Bijak Bersosmed: Petualangan Moiz Menjadi Influencer Positif di Kalangan Teman-Temannya

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Petualangan Moiz, seorang anak SMA yang gaul dan aktif, dalam memperjuangkan penggunaan media sosial yang bijak.

Dalam cerita ini, Moiz dan sahabat-sahabatnya tidak hanya berbagi momen menyenangkan, tetapi juga menghadapi tantangan dan skeptisisme dari teman-teman mereka. Namun, berkat semangat dan kerja sama, mereka berhasil membangun kampanye. Hari yang menginspirasi banyak orang! Yuk, kita ikuti perjalanan mereka dan pelajari bagaimana mengubah penggunaan media sosial menjadi hal yang lebih bermakna dan positif!

 

Petualangan Moiz Menjadi Influencer Positif di Kalangan Teman-Temannya

Moiz dan Dunia Digital: Awal Perjalanan Sosial Media

Hari itu terasa cerah saat Moiz, seorang remaja berusia 16 tahun, melangkah keluar dari rumah. Dengan celana jeans yang sedikit robek di bagian lutut dan kaos putih bertuliskan slogan “Live Life, Love Life”, ia memancarkan semangat yang penuh warna. Di tangannya, ia menggenggam ponsel pintar teman setia yang selalu bersamanya. Moiz dikenal di sekolahnya sebagai anak yang gaul, aktif, dan, yang paling penting, selalu up to date dengan tren terbaru, terutama di dunia media sosial.

Ketika ia memasuki sekolah, suara tawa dan obrolan teman-teman mengisi udara. “Moiz, cek Instagram, foto kita dari kemarin sudah diunggah!” teriak Aidan, sahabatnya yang selalu bersemangat. Moiz tersenyum lebar. Keceriaan temannya membuatnya bersemangat untuk melihat momen-momen yang telah mereka abadikan.

Di ruang kelas, semua orang memegang ponsel mereka. Moiz tidak terkecuali. Saat ia membuka aplikasinya, jari-jarinya bergerak cepat men-scroll timeline. Foto-foto teman, meme lucu, dan video viral bertebaran di depan matanya. Dia terpesona oleh dunia digital yang penuh warna ini. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Moiz mulai merasakan tekanan. Tekanan untuk terlihat sempurna, untuk mendapatkan likes, dan untuk selalu menjadi yang terdepan dalam tren.

Suatu sore, saat berkumpul di warung kopi bersama teman-temannya, Aidan memulai diskusi. “Eh, kalian lihat influencer baru itu? Hidupnya kayak di film! Banyak banget followers-nya!” Aidan menunjukkan akun influencer yang sedang populer. Moiz hanya mengangguk, namun hatinya merasa sedikit berat. Dia mengingat bagaimana ia pernah merasa tidak cukup baik ketika foto-fotonya tidak mendapatkan perhatian yang sama. “Apa semua ini hanya tentang tampil menarik di media sosial?” pikirnya dalam hati.

Keesokan harinya, Moiz mendapatkan tugas dari gurunya untuk membuat presentasi tentang pengaruh media sosial. Tugas itu seolah menjadi panggilan untuknya. “Ini saatnya,” pikir Moiz. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang harus disampaikan. Dengan tekad, ia mulai mencari informasi tentang bagaimana media sosial bisa menjadi alat yang positif, bukan hanya sekadar untuk menunjukkan kehidupan glamor.

Satu minggu berlalu, dan Moiz menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca artikel dan menonton video tentang penggunaan media sosial yang bijak. Dia menemukan berbagai kisah inspiratif dari orang-orang yang menggunakan platform mereka untuk menyebarkan kebaikan dan menginspirasi orang lain.

Saat presentasi tiba, Moiz berdiri di depan kelas dengan rasa percaya diri. “Teman-teman, media sosial adalah alat yang luar biasa. Kita bisa berbagi pengalaman, belajar dari satu sama lain, dan bahkan membuat perubahan,” katanya, suaranya bergetar tapi penuh semangat. Ia menceritakan tentang influencer yang menggunakan platform mereka untuk kampanye sosial, menggalang dana, dan membantu orang-orang di sekitar mereka.

