Daftar Isi
Temukan inspirasi mendalam dalam Buah Doa: Perjalanan Penjual Buah Menuju Haji yang Menginspirasi, sebuah cerpen yang mengisahkan perjuangan Darma Wijaya, seorang penjual buah sederhana yang mengejar impian suci demi keluarganya. Dengan alur penuh emosi, detail kehidupan pasar, dan semangat pantang menyerah, cerita ini membawa pembaca pada perjalanan dari keterbatasan menuju keajaiban doa. Artikel ini akan mengupas pesan motivasi dan kekuatan iman di balik kisah ini, serta mengapa Anda harus membacanya untuk merasakan dorongan semangat.
Buah Doa
Rasa di Antara Keranjang
Pagi di pasar Desa Anggrek Sari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 13:00 WIB, diselimuti udara panas yang bercampur aroma buah-buahan matang dan debu jalan tanah. Darma Wijaya, seorang pria berusia 38 tahun, duduk di samping keranjang bambu tua yang penuh mangga dan pisang, tangannya yang kasar mengelap keringat dari dahinya. Cahaya matahari siang menyelinap melalui atap pasar yang reyot, menerangi wajahnya yang penuh garis kelelahan namun dipenuhi harap. Ia mengenakan kaos lusuh berwarna hijau yang sudah memudar, lengan pendeknya menampakkan kulit gelap yang terbakar matahari, dan sarung cokelat tua yang sedikit sobek melilit pinggangnya. Rambut hitamnya yang mulai beruban tersapu angin panas, tapi matanya—cokelat tua dengan kilau doa—selalu tertuju pada setiap buah yang ia jual.
Darma adalah penjual buah di pasar kecil itu, profesi sederhana yang ia warisi dari ayahnya, Harjanto, yang meninggal sepuluh tahun lalu akibat sakit keras. Sejak saat itu, Darma menjadi tulang punggung keluarga, merawat ibunya, Ratna Sari, yang renta dan sakit-sakitan, serta anaknya yang tunggal, Bima Pratama, yang baru berusia 12 tahun dan masih duduk di bangku SD. Suara tawar-menawar pembeli mengisi udara setiap hari, menjadi irama kehidupan Darma yang penuh perjuangan dan impian suci—berhaji ke tanah suci.
“Pak Dar, mangga ini berapa?” tanya seorang ibu paruh baya, menunjuk keranjang dengan tangan penuh cincin. Darma tersenyum, mengangkat satu mangga dengan hati-hati. “Seribu rupiah satu, Bu. Segar dari kebun,” jawabnya, suaranya lembut meski tenggorokannya kering karena dehidrasi. Ibu itu mengangguk, membeli lima buah, meninggalkan lima ribu rupiah di tangan Darma yang gemetar. Uang itu ia simpan di saku sarungnya, menambah tabungan kecil yang ia kumpulkan untuk haji—sebuah impian yang terasa jauh dengan biaya minimal dua puluh juta rupiah.
Setelah ibu itu pergi, Darma mengatur kembali buah-buahnya, memisahkan yang matang dari yang masih hijau. Ia membungkus pisang dengan daun pisang kering, menatap kerumunan pasar dengan harap. Di sampingnya, Bima duduk di karpet lusuh, membaca buku pelajaran tua yang sudah sobek, sesekali membantu mengambil buah untuk pembeli. “Ayah, kapan kita makan ayam? Aku kangen,” tanya Bima, matanya besar dan penuh keinginan, rambut hitamnya yang pendek berdebu. Darma tersenyum, menyentuh kepala anaknya. “Sabar, Nak. Kalau tabungan cukup, ayah beliin,” jawabnya, meski dadanya terasa sesak—uang lima ribu rupiah tak cukup untuk ayam, apalagi haji.
