Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasain susahnya kerja sama sama orang yang beda banget cara pikirnya? Yang satu mau A, yang lain maksa B, dan ujung-ujungnya malah ribut sendiri. Nah, bayangin kalau itu terjadi di sebuah kelompok tari yang harus tampil di lomba besar!
Dari perdebatan nggak ada ujung, drama kostum yang hampir bikin kacau, sampai akhirnya mereka sadar kalau justru perbedaan itulah yang bikin semuanya makin kuat. Ini bukan cuma cerita biasa, ini tentang Bhinneka Tunggal Ika yang hidup di dunia nyata. Siap buat masuk ke dalam cerita yang bakal bikin kamu mikir ulang soal keberagaman?
Bhinneka Tunggal Ika
Garis Pemisah di Kelas Lima
Suara lonceng sekolah berdentang nyaring, menandakan awal jam pelajaran pertama. Di dalam kelas lima SD Nuswa Bhakti, anak-anak mulai duduk di bangku masing-masing. Seperti biasa, mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil yang terbentuk secara alami sejak lama—kelompok anak-anak Jawa, Sunda, Batak, Bugis, hingga yang keturunan Tionghoa dan Arab. Meski mereka semua bersekolah di tempat yang sama, tetap saja ada batasan tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Di salah satu sudut kelas, Abimana, anak laki-laki berambut ikal dengan kulit sawo matang, duduk dengan teman-temannya sesama orang Jawa. Tangannya sibuk mengatur buku di mejanya, tetapi matanya melirik ke arah Gadis, anak Batak yang terkenal paling nyaring suaranya di kelas. Gadis tertawa keras bersama kelompoknya, sesekali menepuk meja dengan antusias saat bercerita.
Di sisi lain, Laksmi yang berkulit putih bersih duduk rapi bersama teman-temannya yang juga keturunan Tionghoa. Mereka lebih banyak berbicara dalam bisikan, seolah-olah dunia mereka berbeda dari yang lain. Sementara itu, Rafiq dan beberapa anak keturunan Arab berbicara dengan penuh semangat di barisan belakang, membicarakan makanan yang dijual di toko ayah Rafiq.
“Selamat pagi, anak-anak!” suara Pak Surya, guru wali kelas mereka, memecah keheningan.
“Selamat pagi, Pak!” mereka menjawab serempak.
Pak Surya tersenyum sebelum menuliskan sesuatu di papan tulis: Lomba Drama Bhinneka Tunggal Ika.
“Kita akan mengadakan lomba drama untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda,” katanya. “Dan kalian akan bekerja dalam kelompok!”
Suasana kelas langsung dipenuhi bisikan. Beberapa anak tampak antusias, tetapi lebih banyak yang mulai terlihat cemas, terutama saat Pak Surya mulai menyebutkan nama-nama dalam satu kelompok.
“Abimana, kamu satu tim dengan Gadis, Laksmi, dan Rafiq.”
Mata mereka langsung saling bertatapan. Gadis menaikkan alisnya, Abimana menghela napas, Laksmi hanya menunduk, dan Rafiq menatap ke arah Pak Surya dengan ekspresi ragu. Mereka belum pernah bekerja sama sebelumnya.
“Tapi, Pak, kenapa harus dicampur?” tanya Gadis.
“Supaya kalian belajar sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar menang lomba,” jawab Pak Surya dengan senyum penuh arti.
Setelah membagikan kelompok, Pak Surya memberikan waktu untuk mereka berdiskusi.
Abimana duduk di kursinya dengan tangan terlipat, menunggu yang lain bicara lebih dulu. Gadis menarik kursi dengan kasar dan duduk sambil menyilangkan tangan.
“Jadi, kita mau bikin drama tentang apa?” tanya Gadis akhirnya.
“Tokoh pahlawan,” jawab Abimana singkat.
“Bagus. Kita angkat Si Singamangaraja,” usul Gadis.
“Tunggu, kenapa harus itu?” Abimana menatapnya tajam.
“Lah, memangnya kenapa? Dia pahlawan dari Batak! Berjuang ngelawan Belanda!”
Abimana menghela napas. “Tapi kita juga bisa pakai cerita Gajah Mada. Dia penyatu Nusantara.”
Gadis mendecak. “Iya, iya, aku tahu. Tapi kenapa harus Gajah Mada?”
Laksmi yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, “Kenapa kita nggak gabungkan saja? Kita bisa buat cerita tentang pahlawan dari berbagai daerah.”
“Tapi gimana cara nyatuinnya?” tanya Rafiq, yang sejak tadi hanya mendengar.
Gadis bersedekap. “Gampang! Kita buat cerita tentang peperangan. Gajah Mada bertemu Si Singamangaraja, terus mereka kerja sama buat ngelawan musuh!”
