Bisikan Malam di Rumah Tua: Pengalaman Mistis yang Menggetarkan Jiwa

Posted on

Pernahkah Anda merasakan kehadiran gaib yang tak bisa dijelaskan? Dalam cerpen Bisikan Malam di Rumah Tua: Pengalaman Mistis yang Menggetarkan Jiwa, Anda akan diajak masuk ke dalam petualangan mencekam Zevanya Kirtana, seorang penulis lepas yang menghadapi misteri supernatural di rumah tua milik kakeknya di desa Sumberjati. Dari bisikan aneh hingga pertemuan dengan roh Nivara, cerita ini penuh emosi, kesedihan, dan keberanian yang akan membuat Anda terpaku hingga akhir. Siap menyelami dunia mistis yang mendebarkan ini?

Bisikan Malam di Rumah Tua

Kembali ke Rumah Kakek

Senja mulai merona di langit kecil desa Sumberjati, sebuah desa terpencil di lereng Gunung Kawi yang dikelilingi hutan pinus dan kabut tipis yang sering turun di malam hari. Di ujung desa, sebuah rumah tua berdiri dengan gagah sekaligus menyeramkan, dinding kayunya sudah lapuk dimakan usia, dan atap gentingnya berderit setiap kali angin bertiup kencang. Rumah itu milik kakekku, Alm. Pak Sartana Wijaksa, yang meninggal lima tahun lalu dalam tidurnya—sebuah kematian yang hingga kini masih menjadi misteri di keluarga kami. Aku, Zevanya Kirtana, atau biasa dipanggil Zeva, baru saja tiba di desa ini setelah bertahun-tahun tak pernah kembali. Aku berusia 24 tahun, seorang penulis lepas yang lebih sering menghabiskan waktu di kafe kota daripada di desa terpencil seperti ini. Tapi malam itu, aku berdiri di depan rumah tua itu dengan perasaan campur aduk: rindu, takut, dan sebuah rasa ingin tahu yang tak bisa aku tepis.

Aku datang ke Sumberjati atas permintaan ibuku, yang tiba-tiba memintaku untuk mengurus beberapa dokumen kepemilikan rumah yang dulu ditinggali kakek. “Kau harus ke sana, Zeva. Rumah itu tidak boleh dibiarkan kosong terlalu lama,” kata ibu dengan nada yang penuh tekanan, meski aku tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ibuku selalu menghindari topik tentang kakek setelah kematiannya, dan setiap kali aku bertanya, ia hanya menjawab dengan kalimat pendek, “Jangan tanya macam-macam. Kakekmu orang baik, tapi hidupnya penuh rahasia.” Aku tidak pernah benar-benar dekat dengan kakek, tapi aku ingat betul tatapan matanya yang dalam, seolah ia selalu melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Kakek juga dikenal sebagai seorang dukun kecil di desa ini, seseorang yang sering dimintai tolong untuk menyembuhkan orang sakit atau mengusir roh jahat. Tapi setelah kematiannya, desas-desus mulai beredar: ada yang bilang kakek meninggal karena kutukan, ada pula yang bilang ia “dijemput” oleh makhluk yang ia panggil semasa hidup.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang tak kunjung reda. Di tanganku, aku memegang sebuah kunci tua yang berkarat, pemberian ibu sebelum aku berangkat. Kunci itu terasa dingin di telapak tanganku, seolah menyimpan cerita yang tak pernah diceritakan. Aku melangkah menuju pintu depan, kayu pintu yang sudah retak mengeluarkan suara berderit nyaring saat aku mendorongnya. Bau apek langsung menyergap hidungku, campuran antara kayu lapuk, debu, dan sesuatu yang aneh—seperti aroma bunga kamboja yang biasanya ada di pekuburan. Aku menyalakan senter di ponselku, cahayanya menerangi ruang tamu yang gelap. Furnitur tua masih ada di tempatnya: meja kayu yang sudah miring, kursi goyang yang dulu sering digunakan kakek, dan sebuah lemari besar dengan ukiran burung garuda di pintunya. Semuanya terasa seperti membeku dalam waktu, seolah tak ada yang menyentuh rumah ini sejak kakek meninggal.