Siang itu, matahari membakar kulit Darma, membuat keringat menetes ke keranjang buah. Ia berjualan tanpa henti, menawarkan mangga, pisang, dan rambutan dengan suara serak. Setelah tiga jam, ia berhasil menjual sepuluh mangga dan lima sisir pisang, mengumpulkan dua puluh ribu rupiah. Namun, ia harus mengeluarkan tiga ribu untuk membeli beras dan minyak, menyisakan tujuh belas ribu rupiah yang ia tambahkan ke tabungan di kaleng tua di rumah—total kini mencapai dua ratus tiga puluh ribu rupiah, jauh dari targetnya.
Di rumah, setelah pulang dengan keranjang kosong, Darma memasak nasi tipis untuk Ratna dan Bima. Ia menumis daun singkong liar dengan sedikit garam, aroma sederhana itu membangunkan Ratna yang terbaring di ranjang bambu. “Darma, jangan kebanyakan kerja. Ibu khawatir,” bisik Ratna, suaranya lemah, tangannya yang keriput menggenggam tangan anaknya. Darma tersenyum, memeluk ibunya dengan hati-hati. “Ibu tenang, anakmu kuat. Ini buat haji,” jawabnya, air matanya menetes diam-diam.
Malam itu, Darma duduk di beranda rumah, menghitung uang di kaleng tua dengan tangan gemetar. Dua ratus tiga puluh ribu rupiah setelah lima tahun menabung, jumlah yang terasa seperti tetesan di lautan. Bima mendekat, membawa secarik kertas. “Ayah, ini doa haji yang aku salin dari masjid. Aku mau ayah kesana,” kata Bima, matanya berbinar. Darma memeluk anaknya, merasa harapan dan beban bercampur dalam dadanya. “InsyaAllah, Nak. Ayah akan berusaha,” janjinya, suaranya penuh tekad.
Pagi berikutnya, Darma bangun lebih awal, membawa keranjang kosong ke kebun tetangga untuk mengambil buah secara gratis—mangga yang jatuh dan pisang yang matang. Ia berjalan dua kilometer di jalan tanah yang berdebu, keringat membasahi kausnya, tapi ia tak peduli. Di kebun, ia mengumpulkan lima belas mangga dan tiga sisir pisang, membawanya kembali ke pasar dengan langkah berat. Di sana, ia menata buah itu dengan hati-hati, menawarkannya dengan senyum meski tenggorokannya kering.
Siang itu, Darma berhasil menjual seluruh buah, mengumpulkan tiga puluh ribu rupiah. Ia menyisihkan lima ribu untuk kebutuhan sehari-hari, menabung dua puluh lima ribu rupiah, kini total menjadi dua ratus lima puluh lima ribu rupiah. Namun, ia mendengar kabar buruk dari Pak Suryo, sesama pedagang—pasar akan tutup sementara selama seminggu karena renovasi. Darma terdiam, merasa beban di pundaknya bertambah, tapi ia tak menyerah. Ia memutuskan menawarkan buah di desa tetangga esok hari.
Malam itu, Darma tidur dengan punggung yang nyeri, tapi ia terbangun tengah malam mendengar Ratna batuk parah. Ia bangun, mengambil air dari kendi, dan membantu ibunya minum dengan tangan gemetar. “Ibu, sabar ya. Ayah akan cari dokter,” katanya, meski hatinya tahu uangnya tak cukup. Pagi berikutnya, ia membawa keranjang ke desa tetangga, menawarkan mangga dan pisang dengan suara serak. Setelah empat jam, ia menjual sepuluh mangga dan dua sisir pisang, mengumpulkan dua puluh ribu rupiah, yang ia tambahkan ke tabungan—total kini dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah.
Sore itu, Darma pulang dengan kaki lelet, diterima Bima dengan senyum kecil. “Ayah, aku bantu angkat keranjang,” kata Bima, mengambil keranjang kosong dengan tangan kecilnya. Darma tersenyum, memeluk anaknya, tapi pikirannya penuh tekanan—pasar tutup berarti penghasilan terhenti. Ia duduk di beranda, memandang langit jingga, dan berdoa dalam hati. “Ya Allah, beri aku kekuatan untuk haji ini,” bisiknya, air matanya menetes ke lantai bambu.