Kelas menjadi hening, dan Moiz merasakan bahwa semua orang mendengarkan dengan antusias. Dia menjelaskan bagaimana pentingnya bijak menggunakan media sosial, bagaimana membangun komunitas yang positif, dan bagaimana setiap individu bisa berkontribusi untuk menjadikan dunia digital lebih baik. “Mari kita jadi influencer positif, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi untuk orang lain!” ucapnya, dan tepuk tangan pun menggema di seluruh kelas.

Usai presentasi, Moiz merasa lega dan bangga. Ia menyadari bahwa media sosial bukan hanya tentang likes atau followers, tetapi tentang bagaimana ia bisa menjadi pengaruh yang baik bagi teman-teman dan orang lain di sekitarnya. Dengan semangat baru, Moiz bertekad untuk menjalani dunia digital ini dengan bijak dan berfokus pada kebaikan, menyebarkan pesan positif melalui setiap unggahan yang ia buat.

Hari itu, di dalam hati Moiz, dia tidak hanya merasa sebagai seorang remaja yang gaul dan aktif, tetapi juga sebagai agen perubahan di dunia yang semakin terhubung. Dan ini baru awal dari perjalanan seru dan penuh warna di dunia media sosial.

 

Like, Share, dan Komentar: Menjadi Influencer Positif

Setelah presentasi yang menginspirasi di kelas, Moiz merasa seolah baru saja menyalakan api semangat dalam dirinya. Ia pulang dengan pikiran penuh rencana apa yang bisa dilakukannya untuk menjadikan media sosial sebagai tempat yang lebih baik. Di benaknya, muncul ide untuk membuat akun khusus yang fokus pada konten positif dan edukatif. Dia ingin menginspirasi teman-temannya dan lebih banyak orang untuk bijak menggunakan media sosial.

Hari-hari berikutnya, Moiz mulai melakukan riset lebih dalam tentang cara membuat konten yang menarik. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan dan internet, mempelajari teknik pembuatan video, cara menulis caption yang menarik, serta memahami algoritma media sosial. Moiz bahkan bertanya kepada beberapa teman yang sudah berpengalaman dalam hal ini, termasuk Aidan yang kerap membuat konten kreatif.

Suatu hari, saat berkumpul di warung kopi favorit mereka, Moiz memutuskan untuk berbagi rencananya. “Gimana kalau kita bikin konten positif bersama? Kita bisa mengajak teman-teman lain untuk terlibat!” ucap Moiz, matanya berbinar penuh semangat.

“Konten positif? Serius?” tanya Aidan, sedikit terkejut. “Tapi, kita kan bisa butuh banyak followers untuk itu.”

“Justru itu yang mau aku ubah! Kita tidak perlu banyak followers untuk membuat dampak. Kita bisa mulai dari lingkaran kecil kita dan perlahan-lahan memperluasnya,” Moiz menjawab dengan keyakinan. Teman-temannya mulai tertarik dan ide itu pun mulai menggelinding.

Dengan dukungan dari teman-teman, Moiz meluncurkan akun Instagram bernama @PositifMoiz. Ia mulai mengunggah konten berupa kutipan inspiratif, video pendek tentang kegiatan positif, dan tips bijak menggunakan media sosial. Dia bahkan mengajak teman-teman sekelasnya untuk ikut berpartisipasi dengan berbagi cerita mereka tentang bagaimana media sosial membantu mereka.

Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Beberapa minggu setelah akun diluncurkan, Moiz menyadari bahwa tidak semua orang merespons dengan positif. Beberapa temannya mulai menertawakan konten yang mereka buat, bahkan ada yang memberikan komentar negatif. “Ngapain sih, Moiz? Ini bukan waktu yang tepat untuk jadi ‘influencer’,” salah satu temannya berkomentar, dan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong.

Moiz merasa kecewa, tetapi dia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjuangannya. Dengan dukungan sahabatnya, ia tidak menyerah. “Jangan biarkan komentar mereka mengubah tujuanmu. Setiap langkah yang kamu ambil untuk kebaikan adalah sesuatu yang berarti,” Aidan mengingatkannya.

