Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya: Kisah tentang Warisan, Luka, dan Pencarian Jati Diri

Posted on

Apakah Anda pernah merasa terikat oleh bayang-bayang masa lalu keluarga? Dalam cerpen Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya, Lintang Wicaksana membawa kita pada perjalanan emosional yang penuh luka, cinta, dan pencarian makna hidup. Berlatar di desa Rawasari yang memesona, cerita ini menggambarkan bagaimana seorang pemuda berjuang melepaskan diri dari warisan ayahnya, Kusuma Wardhana, seorang seniman brilian namun penuh kegelapan. Dengan alur yang mendalam dan karakter yang hidup, cerpen ini tak hanya menyentuh hati, tetapi juga mengajak kita merenung tentang identitas dan pilihan hidup. Simak ulasan lengkapnya dan temukan mengapa kisah ini wajib dibaca!

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

Bayang-Bayang Sang Ayah

Di sebuah desa kecil bernama Rawasari, yang terletak di lembah hijau nan sunyi di kaki Gunung Merbabu, hiduplah seorang pemuda bernama Lintang Wicaksana. Usianya baru menginjak 24 tahun, namun matanya menyimpan beban yang jauh lebih tua dari umurnya. Wajahnya yang tirus dengan rahang tegas dan alis tebal seolah mencerminkan semangat yang tak pernah padam, namun di balik itu, ada luka yang tersembunyi, luka yang hanya diketahui oleh malam dan bintang-bintang yang menjadi saksi bisu kegelisahannya.

Rawasari adalah desa yang sederhana. Rumah-rumah kayu berdiri di antara sawah yang menghijau dan sungai kecil yang mengalir jernih. Di desa ini, nama Lintang tidak hanya dikenal karena kecerdasannya, tetapi juga karena bayang-bayang ayahnya, Kusuma Wardhana, seorang pria yang pernah menjadi legenda sekaligus kutukan bagi desa itu. Kusuma adalah seniman ulung, pelukis yang mampu menghidupkan kanvas dengan warna-warna yang seolah menari. Namun, ia juga dikenal sebagai pria yang keras kepala, penuh amarah, dan tenggelam dalam dunia kelamnya sendiri. Peribahasa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” sering diucapkan warga desa ketika melihat Lintang, dengan nada yang bercampur antara kagum dan curiga.

Lintang tinggal di rumah tua di ujung desa, rumah yang dulu menjadi saksi kejayaan sang ayah. Dinding-dinding kayunya sudah mulai lapuk, namun masih kokoh menahan kenangan. Di sudut ruang tamu, sebuah kanvas besar yang belum selesai tergantung, peninggalan terakhir Kusuma sebelum ia menghilang tanpa jejak lima tahun lalu. Kanvas itu menggambarkan sebuah hutan kelam dengan siluet seorang anak kecil yang berdiri di tengahnya, seolah tersesat. Setiap kali Lintang melewati kanvas itu, dadanya terasa sesak. Ia tahu, anak kecil di lukisan itu adalah dirinya.

Pagi itu, seperti biasa, Lintang duduk di beranda rumahnya sambil menyeruput kopi hitam. Di tangannya, sebuah buku sketsa usang milik ayahnya terbuka lebar. Di dalamnya, ada coretan-coretan gambar yang penuh makna: wajah-wajah penuh ekspresi, pemandangan desa yang kini telah berubah, dan catatan-catatan kecil yang ditulis dengan tulisan tangan Kusuma yang khas. Salah satu catatan itu berbunyi, “Lintang, kau adalah warna di hidupku, tapi aku takut kau akan menjadi bayanganku.” Kalimat itu selalu membuat Lintang merenung. Apa maksud ayahnya? Apakah ia takut Lintang akan menjadi seperti dirinya—seorang yang brilian namun hancur oleh sifatnya sendiri?

Di desa, Lintang dikenal sebagai pemuda yang pendiam namun berbakat. Ia mewarisi bakat seni ayahnya, meskipun ia lebih memilih menulis puisi daripada melukis. Puisinya sering dibaca oleh anak-anak muda di desa, yang kagum dengan caranya merangkai kata-kata menjadi sesuatu yang hidup dan penuh emosi. Namun, di balik talenta itu, Lintang selalu merasa ada sesuatu yang mengikatnya pada masa lalu ayahnya. Setiap kali ia menulis, ia merasa seperti sedang berbicara dengan Kusuma, seolah ayahnya masih ada di sisinya, mengawasi setiap kata yang ia tulis.

Hari itu, desa Rawasari sedang bersiap untuk festival tahunan, sebuah perayaan untuk menghormati leluhur dan panen yang melimpah. Lintang biasanya menghindari keramaian seperti ini, tetapi tahun ini ia diminta oleh kepala desa, Pak Wirya, untuk membacakan puisi di acara pembukaan. “Kau harus tunjukkan bahwa darah Kusuma mengalir di nadimu, tapi dengan cara yang lebih baik,” kata Pak Wirya dengan senyum bijak, namun nada itu terasa seperti beban bagi Lintang.