Malam terakhir dalam bab ini, Darma tidur dengan hati berat, tapi harapan tetap menyala. Ia memandang Ratna yang tertidur dengan napas tersengal, dan Bima yang memeluk buku doa, dan berjanji akan terus berjuang. Di luar, angin bertiup pelan, membawa bisikan doa, tapi Darma tahu, jalan menuju haji masih penuh duri—dan untuk keluarganya, ia akan melangkah, meski setiap langkah terasa seperti menembus bayang.
Harapan di Tengah Kekeringan
Pagi di Desa Anggrek Sari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 13:03 WIB, disambut oleh udara panas yang menyengat, bercampur aroma tanah kering setelah seminggu tanpa hujan. Darma Wijaya bangun dari tidur di lantai bambu, tubuhnya terasa kaku setelah malam penuh kekhawatiran mendengar batuk ibunya, Ratna Sari. Cahaya matahari siang menyelinap melalui celah jendela kayu yang rapuh, menerangi wajahnya yang penuh garis kelelahan namun tetap menyimpan harap. Ia mengenakan kaos hijau lusuh yang sudah dicuci berulang kali, sarung cokelat tuanya sedikit sobek di bagian pinggang, dan kakinya masih terasa pegal setelah perjalanan ke desa tetangga kemarin. Rambut hitamnya yang mulai beruban tersapu angin kering, tapi matanya—cokelat tua dengan kilau doa—terfokus pada kaleng tua yang menyimpan dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah, tabungan kecil menuju impian hajinya.
Darma menghela napas dalam, memandang Bima Pratama yang bangun dari tikar tipis di sudut ruangan, rambut hitam pendeknya berdebu. “Ayah, aku bantu angkat keranjang hari ini,” kata Bima, matanya besar dan penuh semangat, meski tubuhnya kecil. Darma tersenyum, menyentuh kepala anaknya. “Terima kasih, Nak. Tapi ayah mau kamu sekolah dulu,” jawabnya, suaranya lembut meski tenggorokannya kering. Ia memasak nasi tipis dari sisa beras seperempat kilogram, menambahkan daun singkong liar yang ia petik di pekarangan, aroma sederhana itu membangunkan Ratna yang terbaring di ranjang bambu dengan napas tersengal.
“Darma, jangan kebanyakan kerja. Ibu takut kamu sakit,” bisik Ratna, tangannya yang keriput menggenggam tangan anaknya dengan lemah. Darma mengangguk, memeluk ibunya dengan hati-hati. “Ibu tenang, ayah kuat. Ini buat haji,” jawabnya, air matanya menetes diam-diam. Setelah sarapan, ia mempersiapkan keranjang bambu, mengisi ulang stok buah dari tetangga yang memberi mangga dan pisang secara gratis—sepuluh mangga dan dua sisir pisang—lalu berjalan ke desa tetangga lagi, meninggalkan Bima yang berjanji belajar di rumah.
Perjalanan satu jam di jalan tanah yang berdebu terasa berat, matahari membakar kulit Darma hingga keringat membasahi kaosnya. Di desa tetangga, ia menawarkan buah dengan suara serak, menata mangga di atas tikar lusuh dan pisang di keranjang kecil. Setelah tiga jam, ia berhasil menjual delapan mangga dan satu sisir pisang, mengumpulkan dua belas ribu rupiah. Ia menyisihkan dua ribu untuk membeli air dan roti untuk Bima, menabung sepuluh ribu rupiah, kini total tabungannya menjadi dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah. Namun, kakinya terasa lelet, dan ia harus beristirahat di bawah pohon jati sebelum pulang.