Bersama teman-temannya, Moiz berusaha lebih keras. Mereka mulai merencanakan acara kecil di sekolah, seperti diskusi tentang penggunaan media sosial yang bijak dan cara berdampak positif. Hari demi hari, mereka berusaha mengubah citra akun @PositifMoiz menjadi lebih dikenal. Mereka mengadakan sesi live di Instagram, di mana mereka membahas isu-isu yang relevan dan memberikan tips tentang kesehatan mental dan etika di media sosial.

Semangat Moiz pun menular. Teman-temannya mulai menunjukkan minat untuk terlibat lebih dalam, berbagi pengalaman dan berkontribusi pada konten. Mereka menciptakan video tentang bagaimana bersikap positif saat menghadapi komentar negatif, yang ternyata mendapatkan perhatian lebih dari follower mereka. Momen itu menjadi titik balik, ketika Moiz menyadari bahwa perjuangan dan kerja kerasnya mulai terbayar.

Namun, tantangan belum berakhir. Moiz harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun mereka mendapatkan lebih banyak pengikut, tetap ada beberapa yang meremehkan usaha mereka. Suatu malam, saat Moiz sedang berselancar di media sosial, dia menemukan komentar yang menyakitkan. “Cuma cari perhatian,” tulis salah satu akun anonim. Hati Moiz serasa disayat, tetapi dia berusaha tidak membiarkan hal itu mempengaruhi dirinya.

Dalam semangat untuk melawan negativitas, Moiz memutuskan untuk membuat konten khusus mengenai kritik dan cara menyikapinya. Dia menggali kisah-kisah inspiratif dari orang-orang yang pernah mengalami hal serupa dan berbagi strategi untuk mengatasi komentar buruk. “Kalau kita bisa, orang lain pun bisa,” tulisnya dalam caption.

Seiring waktu, Moiz mulai merasa lebih kuat. Dukungan dari teman-temannya membuatnya yakin bahwa apa yang mereka lakukan tidak sia-sia. Saat mereka menggelar acara diskusi di sekolah, dihadiri oleh puluhan siswa yang tertarik untuk berbagi pandangan, Moiz merasakan kepuasan yang luar biasa. Ia melihat bahwa banyak orang mulai sadar akan pentingnya menggunakan media sosial dengan bijak.

Akhirnya, Moiz memahami bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mencari popularitas, tetapi tentang bagaimana ia bisa membuat dampak positif dalam hidup orang lain. Semangatnya tidak hanya menginspirasi dirinya sendiri, tetapi juga teman-teman di sekitarnya. Hari itu, Moiz berdiri di depan cermin dan tersenyum. Dia bukan hanya seorang remaja yang gaul dan aktif, tetapi juga seorang pembawa perubahan, siap untuk mengubah cara orang memandang media sosial. Dan ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang akan membawa Moiz dan teman-temannya ke arah yang lebih baik.

 

Membangun Jembatan Komunikasi

Beberapa bulan telah berlalu sejak peluncuran akun @PositifMoiz, dan meski perjalanan mereka penuh liku-liku, Moiz dan teman-temannya mulai merasakan hasil dari kerja keras mereka. Dari acara diskusi yang mereka adakan, beberapa siswa bahkan mulai aktif berinteraksi dengan konten yang mereka buat. Semangat ini tidak hanya memotivasi Moiz tetapi juga menular kepada teman-teman sekelasnya.

Suatu siang, setelah pulang sekolah, Moiz dan Aidan memutuskan untuk bertemu di warung kopi yang biasa mereka kunjungi. Dengan secangkir kopi di tangan, Moiz membahas rencana ke depan. “Gimana kalau kita adakan workshop tentang media sosial untuk para siswa? Kita bisa undang pembicara yang ahli di bidangnya!” usul Moiz dengan semangat.

Aidan mengangguk setuju. “Itu ide bagus! Tapi kita butuh dukungan dari sekolah dan waktu untuk mempersiapkan semuanya,” katanya, mengelus dagunya sambil memikirkan langkah selanjutnya.

Keesokan harinya, mereka mendekati kepala sekolah dan meminta izin untuk mengadakan acara tersebut. Awalnya, kepala sekolah agak skeptis. “Saya khawatir acara semacam itu bisa jadi ajang pamer, bukan edukasi,” jawabnya, ragu-ragu.