Aku berjalan perlahan, langkahku menggema di lantai kayu yang berderit. Di dinding, ada beberapa foto keluarga yang sudah pudar warnanya. Salah satu foto menarik perhatianku: kakek berdiri di depan rumah ini, memegang sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran aneh—seperti simbol lingkaran dengan garis-garis yang saling bersilangan. Di sampingnya, ada seorang wanita yang tak kukenal, wajahnya samar karena foto itu sudah terlalu tua. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan foto itu, tapi aku tak bisa menjelaskan apa. Mataku kemudian tertuju pada sebuah cermin besar yang tergantung di dinding sebelah. Cermin itu berbingkai kayu tua, dengan noda-noda hitam di sudut-sudutnya. Aku mendekat, melihat bayanganku sendiri di cermin yang buram. Tapi sesaat kemudian, aku merasa ada yang salah. Di belakang bayanganku, aku seperti melihat sesuatu bergerak—sebuah siluet samar, seperti seseorang yang berdiri di sudut ruangan. Aku menoleh dengan cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Jantungku berdegup kencang, dan aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasiku yang terlalu aktif.

Aku memutuskan untuk masuk lebih dalam ke rumah, mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai merayap. Di dapur, aku menemukan beberapa peralatan masak tua yang sudah berkarat, dan sebuah kendi tanah liat yang masih utuh. Aku mengangkat kendi itu, dan tanpa sengaja, sebuah kalung kecil jatuh dari dalamnya. Kalung itu terbuat dari tali kulit, dengan liontin berbentuk batu hitam yang permukaannya halus seperti kaca. Aku memungutnya, merasakan dinginnya batu itu di telapak tanganku. Entah kenapa, aku merasa batu itu seperti “bergetar” samar, seolah ada energi aneh di dalamnya. Aku teringat cerita ibu tentang kakek yang sering membawa benda-benda aneh dari hutan, benda yang katanya memiliki “kekuatan”. Aku memasukkan kalung itu ke dalam saku jaketku, berjanji untuk memeriksanya lebih lanjut nanti.

Saat aku hendak menuju kamar kakek, aku mendengar suara samar dari arah ruang tamu. Suara itu seperti bisikan, pelan tapi jelas, seolah seseorang sedang berbicara dalam bahasa yang tak kukenal. Aku membeku di tempat, senter di tanganku gemetar. “Siapa itu?” tanyaku dengan suara bergetar, tapi tak ada jawaban. Bisikan itu berhenti sejenak, lalu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seperti ada banyak suara yang berbisik bersamaan. Aku memberanikan diri untuk kembali ke ruang tamu, tapi saat aku sampai di sana, suara itu menghilang. Hanya ada keheningan yang mencekam, dan angin malam yang mulai bertiup masuk melalui celah-celah jendela yang sudah rapuh.

Aku duduk di kursi goyang kakek, mencoba menenangkan diri. Aku tahu aku seharusnya takut, tapi ada bagian dari diriku yang justru penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Mengapa kakek meninggal dengan misterius, dan mengapa ibu selalu menghindari topik tentangnya? Aku mengeluarkan kalung dari saku jaketku, menatap batu hitam itu dengan penuh tanya. Cahaya senterku memantul di permukaan batu, dan untuk sesaat, aku seperti melihat sesuatu di dalamnya—sebuah bayangan kecil, seperti wajah seseorang yang sedang menangis. Aku menggosok mataku, berpikir bahwa aku mungkin terlalu lelah setelah perjalanan panjang dari kota. Tapi perasaan tak nyaman itu tak hilang, malah semakin kuat.

Malam semakin larut, dan aku memutuskan untuk tidur di kamar tamu kecil yang ada di sisi rumah. Aku menggelar kasur tua yang baunya sedikit apek, mencoba menutup mata meski pikiranku dipenuhi pertanyaan. Di luar, suara jangkrik dan angin malam bercampur menjadi simfoni yang seharusnya menenangkan, tapi malah membuatku merasa semakin gelisah. Aku memeluk tas kecilku, berharap bisa tidur meski hanya sebentar. Tapi tepat ketika aku hampir terlelap, aku mendengar suara itu lagi—bisikan yang sama, kali ini lebih dekat, seperti seseorang berbicara tepat di samping telingaku. “Kembalikan…,” kata suara itu, pelan tapi penuh tekanan. Aku membuka mata dengan cepat, duduk di kasur dengan napas tersengal. Kamar itu gelap gulita, tapi aku merasa ada sesuatu yang menatapku dari sudut ruangan. Aku tahu aku tak sendiri malam itu, dan perasaan itu membuatku gemetar—bukan hanya karena takut, tapi juga karena aku merasa bahwa rumah ini menyimpan rahasia yang jauh lebih besar dari yang aku bayangkan.