Di rumah, Bima menyambutnya dengan roti kecil yang ia beli dari uang tabungan pribadinya. “Ayah, ini buat kamu. Jangan capek,” kata Bima, matanya berbinar. Darma tersenyum, memeluk anaknya erat, air matanya menetes. “Terima kasih, Nak. Ayah janji akan berusaha,” katanya, meski hatinya terasa berat—pasar tutup berarti penghasilan terhenti, dan biaya dokter untuk Ratna semakin mendesak.
Malam itu, Darma duduk di beranda, menghitung uang di kaleng tua dengan tangan gemetar. Dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah setelah enam tahun menabung, jumlah yang terasa seperti tetesan di samudra. Ratna batuk parah lagi, membuat Darma bangun dan mengambil air dari kendi. “Ibu, sabar ya. Ayah cari dokter besok,” katanya, meski ia tahu uangnya tak cukup—kunjungan dokter minimal lima puluh ribu rupiah. Pagi berikutnya, ia memutuskan membawa Bima ke pasar desa tetangga lagi, berharap bisa menjual lebih banyak.
Di perjalanan, Bima membantu membawa keranjang kecil, meski kakinya kecil dan sering tersandung. Darma tersenyum, memegang tangan anaknya, dan bersama mereka menawarkan buah di pinggir jalan. Setelah empat jam, mereka menjual seluruh stok—dua belas mangga dan dua sisir pisang—mengumpulkan dua puluh lima ribu rupiah. Darma menyisihkan lima ribu untuk makan, menabung dua puluh ribu rupiah, kini total tabungannya menjadi tiga ratus lima ribu rupiah. Namun, ia mendengar Bima batuk pelan, membuat hatinya semakin tertekan.
Sore itu, Darma membawa Bima ke dukun desa, yang menyarankan obat herbal seharga sepuluh ribu rupiah. Ia membelinya dengan hati berat, menyisihkan dari tabungan, kini total menjadi dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah. Di rumah, ia memberi obat pada Bima dan Ratna, berdoa dalam hati agar mereka sembuh. Malam itu, ia tidur dengan punggung yang nyeri, tapi ia terbangun tengah malam mendengar Ratna mengigau. “Darma… haji…” bisik Ratna, membuat Darma menangis diam-diam.
Pagi berikutnya, Darma bangun dengan tekad baru, membawa keranjang kosong ke kebun tetangga lagi. Ia mengumpulkan lima belas mangga dan tiga sisir pisang, lalu menawarkannya di desa tetangga dengan Bima yang mulai pulih. Setelah lima jam, mereka menjual seluruh buah, mengumpulkan tiga puluh ribu rupiah. Darma menyisihkan lima ribu untuk kebutuhan, menabung dua puluh lima ribu rupiah, kini total tabungannya menjadi tiga ratus dua puluh ribu rupiah. Ia tersenyum, merasa harapan mulai tumbuh, tapi ia tahu jalan masih panjang.
Sore itu, Darma mendengar kabar dari Pak Suryo bahwa pasar akan dibuka lagi besok, membawa kabar baik. Ia mempersiapkan stok buah dengan hati-hati, meminta bantuan Bima untuk mengelap mangga, dan berdoa agar penjualannya meningkat. Malam itu, ia tidur dengan hati hangat, meski punggungnya masih terasa patah, tahu bahwa harapan mulai muncul di tengah kekeringan hidupnya.
Pagi berikutnya, Darma kembali ke pasar Desa Anggrek Sari, diterima oleh kerumunan pembeli yang rindu buahnya. Ia menata mangga dan pisang dengan senyum, menawarkan dengan suara yang lebih bersemangat. Setelah tiga jam, ia menjual dua puluh mangga dan empat sisir pisang, mengumpulkan lima puluh ribu rupiah. Ia menyisihkan sepuluh ribu untuk kebutuhan, menabung empat puluh ribu rupiah, kini total tabungannya menjadi tiga ratus enam puluh ribu rupiah. Harapan menyala di dadanya, tapi ia tahu, untuk haji, ia harus melipatgandakan usahanya.