Sore menjelang festival, Lintang berjalan menyusuri tepi sawah menuju rumah sahabatnya, Sekar Arumdati, seorang gadis berusia 23 tahun yang memiliki senyum secerah bunga kamboja. Sekar adalah satu-satunya orang yang mampu membuat Lintang merasa ringan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, duduk di bawah pohon beringin tua sambil berbagi cerita. Sekar, dengan rambut panjangnya yang selalu diikat asal, adalah kebalikan dari Lintang. Ia penuh semangat, selalu optimis, dan tak pernah takut mengatakan apa yang ada di pikirannya.

“Lintang, kenapa kau selalu terlihat seperti membawa dunia di pundakmu?” tanya Sekar sambil melemparkan kerikil kecil ke sungai. Airnya berkilau di bawah sinar matahari senja.

Lintang tersenyum tipis, tapi matanya tetap tertuju pada cakrawala. “Mungkin karena aku memang membawa dunia—dunia ayahku.”

Sekar menghela napas. “Kau bukan ayahmu, Lintang. Kau adalah kau. Kenapa kau biarkan bayang-bayangnya mengikatmu?”

“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Sekar,” jawab Lintang, mengulang peribahasa yang sudah terlalu sering ia dengar. “Aku takut, kalau aku punya bakatnya, aku juga punya kegelapannya.”

Sekar memandangnya dengan mata penuh empati. “Kau lupa bagian lain dari peribahasa itu. Buah bisa memilih di mana ia akan tumbuh. Kau bisa memilih jalanmu sendiri.”

Malam itu, festival dimulai dengan meriah. Lentera-lentera kertas digantung di sepanjang jalan desa, menciptakan suasana hangat di tengah udara dingin pegunungan. Lintang berdiri di panggung kecil yang didirikan di lapangan desa, memegang kertas berisi puisi yang ia tulis semalam. Jantungnya berdegup kencang. Di depannya, ratusan wajah warga desa menatapnya, beberapa dengan ekspresi penuh harap, beberapa dengan tatapan penuh curiga, seolah menunggu apakah ia akan menjadi “Kusuma yang baru”.

Puisi yang ia bacakan berjudul “Bayang di Bawah Pohon”. Kata-katanya mengalir seperti sungai, penuh emosi yang mentah namun indah. Ia menceritakan tentang seorang anak yang hidup di bawah bayang-bayang pohon besar, pohon yang memberinya naungan sekaligus beban. Setiap baris puisi itu seolah menggambarkan perjuangannya sendiri, perjuangan untuk keluar dari bayang-bayang ayahnya. Ketika ia selesai, tepuk tangan membahana, tapi Lintang merasa kosong. Ia tahu, meski puisinya menyentuh hati banyak orang, pertanyaan tentang dirinya sendiri belum terjawab.

Setelah acara, Lintang kembali ke rumahnya. Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, ia membuka kembali buku sketsa ayahnya. Di halaman terakhir, ia menemukan sesuatu yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya: sebuah catatan kecil yang terselip di lipatan kertas. Tulisan tangan Kusuma, yang sudah mulai memudar, berbunyi, “Lintang, jika kau membaca ini, ketahuilah bahwa aku mencintaimu. Tapi aku takut kau akan menjadi seperti aku, penuh amarah dan penyesalan. Carilah cahayamu sendiri.”

Air mata Lintang jatuh ke kertas itu, meninggalkan noda kecil yang melebur dengan tinta. Ia merasa dadanya sesak, seolah semua emosi yang ia pendam selama bertahun-tahun tiba-tiba meluap. Ia ingin marah pada ayahnya, ingin bertanya mengapa Kusuma meninggalkannya dengan begitu banyak pertanyaan. Tapi di saat yang sama, ia merasa ada ikatan yang tak bisa ia putuskan—ikatan darah, ikatan bakat, ikatan cinta dan luka.

Malam itu, Lintang membuat keputusan. Ia akan mencari tahu apa yang terjadi pada ayahnya, mengapa Kusuma menghilang, dan apa yang membuatnya menulis catatan itu. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia harus melakukannya—bukan hanya untuk memahami ayahnya, tetapi untuk memahami dirinya sendiri. Di bawah langit Rawasari yang penuh bintang, Lintang berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi buah yang memilih jalannya sendiri, meski pohon itu masih menaunginya.

Jejak di Tengah Kabut

Pagi di Rawasari selalu dimulai dengan aroma tanah basah dan suara ayam berkokok yang saling bersahutan. Lintang Wicaksana terbangun dengan kepala yang masih penuh dengan bayang-bayang malam sebelumnya. Catatan kecil dari buku sketsa ayahnya, Kusuma Wardhana, seolah terukir di benaknya: “Carilah cahayamu sendiri.” Kalimat itu terasa seperti teka-teki yang harus dipecahkan, namun juga seperti beban yang menekan pundaknya. Ia duduk di tepi ranjang kayu yang sudah mulai berderit, menatap langit-langit rumah tua yang penuh retakan. Di luar, kabut tipis masih menyelimuti desa, seolah menyembunyikan rahasia yang sama yang ia cari.