Moiz tidak menyerah. “Kami tidak akan membiarkan itu terjadi, Pak! Kami ingin membuat acara ini untuk membantu teman-teman kami memahami betapa pentingnya penggunaan media sosial yang bijak. Kami akan memastikan semuanya terorganisir dengan baik dan bermanfaat,” Moiz meyakinkan.

Setelah beberapa kali diskusi dan presentasi mengenai pentingnya acara tersebut, kepala sekolah akhirnya setuju. Dengan dukungan dari sekolah, Moiz dan tim mulai merencanakan segala sesuatunya dengan serius. Mereka mengundang beberapa pembicara yang berpengalaman di dunia media sosial dan kesehatan mental, serta merencanakan berbagai kegiatan menarik.

Namun, di tengah persiapan, ada tantangan lain yang muncul. Sejumlah siswa di sekolah tampak skeptis terhadap acara tersebut. Beberapa di antara mereka merasa bahwa Moiz dan teman-temannya hanya mencari perhatian dan popularitas. Salah satu dari mereka, Riko, seorang remaja yang dikenal sebagai ‘raja komentar negatif’ di media sosial, bahkan mulai menantang Moiz secara terbuka. “Kalau kamu yakin ini sangat penting, buktikan aja. Acaranya pasti bakal sepi,” katanya di grup chat kelas.

Mendengar hal itu, Moiz merasa tertekan. Namun, dia ingat kembali bagaimana dukungan dari teman-teman dan semua usaha yang telah mereka lakukan. “Ini bukan hanya tentang aku atau kita. Ini untuk semua orang,” ujarnya kepada Aidan saat mereka sedang duduk berdua bersama setelah latihan persiapan.

Hari-H pun tiba. Moiz dan teman-temannya sangat bersemangat namun juga cemas. Mereka datang lebih awal ke sekolah untuk menyiapkan segalanya. Dari banner, kursi, sampai pengaturan sound system, semua mereka lakukan dengan penuh dedikasi. Saat melihat satu per satu teman-teman mereka datang, rasa cemas itu perlahan tergantikan dengan rasa bangga.

Acara dimulai dengan pembicara pertama yang membahas dampak media sosial terhadap kesehatan mental. Moiz bisa merasakan ketertarikan para siswa ketika pembicara menunjukkan data dan fakta yang mengejutkan tentang penggunaan media sosial. Dia bahkan melihat beberapa wajah yang tadinya skeptis, kini mulai memperhatikan dengan serius.

Di tengah acara, Moiz berkesempatan untuk berbicara. Ia berdiri di depan teman-teman dan menjelaskan tentang tujuan mereka dan bagaimana setiap orang bisa mengambil langkah kecil untuk memanfaatkan media sosial secara positif. “Kami tidak ingin menjadi influencer yang hanya mencari popularitas. Kami ingin mengubah cara kita berinteraksi di media sosial untuk menjadi lebih baik!” ucapnya penuh semangat.

Seiring berjalannya acara, suasana semakin hidup. Siswa-siswa mulai berbagi pengalaman mereka, dan banyak yang menyatakan bagaimana mereka merasa tertekan dengan tuntutan yang dihadirkan media sosial. Moiz merasakan bahwa inilah sebuah momen yang sangat berarti momen ketika semua orang bisa saling mendengarkan dan bisa mendukung satu sama lain.

Setelah sesi diskusi, mereka melakukan sesi tanya jawab. Riko yang sebelumnya skeptis, tiba-tiba berdiri dan bertanya, “Tapi apa sih yang kamu lakukan untuk mengatasi komentar negatif? Banyak orang yang masih saja meremehkan usaha kalian.”

Moiz tidak ragu menjawab, “Kritik dan komentar negatif memang ada, Riko. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya. Kita bisa memilih untuk tetap positif dan terus berjuang. Kami di sini bukan untuk bisa membuktikan sesuatu, tetapi untuk bisa mengajak semua orang bersama-sama untuk bisa berpikir bijak dan beraksi positif.”

