Daftar Isi
Hai, pernah nggak sih kamu ngerasain kehilangan yang bikin hati kamu copot? Nah, ini dia cerita tentang Billa, si anak malang yang harus berjuang ngadepin hidup setelah ibunya pergi. Mungkin hidupnya penuh duka, tapi percayalah, ada harapan di balik semua itu. Yuk, kita ikutin perjalanan Billa yang penuh rasa dan makna ini!
Si Anak Malang
Hujan di Atas Rumah Tua
Langit sore itu mulai kelabu, awan hitam menggulung seperti gelombang besar yang siap menumpahkan isinya. Di ujung desa kecil yang sepi, sebuah rumah tua berdiri terpencil, dengan atapnya yang mulai lapuk dan dinding yang berderit tertiup angin. Di dalamnya, suasana tak kalah suram.
Di atas ranjang kayu reyot yang berada di sudut ruangan, seorang wanita kurus, Delila, terbaring lemah. Wajahnya pucat, matanya sedikit terpejam, namun napasnya terdengar berat, seperti ada beban yang tak terlihat menghimpit dada. Di sisi ranjang, Billa, gadis kecil berusia delapan tahun, duduk sambil menggenggam tangan ibunya yang dingin. Tangannya sendiri sudah kotor karena habis bekerja, tapi dia tak peduli. Ada hal yang lebih penting dari sekadar kebersihan tubuhnya—ibunya.
“Ibu, aku sudah masak bubur. Ibu harus makan sedikit biar nggak makin lemah,” kata Billa pelan, dengan suara yang bergetar. Dia tahu ibunya tidak akan makan banyak, tapi dia tetap berharap.
Delila membuka matanya perlahan, matanya yang dulu bersinar cerah kini tampak lelah. “Terima kasih, Billa… kamu sudah melakukan banyak hal,” jawabnya dengan suara parau. Billa tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ada rasa khawatir yang semakin besar.
Sambil mengambil mangkuk bubur hangat dari meja kecil di sebelah ranjang, Billa menyiapkan sendok untuk menyuapi ibunya. Saat bubur pertama mendekat ke bibir Delila, wanita itu berusaha menelan, tapi hanya sedikit yang masuk. Bubur itu terasa hambar, tidak hanya karena bumbunya seadanya, tapi juga karena tubuhnya terlalu lemah untuk menikmati makanan.
“Ibu, coba sedikit lagi, ya?” Billa memohon dengan nada yang halus.
Delila hanya mengangguk pelan. Dia tahu putrinya sangat berusaha. Setiap hari Billa pulang dengan keringat membasahi tubuhnya, bekerja di sawah orang lain demi sedikit uang. Namun, tubuh Delila semakin lama semakin tak mampu. Billa tahu itu, tapi dia berusaha mengesampingkan perasaan cemas yang menggerogoti hatinya.
Di luar, hujan mulai turun. Butiran air menimpa genting tua yang sudah bocor di beberapa tempat. Billa segera bangkit, mengambil ember dari sudut ruangan dan menempatkannya di bawah tetesan air yang mulai masuk ke dalam rumah.
“Setiap hujan datang, bocornya makin parah aja,” gumam Billa, lebih kepada dirinya sendiri. Dia menarik napas panjang dan menatap atap yang tak mampu melindungi mereka lagi. Dia tahu rumah itu perlahan menyerah, seperti tubuh ibunya. Tapi meski begitu, rumah tua itu adalah satu-satunya tempat yang mereka miliki.
Setelah ember penuh dengan air, Billa kembali ke samping ibunya. “Ibu istirahat aja. Aku akan beresin semuanya.” Billa menepuk tangan ibunya dengan lembut, seolah ingin mengatakan bahwa dia kuat, meskipun sebenarnya dia merasa rapuh.
Angin semakin kencang, jendela kayu di ujung ruangan bergetar keras. Hujan semakin deras, dan suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Billa berdiri, memastikan jendela tertutup rapat. Sejenak dia menatap ke luar, melihat sawah yang basah dan jalanan desa yang sepi. Di bawah hujan seperti ini, tak ada yang akan keluar rumah.
“Billa…” suara lemah ibunya memanggil. Billa segera berbalik dan menghampiri ibunya.
