput liar di sekitar pemakaman kecil. Jam menunjukkan 10:07 WIB ketika Sari dan Dika masih duduk di depan makam Bu Ratna, ditemani keheningan yang hanya dipotong oleh suara air sungai yang mengalir pelan di kejauhan. Matahari mulai memanaskan tanah, tapi hati Sari terasa hangat oleh ide yang baru saja muncul di benaknya. Ia menatap bunga mawar putih yang kini terletak di samping gambar crayon Dika, dan sebuah rencana mulai terbentuk—sesuatu yang akan mengabadikan kenangan akan Bu Ratna, bukan hanya untuknya, tapi juga untuk semua murid yang pernah merasakan kebaikan gurunya.
“Sari, kamu tadi kayak mikir apa?” tanya Dika, memecah keheningan. Matanya yang besar menatap Sari dengan rasa ingin tahu, tangannya masih memegang ujung kertas gambar yang ia letakkan di makam.
Sari tersenyum kecil, mengusap air mata yang masih membasahi pipinya. “Ka, aku punya ide. Aku mau bikin taman buat Bu Ratna. Taman penuh bunga mawar putih, seperti yang Ibu suka. Biar semua orang di desa inget sama Ibu, dan anak-anak yang lain bisa datang ke situ kalau kangen.”
Mata Dika melebar, penuh semangat. “Wah, keren! Kita bisa minta bantuan temen-temen di kelas. Aku bisa gambar peta taman, lho! Tapi… di mana kita bikinnya?”
Sari memandang ke arah kebun kecil di belakang rumahnya, yang terlihat dari sudut pemakaman. Kebun itu dulu tempat favoritnya dan Bu Ratna, di mana mereka menanam bunga dan berbagi cerita. “Di kebun rumahku,” jawabnya tegas. “Ibu selalu bilang kebun itu tempat spesial. Aku mau jadikan taman kenangan buat Ibu.”
Dengan tekad baru, Sari dan Dika bergegas kembali ke desa. Perjalanan pulang terasa lebih ringan, meski kaki mereka lelah melangkah di jalan setapak yang berbatu. Sesampainya di rumah, Sari langsung bercerita pada ibunya, seorang wanita kurus dengan wajah penuh garis kehidupan, yang sedang memotong rumput di halaman. Ibunya mendengarkan dengan diam, lalu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca.
“Ibu setuju, Sari. Bu Ratna memang layak diinget terus. Kita pakai kebun itu, tapi kamu harus minta ijin sama Pak Budi juga, biar anak-anak sekolah bisa ikut,” kata ibunya sambil mengusap kepala Sari.
Sore itu, Sari dan Dika kembali ke SD Harapan Jaya. Mereka menemui Pak Budi di ruang kepala sekolah, sebuah ruangan sederhana dengan meja kayu tua dan papan tulis yang penuh catatan. Pak Budi mendengarkan rencana mereka dengan serius, sesekali mengangguk dan tersenyum. “Ini ide yang bagus, Sari. Bu Ratna pasti bangga. Besok, kita adakan kegiatan khusus setelah upacara. Semua murid bisa ikut menanam bunga di taman itu sebagai penghormatan untuknya.”
Kabar tentang taman kenangan menyebar cepat di kalangan murid. Pagi berikutnya, 26 November 2025, halaman sekolah kembali ramai, tapi kali ini untuk tujuan yang lebih dalam. Anak-anak membawa bibit bunga mawar putih, sekop kecil, dan ember air yang mereka isi dari sumur sekolah. Sari memimpin kegiatan, berdiri di depan dengan penuh keberanian, meski hatinya masih bergetar mengenang Bu Ratna. Dika membagikan peta sederhana yang ia gambar, menunjukkan letak tanaman dan jalur setapak yang akan dibuat.
Proses penanaman dimulai di kebun kecil Sari, yang kini dipenuhi tawa dan celoteh anak-anak. Tanah digali dengan hati-hati, bibit ditanam satu per satu, dan air disiram dengan penuh perhatian. Sari mengambil bibit pertama, menanamnya di tengah kebun, dan berbisik, “Ini buat Ibu, ya. Semoga Ibu suka taman ini.” Air matanya jatuh, bercampur dengan tanah yang lembap, tapi senyumnya muncul kembali saat ia melihat teman-temannya bekerja sama.
Bu Wulan, wali kelas 5A, ikut membantu, membawa tambahan bibit dari pasar desa. “Sari, ini taman akan jadi simbol kebaikan Bu Ratna. Kalian semua hebat,” katanya sambil mengusap keringat di dahinya. Para guru lain juga datang, membawa alat dan semangat, membuat suasana semakin hangat.
Hingga sore, taman itu mulai terlihat cantik. Deretan mawar putih baru ditancapkan di tanah, dikelilingi jalur setapak kecil dari batu-batu datar yang dikumpulkan anak-anak. Di tengah taman, mereka menancapkan papan kayu sederhana bertuliskan “Taman Kenangan Bu Ratna” dengan cat yang masih segar. Sari berdiri di depan taman itu, menatap hasil kerja keras mereka. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga mawar yang mulai menyebar, seolah Bu Ratna hadir di sana, tersenyum bangga.
Malam itu, Sari duduk di beranda rumahnya, memandang taman baru yang diterangi cahaya bulan. Ia merasa sedih karena Bu Ratna tak lagi bisa melihatnya secara langsung, tapi ada kelegaan di hatinya. Taman itu bukan hanya penghormatan untuk Bu Ratna, tapi juga bukti bahwa pelajarannya tentang kekuatan dan cinta akan terus hidup. Sari mengambil buku catatannya, menulis surat pendek untuk Bu Ratna: “Ibu, taman ini buat Ibu. Aku janji akan jaga, dan aku akan jadi bunga yang kuat seperti yang Ibu bilang. Terima kasih, Ibu.”
Di kejauhan, suara jangkrik mulai terdengar, menyanyikan lagu malam yang damai. Sari menutup bukunya, menatap langit yang penuh bintang. Ia tahu, meski Bu Ratna telah pergi, kehadirannya akan selalu ada—dalam taman itu, dalam hati teman-temannya, dan dalam setiap langkah ke depannya.
Bunga Mawar untuk Hari Guru: Kisah Cinta dan Kehilangan adalah lebih dari sekadar cerita; ini adalah pengingat akan betapa besar pengaruh seorang guru dalam kehidupan muridnya, bahkan setelah mereka tiada. Melalui taman kenangan yang dibangun Sari, cerpen ini mengajarkan kita tentang keberanian untuk melepaskan dan keindahan dalam mengenang. Jangan lewatkan kisah yang akan membuat Anda tersentuh dan terinspirasi untuk menghargai guru-guru dalam hidup Anda.