Bayangan di Balik Cermin

Pagi menyapa Sumberjati dengan lembut, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah rapuh, menerangi kamar tamu kecil tempat Zevanya Kirtana, atau Zeva, terbangun dengan tubuh yang terasa berat. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Bisikan misterius yang ia dengar, perasaan bahwa ada sesuatu yang mengawasinya, dan bayangan samar di cermin—semuanya terasa begitu nyata, namun juga seperti ilusi yang diciptakan oleh pikirannya yang lelah. Zeva duduk di tepi kasur tua, menatap lantai kayu yang penuh goresan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memulai hari. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 06.30 pagi, tapi udara di dalam rumah tua itu masih terasa dingin, membawa aroma lembap yang bercampur dengan bau kayu lapuk.

Zeva menggosok matanya yang terasa perih karena kurang tidur, lalu merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan kalung dengan liontin batu hitam yang ia temukan semalam. Batu itu masih terasa dingin di tangannya, permukaannya yang halus memantulkan cahaya matahari pagi dengan cara yang aneh, seolah ada kilau kecil di dalamnya. Zeva teringat bayangan yang ia lihat di permukaan batu semalam—wajah samar yang tampak menangis. Ia menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. “Aku terlalu lelah,” gumamnya pada diri sendiri, meski suaranya terdengar kurang yakin. Ia memutuskan untuk menyimpan kalung itu kembali di saku, tapi perasaan tak nyaman itu tak kunjung hilang.

Ia berjalan ke dapur untuk membuat teh, berharap secangkir minuman hangat bisa menenangkan sarafnya. Dapur rumah tua itu terlihat seperti tak tersentuh selama bertahun-tahun. Kompor tanah liat yang dulu sering digunakan neneknya untuk memasak masih berdiri di sudut, dikelilingi oleh peralatan masak yang sudah berkarat. Zeva menemukan sebuah teko aluminium tua di lemari dapur, dan setelah membersihkannya dengan air dari sumur di belakang rumah, ia menyalakan kompor gas portabel yang ia bawa dari kota. Sementara air mendidih, ia duduk di bangku kayu kecil, menatap halaman belakang melalui jendela yang buram. Pohon kamboja besar berdiri di tengah halaman, bunganya yang putih-gading berguguran di tanah, menciptakan pemandangan yang seharusnya indah, tapi entah kenapa terasa menyeramkan bagi Zeva. Ia teringat bahwa kamboja sering diasosiasikan dengan hal-hal mistis di desa ini, dan perasaan itu membuatnya menggigil.

Setelah teh siap, Zeva kembali ke ruang tamu, membawa cangkir panas yang uapnya mengepul lembut. Ia duduk di kursi goyang kakek, mencoba merasakan sedikit kenyamanan dari kenangan masa kecilnya. Tapi saat ia menyesap teh, pandangannya kembali tertuju pada cermin besar di dinding. Cermin itu seolah memiliki daya tarik yang aneh, seperti memanggilnya untuk mendekat. Zeva meletakkan cangkirnya di meja kayu kecil di samping, lalu berdiri dan melangkah perlahan menuju cermin. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela membuat permukaan cermin terlihat lebih jelas, tapi noda-noda hitam di sudut-sudutnya tetap memberikan kesan suram. Zeva menatap bayangannya sendiri, wajahnya yang pucat dan matanya yang dikelilingi lingkaran hitam akibat kurang tidur. Tapi kemudian, ia melihatnya lagi—sebuah bayangan samar di belakangnya, seperti seseorang yang berdiri di sudut ruangan.