“Iya, Bu? Ada apa?” tanya Billa cemas. Delila tak segera menjawab, dia hanya menatap putrinya dengan mata yang sendu, seolah ingin mengatakan sesuatu yang berat, sesuatu yang penting. Billa duduk di samping ranjang, mendekatkan diri.
“Kamu harus jaga diri, ya… kalau suatu hari nanti ibu nggak ada…” Suara Delila semakin pelan, hampir tenggelam oleh suara hujan di luar.
Billa terdiam. Kata-kata itu langsung menghantam jantungnya, membuat dadanya terasa sesak. Dia berusaha menelan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak, tapi air matanya tak bisa ditahan lagi. “Ibu, jangan ngomong kayak gitu. Ibu pasti sembuh. Aku akan cari obat, aku akan kerja lebih keras, apa aja yang penting ibu sembuh,” jawab Billa, suaranya bergetar penuh harap.
Delila tersenyum tipis, tangannya yang lemah terangkat perlahan, membelai rambut Billa. “Ibu tahu kamu anak yang kuat, Billa… ibu bangga sama kamu.” Lalu Delila menutup matanya lagi, tertidur dalam kesunyian yang hanya dipecahkan oleh suara hujan deras di luar.
Billa duduk di sampingnya, menatap wajah ibunya yang begitu lelah. Di dalam pikirannya, kata-kata ibunya tadi terus bergema. Billa tak bisa membayangkan hidup tanpa ibunya. Ibunya adalah segalanya, satu-satunya yang tersisa di dunia ini. Ayahnya sudah lama pergi, meninggalkan mereka tanpa kabar. Kini, hanya ada Billa dan ibunya, dan kehilangan itu bukanlah sesuatu yang Billa sanggup hadapi.
Malam semakin larut, tapi hujan tak kunjung reda. Billa menyelesaikan tugasnya membereskan ember-ember yang penuh air hujan, lalu dia duduk di lantai yang dingin di samping ranjang ibunya. Matanya lelah, tapi pikirannya tak bisa berhenti memikirkan cara untuk membuat ibunya sembuh. “Besok aku harus cari uang lebih banyak. Aku harus beli obat yang lebih manjur,” gumamnya sambil memeluk lututnya.
Pikiran itu membuatnya bangkit dan meraih kantong kecil di dekat pintu, tempat dia menyimpan beberapa uang hasil kerja di sawah. Isinya sangat sedikit. Hanya ada cukup untuk membeli sedikit beras dan obat murah yang selalu dijual di warung desa. Itu pun sering tak cukup kuat untuk menyembuhkan ibunya.
“Aku harus bisa cari jalan lain,” pikir Billa, matanya mengarah ke jendela yang mulai buram oleh tetesan air. Ia sadar, hidup seperti ini tak bisa terus-menerus ia jalani tanpa perubahan. Namun, meskipun kesulitan itu datang bertubi-tubi, hatinya tetap penuh dengan harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, semuanya akan lebih baik, dan mereka berdua bisa hidup dengan lebih tenang.
Tapi untuk saat ini, yang bisa dilakukan Billa hanyalah menunggu, berharap hujan akan berhenti, dan ibunya bisa bertahan sedikit lebih lama.
Dengan pikiran itu, Billa duduk diam di sudut ruangan, memandangi ibunya yang tertidur. Tangannya menggenggam erat ujung baju yang sudah lusuh, merasakan kedinginan yang semakin meresap, bukan hanya ke tubuhnya, tapi juga ke dalam hatinya.
Bab ini berakhir di tengah kebisuan yang membawa rasa cemas, sementara kehidupan Billa masih berada di ujung tanduk, tanpa ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Doa di Tengah Malam
Malam itu begitu sunyi, bahkan suara jangkrik pun tenggelam dalam derasnya hujan yang masih turun tak henti-henti. Billa duduk di sudut ruangan, menatap ibunya yang tertidur dengan napas yang semakin pelan dan tersendat-sendat. Cahaya dari lampu minyak di pojok ruangan menari-nari lembut, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya malam. Meski lelah, Billa tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus berputar, mencari cara untuk mengatasi semuanya.