Lintang memutuskan untuk memulai perjalanannya dengan mencari petunjuk tentang ke mana ayahnya pergi lima tahun lalu. Kusuma menghilang begitu saja setelah sebuah malam penuh badai, meninggalkan desa dalam bisik-bisik dan spekulasi. Ada yang bilang ia pergi ke kota besar untuk mengejar mimpinya sebagai seniman, ada pula yang berbisik bahwa ia tenggelam dalam kegelapan batinnya sendiri, mungkin di suatu tempat yang tak diketahui siapa pun. Lintang kecil saat itu hanya bisa menangis di beranda rumah, menunggu ayahnya kembali, tetapi Kusuma tak pernah muncul lagi.

Setelah mandi dengan air dingin dari sumur belakang rumah, Lintang mengenakan kemeja katun sederhana dan celana kain yang sudah sedikit pudar. Ia mengambil buku sketsa ayahnya, sebuah kotak kecil berisi pensil dan kertas, serta sebuah foto tua yang selalu ia simpan di saku dalam jaketnya. Foto itu menunjukkan dirinya saat masih berusia tujuh tahun, berdiri di samping Kusuma yang tersenyum lebar sambil memegang kuas lukis. Di belakang mereka, ada pohon beringin tua yang masih berdiri kokoh di tengah desa. Foto itu adalah satu-satunya kenangan bahagia yang Lintang miliki bersama ayahnya, dan ia merasa foto itu adalah jangkar yang menahannya agar tidak hanyut dalam kebencian atau keputusasaan.

Langkah pertamanya adalah mengunjungi Mbok Sari, seorang perempuan tua yang dulu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga mereka. Mbok Sari kini tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir desa, dikelilingi oleh kebun kecil yang penuh dengan tanaman obat dan bunga melati. Wajahnya yang keriput dan matanya yang redup menyimpan banyak cerita, dan Lintang tahu bahwa Mbok Sari adalah salah satu orang yang paling mengenal Kusuma, lebih dari siapa pun di desa ini.

“Mbok, apa Mbok tahu ke mana Ayah pergi lima tahun lalu?” tanya Lintang setelah mereka duduk di tikar pandan di beranda gubuk. Di depan mereka, secangkir teh jahe hangat mengepul, mengusir dinginnya pagi.

Mbok Sari memandang Lintang dengan mata yang penuh kelembutan, namun juga ada sedikit keraguan. “Lintang, anakku, kenapa kau ingin membuka luka lama? Ayahmu… dia orang yang rumit. Kadang aku merasa dia berjuang melawan dirinya sendiri lebih keras daripada melawan dunia.”

Lintang menggenggam cangkir tehnya erat-erat, mencoba menahan emosi yang mulai bergolak. “Aku perlu tahu, Mbok. Aku perlu tahu siapa dia sebenarnya, dan kenapa dia meninggalkanku. Aku… aku takut aku akan jadi seperti dia.”

Mbok Sari menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang telah ia simpan selama bertahun-tahun. Ia lalu menceritakan bahwa Kusuma, di masa-masa terakhir sebelum menghilang, sering terlihat gelisah. Ia sering mengurung diri di kamar kerjanya, melukis hingga larut malam, kadang berbicara sendiri seolah ada seseorang di ruangan itu. Mbok Sari pernah mendengar Kusuma menyebut nama “Ratih,” seorang perempuan yang tak pernah ia kenal, dengan nada penuh penyesalan. Yang paling membuat Mbok Sari khawatir adalah ketika Kusuma mulai menghancurkan beberapa lukisannya sendiri, termasuk sebuah potret besar yang konon menggambarkan seorang perempuan dengan wajah penuh duka.

“Aku ingat malam sebelum dia pergi,” lanjut Mbok Sari, suaranya mulai bergetar. “Dia datang ke dapur, memelukku, dan bilang, ‘Mbok, jagain Lintang. Jangan biarkan dia jadi seperti aku.’ Aku tak tahu apa maksudnya, tapi matanya… matanya penuh dengan sesuatu yang aku tak bisa jelaskan. Keesokan harinya, dia sudah tak ada.”

Lintang merasa dadanya sesak. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi kata-kata Mbok Sari tentang “Ratih” itu membuatnya bingung. Siapa perempuan itu? Apakah ia bagian dari masa lalu ayahnya yang tak pernah diceritakan? Ia berterima kasih pada Mbok Sari dan berjanji akan kembali jika menemukan petunjuk lain, lalu berjalan pulang dengan pikiran yang semakin kacau.