Abimana mengernyit. “Itu nggak masuk akal. Mereka hidup di zaman yang berbeda.”
Laksmi mengangguk setuju. “Iya, kayaknya aneh kalau kita gabungin begitu saja. Mungkin kita bisa buat tokoh fiksi yang mewakili budaya masing-masing?”
Gadis mendesah. “Aduh, ini malah makin ribet.”
Rafiq menggaruk kepalanya. “Kalau menurut aku sih, kita juga harus masukin unsur budaya lain, kayak musik Timur Tengah atau tarian khas.”
Gadis mengangkat tangan. “Eh, eh, bentar. Kalau kita bikin tarian juga, nanti jadi kayak festival budaya, bukan drama pahlawan!”
“Kamu bilangnya gampang, tapi dari tadi kamu juga nggak kasih solusi selain Si Singamangaraja,” balas Abimana.
Suasana mulai memanas. Mereka semua ingin menonjolkan budaya masing-masing, tetapi tidak ada yang benar-benar mau mendengarkan pendapat yang lain.
Pak Surya yang memperhatikan dari kejauhan akhirnya melangkah mendekat.
“Kalian masih belum sepakat?” tanyanya.
Mereka semua saling tatap, lalu menggeleng.
“Baik. Aku mau tanya sesuatu. Apa arti dari Bhinneka Tunggal Ika?”
Mereka serempak menjawab, “Berbeda-beda tetapi tetap satu.”
Pak Surya tersenyum. “Tapi kalian masih lebih mementingkan budaya sendiri daripada memahami yang lain, kan?”
Tidak ada yang menjawab.
“Kalian berpikir bahwa budaya kalian yang paling pantas ditampilkan. Padahal, justru keindahan dari Bhinneka Tunggal Ika itu adalah ketika semua budaya bisa menyatu tanpa kehilangan identitasnya.”
Anak-anak terdiam. Mereka mulai menyadari bahwa sejak awal mereka tidak benar-benar mencoba bekerja sama.
“Kalian punya waktu dua hari untuk berpikir kembali. Kalau kalian benar-benar memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, kalian pasti bisa menemukan cara untuk membuat drama ini lebih baik.”
Pak Surya pergi meninggalkan mereka dengan pikiran yang mulai bercampur aduk. Mereka masih punya waktu, tetapi pertanyaannya adalah—mampukah mereka benar-benar menyatukan perbedaan itu dalam satu cerita?
Panggung yang Hampir Retak
Ruangan kelas terasa lebih ramai dari biasanya. Anak-anak dari kelompok lain sudah mulai sibuk menulis naskah, membagi peran, bahkan ada yang sudah mencoba latihan. Sementara itu, di sudut kelas, kelompok Abimana masih terdiam dengan wajah penuh tanda tanya.
“Aku nggak tahu mau mulai dari mana,” gumam Laksmi sambil memainkan ujung pulpen di tangannya.
“Ya udah, kita mulai dari cerita dulu. Ada ide?” Gadis menyilangkan tangan di dadanya, menatap teman-temannya satu per satu.
Abimana menghela napas. “Aku tetap pikir Gajah Mada yang paling pas. Dia itu simbol pemersatu Nusantara.”
“Tapi kalau kayak gitu, nanti malah kayak sejarah biasa,” protes Rafiq.
“Terus maunya gimana?”
“Kenapa kita nggak buat cerita tentang anak-anak dari berbagai daerah yang awalnya nggak akur, terus mereka akhirnya bersatu buat melawan sesuatu?”
Gadis menyipitkan mata. “Lawan apa?”
“Entah. Sesuatu yang bisa bikin mereka sadar kalau mereka lebih kuat kalau bersatu.”
Abimana mengangguk. “Itu lebih masuk akal daripada maksa nyatuin pahlawan yang lahir beda ratusan tahun.”
“Jadi kayak kita sekarang,” celetuk Laksmi.
Mereka terdiam. Entah kenapa, kalimat Laksmi terasa seperti tamparan halus. Mereka memang sama-sama ingin menonjolkan budaya masing-masing, tanpa sadar bahwa mereka sendiri sedang mengalami masalah yang sama seperti tokoh yang ingin mereka ciptakan.
“Oke,” kata Gadis akhirnya. “Berarti kita buat cerita tentang lima anak dari budaya yang berbeda, mereka nggak akur, terus ada satu masalah yang bikin mereka harus kerja sama.”
“Masalahnya apa?” tanya Rafiq.
Laksmi mengetuk meja pelan. “Bencana alam?”
“Ketinggian,” gumam Gadis.
“Musuh?” Abimana mencoba.
