Bisakah Kau Mendengar Hatiku? Cerita Romansa Remaja yang Mengharukan

Posted on

Pernah gak sih kamu ngerasa kayak ada suara di dalam hati yang terus memanggil seseorang, tapi jarak bikin semuanya jadi rumit? Nah, cerpen ini bakal ngulik perjalanan cinta dua remaja yang harus berjuang melawan kerinduan.

Siapa sih yang bisa tahan nunggu orang yang dicintai? Yuk, simak kisah Rayani dan Farren, yang buktikan bahwa cinta sejati selalu menemukan jalannya, meski terpisah oleh jarak!

 

Bisakah Kau Mendengar Hatiku?

Kenangan di Tepi Pantai

Sore itu, angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam yang khas, menenangkan jiwa yang resah. Di tepi pantai, gelombang berkejaran, mendorong pasir lembut dengan lembut. Di sana, di bangku kayu yang terletak sedikit menjauh dari keramaian, duduk seorang gadis bernama Rayani. Ia menatap jauh ke arah lautan, matanya seperti mencari sesuatu yang hilang di antara ombak.

Rayani, dengan rambut hitam legam yang berombak, tergerai ke bahu. Dia mengenakan kaos putih longgar dan celana pendek yang terlihat pas di tubuhnya. Hari itu, sinar matahari tampak lebih redup, seolah sejalan dengan perasaannya. Di tangan kanannya, terdapat sebuah jurnal yang sudah usang, tempatnya menulis semua cerita dan kerinduan yang menghantuinya.

“Kenapa ya, setiap kali aku ke sini, rasanya selalu ada yang kurang?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh desiran ombak.

Sejak Farren pergi, pantai ini terasa berbeda. Suara gelombang yang biasanya menenangkan kini menjadi pengingat akan kenangan indah mereka. Setiap sudut pantai itu menyimpan cerita tentang tawa mereka, tentang mimpi-mimpi yang mereka rajut bersama. Ia membuka jurnalnya dan mulai menulis.

“Farren, kamu pasti tidak tahu betapa aku merindukanmu,” tulisnya, saat tinta mengalir dengan lancar. “Setiap detik terasa seperti setahun. Aku berharap kamu bisa di sini untuk mendengarkanku.”

Dia terhenti sejenak, mengingat tawa Farren yang ceria. Saat mereka berlari di sepanjang pantai, menantang ombak, dan menciptakan momen-momen yang terasa abadi. Rasanya baru kemarin mereka saling berbagi mimpi tentang masa depan, tetapi kini semua itu hanya tinggal kenangan.

“Kalau kamu di sini, kita pasti sudah buat rencana untuk menghabiskan waktu di pantai lagi,” bisiknya, seolah Farren bisa mendengarnya. “Kamu pasti ingat, kan? Saat kita berjanji akan selalu ada untuk satu sama lain?”

Sinar matahari mulai meredup, menambah kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia memandangi lautan, seolah menunggu sesuatu atau seseorang muncul dari balik ombak. Namun, harapannya pupus, dan hanya ada kesunyian yang menemani.

Setelah beberapa saat menulis, Rayani merasa jari-jarinya lelah. Dia menutup jurnalnya dan memandangi langit yang mulai berwarna oranye keemasan. “Aku harus mencari cara untuk melupakan semua ini,” ucapnya sambil mengusap air mata yang menetes. “Tapi bagaimana caranya?”

Hingga saat itu, dia hanya bisa berharap, meski harapan terkadang terasa hampa. Dia mengambil nafas dalam-dalam, merasakan angin laut yang sejuk, dan mencoba mengalihkan pikirannya. Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan lamunannya.

“Hey, Rayani!” terdengar suara familiar dari kejauhan. Rayani menoleh, dan jantungnya berdebar. Farren. Dengan senyum yang menawan, dia melangkah mendekat, seolah waktu tidak pernah memisahkan mereka.

“Farren? Apa kamu benar-benar di sini?” tanyanya, matanya berbinar.