Zeva menoleh dengan cepat, jantungnya berdegup kencang, tapi seperti semalam, tak ada siapa-siapa di sana. Ia kembali menatap cermin, dan kali ini bayangan itu lebih jelas. Itu adalah sosok wanita, dengan rambut panjang yang terurai hingga pinggang, mengenakan gaun putih yang sudah lusuh. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi Zeva bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari sosok itu. “Siapa kamu?” tanya Zeva dengan suara bergetar, meski ia tahu tak akan ada jawaban. Sosok itu tiba-tiba mengangkat tangan, seolah menunjuk ke arah lemari besar dengan ukiran burung garuda yang berdiri di sisi ruangan. Zeva merasa tubuhnya membeku, tapi ada dorongan aneh yang membuatnya melangkah menuju lemari itu.

Lemari itu tinggi, hampir menyentuh langit-langit rumah, dan pintunya terasa berat saat Zeva mencoba membukanya. Debu yang menempel di permukaan kayu beterbangan, membuatnya terbatuk. Di dalam lemari, ia menemukan tumpukan barang-barang tua: buku-buku dengan sampul kulit yang sudah menguning, beberapa botol kecil berisi cairan aneh yang baunya menyengat, dan sebuah kotak kayu kecil yang mirip dengan yang ia lihat di foto kakek semalam. Kotak itu memiliki ukiran yang sama—simbol lingkaran dengan garis-garis yang saling bersilangan. Zeva mengambil kotak itu dengan hati-hati, merasakan getaran kecil saat ia menyentuhnya. Ia membukanya perlahan, dan di dalamnya ia menemukan sebuah jurnal tua dengan sampul kulit cokelat yang sudah retak-retak.

Zeva membawa jurnal itu ke kursi goyang, duduk, dan mulai membukanya. Tulisan di dalamnya adalah tulisan tangan kakek, dengan huruf-huruf yang rapi tapi sedikit gemetar, seolah ditulis dengan tergesa-gesa. Halaman pertama bertuliskan, “Untuk yang menemukan jurnal ini, hati-hati. Ada yang tak pernah pergi dari rumah ini.” Zeva merasa bulu kuduknya merinding membaca kalimat itu. Ia membalik halaman berikutnya, dan menemukan catatan tentang seorang wanita bernama Nivara Sulasmi, yang menurut kakek adalah “penjaga” rumah ini. Kakek menulis bahwa Nivara adalah roh yang terikat pada rumah ini setelah kematian tragisnya puluhan tahun lalu, dan bahwa ia pernah mencoba membantu Nivara “pergi” dengan ritual tertentu, tapi gagal. “Ia terlalu terikat pada rasa sakitnya,” tulis kakek, “dan aku tak cukup kuat untuk melepaskannya.”

Zeva menutup jurnal itu sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia baca. Ia teringat sosok wanita di cermin, dan tiba-tiba merasa bahwa itu adalah Nivara. Tapi mengapa Nivara menunjukkan diri kepadanya? Dan apa hubungannya dengan kalung batu hitam yang ia temukan? Zeva merasa ada kepingan-kepingan misteri yang mulai terhubung, tapi ia juga merasa semakin takut. Ia kembali membuka jurnal, membaca lebih lanjut. Kakek menulis tentang batu hitam yang ia gunakan dalam ritual, batu yang katanya bisa “menyerap” energi roh. Zeva langsung merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kalung itu. Jadi batu ini… alat kakek? pikirnya, jantungnya kembali berdegup kencang.

Tiba-tiba, suara bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan lebih dekat. “Kembalikan… milikku…” Suara itu terdengar seperti tangisan, penuh dengan keputusasaan. Zeva menoleh ke arah cermin, dan kali ini ia melihat Nivara dengan jelas. Sosok wanita itu berdiri di depan cermin, wajahnya pucat dengan mata yang kosong, tapi penuh air mata. Ia menunjuk ke arah batu hitam di tangan Zeva, dan tiba-tiba cermin itu bergetar hebat, seolah akan pecah. Zeva menjerit, menjatuhkan jurnal ke lantai, dan berlari ke arah pintu depan. Tapi saat ia mencoba membuka pintu, kunci tua itu seperti macet, seolah ada kekuatan yang menahannya dari dalam.

Zeva berbalik, napasnya tersengal, dan melihat Nivara kini berdiri di tengah ruang tamu, gaun putihnya berkibar meski tak ada angin. “Kembalikan… milikku…” ulang Nivara, suaranya kini lebih keras, penuh dengan kemarahan dan kesedihan. Zeva merasa tubuhnya gemetar, tapi ia juga merasakan dorongan untuk tidak lari. Ia menggenggam batu hitam itu lebih erat, mencoba berbicara meski suaranya terbata-bata. “Apa yang kamu inginkan? Aku tidak tahu apa-apa!” teriaknya, air mata mulai mengalir di pipinya. Nivara tiba-tiba menghilang, tapi bisikan itu terus bergema di telinganya, seperti mantra yang tak pernah berhenti.