Malam terakhir dalam bab ini, Darma duduk di beranda, memandang langit jingga, kaleng tuanya di sampingnya. Ia mengingat hari-hari sulit—panas matahari, batuk ibunya, dan kesehatan Bima—dan merasa tekadnya semakin kuat. Untuk Ratna, Bima, dan doa ayahnya, ia akan terus berjuang, menembus kekeringan menuju buah doa yang ia impikan.
Tunas di Tengah Badai
Pagi di Desa Anggrek Sari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 13:04 WIB, disambut oleh udara panas yang sedikit lebih sejuk setelah hujan ringan semalam, membawa aroma tanah basah yang menyegarkan. Darma Wijaya bangun dari tidur di lantai bambu, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan setelah tidur nyenyak berkat kabar pasar yang kembali dibuka. Cahaya matahari siang menyelinap melalui celah jendela kayu yang rapuh, menerangi wajahnya yang masih menampakkan garis kelelahan namun dipenuhi semangat baru. Ia mengenakan kaos hijau lusuh yang telah ditambal di bagian siku, sarung cokelat tuanya diganti dengan yang baru dari sisa kain tetangga, dan kakinya yang masih pegal mulai bergerak dengan tekad. Rambut hitamnya yang beruban tersapu angin lembut, dan matanya—cokelat tua dengan kilau harap—terfokus pada kaleng tua yang kini menyimpan tiga ratus enam puluh ribu rupiah, langkah kecil menuju impian hajinya.
Darma tersenyum tipis, memandang Bima Pratama yang bangun dari tikar tipis, rambut hitam pendeknya sedikit berantakan. “Ayah, pasar buka lagi! Aku bantu bawa buah,” kata Bima, matanya berbinar, suaranya penuh semangat meski batuknya belum sepenuhnya hilang. Darma mengangguk, menyentuh kepala anaknya dengan tangan kasar. “Bagus, Nak. Tapi hati-hati, ya,” jawabnya, suaranya hangat meski tenggorokannya masih kering. Ia memasak nasi dengan sisa beras seperempat kilogram, menambahkan daun singkong liar dan sedikit garam, aroma sederhana itu membangunkan Ratna Sari yang terbaring di ranjang bambu dengan napas lebih stabil berkat obat herbal.
“Darma, terima kasih sudah jaga kami. Jangan lupa doa haji,” bisik Ratna, tangannya yang keriput menggenggam tangan anaknya dengan lemah. Darma mengangguk, memeluk ibunya dengan hati-hati. “Ibu tenang, ayah terus berusaha,” jawabnya, air matanya menetes diam-diam. Setelah sarapan, ia mempersiapkan keranjang bambu, mengisi ulang stok buah dari kebun tetangga—dua puluh mangga dan empat sisir pisang—lalu berjalan ke pasar bersama Bima, yang membawa keranjang kecil dengan bangga.
Di pasar, Darma menata buah-buahan dengan hati-hati, memisahkan mangga matang dan pisang kuning, menawarkan dengan senyum meski suaranya serak. Setelah dua jam, ia berhasil menjual lima belas mangga dan tiga sisir pisang, mengumpulkan empat puluh ribu rupiah. Ia menyisihkan lima ribu untuk membeli beras dan minyak, menabung tiga puluh lima ribu rupiah, kini total tabungannya menjadi tiga ratus sembilan puluh lima ribu rupiah. Bima membantu mengelap buah dan menyapa pembeli, membuat Darma tersenyum bangga. “Ayah, aku mau bantu lebih banyak,” kata Bima, matanya berbinar.
Siang itu, matahari membakar kulit Darma lagi, tapi ia bekerja tanpa henti, menawarkan buah dengan suara yang lebih lantang. Ia mendengar kabar dari Pak Suryo bahwa ada pedagang besar dari kota yang mencari pemasok buah lokal dengan harga tiga ratus ribu rupiah per minggu jika kualitas terjamin. Harapan menyala di hati Darma. Ia memutuskan mengumpulkan stok lebih banyak, meminta bantuan tetangga untuk mengambil mangga dan pisang dari kebun, lalu menawarkannya kepada pedagang itu sore hari.