Riko terdiam, sepertinya tertegun dengan jawaban Moiz. Momen itu seolah menjadi titik balik bagi Moiz, ketika dia menyadari bahwa sebuah perjuangannya tidak hanya cuma untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Ketika acara berakhir, para siswa saling bertukar kontak dan berjanji untuk tetap saling mendukung satu sama lain. Moiz merasa bangga melihat bagaimana semua orang bersatu dalam tujuan yang sama. Momen itu menjadi sangat berharga baginya.

Saat pulang, Moiz dan Aidan berjalan berdampingan, masih berbicara tentang betapa suksesnya acara hari itu. “Kamu lihat betapa banyaknya orang yang peduli? Kita berhasil, Moiz!” seru Aidan dengan senyum lebar di wajahnya.

Moiz mengangguk, merasakan kehangatan di dadanya. “Iya, dan ini baru awal. Kita akan terus berjuang, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk semua yang ingin berbuat baik,” jawab Moiz dengan percaya diri.

Dan dengan semangat yang membara di hati, Moiz tahu bahwa mereka akan terus bergerak maju, menghadapi tantangan, dan mengubah cara pandang banyak orang terhadap media sosial satu langkah kecil pada satu waktu.

 

Membangun Jembatan Kesadaran

Setelah suksesnya acara workshop, Moiz merasakan semangat baru yang meluap-luap di dalam dirinya. Dukungan dari teman-temannya dan antusiasme para siswa di sekolah membuatnya semakin yakin akan pentingnya gerakan yang mereka mulai. Hari-hari berikutnya di sekolah terasa lebih cerah; banyak siswa yang datang kepadanya untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka menggunakan media sosial dengan cara yang lebih bijak. Mereka bahkan mulai membuat konten positif yang dibagikan di akun @PositifMoiz.

Suatu pagi yang cerah, Moiz dan Aidan berkumpul di warung kopi sambil merencanakan langkah selanjutnya. “Kita perlu melakukan lebih dari sekadar satu acara, Aidan. Kita harus menciptakan kampanye yang berkelanjutan!” seru Moiz bersemangat.

“Setuju! Bagaimana kalau kita buat tantangan di media sosial? Misalnya, #PositifSetiapHari, di mana orang-orang bisa membagikan hal positif yang mereka lakukan setiap hari,” jawab Aidan, sambil mencatat ide-ide di ponselnya.

Mereka pun mulai merancang rencana tersebut, menggambar poster, dan membuat video promosi yang menggugah semangat. Selama beberapa minggu ke depan, mereka bekerja keras, mengajak lebih banyak teman untuk berpartisipasi, dan mendekati guru-guru untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Moiz masih merasakan tekanan dari komentar negatif yang kadang muncul. Riko, yang sebelumnya terlihat mulai mendukung, kembali menunjukkan sikap skeptis. “Moiz, apa kamu yakin semua ini tidak akan hanya cuma buang-buang waktu? Banyak yang lebih suka scroll daripada berbuat sesuatu,” ucapnya saat mereka berkumpul di lapangan sekolah.

Moiz terdiam sejenak. “Riko, mungkin memang ada yang lebih suka seperti itu. Tapi kita harus percaya bahwa setiap langkah kecil itu penting. Kita tidak bisa mengubah semua orang, tapi kita bisa mulai dengan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita,” jawabnya penuh keyakinan.

Kedua temannya, Aidan dan Icha, mengangguk setuju. “Kalau kita bisa mempengaruhi satu orang untuk berpikir positif, itu sudah cukup,” tambah Aidan.

Riko hanya menggelengkan kepala, namun tampaknya ia mulai mengerti. Perlahan, dia pun mulai terlibat dalam kampanye, berbagi postingan tentang hal-hal positif yang dilakukannya. Meski masih skeptis, perubahan kecil ini memberi Moiz harapan bahwa mereka bisa menyentuh hati lebih banyak orang.

Minggu demi minggu berlalu, kampanye #PositifSetiapHari mulai mendapatkan perhatian lebih luas. Siswa dari berbagai kelas mulai berpartisipasi dan mengunggah berbagai konten menarik: foto-foto mereka membantu orang lain, cerita inspiratif tentang cara mereka mengatasi masalah, bahkan video pendek tentang kegiatan mereka yang positif. Suasana di sekolah pun semakin ceria dan penuh energi.