“Iya, aku kembali,” jawab Farren, menatapnya dengan penuh kehangatan. “Aku merindukan tempat ini dan merindukan kamu.”

Rayani tidak bisa menahan senyumnya. Semua rasa kerinduan yang menggunung seakan sirna seketika. “Kau tidak tahu betapa aku menunggumu. Setiap hari aku berharap bisa melihatmu lagi,” ujarnya, suaranya bergetar penuh emosi.

Farren duduk di sampingnya, merapatkan posisi tubuhnya. “Aku tahu, Rayani. Aku merasakan hal yang sama. Setiap detak jantungku hanya untukmu.”

Dengan itu, keduanya terdiam sejenak, menikmati kehadiran masing-masing. Suara ombak yang berirama terasa harmonis dengan detak jantung mereka. Dalam hati, Rayani berharap momen ini tidak akan pernah berakhir. Namun, dalam dunia yang tak terduga, apa yang akan terjadi selanjutnya masih menjadi misteri.

“Banyak yang ingin aku ceritakan padamu,” ucap Rayani, dan Farren mengangguk. “Mari kita bicarakan semuanya. Sejak kamu pergi, banyak hal berubah.”

“Iya, aku ingin mendengarnya semua,” Farren menjawab, matanya bersinar penuh perhatian.

Mereka mulai berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, bagaimana dunia mereka terpisah, dan rasa rindu yang teramat sangat. Sore itu menjadi saksi pertemuan yang penuh harapan, di mana kerinduan yang selama ini terpendam mulai terungkap.

Saat senja menggelap, gelombang ombak berirama, seolah merestui pertemuan mereka. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada ketidakpastian yang mengintai. Rayani dan Farren tahu, mereka harus bersiap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi setelah ini.

 

Suara yang Hilang

Malam itu, setelah pertemuan yang penuh harapan, Rayani tidak bisa tidur. Dia terbaring di ranjangnya, merenungkan setiap kata yang diucapkan Farren. Suara tawanya masih terngiang di telinga, dan senyum hangatnya menari-nari di pikirannya. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rasa cemas yang mengganggu. “Apa dia akan tetap di sini? Apakah ini hanya sementara?” batinnya berputar-putar.

Pagi menjelang, dan sinar matahari menembus jendela kamarnya. Rayani bangkit, merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Hari ini, dia bertekad untuk menunjukkan kepada Farren betapa banyaknya perubahan yang terjadi di kotanya selama dia pergi. Dengan cepat, dia menyelesaikan sarapan dan bersiap-siap untuk menemui Farren di pantai.

Saat dia tiba di tepi pantai, Farren sudah menunggu, berdiri dengan gaya santai, mengenakan kaos biru dan celana jeans yang menempel pas di tubuhnya. Matanya tampak cerah, seolah lautan telah memberikan energi baru padanya.

“Selamat pagi, Rayani!” sapanya ceria. “Siap untuk petualangan hari ini?”

“Siap!” jawab Rayani, merasakan adrenalin menyemangatinya. Mereka mulai menjelajahi area pantai, mengamati kapal nelayan yang bersandar di pelabuhan, dan anak-anak yang bermain layang-layang. Farren tampak begitu terpesona dengan keindahan tempat itu.

“Wow, aku tidak ingat ada kapal seindah ini di sini. Apa itu kapal baru?” tanyanya, menunjuk ke arah kapal yang dicat cerah.

“Iya, kapal itu baru saja tiba. Masyarakat di sini semakin kreatif,” Rayani menjelaskan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Dia merasa senang bisa berbagi informasi tentang kotanya dengan Farren.

Mereka berjalan menuju sebuah kafe kecil di tepi pantai, tempat yang sering mereka kunjungi saat bersama. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, membawa kembali kenangan masa lalu. Rayani memilih meja di luar, di mana mereka bisa menikmati pemandangan laut.

Setelah memesan minuman, Rayani mulai berbagi ceritanya selama Farren pergi. “Kamu tahu, selama kamu tidak ada, aku banyak menghabiskan waktu di sini. Kadang-kadang aku merasa sepi, tapi aku belajar untuk menikmati waktu sendiri,” ucapnya, matanya menatap Farren.