Di tengah perjalanan, Lintang bertemu dengan Sekar Arumdati, yang sedang membawa sekeranjang padi dari sawah keluarganya. Sekar, dengan instingnya yang tajam, langsung tahu ada sesuatu yang mengganggu sahabatnya. “Lintang, kau kelihatan seperti orang yang baru bertemu hantu. Apa yang terjadi?”

Dengan ragu, Lintang menceritakan kunjungannya ke Mbok Sari dan tentang nama “Ratih” yang disebutkan. Sekar mendengarkan dengan saksama, alisnya berkerut seolah mencoba menyusun teka-teki itu di kepalanya. “Ratih… aku pernah dengar nama itu, tapi entah di mana,” katanya, menggigit bibir bawahnya. “Mungkin kita bisa tanya ke Pak Wirya. Dia kan kenal ayahmu sejak muda.”

Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Wirya, kepala desa yang juga dikenal sebagai teman masa kecil Kusuma. Rumah Pak Wirya berdiri kokoh di tengah desa, dengan halaman depan yang dipenuhi tanaman hias dan sebuah kolam kecil tempat ikan koi berenang malas. Pak Wirya, dengan rambut putihnya yang tersenyum ramah, menyambut mereka dengan hangat, meski ada sedikit keterkejutan di matanya ketika Lintang menyebut nama Ratih.

“Ratih… Ratih Wulan,” kata Pak Wirya setelah hening sejenak, seolah nama itu membangkitkan kenangan yang telah lama terkubur. “Dia adalah cinta pertama ayahmu, Lintang. Mereka berdua tumbuh bersama di Rawasari, bermimpi jadi seniman yang mengubah dunia. Tapi… ada sesuatu yang terjadi. Ratih pergi dari desa ini, dan Kusuma tak pernah sama lagi setelah itu.”

Lintang merasa jantungannya berdegup kencang. “Apa yang terjadi, Pak? Kenapa Ratih pergi?”

Pak Wirya menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi keraguan. “Itu bukan cerita yang mudah, Nak. Aku hanya tahu bahwa ada konflik besar antara Ratih dan ayahmu, sesuatu yang membuat mereka berpisah. Kusuma jadi pendiam setelah itu, dan mulai terobsesi dengan lukisannya. Aku kira dia mencoba melupakan Ratih melalui kanvasnya, tapi sepertinya dia malah semakin tenggelam.”

Malam itu, Lintang kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Ia duduk di kamar ayahnya, yang masih penuh dengan bau cat minyak yang samar. Di sudut ruangan, ia menemukan sebuah kotak kayu tua yang terkunci, sesuatu yang selama ini ia abaikan. Dengan hati-hati, ia membuka kunci itu menggunakan pisau kecil, dan di dalamnya, ia menemukan setumpuk surat yang diikat dengan tali rami. Surat-surat itu ditujukan kepada Ratih, ditulis dengan tangan Kusuma, namun tak pernah dikirim. Salah satu surat, yang kertasnya sudah menguning, berbunyi: “Ratih, aku tahu kau tak akan pernah memaafkanku. Tapi setiap kali aku melukis, aku melihat wajahmu. Maafkan aku karena menghancurkan mimpi kita.”

Air mata Lintang jatuh lagi, kali ini bukan karena kemarahan, tapi karena ia mulai memahami bahwa ayahnya bukan hanya seorang pria yang keras dan penuh amarah, tetapi juga seseorang yang patah hati, yang membawa luka yang tak pernah sembuh. Ia memutuskan untuk membaca semua surat itu, berharap menemukan petunjuk tentang ke mana Ratih pergi—dan ke mana ayahnya menyusulnya.

Di luar, kabut Rawasari semakin tebal, seolah menutupi jejak yang baru saja Lintang temukan. Tapi di dalam hatinya, ada tekad yang semakin kuat: ia akan menemukan Ratih, bukan hanya untuk ayahnya, tetapi untuk membebaskan dirinya sendiri dari bayang-bayang pohon itu.

Surat-Surat yang Tak Terkirim

Malam di Rawasari terasa lebih gelap dari biasanya, seolah langit sengaja menutup bintang-bintangnya untuk menyembunyikan rahasia yang sedang Lintang Wicaksana coba ungkap. Di kamar kerja ayahnya, yang bau cat minyaknya masih menyelimuti udara, Lintang duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh tumpukan surat-surat tua yang ditemukannya dalam kotak kayu. Cahaya lampu minyak di meja kecil berkelip-kelip, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah ikut menyaksikan perjalanan Lintang ke masa lalu ayahnya, Kusuma Wardhana.