Waktu terasa berjalan lambat. Setiap detik yang berlalu seperti membawa Billa lebih dekat pada sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang tak pernah ingin ia bayangkan. Tubuhnya terasa lemah, tapi hatinya tetap bersikeras. Dia belum siap untuk menyerah, bukan sekarang, bukan ketika masih ada harapan sekecil apa pun.
“Aku harus keluar besok pagi-pagi sekali,” gumamnya pada dirinya sendiri. Pikirannya kembali pada rencana mencari lebih banyak uang untuk obat. Mungkin dia bisa mencoba bekerja di ladang yang lebih besar di desa seberang, meski jaraknya jauh dan medannya berat. Namun, Billa siap melakukannya. Apa pun yang bisa membuat ibunya bertahan lebih lama.
Tiba-tiba, suara batuk keras memecah kesunyian. Billa segera berdiri, menghampiri ibunya. Delila terbatuk-batuk dengan napas terengah-engah, wajahnya berkerut menahan sakit yang tak bisa disembunyikan. Billa panik, tangannya gemetar saat mengambil air di gelas dekat ranjang.
“Ibu, pelan-pelan minum, ya,” katanya lembut sambil mendekatkan gelas ke bibir ibunya. Namun, Delila terlalu lemah bahkan untuk menelan seteguk air. Batuknya berhenti, tapi napasnya semakin pelan. Wajahnya pucat, dan matanya setengah terbuka, menatap Billa dengan tatapan kosong yang penuh kelelahan.
Melihat kondisi ibunya yang semakin buruk, air mata Billa mulai menetes. Tapi dia tak ingin menangis. Tidak sekarang. Dia harus kuat untuk ibunya. Dengan tangan yang gemetar, Billa meletakkan gelas itu kembali dan duduk di lantai, menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin.
“Ibu, aku di sini. Aku nggak akan pergi ke mana-mana,” bisik Billa, menahan suaranya yang bergetar. Meski hatinya diliputi ketakutan, ia tetap berusaha menenangkan ibunya. Dia mengusap lembut tangan Delila, berharap sentuhannya bisa memberikan sedikit kehangatan dan kekuatan.
Hujan masih mengguyur deras di luar, tapi di dalam ruangan itu, suasana terasa sepi dan berat. Di tengah keheningan, Billa mulai berdoa dalam hatinya. Doa yang tak terucapkan, tapi begitu kuat. Dia meminta keajaiban, meski tahu bahwa keajaiban jarang datang pada orang-orang seperti dirinya. Tapi dia tetap berharap, meski sekecil apa pun.
“Ya Tuhan, tolong jangan ambil ibu sekarang,” batin Billa. “Aku belum siap. Aku belum bisa hidup sendiri.”
Waktu terus berjalan, dan Billa hanya bisa menunggu, memandangi wajah ibunya yang semakin pucat. Delila kembali terlelap dalam tidur yang tidak tenang. Napasnya naik turun perlahan, sementara di luar, angin bertiup semakin kencang, membuat suara-suara menakutkan di atap rumah yang mulai rapuh.
Tengah malam datang dengan kesunyian yang lebih dalam. Hujan masih turun, meski tak sederas tadi. Billa, yang duduk di samping ranjang ibunya, mulai merasa kepalanya berat. Mata kecilnya perlahan menutup, meski hatinya masih bergulat dengan rasa takut dan cemas.
Namun, hanya beberapa saat setelah matanya terpejam, suara ketukan keras di pintu depan membangunkannya. Billa tersentak dan berdiri, matanya terbelalak menatap pintu. Siapa yang datang di tengah malam seperti ini, di tengah hujan deras pula? Dia ragu sejenak, tapi kemudian memberanikan diri berjalan ke arah pintu.
Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras kali ini. Jantung Billa berdetak kencang, tapi dia menepis rasa takutnya. Dengan tangan gemetar, dia membuka pintu, dan sosok tinggi dengan mantel hitam basah oleh hujan berdiri di ambang pintu.
“Pak Darsa?” Billa terkejut melihat sosok pria tua itu di sana. Dia adalah tetangga mereka yang tinggal beberapa rumah di ujung jalan. Pria itu dikenal ramah dan sering membantu orang-orang di desa yang membutuhkan.