“Wah, kamu hebat! Tapi, apa kamu tidak merasa kehilangan?” tanya Farren, terlihat penuh perhatian.

“Tentu saja. Tapi aku menulis di jurnal setiap hari. Itu cara aku mengekspresikan perasaanku. Seperti semalam, aku menulis tentang betapa aku merindukanmu. Aku merasa semua kata-kata itu menghubungkan kita, meskipun jarak memisahkan,” jawab Rayani.

Farren tersenyum, seolah merasakan setiap kata yang diucapkan Rayani. “Aku juga menulis, kamu tahu? Tentang kita. Tentang semua hal yang kita lakukan. Dan tentu saja, tentang kerinduan yang tak tertahankan. Setiap kali aku melihat laut, aku selalu ingat pada kamu.”

Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah tidak ada waktu yang terbuang. Keduanya berbagi tawa dan kenangan yang membuat mereka merasa lebih dekat. Namun, di balik itu semua, ada keraguan yang mulai merayap di hati Rayani. “Apa semua ini akan bertahan? Apakah Farren akan pergi lagi?”

Menyadari gelombang keraguan yang melanda dirinya, Rayani mengambil nafas dalam-dalam. “Farren, bagaimana rasanya tinggal di kota baru? Apakah kamu sudah menemukan teman baru?” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian dari pikirannya.

Farren mengangguk. “Kota baru memang menarik, banyak hal yang bisa dijelajahi. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan teman-temanku di sini. Bahkan saat bersenang-senang, aku merasa ada yang kurang tanpa kamu di sampingku.”

Rayani merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. “Jadi, kamu juga merindukanku?” tanya Rayani, suaranya penuh harap.

“Lebih dari yang kamu tahu, Rayani. Kamu adalah bagian dari hidupku yang tidak bisa aku abaikan,” jawab Farren tegas. Dia menggenggam tangan Rayani, menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka.

Saat mereka menikmati kopi dan kue, obrolan mereka terus mengalir. Namun, Rayani tidak bisa menghilangkan rasa khawatirnya. Setiap kali mereka tertawa, bayangan kepergian Farren kembali menghantuinya. “Apakah kita akan terus seperti ini?” pikirnya dalam hati.

Tak lama kemudian, Farren memandang ke arah laut, seolah melihat sesuatu yang jauh. “Rayani, aku ingin berjanji. Apapun yang terjadi, aku akan selalu berusaha untuk ada di sampingmu. Meskipun aku harus pergi lagi, hatiku akan tetap bersamamu.”

Mendengar itu, air mata Rayani hampir tumpah. Dia ingin percaya, namun keraguan masih menggelayuti pikirannya. “Tapi bagaimana jika kamu tidak bisa menepati janji itu? Bagaimana jika kita terpisah lagi?”

Farren memutar kursinya menghadap Rayani. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kita bisa menjadwalkan waktu untuk saling bertemu. Aku akan berusaha keras untuk selalu ada, Rayani. Kamu tidak sendirian.”

Rayani mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Baiklah. Aku akan percaya padamu. Kita akan menjaga ikatan ini, apa pun yang terjadi.”

Saat hari semakin larut, mereka meninggalkan kafe dengan senyum di wajah. Namun, di dalam hati Rayani, ada pergulatan antara harapan dan ketakutan yang terus berlanjut. Mungkin, hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Dengan gelombang ombak yang menggulung pelan di belakang mereka, Rayani dan Farren melanjutkan perjalanan, berpegang pada janji dan harapan yang tersimpan dalam hati masing-masing. Di tengah kerinduan yang terus berlanjut, mereka mulai menulis bab baru dalam cerita mereka, berharap agar kali ini tidak ada yang bisa memisahkan mereka.

 

Melodi Kerinduan

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Rayani serta Farren mulai membangun kembali kedekatan mereka. Setiap akhir pekan, mereka bertemu di pantai, menghabiskan waktu bersama, dan berbagi cerita. Namun, di balik senyuman dan tawa yang terukir di wajah mereka, ada kerinduan yang terus membayangi setiap momen.