Surat-surat itu, ditulis dengan tinta biru yang kini mulai memudar, adalah curahan hati Kusuma kepada Ratih Wulan, cinta pertamanya yang ternyata meninggalkan luka mendalam dalam hidupnya. Lintang membaca satu per satu, tangannya gemetar setiap kali ia menemukan kalimat yang penuh dengan penyesalan, cinta, dan keputusasaan. Ada surat yang ditulis dengan tulisan rapi, seolah Kusuma berusaha menahan emosinya, tetapi ada juga yang penuh coretan dan noda tinta, seakan ditulis dalam tangis atau kemarahan. Salah satu surat, yang kertasnya sudah rapuh di ujung-ujungnya, berbunyi:

Ratih, aku tahu kau tak akan pernah membaca ini. Tapi setiap malam, aku melihatmu dalam mimpi. Kau berdiri di tepi sungai Rawasari, memegang kuas yang dulu kita gunakan bersama. Aku ingin meminta maaf karena menghancurkan segalanya. Aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, meski cinta itu telah menjadi racun bagiku. Jika kau masih di Semarang, aku berharap kau bahagia.

Lintang tertegun. “Semarang,” gumamnya pelan. Kata itu seperti kilatan cahaya di tengah kabut tebal yang menyelimuti pencariannya. Ayahnya menyebutkan bahwa Ratih mungkin berada di Semarang, kota pelabuhan yang jauh dari Rawasari, tempat yang hanya pernah ia dengar dari cerita pedagang yang lewat desa. Ia merasa jantungannya berdegup lebih kencang. Ini adalah petunjuk pertama yang konkret tentang keberadaan Ratih—dan mungkin juga ayahnya.

Pagi itu, setelah hanya tidur beberapa jam, Lintang memutuskan untuk berbagi temuannya dengan Sekar Arumdati. Ia menemui sahabatnya di tepi sungai, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekar sedang duduk di atas batu besar, kakinya menyentuh air yang jernih, sambil memetik kelopak bunga kamboja yang jatuh dari pohon di dekatnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, terbawa angin pagi yang sejuk. Ketika melihat Lintang mendekat dengan wajah penuh kegelisahan, Sekar langsung berdiri.

“Lintang, apa kabar? Kau kelihatan seperti tak tidur semalaman,” katanya, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.

Lintang duduk di sampingnya, lalu menceritakan tentang surat-surat itu dan petunjuk tentang Semarang. Ia juga menunjukkan salah satu surat yang ia bawa, yang kini disimpan dengan hati-hati dalam amplop kain kecil. Sekar membaca surat itu dengan saksama, alisnya berkerut saat ia mencoba mencerna setiap kata. “Jadi, ayahmu menulis ini bertahun-tahun lalu, tapi tak pernah mengirimkannya? Kenapa dia menyimpan semua ini?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.

“Aku tak tahu, Sekar,” jawab Lintang, suaranya parau. “Tapi aku merasa… aku merasa ayahku tak pernah benar-benar melepaskan Ratih. Mungkin itulah yang membuatnya jadi seperti dulu—penuh amarah, penuh kegelapan. Aku harus menemukan Ratih. Aku harus tahu apa yang terjadi antara mereka, dan kenapa ayahku pergi.”

Sekar memandang Lintang dengan mata penuh empati, tapi juga ada kilatan tekad di dalamnya. “Kalau begitu, kita pergi ke Semarang. Bersama. Kau tak bisa melakukan ini sendirian, Lintang.”

Lintang tersenyum tipis, terharu dengan kesetiaan Sekar. “Kau yakin? Ini bisa jadi perjalanan panjang, dan aku tak tahu apa yang akan kita temukan.”

Sekar mengangguk mantap. “Aku yakin. Lagipula, aku tak bisa membiarkan kau tersesat sendirian. Kita sahabat, bukan?”

Keputusan untuk pergi ke Semarang bukanlah hal yang mudah. Rawasari adalah dunia kecil mereka, tempat di mana setiap sudutnya penuh kenangan. Meninggalkan desa berarti melangkah ke ketidakpastian, sesuatu yang membuat Lintang merasa takut sekaligus bersemangat. Ia kembali ke rumah untuk mempersiapkan perjalanan, mengemas beberapa pakaian, buku sketsa ayahnya, dan surat-surat itu ke dalam tas kain tua. Di beranda, ia berhenti sejenak, menatap kanvas besar yang belum selesai, lukisan hutan kelam dengan siluet anak kecil di tengahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa anak kecil itu bukan hanya dirinya, tetapi juga ayahnya—seseorang yang tersesat dalam kegelapan batinnya sendiri.

Sebelum berangkat, Lintang dan Sekar mengunjungi Mbok Sari untuk meminta restu. Perempuan tua itu memeluk mereka berdua, matanya berkaca-kaca. “Hati-hati, anak-anakku,” katanya dengan suara gemetar. “Semarang adalah kota besar, penuh dengan orang-orang yang tak kau kenal. Tapi aku percaya, Lintang, kau akan menemukan jawaban yang kau cari. Dan Sekar, jagalah dia.”