“Maaf, Billa… aku dengar dari warga lain kalau ibumu makin sakit. Aku datang untuk lihat apakah kalian butuh bantuan,” suara Pak Darsa terdengar lembut, meski sedikit terengah karena baru saja berjalan menembus hujan.
Billa mengangguk pelan, air mata yang sempat ia tahan mulai mengalir lagi. “Ibu… ibu nggak baik-baik aja, Pak. Aku nggak tahu harus gimana.”
Pak Darsa menatap gadis kecil itu dengan penuh iba. Dia masuk ke dalam rumah tanpa banyak bicara, langsung menuju ranjang di mana Delila terbaring. Dia memeriksa denyut nadinya sebentar, lalu menoleh pada Billa.
“Billa, besok pagi kita harus panggil tabib. Ibumu butuh pertolongan yang lebih dari sekedar obat warung. Ini sudah gawat,” kata Pak Darsa dengan nada serius, tapi tetap tenang.
Billa mengangguk cepat, meski hatinya merasa makin berat. “Tapi aku… aku nggak punya cukup uang, Pak. Aku sudah kerja keras, tapi uangnya cuma cukup buat makan sama beli obat biasa.”
Pak Darsa menepuk pundak Billa dengan lembut. “Jangan khawatir soal uang, Billa. Aku akan bantu. Ibumu perlu ditolong sekarang.”
Mendengar kata-kata itu, Billa merasa sedikit lega. Meski masih ada kekhawatiran yang besar di hatinya, setidaknya ada seseorang yang bisa ia andalkan saat ini. Pak Darsa, meski tidak kaya, adalah orang yang selalu siap membantu siapa pun yang membutuhkan.
“Biar aku yang jaga ibumu malam ini,” lanjut Pak Darsa. “Kamu tidur sebentar, Billa. Kamu pasti lelah.”
Billa ragu. “Tapi… aku nggak mau ninggalin ibu, Pak. Aku takut…”
Pak Darsa tersenyum tipis. “Aku mengerti. Tapi kamu juga butuh istirahat. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawat ibumu nanti? Percayalah, aku akan menjaga ibumu sebaik mungkin.”
Meski berat, Billa akhirnya menurut. Tubuhnya sudah terlalu lelah untuk terus berjaga. Dengan langkah pelan, dia berjalan menuju sudut ruangan, berbaring di lantai dingin yang biasa menjadi tempat tidurnya. Pak Darsa masih berdiri di dekat ranjang, mengawasi Delila dengan tatapan khawatir.
Malam itu terasa panjang, tapi Billa akhirnya terlelap dalam kesunyian yang mencekam. Di benaknya, doa-doa terus terucap, berharap keajaiban akan datang sebelum semuanya terlambat.
Sementara itu, di luar, hujan masih turun, menyelimuti rumah tua itu dengan suara yang seakan meratap.
Keajaiban yang Terlambat
Pagi datang dengan keheningan yang ganjil. Hujan telah berhenti, meninggalkan jejak embun di daun-daun dan tanah yang basah. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, namun cahayanya sudah mulai menembus celah-celah jendela rumah kecil itu. Billa, yang tertidur di lantai, perlahan membuka matanya. Dia butuh beberapa saat untuk mengingat di mana dia berada, sebelum teringat akan ibunya.
Dengan jantung berdebar, Billa langsung bangkit. Kepalanya sedikit pusing akibat kelelahan dan kurang tidur, tapi rasa khawatir mengalahkan rasa lelah itu. Pandangannya segera tertuju pada Pak Darsa yang masih duduk di sebelah ranjang ibunya, wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap terjaga.
“Pak, gimana kondisi ibu?” tanya Billa dengan nada penuh harap, meski suaranya sedikit serak.
Pak Darsa menoleh padanya, memberikan senyuman tipis yang penuh makna. “Dia masih bertahan, Billa. Tapi kita harus segera panggil tabib hari ini.”
Billa mengangguk cepat. Tanpa berkata banyak, dia meraih syal lusuh yang tergantung di sudut ruangan dan bersiap untuk keluar. Meski kantongnya nyaris kosong, ia berharap masih ada cara untuk mendapatkan pertolongan. Pikiran itu membuat langkahnya terasa berat, tapi hatinya memaksa kakinya untuk terus bergerak.