Zeva ambruk di lantai, menangis tersedu-sedu. Ia merasa tak berdaya, tapi juga merasa bahwa ia tak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja. Ada sesuatu yang harus ia selesaikan, meski ia tak tahu apa itu. Di tengah tangisnya, ia memandang jurnal yang tergeletak di lantai, dan memutuskan bahwa ia harus membaca lebih lanjut. Mungkin di dalam catatan kakek, ia bisa menemukan jawaban—atau setidaknya, cara untuk bertahan dari malam berikutnya di rumah tua yang penuh misteri ini.

Jejak Kesedihan Nivara

Langit Sumberjati mulai meredup saat senja tiba, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Zevanya Kirtana, atau Zeva, masih duduk di lantai ruang tamu rumah tua itu, napasnya perlahan mulai teratur meski air mata masih membasahi pipinya. Jurnal tua milik kakeknya, Alm. Pak Sartana Wijaksa, tergeletak di sampingnya, terbuka pada halaman yang menceritakan tentang Nivara Sulasmi—roh yang tampaknya terikat pada rumah ini. Zeva menggenggam kalung dengan liontin batu hitam di tangannya, merasakan getaran halus yang seolah hidup di dalam batu itu. Setelah kejadian mengerikan di depan cermin tadi, di mana sosok Nivara muncul dengan penuh kemarahan dan kesedihan, Zeva merasa bahwa ia tak bisa lagi menganggap semua ini sebagai imajinasi. Ada sesuatu yang nyata di rumah ini, dan ia tahu ia harus menghadapinya, meski ketakutan masih menggerogoti setiap inci tubuhnya.

Zeva bangkit perlahan, kakinya terasa lelet akibat tekanan emosi yang ia alami. Ia mengambil jurnal itu, kembali duduk di kursi goyang kakek, dan mulai membaca lebih lanjut. Cahaya senja yang masuk melalui jendela memberikan penerangan samar, tapi cukup untuknya melihat tulisan tangan kakek yang rapi namun penuh goresan tergesa-gesa. Kakek menulis bahwa Nivara adalah seorang wanita yang hidup di desa ini puluhan tahun lalu, seorang penyanyi keroncong yang dikenal karena suaranya yang merdu dan kecantikannya yang memukau. Namun, hidup Nivara berakhir tragis. Ia dikhianati oleh kekasihnya, seorang pria bernama Darmaji, yang meninggalkannya demi wanita lain. Dalam keputusasaan, Nivara mengakhiri hidupnya di bawah pohon kamboja di halaman belakang rumah ini—pohon yang hingga kini masih berdiri tegak, menjadi saksi bisu dari kisah kelam itu.

Kakek menulis bahwa setelah kematian Nivara, rohnya tak pernah benar-benar pergi. Warga desa sering mendengar suara keroncong samar di malam hari, dan beberapa orang mengaku melihat sosok wanita berbaju putih berdiri di bawah pohon kamboja, menangis tanpa suara. Kakek, yang saat itu dikenal sebagai dukun kecil di desa, diminta oleh warga untuk “mengurus” Nivara. Ia melakukan ritual sederhana dengan batu hitam yang kini ada di tangan Zeva, sebuah batu yang katanya mampu menyerap energi roh. Tapi ritual itu gagal. “Nivara terlalu terikat pada rasa sakitnya,” tulis kakek. “Ia menolak pergi, dan aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan—sesuatu yang bahkan aku tak bisa lihat.”

Zeva menutup jurnal sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia baca. Ia menatap ke arah jendela yang menghadap halaman belakang, ke pohon kamboja yang kini diselimuti cahaya senja yang merona. Bunga-bunga kamboja yang berguguran di tanah terlihat seperti taburan salju kecil, tapi ada aura kelam yang terasa dari pohon itu. Zeva teringat bisikan Nivara tadi—“Kembalikan milikku…”—dan ia mulai bertanya-tanya apa yang dimaksud oleh roh itu. Apakah batu hitam ini? Atau ada sesuatu yang lain yang belum ia temukan?