Perjalanan ke Semarang memakan waktu seharian dengan bus tua yang berderit di setiap tikungan. Lintang dan Sekar duduk di dekat jendela, menatap pemandangan yang berubah dari sawah hijau Rawasari menjadi jalanan berdebu dan akhirnya bangunan-bangunan kota yang ramai. Di dalam bus, Lintang memegang foto tua ayahnya erat-erat, seolah foto itu adalah kompas yang akan menuntunnya. Sekar, di sampingnya, sesekali bercanda untuk meringankan suasana, tetapi Lintang tahu bahwa sahabatnya juga merasakan ketegangan yang sama.

Sesampainya di Semarang, mereka disambut oleh hiruk-pikuk kota yang asing. Jalanan dipenuhi pedagang kaki lima, suara klakson, dan aroma campur aduk dari makanan jalanan dan asap kendaraan. Lintang merasa kecil di tengah keramaian itu, tetapi Sekar dengan cepat mengambil alih, mencari penginapan sederhana di dekat pasar. “Kita mulai dari mana?” tanya Sekar setelah mereka meletakkan tas di kamar kecil yang bau kapur barus.

Lintang mengeluarkan salah satu surat yang menyebutkan sebuah nama tempat: “Galeri Seni Cahaya.” Dalam surat itu, Kusuma menulis bahwa ia pernah bermimpi mengadakan pameran bersama Ratih di galeri itu. “Mungkin seseorang di sana tahu tentang Ratih,” kata Lintang, meski nada suaranya penuh keraguan.

Keesokan harinya, mereka menuju Galeri Seni Cahaya, sebuah bangunan tua dengan dinding putih dan jendela-jendela besar di pusat kota. Di dalam, lukisan-lukisan modern dan tradisional tergantung rapi, diterangi lampu sorot yang lembut. Pemilik galeri, seorang pria paruh baya bernama Pak Guntur, menyambut mereka dengan ramah. Ketika Lintang menyebut nama Ratih Wulan, wajah Pak Guntur berubah, seolah nama itu membangkitkan kenangan yang telah lama terkubur.

“Ratih Wulan… dia seniman berbakat, tapi dia berhenti melukis bertahun-tahun lalu,” kata Pak Guntur, suaranya pelan. “Terakhir kali aku dengar, dia tinggal di sebuah kampung nelayan di pinggir Semarang. Dia hidup sederhana, jauh dari dunia seni. Tapi aku tak tahu alamat pastinya.”

Lintang merasa campur aduk antara harapan dan kekecewaan. Petunjuk itu masih samar, tetapi setidaknya ia tahu Ratih masih hidup. Ia berterima kasih pada Pak Guntur dan berjanji akan kembali jika menemukan Ratih. Di luar galeri, Sekar memegang tangan Lintang erat-erat. “Kita semakin dekat, Lintang. Jangan menyerah sekarang.”

Malam itu, di kamar penginapan, Lintang tak bisa tidur. Ia membaca ulang surat-surat ayahnya, mencoba mencari petunjuk lain. Di salah satu surat, ia menemukan kalimat yang membuat hatinya terasa seperti ditusuk: “Ratih, aku tak pernah memberitahu Lintang tentangmu. Aku takut dia akan membenciku lebih dalam.” Kalimat itu membuat Lintang bertanya-tanya: apa rahasia yang disembunyikan ayahnya? Apakah Ratih lebih dari sekadar cinta pertama? Dan mengapa ayahnya begitu yakin bahwa Lintang akan membencinya?

Di tengah kegelapan, Lintang berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menemukan Ratih, apa pun risikonya. Bukan hanya untuk ayahnya, tetapi untuk memahami siapa dirinya sebenarnya—dan apakah ia benar-benar tak bisa lepas dari bayang-bayang pohon itu.

Cahaya di Ujung Jalan

Langit Semarang pagi itu diselimuti awan tipis, seolah menahan matahari untuk tidak terlalu terang, menciptakan suasana yang sejuk namun penuh ketegangan bagi Lintang Wicaksana dan Sekar Arumdati. Mereka berdiri di tepi jalan kecil yang berdebu, menatap sebuah kampung nelayan yang terletak di pinggiran kota. Rumah-rumah panggung dari kayu dan bambu berjejer di sepanjang pantai, dengan jaring-jaring ikan yang digantung di tiang-tiang, bergoyang diterpa angin laut yang asin. Bau ikan kering dan air laut bercampur di udara, menciptakan dunia yang begitu berbeda dari Rawasari yang hijau dan tenang.

Lintang memegang erat tas kainnya, yang berisi buku sketsa ayahnya, surat-surat untuk Ratih Wulan, dan foto tua yang kini sudah sedikit kusut di ujungnya. Di sampingnya, Sekar, dengan rambut diikat asal dan wajah penuh semangat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Petunjuk dari Pak Guntur di Galeri Seni Cahaya membawa mereka ke kampung ini, tempat Ratih konon hidup menyendiri, jauh dari dunia seni yang dulu menjadi mimpinya. Tapi menemukan seseorang di kampung yang asing, tanpa alamat pasti, terasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

“Lintang, kau yakin kita bisa menemukannya?” tanya Sekar, suaranya sedikit ragu saat mereka melangkah masuk ke kampung. Anak-anak kecil berlarian di sekitar mereka, beberapa membawa layang-layang, sementara para ibu duduk di beranda rumah, mengupas kerang dengan tangan cekatan.