Saat hendak melangkah keluar, suara batuk pelan terdengar dari arah ranjang. Delila, yang selama ini tak sadarkan diri, kini mulai membuka matanya perlahan. Napasnya masih tersengal, namun matanya memandang Billa dengan sedikit lebih sadar. Billa menghentikan langkahnya, lalu bergegas mendekat.
“Ibu?” suara Billa nyaris tak keluar dari tenggorokannya.
Delila tersenyum tipis, walau tampak begitu lemah. “Billa…” suaranya serak, hampir tak terdengar. “Kamu… baik-baik aja?”
Billa tersenyum meski hatinya penuh kecemasan. “Aku baik, Bu. Aku baik. Ibu gimana?”
Delila tak segera menjawab, hanya menarik napas panjang yang terdengar berat. Dia menatap anak gadisnya dengan tatapan yang penuh cinta, namun di dalamnya ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. “Ibu… minta maaf. Ibu nggak bisa lebih lama lagi…”
“Ibu jangan ngomong gitu!” Billa cepat-cepat memotong kata-kata ibunya. Air matanya sudah mengalir tanpa bisa ia kendalikan lagi. “Ibu pasti sembuh. Aku mau ke desa buat panggil tabib, ibu tunggu ya! Aku janji ibu nggak akan pergi.”
Delila hanya tersenyum samar, tangan lemah itu berusaha menggapai wajah Billa. “Ibu udah… udah cukup lama bertahan. Tapi, nak… kamu harus siap.”
Billa menggenggam tangan ibunya erat, air matanya jatuh di kulit ibunya yang kering dan dingin. “Ibu, jangan bilang gitu. Aku nggak mau dengar.”
Namun, Delila tetap menatap anaknya dengan kasih sayang yang begitu dalam. “Kamu harus kuat, Billa. Nggak ada yang bisa menahan takdir… Tapi ingat, ibu selalu sayang kamu. Dari dulu, sekarang, sampai nanti. Ibu akan selalu ada di sini,” ucap Delila, tangannya pelan-pelan turun ke dada Billa, menyentuh jantungnya dengan lembut.
Billa terisak, memeluk tangan ibunya erat. Dia tak ingin melepas. “Aku nggak mau kehilangan ibu, aku masih butuh ibu…”
Pak Darsa yang berdiri di sudut, hanya bisa menunduk, menahan isakannya sendiri. Dia tahu kata-kata itu datang dari hati seorang ibu yang telah melihat lebih banyak dari anaknya, dan yang merasakan ajalnya semakin dekat.
Delila menarik napas panjang lagi, napas yang terdengar seperti usaha terakhirnya untuk bertahan. “Billa… kamu… kuat. Lebih kuat dari yang kamu kira.”
Setelah kata-kata itu, Delila terdiam. Matanya menutup perlahan, napasnya menjadi lebih pelan, hampir tak terdengar. Tubuhnya yang kecil terlihat begitu rapuh di atas ranjang itu.
Billa merasakan jantungnya berdebar kencang, panik. “Ibu? Ibu, jangan tidur! Ibu, bangun, tolong…” tangannya mengguncang tubuh ibunya, berharap ada respon. Tapi Delila tetap diam, terlalu diam.
“Ibu!” jerit Billa. Tangisannya pecah, menyelimuti ruangan kecil itu dengan suara kepedihan yang tak tertahan. Pak Darsa melangkah mendekat, menempatkan tangan di pundak Billa dengan lembut.
“Billa…” suara Pak Darsa lirih, namun penuh pengertian. “Ibumu sudah tenang sekarang.”
Billa menggelengkan kepalanya keras-keras. “Nggak! Ibu nggak bisa pergi… Aku… aku belum siap. Aku belum siap!” dia terisak, tubuhnya terasa lemas. Dia terjatuh di samping ranjang, menangis tanpa suara.
Pak Darsa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum ia menenangkan Billa. “Kadang kita nggak pernah benar-benar siap untuk kehilangan orang yang kita sayangi, Billa. Tapi ibumu tahu… dia tahu kamu bisa melewati ini.”