Perjalanan ke kios pedagang besar terasa berat, kaki Darma dan Bima lelet setelah berjalan satu jam, tapi mereka sampai dengan keranjang penuh dua puluh lima mangga dan lima sisir pisang. Pedagang, seorang pria paruh baya bernama Pak Hasan, memeriksa buah dengan teliti, lalu mengangguk puas. “Bagus, Pak Dar. Mulai besok, saya ambil stok mingguan. Ini uang muka lima puluh ribu,” katanya, menyerahkan uang lusuh. Darma tersenyum, kini total tabungannya menjadi empat ratus empat puluh lima ribu rupiah, langkah besar menuju haji.
Di rumah, Darma menunjukkan uang itu pada Ratna dan Bima, yang melompat kegirangan. “Ayah, kita tambah cepat buat haji!” kata Bima, memeluk kakaknya erat. Darma mengangguk, air matanya menetes, tapi tiba-tiba Ratna batuk parah lagi, membuatnya panik. Ia membawa ibunya ke dukun desa, yang menyarankan obat lebih kuat seharga tiga puluh ribu rupiah. Dengan hati berat, Darma membelinya, menyisihkan dari tabungan, kini total menjadi empat ratus lima belas ribu rupiah.
Malam itu, Darma tidur dengan punggung yang terasa patah, tapi ia terbangun tengah malam mendengar Bima mengigau. “Ayah… haji…” bisik Bima, membuat Darma menangis diam-diam. Pagi berikutnya, ia bangun dengan tekad baru, mengumpulkan stok buah dengan bantuan Bima—tiga puluh mangga dan enam sisir pisang—lalu menyerahkannya ke Pak Hasan. Pedagang itu puas, menyerahkan tiga ratus ribu rupiah sesuai kesepakatan, kini total tabungannya menjadi tujuh ratus lima belas ribu rupiah. Harapan semakin terang, tapi badai datang—Ratna jatuh sakit parah, memerlukan dokter di kota.
Dengan hati bergetar, Darma membawa Ratna ke puskesmas menggunakan sepeda tua, perjalanan dua jam yang melelahkan. Dokter mendiagnosis pneumonia ringan, menyarankan obat dan perawatan seharga seratus ribu rupiah. Darma membelinya dengan menyisihkan dari tabungan, kini total menjadi enam ratus lima belas ribu rupiah. Di rumah, ia merawat Ratna dengan penuh kasih, memberi obat dan air hangat, sementara Bima membantu mengelap keringat ibunya.
Sore itu, Darma duduk di beranda, memandang langit jingga, kaleng tuanya di sampingnya. Ia mengingat hari-hari sulit—panas matahari, sakit ibunya, dan perjuangan Bima—dan merasa tekadnya diuji. Namun, ia tak menyerah. Pagi berikutnya, ia kembali ke pasar, menjual sisa buah dengan semangat baru, mengumpulkan lima puluh ribu rupiah, menabung semuanya, kini total tabungannya menjadi enam ratus enam puluh lima ribu rupiah. Ia tersenyum, merasa tunas harapan mulai tumbuh di tengah badai hidupnya.
Malam terakhir dalam bab ini, Darma berdoa di sudut rumah, memohon kekuatan untuk Ratna dan kesempatan haji. Bima dan Ratna tertidur dengan napas lebih tenang, dan angin malam membawa bisikan doa. Darma tahu, jalan menuju haji masih penuh rintangan, tapi untuk keluarganya dan janji ayahnya, ia akan terus melangkah, menjaga tunas harapan agar tak layu di tengah badai.