“Aku harus mencoba,” jawab Lintang, matanya menyapu setiap sudut kampung. “Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Kalau Ratih ada di sini, aku akan menemukannya.”

Mereka mulai bertanya kepada warga kampung, menyebut nama Ratih Wulan dengan hati-hati, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Sebagian besar warga menggeleng, mengatakan tak mengenal nama itu, tetapi seorang nelayan tua dengan topi caping yang duduk di bawah pohon kelapa memberi mereka harapan. “Ratih? Kalau yang kau maksud perempuan yang tinggal di ujung kampung, di rumah kecil dekat mercusuar, mungkin itu dia. Dia jarang keluar, tapi orang bilang dia suka duduk di pantai, menatap laut,” katanya, menunjuk ke arah timur.

Jantung Lintang berdegup kencang. Ia berterima kasih pada nelayan itu, lalu bersama Sekar berjalan cepat menuju arah yang ditunjuk. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi kerikil dan rumput liar, dengan suara ombak yang semakin jelas di telinga mereka. Di kejauhan, sebuah mercusuar tua berdiri gagah, meski catnya sudah mengelupas. Di dekatnya, sebuah rumah kecil dari kayu dengan atap seng terlihat sederhana namun terawat, dikelilingi pot-pot tanaman yang penuh bunga kertas.

Lintang berhenti sejenak di depan rumah itu, napasnya terasa berat. “Sekar, bagaimana kalau dia tak mau bertemu denganku? Bagaimana kalau… kalau dia tak tahu apa-apa tentang ayahku?” katanya, suaranya gemetar.

Sekar memegang bahu Lintang, matanya penuh keyakinan. “Kau sudah sejauh ini, Lintang. Apa pun yang terjadi, kau akan menghadapinya. Aku di sini bersamamu.”

Dengan hati yang berdebar, Lintang mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk. Hening sejenak, hanya suara ombak dan burung camar yang terdengar. Lalu, pintu terbuka perlahan, dan di depan mereka berdiri seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan. Rambutnya yang mulai memutih diikat sederhana, dan wajahnya, meski penuh kerutan, masih menyimpan jejak kecantikan yang dulu pasti memikat hati banyak orang. Matanya, yang cokelat tua dan dalam, seolah menyimpan cerita yang tak pernah diucapkan.

“Siapa kalian?” tanyanya, suaranya lembut tetapi waspada.

Lintang menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. “Nama saya Lintang Wicaksana. Ini Sekar, teman saya. Kami… kami dari Rawasari. Saya mencari Ratih Wulan. Apakah… apakah Anda Ratih?”

Perempuan itu terdiam, matanya melebar sejenak, seolah nama Rawasari membangkitkan kenangan yang telah lama ia kubur. Ia mengangguk pelan. “Saya Ratih. Apa yang kalian inginkan?”

Lintang merasa dadanya sesak, tetapi ia mengeluarkan tumpukan surat dari tasnya dan menyerahkannya dengan tangan gemetar. “Ini… surat-surat dari ayah saya, Kusuma Wardhana. Saya pikir Anda perlu melihatnya.”

Ratih memandang surat-surat itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengundang Lintang dan Sekar masuk ke rumahnya, yang sederhana namun hangat, dengan dinding penuh lukisan kecil pemandangan laut dan nelayan. Mereka duduk di kursi kayu, dan Ratih mulai membaca surat-surat itu satu per satu. Air matanya jatuh perlahan, membasahi kertas-kertas tua itu, tetapi ia tak mengucapkan sepatah kata pun hingga selesai membaca.

“Aku tak tahu Kusuma menulis semua ini,” katanya akhirnya, suaranya parau. “Aku pikir dia sudah melupakanku, setelah semua yang terjadi.”

Lintang tak bisa menahan pertanyaannya lagi. “Apa yang terjadi, Bu? Kenapa ayahku begitu terluka karena Anda? Dan kenapa dia pergi lima tahun lalu?”

Ratih menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang telah ia pikul selama puluhan tahun. Ia menceritakan bahwa ia dan Kusuma adalah dua jiwa yang saling melengkapi di masa muda mereka. Mereka bermimpi menjadi seniman besar, melukis dunia dengan warna-warna yang tak pernah dilihat orang lain. Tapi cinta mereka diuji oleh ambisi dan sifat keras kepala Kusuma. Suatu malam, dalam pertengkaran hebat, Kusuma menuduh Ratih tak cukup berkomitmen pada mimpi mereka, sementara Ratih merasa Kusuma terlalu tenggelam dalam obsesinya hingga melupakan cinta mereka. Dalam kemarahan, Kusuma menghancurkan lukisan yang mereka buat bersama, dan Ratih, dengan hati hancur, memutuskan untuk pergi dari Rawasari.