Zeva memutuskan untuk menjelajahi lebih lanjut rumah ini, meski malam mulai turun dan rasa takutnya semakin membesar. Ia menyalakan senter di ponselnya, cahayanya menerangi lorong sempit yang mengarah ke kamar kakek. Kamar itu terletak di ujung rumah, pintunya sedikit terbuka, seolah mengundangnya untuk masuk. Zeva mendorong pintu itu perlahan, suara engsel yang berkarat memecah keheningan malam. Kamar kakek terasa lebih dingin dari ruangan lain, dengan bau aneh yang sulit dijelaskan—seperti campuran antara minyak kayu putih dan sesuatu yang busuk. Di dalam, ia menemukan ranjang kayu sederhana dengan kasur yang sudah berdebu, sebuah meja kecil dengan lilin yang sudah meleleh, dan sebuah lemari pakaian tua yang pintunya sedikit miring.

Zeva mendekati meja kecil itu, melihat beberapa benda yang diletakkan di atasnya: sebuah pisau kecil dengan gagang kayu yang penuh ukiran, sehelai kain putih yang sudah menguning, dan sebuah foto kecil yang sudah pudar. Foto itu menunjukkan kakek bersama seorang wanita yang mirip dengan sosok di foto di ruang tamu—wanita yang Zeva duga adalah Nivara. Di foto ini, Nivara tersenyum tipis, tapi matanya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Zeva merasa dadanya sesak melihat foto itu. Ia tak bisa membayangkan penderitaan yang dialami Nivara, tapi ia juga merasa ada hubungan aneh antara kakek dan roh ini—hubungan yang lebih dari sekadar ritual.

Tiba-tiba, suara bisikan itu terdengar lagi, kali ini dari arah lemari pakaian. “Di sini… milikku…” Zeva membeku, senter di tangannya gemetar. Ia melangkah perlahan menuju lemari, mendorong pintunya dengan hati-hati. Di dalam, ia menemukan tumpukan pakaian tua milik kakek, beberapa di antaranya sudah dimakan ngengat. Tapi di sudut lemari, ia melihat sebuah kotak kecil yang terbuat dari anyaman bambu, diikat dengan tali merah yang sudah pudar. Zeva mengambil kotak itu, tangannya gemetar saat ia membuka ikatan talinya. Di dalam kotak, ia menemukan sebuah gelang perak kecil dengan liontin berbentuk bunga kamboja. Gelang itu terlihat tua, tapi masih berkilau samar di bawah cahaya senter. Zeva merasa ada energi aneh yang terpancar dari gelang itu, mirip dengan getaran yang ia rasakan dari batu hitam.

Saat ia mengangkat gelang itu, suhu di kamar tiba-tiba turun drastis, dan Zeva mendengar suara tangisan yang keras dari arah pintu. Ia menoleh, dan di sana berdiri Nivara, sosoknya kini lebih jelas dari sebelumnya. Gaun putihnya yang lusuh berkibar meski tak ada angin, dan wajahnya yang pucat dipenuhi air mata. “Itu milikku…” kata Nivara, suaranya penuh dengan keputusasaan. Zeva merasa tubuhnya membeku, tapi ia juga merasakan empati yang mendalam. Ia bisa melihat rasa sakit di mata Nivara, rasa sakit yang begitu dalam hingga roh itu tak bisa pergi. “Aku… aku akan mengembalikannya,” kata Zeva dengan suara bergetar, meski ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Nivara tiba-tiba menghilang, tapi tangisan itu terus bergema, seperti jeritan yang tak pernah usai.

Zeva duduk di lantai kamar, memegang gelang itu dengan erat. Ia merasa air matanya mengalir lagi, bukan hanya karena takut, tapi juga karena ia merasa terhubung dengan kesedihan Nivara. Ia teringat kata-kata kakek di jurnal: “Nivara terlalu terikat pada rasa sakitnya.” Zeva mulai menyadari bahwa gelang ini mungkin adalah kunci dari misteri ini—mungkin benda ini adalah milik Nivara yang diambil oleh kakek selama ritual, dan itulah mengapa roh itu terus meminta untuk “dikembalikan.” Tapi bagaimana caranya? Zeva tak tahu apa-apa tentang ritual, dan ia tak yakin apakah ia cukup berani untuk menghadapi Nivara lagi.