Puncak Doa di Tanah Suci
Pagi di Desa Anggrek Sari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 13:05 WIB, disambut oleh udara sejuk yang membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam, sebuah perubahan menyegarkan setelah minggu-minggu panas yang melelahkan. Darma Wijaya bangun dari tidur di lantai bambu, tubuhnya terasa lebih ringan setelah malam yang tenang, berkat perawatan Ratna Sari yang mulai membaik. Cahaya matahari siang menyelinap melalui celah jendela kayu yang rapuh, menerangi wajahnya yang masih menunjukkan garis kelelahan namun dipenuhi kelegaan dan harap baru. Ia mengenakan kaos hijau lusuh yang kini ditambal dengan kain baru dari tetangga, sarung cokelatnya diganti dengan yang lebih rapi, dan kakinya yang pernah pegal kini bergerak dengan semangat. Rambut hitamnya yang beruban tersapu angin lembut, dan matanya—cokelat tua yang kini berbinar terang—terfokus pada kaleng tua yang menyimpan enam ratus enam puluh lima ribu rupiah, langkah besar menuju impian hajinya.
Darma tersenyum lebar, memandang Bima Pratama yang bangun dari tikar tipis, rambut hitam pendeknya sedikit berantakan namun wajahnya cerah. “Ayah, Ibu sudah lebih baik! Aku senang!” kata Bima, matanya berbinar, suaranya penuh kebahagiaan. Darma mengangguk, menyentuh kepala anaknya dengan tangan kasar. “Alhamdulillah, Nak. Ini berkah doa kita,” jawabnya, suaranya hangat dan penuh syukur. Ia memasak nasi dengan beras yang dibeli kemarin dari sisa penjualan buah, menambahkan daun singkong liar dan sedikit ikan asin, aroma harum itu membangunkan Ratna yang terbaring di ranjang bambu dengan napas lebih stabil.
“Darma, kamu hebat. Teruskan impian haji itu,” bisik Ratna, tangannya yang keriput menggenggam tangan anaknya dengan lemah namun penuh cinta. Darma mengangguk, memeluk ibunya dengan hati-hati. “Ibu tenang, ayah hampir sampai,” jawabnya, air matanya menetes karena kebahagiaan. Setelah sarapan, ia mempersiapkan keranjang bambu, mengisi ulang stok buah dari kebun tetangga—tiga puluh mangga dan enam sisir pisang—lalu berjalan ke pasar bersama Bima, yang kini lebih lincah membantu.
Di pasar, Darma menata buah-buahan dengan hati-hati, memisahkan mangga matang dan pisang kuning, menawarkan dengan senyum lebar yang jarang ia tunjukkan. Setelah tiga jam, ia berhasil menjual dua puluh lima mangga dan lima sisir pisang, mengumpulkan enam puluh ribu rupiah. Ia menyisihkan sepuluh ribu untuk kebutuhan sehari-hari, menabung lima puluh ribu rupiah, kini total tabungannya menjadi tujuh ratus lima belas ribu rupiah. Bima membantu mengelap buah dan menyapa pembeli, membuat Darma tersenyum bangga. “Ayah, kita tambah cepat, ya!” kata Bima, matanya berbinar.
Siang itu, Darma melanjutkan kerja sama dengan Pak Hasan, menyerahkan stok mingguan—tiga puluh mangga dan enam sisir pisang—dan menerima tiga ratus ribu rupiah sesuai kesepakatan. Total tabungannya kini menjadi satu juta lima belas ribu rupiah, angka yang membuat hatinya bergetar. Ia pulang dengan langkah teguh, diterima Ratna dan Bima dengan senyum lebar. “Darma, ini luar biasa. Doakan ibu sembuh total,” bisik Ratna, membuat Darma mengangguk sambil menahan air mata.
Sore itu, Darma mendengar kabar dari Pak Suryo bahwa ada acara panen buah di kota, membutuhkan pemasok lokal dengan upah lima ratus ribu rupiah per minggu jika kualitas terjamin. Harapan menyala di dadanya. Ia mempersiapkan stok lebih banyak, meminta bantuan tetangga dan Bima untuk mengumpulkan empat puluh mangga dan delapan sisir pisang, lalu menyerahkannya ke panitia acara. Setelah dua hari, panitia puas, menyerahkan lima ratus ribu rupiah plus bonus seratus ribu karena kecepatan, kini total tabungannya menjadi satu juta enam ratus lima belas ribu rupiah.