“Aku pergi ke Semarang, mencoba memulai hidup baru,” lanjut Ratih, matanya menatap kosong ke arah laut yang terlihat dari jendela. “Tapi aku tak pernah benar-benar melupakan Kusuma. Aku mendengar dia punya anak—kamu, Lintang—dan aku senang, tapi aku tak pernah berani kembali. Aku takut menghadapi luka itu lagi.”

Lintang merasa air matanya mengalir, campuran antara kemarahan dan kasihan. “Lalu ayah… dia pergi mencari Anda?”

Ratih mengangguk perlahan. “Lima tahun lalu, dia datang ke sini. Dia berubah, Lintang. Dia tak lagi seperti Kusuma yang dulu kukenal. Matanya penuh penyesalan. Dia bilang dia ingin meminta maaf, untuk semua yang dia lakukan padaku, dan untuk gagal menjadi ayah yang baik bagimu. Dia juga bilang… dia tak pantas kembali ke Rawasari, ke kamu.”

Lintang terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ratih. “Lalu ke mana dia pergi?”

Ratih menggeleng pelan. “Aku tak tahu pasti. Dia bilang dia ingin menemukan kedamaian, mungkin di tempat yang jauh, tempat dia bisa melukis tanpa bayang-bayang masa lalu. Aku mencoba menghentikannya, tapi dia sudah memutuskan.”

Sekar, yang selama ini diam, memegang tangan Lintang erat, memberikan kekuatan tanpa kata-kata. Lintang merasa dunia di sekitarnya berputar. Ia datang mencari jawaban, tetapi yang ia temukan justru membuatnya semakin tersesat. Ayahnya pergi, bukan karena tak mencintainya, tetapi karena merasa dirinya adalah beban. Kusuma, dengan segala bakat dan kegelurannya, memilih menghilang untuk melindungi Lintang dari dirinya sendiri.

Ratih mengambil sebuah lukisan kecil dari dinding dan menyerahkannya kepada Lintang. Itu adalah pemandangan Rawasari, dengan pohon beringin tua yang dulu menjadi saksi masa muda mereka. “Kusuma memberiku ini saat dia datang. Dia bilang, ini untuk mengingatkanku pada rumah. Sekarang, aku ingin kamu yang menyimpannya.”

Lintang memandang lukisan itu, dan air matanya jatuh lagi. Ia merasa seolah ayahnya ada di sana, berbicara melalui warna-warna yang lembut dan penuh emosi. “Terima kasih, Bu,” katanya, suaranya hampir hilang.

Hari itu, Lintang dan Sekar kembali ke Rawasari dengan hati yang berat namun juga lebih ringan. Lintang tak menemukan ayahnya, tetapi ia menemukan kebenaran tentang siapa Kusuma sebenarnya—seorang pria yang penuh luka, tetapi juga penuh cinta. Di beranda rumah tua mereka, Lintang menggantung lukisan kecil dari Ratih di samping kanvas besar ayahnya yang belum selesai. Ia mengambil kuas yang sudah lama tak disentuh, dan untuk pertama kalinya, ia melukis—bukan untuk menjadi seperti ayahnya, tetapi untuk menjadi dirinya sendiri.

Di bawah pohon beringin tua, Lintang menulis puisi terakhir untuk ayahnya:

Ayah, kau pohon yang menaungiku,
Dengan dahan penuh luka dan mimpi.
Aku buah yang jatuh, tapi kini kutahu,
Aku bisa tumbuh di tanahku sendiri.

Sekar, yang berdiri di sampingnya, tersenyum. “Kau akhirnya menemukan cahayamu, Lintang.”

Lintang mengangguk, matanya menatap langit Rawasari yang penuh bintang. Ia tahu, meski ayahnya tak kembali, ia telah memilih jalannya sendiri—jalan yang tak lagi terikat pada bayang-bayang pohon itu, tetapi dipenuhi cahaya yang ia ciptakan sendiri.

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya adalah lebih dari sekadar cerpen; ini adalah cerminan kehidupan tentang bagaimana kita bisa memilih jalan sendiri meski di bawah bayang-bayang leluhur. Kisah Lintang mengajarkan bahwa warisan keluarga, baik luka maupun bakat, adalah bagian dari perjalanan menuju jati diri. Jangan lewatkan karya yang penuh emosi ini, karena setiap barisnya akan membawa Anda lebih dekat pada makna cinta, pengampunan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya. Semoga kisah ini menggugah hati Anda dan menginspirasi untuk merangkul perjalanan hidup Anda sendiri. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus jelajahi dunia cerita yang penuh makna bersama kami!

Leave a Reply