Suatu sore, mereka memutuskan untuk menjelajahi sebuah pulau kecil yang terletak tidak jauh dari pantai. Pulau itu dikelilingi pohon kelapa dan pasir putih, tempat yang sempurna untuk melupakan sejenak segala kesedihan. Saat mereka tiba, Farren segera mengambil alih, mengajak Rayani menjelajahi setiap sudut pulau.

“Lihat, ada tempat yang cocok untuk kita beristirahat!” seru Farren, menunjuk ke sebuah batu besar yang menghadap ke laut. Mereka duduk di atas batu, menikmati pemandangan yang indah dan suasana yang tenang.

“Tempat ini indah sekali,” ucap Rayani, merasakan angin laut menyapu wajahnya. “Aku suka berada di sini bersamamu. Rasanya seperti kita berada di dunia sendiri.”

Farren mengangguk, menatap jauh ke arah horizon. “Aku juga. Ini seperti surga kecil. Aku ingin kita selalu memiliki tempat ini sebagai kenangan,” ujarnya, namun ada kerisauan di matanya yang tidak bisa Rayani abaikan.

“Farren, ada apa?” tanya Rayani, merasa ada yang tidak beres. “Kamu terlihat gelisah.”

Farren terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkan. “Sebenarnya, aku tidak ingin menambah bebanmu, tapi… ada kemungkinan aku harus pergi lagi.”

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Rayani. Dia menahan nafas, merasakan jantungnya berdebar hebat. “Apa maksudmu? Ke mana? Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang ingin meluncur.

“Aku mendapatkan tawaran untuk proyek besar di kota baru. Ini kesempatan yang bagus untuk karierku,” Farren menjelaskan, matanya terfokus pada laut, seolah takut melihat reaksi Rayani.

“Tapi… kita baru saja bertemu lagi! Apa kamu benar-benar akan pergi?” suaranya nyaris tidak terdengar, namun rasa sakit itu cukup jelas dalam nada suaranya.

“Rayani, aku ingin sekali tetap di sini. Kamu tahu betapa aku merindukanmu. Tapi, kesempatan seperti ini jarang datang,” jawab Farren, kini menatap Rayani dengan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin kamu merasa terbebani dengan keputusanku. Ini adalah keputusan yang sulit bagiku.”

“Aku mengerti, tetapi… apakah kamu akan lupa padaku?” Rayani menatap dalam-dalam ke mata Farren, mencari jaminan bahwa semua kenangan mereka tidak akan sia-sia.

“Tidak mungkin! Kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku. Meskipun jarak memisahkan kita, hatiku akan selalu bersamamu,” Farren berkata dengan tegas, mencoba meyakinkan Rayani meskipun ia sendiri merasakan keraguan.

Rayani merasa airmatanya mulai mengalir. “Aku tidak ingin merelakanmu lagi, Farren. Rasanya seperti aku baru menemukan kembali dirimu, dan sekarang harus kehilanganmu lagi,” isaknya, menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Farren menggenggam tangan Rayani, memberikan kekuatan di saat hatinya hancur. “Kita bisa membuat janji. Kita bisa berkomunikasi setiap hari. Aku akan kembali secepatnya. Percayalah, aku tidak akan membiarkan kerinduan ini memisahkan kita.”

Rayani menatap tangan mereka yang saling menggenggam. “Kita bisa saling mengingat melalui pesan dan foto. Tapi bagaimana jika aku tidak kuat?” tanyanya, suara penuh harap.

“Aku percaya kamu bisa, Rayani. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Aku berjanji, kita akan tetap terhubung. Dan suatu hari nanti, kita akan duduk di sini lagi, mengingat semua kenangan ini,” ucap Farren dengan keyakinan.

Mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan menghampiri. Gelombang ombak menabrak pantai, seolah mengiringi setiap detak jantung mereka yang saling bergetar. Dalam kerinduan yang membara, mereka tahu bahwa perpisahan bukanlah akhir, tetapi sebuah bab baru dalam cerita mereka.