Malam semakin larut, dan Zeva memutuskan untuk kembali ke kamar tamu, membawa gelang dan jurnal bersamanya. Ia mengunci pintu kamar, meski ia tahu itu tak akan banyak membantu jika Nivara muncul lagi. Ia duduk di kasur, menatap gelang itu dengan penuh tanya. Di luar, angin malam bertiup kencang, membuat ranting-ranting pohon kamboja bergoyang, seolah berbisik tentang rahasia yang tersembunyi. Zeva tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan ia harus menemukan cara untuk menghadapi Nivara—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk roh yang tersiksa itu, dan untuk kakek yang tampaknya meninggalkan beban berat di rumah tua ini.

Pelepasan di Bawah Kamboja

Jam menunjukkan pukul 01.32 dini hari saat Zevanya Kirtana, atau Zeva, terbangun dari tidur yang gelisah di kamar tamu rumah tua itu. Angin malam di Sumberjati bertiup kencang, menggoyang-goyangkan jendela kayu yang sudah rapuh, sementara suara jangkrik dan dedaunan pohon kamboja di halaman belakang bercampur menjadi simfoni mencekam. Zeva duduk di kasur, napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Ia baru saja bermimpi—mimpi di mana ia berdiri di bawah pohon kamboja bersama Nivara Sulasmi, roh wanita yang telah menghantuinya sejak ia tiba. Dalam mimpi itu, Nivara menatapnya dengan mata penuh air mata, tangannya menunjuk gelang perak kecil yang kini tergeletak di samping Zeva di atas kasur. Jurnal kakeknya, Alm. Pak Sartana Wijaksa, juga terbuka di halaman terakhir, tempat kakek menulis petunjuk samar tentang cara melepaskan roh yang terikat.

Zeva mengambil gelang itu, merasakan getaran halus yang masih terpancar dari liontin bunga kamboja yang berkilau samar di bawah cahaya bulan yang menyelinap melalui celah jendela. Ia juga mengambil jurnal, membaca kembali catatan terakhir kakek: “Jika kau menemukan benda miliknya, kembalikan di tempat ia pergi. Gunakan batu hitam untuk membukakan pintu, tapi hati-hati—ia akan melawan jika masih terikat pada dendam.” Zeva merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kalung dengan liontin batu hitam yang ia temukan di dapur. Batu itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyerap energi dari malam yang penuh misteri. Ia tahu apa yang harus dilakukan, meski rasa takut masih menggenggam hatinya erat.

Dengan langkah gontai, Zeva bangkit dari kasur, mengenakan jaket tebal untuk melindungi dirinya dari udara dingin. Ia membawa gelang, kalung batu hitam, dan jurnal, lalu melangkah menuju pintu belakang yang mengarah ke halaman. Pintu itu berderit keras saat ia membukanya, dan di luar, pohon kamboja berdiri tegak di bawah cahaya bulan purnama, bayangannya memanjang di tanah seperti sosok raksasa. Zeva merasa napasnya terhenti sejenak, tapi ia memaksa diri melangkah maju. Angin malam membawa aroma bunga kamboja yang kuat, sebuah aroma yang kini terasa seperti campuran antara harum dan busuk, menciptakan suasana yang mencekam.

Di bawah pohon kamboja, Zeva berhenti, menatap tanah yang dipenuhi bunga-bunga gugur. Ia teringat cerita kakek di jurnal—Nivara mengakhiri hidupnya di tempat ini, di bawah pohon yang menjadi saksi kesedihannya. Zeva merogoh kalung batu hitam dari sakunya, memegangnya erat di tangan kanannya, sementara tangan kirinya menggenggam gelang perak. Ia menutup mata, mencoba mengingat petunjuk kakek. “Gunakan batu untuk membukakan pintu…” gumamnya, mencoba memahami makna di balik kata-kata itu. Tiba-tiba, ia merasa batu hitam di tangannya bergetar lebih kuat, dan suara bisikan yang sudah akrab terdengar lagi, kali ini dari arah pohon. “Kembalikan… milikku…” Suara Nivara terdengar lebih jelas, penuh dengan harapan dan keputusasaan.