Dengan uang itu, Darma membawa Ratna ke dokter di kota lagi, membayar perawatan lanjutan seharga dua ratus ribu rupiah, menyisihkan dari tabungan, kini total menjadi satu juta empat ratus lima belas ribu rupiah. Dokter mengatakan Ratna membaik signifikan, membuat Darma dan Bima bersyukur. Malam itu, ia berdoa di sudut rumah, memohon petunjuk untuk haji, dan tiba-tiba Pak Hasan datang dengan tawaran besar. “Pak Dar, ada kontrak ekspor buah ke kota lain. Upahnya satu juta per bulan kalau konsisten,” kata Pak Hasan, tersenyum hangat.
Darma menerima tawaran itu, bekerja keras selama sebulan dengan bantuan Bima dan tetangga, mengumpulkan stok besar—seratus mangga dan dua puluh sisir pisang—dan menerima satu juta rupiah ditambah bonus dua ratus ribu karena kualitas. Total tabungannya kini menjadi dua juta enam ratus lima belas ribu rupiah, cukup untuk biaya haji dasar. Ia menangis diam-diam, memeluk Ratna dan Bima, yang ikut menangis kegirangan.
Beberapa minggu kemudian, Darma mendaftar haji melalui kantor dinas, membayar dua juta rupiah dengan sisa tabungan untuk kuota reguler. Ia diterima, dijadwalkan berangkat tahun depan, membuatnya jatuh bersujud syukur. Selama menunggu, ia terus berjualan, menabung lebih banyak untuk keperluan perjalanan, dan merawat Ratna yang kini bisa duduk. Bima membantu dengan semangat, bahkan belajar doa haji untuk ayahnya.
Hari keberangkatan tiba, 15 Juni 2026, Darma berdiri di bandara dengan jubah putih, ditemani Ratna yang tersenyum lelet dan Bima yang menangis haru. “Ayah, pulang bawa doa buat kami,” kata Bima, memeluk ayahnya erat. Darma mengangguk, air matanya menetes. “InsyaAllah, Nak. Ayah janji,” jawabnya, suaranya penuh emosi.
Di tanah suci, Darma melaksanakan ibadah dengan khusyuk, mengenang perjuangan—panas matahari, sakit ibunya, dan kerja keras Bima. Ia berdoa untuk keluarganya, ayahnya, dan dirinya sendiri, merasa setiap buah yang ia jual menjadi doa yang membawanya ke puncak. Setelah kembali, ia disambut dengan sambutan hangat desa, menjadi panutan, dan membuka toko buah sederhana bernama “Buah Doa” bersama Bima.
Malam terakhir dalam cerita ini, Darma duduk di beranda toko barunya, memandang langit jingga, Ratna dan Bima di sampingnya. Ia mengingat duri-duri perjalanan—kekurangan, sakit, dan keraguan—dan menyadari bahwa puncak doa itu adalah buah dari setiap tetes keringatnya. Untuk keluarganya dan janji ayahnya, ia telah sampai, dan namanya kini dikenang sebagai penjual buah yang meraih haji dengan keajaiban doa.
Buah Doa: Perjalanan Penjual Buah Menuju Haji yang Menginspirasi adalah bukti nyata bahwa ketekunan, doa, dan cinta keluarga dapat mengantarkan seseorang ke puncak impian, bahkan dari titik terendah. Kisah Darma mengajarkan kita nilai perjuangan dan keajaiban yang tersembunyi dalam setiap usaha kecil. Jangan lewatkan cerpen ini untuk mendapatkan motivasi dan harapan baru dalam hidup Anda.
Terima kasih telah menikmati kisah Buah Doa. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kekuatan baru dalam perjalanan Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, tetaplah terhubung dengan kisah-kisah yang menyentuh hati!