Saat matahari terbenam, melukis langit dengan nuansa jingga dan ungu, Farren mengeluarkan gitar kecil dari tasnya. “Bolehkah aku menyanyikan sebuah lagu untukmu?” tanyanya, senyum lembut terukir di wajahnya.

Rayani mengangguk, hatinya penuh dengan rasa ingin tahu. Farren mulai bermain, melodi yang lembut dan menyentuh mengalun di antara mereka. Liriknya bercerita tentang cinta dan kerinduan, seolah menggambarkan perasaan mereka saat itu.

“Di bawah bintang-bintang, aku akan merindukanmu, Rayani. Dalam setiap detak jantungku, kamu akan selalu ada,” nyanyi Farren, suaranya menembus malam.

Rayani menutup matanya, membiarkan musik membawa dirinya jauh dari kenyataan. Dalam setiap nada, ia merasakan kehadiran Farren, seperti sebuah janji bahwa cinta mereka tidak akan pudar, tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.

Malam itu, saat bintang-bintang mulai bermunculan di langit, Rayani dan Farren menghabiskan waktu dengan saling berjanji. Mereka berjanji untuk saling menjaga, saling mendukung, dan saling merindukan. Meski jalan mereka tidak pasti, satu hal yang pasti: cinta mereka akan selalu ada, mengalahkan semua rintangan yang mungkin menghadang.

Dengan harapan di hati, mereka kembali ke pantai, berpegang pada keyakinan bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Mereka tahu, meski suara jarak kadang menghilang, melodi kerinduan akan selalu menggema dalam hati mereka.

 

Suara Dalam Hati

Beberapa minggu berlalu sejak Farren pergi. Hari-hari Rayani dipenuhi dengan kerinduan yang menggerogoti jiwanya. Setiap pesan yang diterima dari Farren menjadi sumber semangat sekaligus rasa sakit yang mengingatkannya pada semua kenangan manis yang mereka bagi. Meskipun mereka berkomunikasi setiap hari, rasanya jauh dari cukup. Jarak ini seperti sebuah tembok yang tidak bisa ditembus, membuat hatinya semakin merindukan kehadiran Farren.

Suatu sore, Rayani duduk di teras rumahnya, memandangi laut yang berkilau di bawah sinar matahari. Gelombang ombak yang berdesir menenangkan, tetapi dalam hatinya, hanya ada satu suara yang ia inginkan untuk didengar. Suara Farren. Ia memejamkan mata, membayangkan senyum hangatnya dan melodi yang selalu mengisi ruang kosong dalam hidupnya. Kenangan itu begitu hidup, seolah Farren ada di sampingnya, menyanyikan lagu-lagu yang mereka ciptakan bersama.

“Rayani!” suara yang familiar tiba-tiba memecah lamunannya. Jantungnya berdegup kencang saat ia membuka mata dan melihat Farren berdiri di depan pintu gerbang. Tubuhnya kurus, dengan tas ransel tergantung di bahunya, tetapi senyum di wajahnya membuat Rayani tak bisa menahan diri. Dia melompat dari tempat duduknya, berlari menuju Farren yang kini telah kembali.

“Farren!” serunya, suara penuh kegembiraan dan haru. Mereka saling berpelukan erat, seolah tidak ingin terpisah lagi. “Kamu kembali! Kenapa kamu tidak memberi tahu aku sebelumnya?”

“Karena aku ingin memberikan kejutan. Aku merasa tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” jawab Farren, masih memeluknya. “Aku merindukanmu lebih dari kata-kata bisa ungkapkan.”

Setelah berpisah sebulan, Farren kembali dan semua kerinduan yang terpendam seakan mengalir deras dalam setiap detak jantung mereka. “Aku punya banyak cerita untuk kamu. Proyek itu berjalan lancar, tapi tidak ada yang sebanding dengan pengalaman di sini, bersamamu,” Farren menambahkan dengan tulus.