Billa tak menjawab. Air matanya terus mengalir deras, membasahi lantai di samping tempat tidur ibunya. Tangannya masih menggenggam erat tangan Delila yang kini sudah dingin, berharap keajaiban yang selalu ia doakan datang, meski hanya untuk satu detik lagi.
Namun, di dalam hati kecilnya, Billa tahu. Keajaiban itu tak datang, dan mungkin tak akan pernah datang. Ibunya telah pergi, meninggalkannya di dunia yang terasa jauh lebih sunyi dan kosong sekarang. Meski begitu, Billa tahu bahwa dia harus kuat. Untuk ibunya, untuk dirinya sendiri.
Matahari pagi perlahan merayap lebih tinggi, namun cahaya yang masuk ke dalam rumah itu terasa begitu dingin dan asing. Ruangan kecil itu kini seakan kehilangan semua kehidupannya, hanya meninggalkan keheningan yang menyayat.
Pak Darsa tetap berada di samping Billa, menunggu sampai gadis itu siap untuk berdiri. “Kita akan urus semuanya, Billa. Kamu nggak sendirian.”
Billa mengangguk lemah, meski hatinya terasa begitu hampa. Dia ingin marah, ingin berteriak pada dunia, tapi tak ada tenaga tersisa dalam dirinya. Yang ada hanyalah kesedihan yang begitu dalam, seperti lautan tanpa dasar.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Billa merasa benar-benar sendirian.
Pelajaran dari Kesedihan
Hari-hari berlalu dengan lambat, seolah waktu berusaha mengingatkan Billa akan rasa sakit yang tak kunjung sirna. Kehidupan di desa kecil itu terus berjalan, namun bagi Billa, segalanya terasa hampa. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada ibunya—tawa hangat yang dulu memenuhi ruangan, aroma masakan yang kini hanya menyisakan kenangan pahit.
Setelah hari pemakaman, Pak Darsa berusaha membantu Billa beradaptasi dengan kehidupan barunya tanpa Delila. Dia membawanya ke ladang untuk mengalihkan perhatian Billa dari kesedihan. Namun, kerja keras di ladang tak mampu mengusir bayang-bayang ibunya yang selalu menghantui pikirannya.
Satu sore, ketika Billa duduk sendiri di tepi sungai, mengenang semua kenangan indah yang pernah ia bagi dengan ibunya, suara riak air mengingatkannya pada ketenangan yang pernah ia rasakan. Ia menghirup udara segar yang sejuk, mencoba menenangkan hatinya yang terluka. Namun, rasa sakit itu tetap ada, seperti luka yang tak kunjung sembuh.
“Billa,” panggil Pak Darsa, menghampirinya dengan wajah penuh perhatian. “Kamu mau ikut ke ladang? Kita bisa menanam benih baru.”
Billa menggelengkan kepala, menunduk menatap air sungai. “Nggak, Pak. Aku lebih suka di sini.”
Pak Darsa duduk di sampingnya, memandang ke arah sungai yang berkilau oleh cahaya senja. “Terkadang, kita perlu merelakan yang telah pergi. Ibumu pasti ingin kamu bahagia, meskipun dia sudah tiada.”
Billa menghela napas panjang, hatinya teriris. “Tapi aku masih merasa kehilangan, Pak. Seolah ada yang hilang dari diriku. Ibu selalu ada untukku, dan sekarang… aku merasa sendirian.”
“Billa, kamu harus ingat bahwa orang yang kita cintai akan selalu hidup dalam kenangan kita. Mereka tak benar-benar pergi jika kita masih mengingatnya. Setiap kali kamu tertawa, setiap kali kamu bahagia, itu adalah cara untuk menghormati mereka,” kata Pak Darsa dengan bijaksana.
“Bagaimana kalau aku nggak bisa bahagia lagi?” Billa mengeluarkan pertanyaan yang membuat hatinya bergetar.
“Percayalah, Billa. Waktu akan menyembuhkan luka. Cobalah untuk menemukan hal-hal kecil yang bisa membuatmu tersenyum. Kamu masih punya banyak hal yang bisa dilakukan. Ibumu ingin melihat kamu tumbuh dan kuat.”