Suatu hari, saat Moiz pulang dari sekolah, ia mendapatkan pesan dari seorang siswa baru bernama Kevin, yang baru pindah ke sekolah mereka. “Moiz, aku lihat postingan kamu di @PositifMoiz. Aku terinspirasi dan ingin ikut berpartisipasi dalam kampanye ini. Apakah ada yang bisa aku lakukan?” tulis Kevin.

Hati Moiz berbunga-bunga. “Tentu! Kita akan adakan pertemuan untuk semua yang mau ikut. Mari kita buat kampanye ini semakin besar!” balasnya dengan penuh semangat.

Pada pertemuan pertama, Moiz dan Aidan menjelaskan ide-ide mereka, sementara Kevin dan beberapa siswa baru lainnya mendengarkan dengan antusias. Mereka berbagi visi dan misi tentang bagaimana mereka bisa menyebarkan kebahagiaan dan kesadaran tentang penggunaan media sosial yang bijak. Moiz melihat mata-mata mereka bersinar, menunjukkan harapan dan semangat yang sama seperti yang dia rasakan saat pertama kali memulai semua ini.

Hari-hari berlalu, dan satu malam, Moiz mengadakan pertemuan dengan teman-temannya di rumah. Mereka merencanakan sebuah acara besar yang akan mengundang semua siswa di sekolah untuk merayakan pencapaian mereka dalam kampanye. Moiz sangat bersemangat saat membahas acara ini, menggambarkan berbagai permainan, diskusi, dan penampilan dari para siswa yang ingin menunjukkan bakat mereka.

Aidan bertanya, “Tapi Moiz, apa yang akan kita lakukan jika ada yang skeptis? Kita tidak bisa memuaskan semua orang.”

Moiz menjawab, “Kita tidak perlu memikirkan skeptis. Fokus kita adalah mereka yang ingin belajar dan berkembang. Jika ada yang ingin ikut, kita sambut dengan tangan terbuka. Dan jika ada yang menolak, kita tetap berjalan.”

Acara itu pun tiba. Suasana di sekolah sangat meriah; balon-balon berwarna-warni menghiasi halaman, dan poster-poster kampanye dipasang di mana-mana. Moiz dan Aidan sangat bangga melihat banyaknya siswa yang hadir.

Saat acara dimulai, mereka mengadakan sesi sharing di mana siswa-siswa berbagi cerita tentang bagaimana kampanye ini mempengaruhi hidup mereka. Salah satu siswa, Icha, berbagi tentang bagaimana ia berhasil mengurangi waktu penggunaan media sosialnya dan mulai lebih fokus pada kegiatan nyata seperti berolahraga dan bersosialisasi dengan teman-teman.

Seketika, Riko juga berdiri untuk berbicara. “Awalnya, saya skeptis terhadap kampanye ini. Namun, saya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang media sosial, tetapi tentang menciptakan ikatan dengan orang-orang di sekitar kita. Saya berterima kasih kepada Moiz dan semua orang yang terlibat,” ucapnya dengan tulus.

Saat acara berakhir, Moiz merasa sangat bahagia. Dia menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bukan hanya mengubah cara orang lain melihat media sosial, tetapi juga membangun jembatan komunikasi dan persahabatan di antara mereka. Teman-teman yang tadinya asing, kini bersatu dalam tujuan yang sama menjadi lebih baik.

Moiz melihat sekeliling dan merasakan kehangatan di dalam hatinya. Semua perjuangan dan kerja keras mereka terbayar, dan dia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Mereka akan terus bergerak maju, menciptakan dunia yang lebih positif, satu langkah kecil pada satu waktu, dan membagikan kebahagiaan kepada semua.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Nah, itulah kisah seru Moiz dan sahabatnya dalam memanfaatkan media sosial dengan bijak! Melalui cerita ini, kita bisa belajar bahwa media sosial bukan hanya tentang berbagi foto atau status, tapi juga tentang menciptakan dampak positif di sekitar kita. Semangat mereka dalam menginspirasi teman-teman dan menjadikan dunia maya lebih baik patut dicontoh. Yuk, mulai bijak dalam menggunakan media sosial dan sebarkan hal-hal positif seperti yang dilakukan Moiz! Sampai jumpa di cerita seru lainnya!

Leave a Reply