Zeva membuka matanya, dan di depannya, sosok Nivara muncul perlahan dari bayang-bayang pohon kamboja. Gaun putihnya yang lusuh berkibar dalam angin, rambut panjangnya terurai menutupi wajahnya yang pucat. Tapi kali ini, Zeva tak lagi merasa hanya takut—ia juga merasakan empati yang mendalam. Ia melangkah mendekat, mengangkat gelang perak di tangannya. “Ini milikmu, kan? Aku akan mengembalikannya,” kata Zeva, suaranya bergetar tapi penuh tekad. Nivara mengangguk perlahan, tangannya yang transparan terulur ke arah gelang. Zeva meletakkan gelang di tanah, di tempat yang ia duga menjadi lokasi kematian Nivara, lalu mengarahkan batu hitam ke arah gelang, mengikuti insting yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.

Batu hitam mulai memancarkan cahaya samar, dan tanah di bawah gelang itu seperti bergetar, membentuk lingkaran tipis yang memancarkan kilau aneh. Zeva merasa energi yang kuat mengalir dari batu itu, membuat tangannya gemetar. Nivara menangis lebih keras, tapi tangisannya kini terdengar seperti campuran antara kesedihan dan pelepasan. “Terima kasih…” bisiknya, suaranya perlahan memudar. Lingkaran cahaya di tanah membesar, dan sosok Nivara mulai terserap ke dalamnya, gaunnya berkibar seolah ditarik oleh angin gaib. Zeva menangis, air matanya jatuh ke tanah, mencampur dengan bunga kamboja yang berguguran. Ia merasa lega, tapi juga sedih—seolah ia kehilangan seseorang yang baru saja ia kenal.

Tiba-tiba, angin berhenti, dan lingkaran cahaya menghilang, meninggalkan gelang perak yang kini terlihat biasa saja, tanpa kilau aneh lagi. Nivara lenyap, dan keheningan malam kembali menyelimuti halaman. Zeva jatuh berlutut, menangis tersedu-sedu, merasakan beban yang terangkat dari pundaknya. Ia tahu ia telah membantu Nivara pergi, tapi ia juga merasa kehilangan bagian dari dirinya sendiri—bagian yang telah belajar tentang keberanian dan empati di malam yang penuh misteri ini.

Pagi tiba dengan sinar matahari yang lembut, menerangi halaman belakang rumah tua. Zeva bangun dari tidurnya di kasur, merasa tubuhnya lebih ringan meski matanya sembab akibat menangis semalaman. Ia melangkah ke halaman, melihat pohon kamboja yang kini terlihat biasa saja, tanpa aura kelam. Gelang perak masih tergeletak di tanah, tapi saat ia menyentuhnya, ia tak lagi merasakan getaran aneh. Zeva tersenyum tipis, mengambil jurnal kakek dan menulis catatan terakhir di halaman kosong: “Nivara telah pergi. Terima kasih, Kakek, atas keberanian yang kau wariskan.”

Sebelum meninggalkan rumah itu, Zeva menatap foto kakek di ruang tamu, merasa ada kedamaian di matanya yang dulu terlihat dalam. Ia tahu kakek telah membawa beban besar selama hidupnya, dan kini ia merasa telah membantu menyelesaikan salah satu bagian dari warisan itu. Dengan langkah yang lebih mantap, Zeva mengunci pintu rumah tua, membawa jurnal dan kalung batu hitam sebagai pengingat akan malam yang mengubah hidupnya. Di kejauhan, burung-burung mulai berkicau, menyambut hari baru yang penuh harapan—dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Zeva merasa damai.

Bisikan Malam di Rumah Tua bukan hanya sekadar cerita hantu, melainkan perjalanan emosional yang mengajarkan tentang keberanian, empati, dan pelepasan. Kisah Zevanya mengingatkan kita bahwa misteri sering kali menyimpan pelajaran berharga, bahkan di tengah ketakutan terbesar. Jika Anda menyukai cerita mistis yang menyentuh hati dan menginspirasi, jangan lewatkan kesempatan untuk mengeksplorasi petualangan ini lebih dalam!

Terima kasih telah bergabung dalam perjalanan mistis ini! Semoga kisah Zevanya membawa inspirasi dan keberanian untuk menghadapi misteri dalam hidup Anda. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar dan ikuti terus cerita menarik lainnya bersama kami!

Leave a Reply