Rayani tersenyum, merasakan kehangatan yang kembali memenuhi hatinya. “Apa kamu tahu betapa sulitnya menunggu? Setiap hari terasa seperti seabad. Tapi setiap pesan dari kamu memberiku harapan.”

Farren mengangguk, menatap Rayani dengan serius. “Aku tahu, dan aku berjanji tidak akan membiarkan jarak itu memisahkan kita lagi. Aku telah memikirkan banyak hal selama di sana, dan satu hal yang pasti, kamu adalah bagian dari masa depanku.”

Kedua remaja itu duduk di tepi pantai, membiarkan pasir menempel di kaki mereka, menikmati suara ombak yang menenangkan. Farren mulai menggenggam tangan Rayani, merasakan kehangatan dan cinta yang mengalir di antara mereka.

“Rayani, ada satu hal yang ingin aku lakukan sekarang,” kata Farren, mengeluarkan gitar kecilnya dari tas. “Aku ingin menyanyikan lagu untukmu. Ini lagu yang aku buat selama di sana, untuk mengungkapkan kerinduanku.”

Rayani mengangguk penuh harap. Farren mulai memainkan melodi, suaranya lembut dan penuh perasaan. “Di bawah sinar bulan, aku menghitung hari, setiap detak jantungku menyebut namamu, Rayani. Dalam kerinduan ini, hatiku berdoa, agar kita tidak terpisah lagi,” nyanyinya, dan Rayani merasa air mata hangat mengalir di pipinya.

“Farren, lagu itu indah,” ucap Rayani, berusaha menahan tangis. “Kamu tahu, saat kamu pergi, aku merasa kehilangan bagian dari diriku.”

Farren menghentikan permainan gitar dan menatap Rayani. “Aku akan selalu di sini, di hatimu. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah, cinta kita adalah yang terkuat. Kita telah membuktikannya, bukan?”

“Ya, kita sudah melalui banyak hal,” Rayani menjawab, berusaha menahan senyumnya. “Dan aku yakin, kita bisa mengatasi apapun bersama.”

Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Dengan tangan yang saling menggenggam, mereka berdua menghabiskan waktu bercerita tentang pengalaman selama perpisahan. Mereka tertawa, saling menggoda, dan merencanakan masa depan yang mereka impikan.

“Mungkin suatu saat kita bisa menjelajahi dunia bersama,” Farren berkata dengan penuh semangat. “Aku ingin menunjukkan semua tempat indah yang aku temui.”

“Aku ingin sekali! Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati setiap detik bersamamu,” Rayani menjawab, mengerutkan dahi dengan senyum bahagia.

Mereka melanjutkan percakapan hingga larut malam, berbagi harapan dan impian, menghapus semua rasa rindu yang sempat menyelubungi. Rayani tahu bahwa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Farren ada di sampingnya, dan mereka memiliki ikatan yang tak terpisahkan.

Akhirnya, saat mereka terdiam, menatap bintang-bintang, Rayani merasa penuh dengan harapan. Cinta mereka adalah melodi yang tidak pernah berhenti bergema, bahkan dalam kerinduan yang paling dalam sekalipun. Di antara gelombang yang berdebur, mereka berjanji untuk selalu saling mendengarkan, tidak hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati.

Dengan setiap detak jantung dan setiap melodi yang mereka ciptakan, mereka tahu bahwa tidak peduli apa yang terjadi, cinta mereka akan selalu ada—seperti bintang yang bersinar di malam yang gelap, selalu mengingatkan mereka bahwa mereka tidak pernah sendiri.

 

Jadi, saat kerinduan menggigit dan jarak membuatmu merasa sendirian, ingatlah bahwa cinta sejati tidak mengenal batas. Rayani dan Farren adalah bukti bahwa meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, hati yang saling terhubung akan selalu menemukan cara untuk bersatu.

Ketika kamu mendengar suara hatimu, ingatlah untuk selalu mengikuti dan mempercayainya. Siapa tahu, cinta yang kamu cari mungkin hanya sejauh jangkauanmu. Sampai jumpa dicerita yang kalah nggak kalah bagus, oke!

Leave a Reply