Billa menatap wajah Pak Darsa, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan. Perlahan, dia merasa ada harapan di balik kesedihan yang menyelimutinya. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa hidup harus terus berjalan meskipun kehilangan terasa menyakitkan.
Malam tiba dengan suasana tenang. Billa mengambil keputusan untuk mengingat ibunya dengan cara yang berbeda. Dia mulai menulis. Mengumpulkan semua kenangan indah bersama Delila, lalu menuangkannya ke dalam sebuah buku kecil. Setiap malam, dia mencurahkan pikirannya tentang ibunya—senyum, tawa, dan semua momen berharga yang telah mereka lewati.
Hari demi hari, tulisannya menjadi semakin banyak. Di dalam catatan itu, Billa menuliskan harapan dan impiannya, berjanji pada dirinya sendiri untuk meneruskan semua yang telah diajarkan ibunya. Dia ingin menjadi pribadi yang lebih baik, menghargai setiap momen yang ada.
Suatu sore, ketika Billa sedang menulis di tepi sungai, Pak Darsa datang membawakan sepiring buah segar. “Ini untukmu, Billa. Kamu perlu menjaga kesehatan.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Billa dengan senyuman tulus. “Aku baru saja menulis tentang Ibu.”
“Bagus sekali. Menulis bisa menjadi cara yang baik untuk melepaskan perasaan. Apa yang kamu tulis?” tanya Pak Darsa, menatap penasaran.
“Semua kenangan indah dan apa yang Ibu ajarkan padaku. Aku ingin terus mengenangnya, Pak. Aku ingin jadi kuat seperti yang dia inginkan.”
Pak Darsa tersenyum bangga. “Itu adalah cara yang tepat, Billa. Ibumu pasti akan bangga padamu. Dia selalu mencintaimu.”
Hari-hari selanjutnya, Billa terus menulis, berbagi cerita dan kenangan dengan Pak Darsa, yang selalu siap mendengarkan. Dari setiap kata yang ditulis, Billa merasakan ada sedikit kebangkitan dalam jiwanya. Dia mulai menyadari bahwa meski ibunya telah pergi, cinta dan pelajaran yang diberikan tetap hidup di dalam dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Billa mulai berani bermimpi lagi. Dia ingin melanjutkan sekolahnya, belajar lebih banyak tentang kehidupan, dan suatu hari nanti, menjadi seperti ibunya—seseorang yang kuat, penuh kasih sayang, dan tak kenal lelah.
“Billa,” suara Pak Darsa memecah lamunan. “Kalau kamu mau, kita bisa mencari cara untuk mengumpulkan dana agar kamu bisa melanjutkan sekolah. Ibumu pasti ingin melihatmu sukses.”
Mata Billa berbinar mendengar tawaran itu. “Benarkah, Pak? Aku ingin sekali!”
“Ya, kita akan bekerja sama untuk mewujudkan mimpi itu. Ingat, kamu tidak sendirian. Kita semua ada di sini untuk mendukungmu,” jawab Pak Darsa.
Di saat itu, Billa merasa ada secercah harapan baru dalam hidupnya. Dia tidak lagi terjebak dalam kesedihan, tetapi mulai menatap masa depan dengan keyakinan. Dalam hati, Billa tahu, ibunya akan selalu bersamanya—dalam setiap langkah, dalam setiap harapan, dan dalam setiap mimpinya.
Dengan tekad yang baru, Billa melangkah maju, berjanji untuk menjalani hidup yang penuh arti dan merayakan cinta yang telah diberikan ibunya. Dan di sinilah, perjalanan baru dimulai.
Jadi, perjalanan Billa belum berakhir, guys. Meskipun hidupnya penuh tantangan dan kesedihan, dia terus melangkah dengan harapan baru. Kadang, kita perlu merasakan sakit untuk bisa menemukan kekuatan dalam diri sendiri.
Semoga cerita ini bikin kamu sadar, bahwa di balik setiap kesedihan, selalu ada pelajaran berharga dan harapan yang menanti. Teruslah bermimpi, dan jangan pernah takut untuk bangkit, karena setiap langkah kecil bisa membawa kita menuju kebahagiaan yang lebih besar!