“Maksudnya?”
Abimana mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kita buat mereka tinggal di satu desa yang ada lima suku. Terus desa itu hampir hancur gara-gara ada orang luar yang mau memecah belah mereka. Mereka harus bersatu buat ngelindungi desa mereka.”
Mata Rafiq berbinar. “Itu keren! Bisa kita masukin elemen budaya masing-masing. Kayak, mungkin mereka punya tarian sakral yang kalau dilakukan bareng-bareng bisa memunculkan kekuatan buat ngusir si musuh!”
Laksmi tertawa kecil. “Kamu kebanyakan nonton film fantasi.”
“Tapi ide itu bagus,” potong Gadis. “Aku suka. Kayaknya ini bisa jalan.”
“Jadi siapa yang nulis naskahnya?” tanya Abimana.
Laksmi mengangkat tangan. “Aku bisa coba tulis. Tapi nanti kalian harus bantuin kasih dialog yang pas.”
“Oke, kalau gitu kita mulai bagi peran,” Gadis menatap mereka satu per satu. “Aku jadi pemimpin kelompok.”
“Eh, tunggu, tunggu,” Abimana mengangkat tangan. “Siapa yang bilang kamu pemimpin?”
Gadis berkacak pinggang. “Lah, jelas aku yang paling tegas di sini!”
“Itu bukan alasan,” balas Abimana. “Kita harus pilih yang paling bisa mengatur, bukan yang paling suka nyuruh-nyuruh.”
Rafiq tertawa pelan, sementara Laksmi hanya menggelengkan kepala.
“Yaudah, kalau gitu kita voting aja,” usul Rafiq.
Akhirnya mereka memilih pemimpin dengan suara terbanyak. Hasilnya? Laksmi.
Gadis mendengus. “Serius? Laksmi?”
“Aku juga kaget, jujur,” kata Laksmi sambil tertawa kecil. “Tapi kalau itu keputusan kalian, aku akan coba.”
“Yaudah, ayo kita mulai latihan,” ujar Abimana.
Namun, masalahnya baru benar-benar dimulai ketika mereka mulai latihan.
Saat Gadis berbicara, Abimana selalu menyela dengan ide baru. Ketika Rafiq berusaha memasukkan unsur budaya Timur Tengah, Gadis menganggapnya kurang cocok. Laksmi yang berusaha menengahi malah semakin pusing.
“Stop!” seru Laksmi akhirnya. “Kalau begini terus, kita nggak bakal selesai sampai hari lomba tiba!”
Semua terdiam.
“Kalian sadar nggak sih, kita baru mulai latihan sebentar aja udah ribut begini?” Laksmi mengusap wajahnya. “Kita nggak akan bisa bikin cerita tentang persatuan kalau kita sendiri nggak bisa bersatu.”
Tidak ada yang menjawab.
“Aku serius,” lanjutnya. “Aku nggak mau kita gagal cuma gara-gara nggak mau ngalah satu sama lain.”
Rafiq mengangguk pelan. “Aku juga nggak mau kalah. Tapi kayaknya kita harus belajar buat dengerin dulu, bukan cuma ngomong.”
Abimana menghela napas. “Oke. Aku akan coba.”
Gadis mendecak. “Yaudah, ayo kita lanjut. Kali ini, kita dengerin satu sama lain.”
Perlahan, mereka mulai mencoba lagi. Kali ini, tanpa menyela, tanpa merasa paling benar.
Latihan mereka masih jauh dari sempurna. Tapi setidaknya, mereka mulai belajar bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya tentang perbedaan, tapi juga tentang bagaimana perbedaan itu bisa bersatu tanpa harus menghilangkan jati diri masing-masing.
Mereka masih punya waktu. Tapi pertanyaannya—mampukah mereka benar-benar menyatukan semua perbedaan itu dalam satu pertunjukan yang utuh?
Menyatukan Warna Nusantara
Latihan demi latihan terus berjalan, tapi bukannya semakin mudah, justru semakin sulit. Setiap kali mereka merasa sudah menemukan ritme yang pas, selalu ada satu-dua hal yang membuat mereka kembali terhenti.
“Gerakannya kurang tegas, Rafiq!” seru Gadis dari belakang, menatap laki-laki itu yang sedang mencoba melakukan gerakan silat khas Betawi.
“Ya maaf, aku nggak biasa gerak begini!” balas Rafiq, mengusap keringat di dahinya. “Aku lebih terbiasa sama tarian Saman atau Hadrah, bukan silat.”
“Kalau gitu, masukkan elemen yang kamu bisa,” sahut Abimana. “Kita nggak perlu maksa semua orang buat ngikutin satu gerakan yang sama.”
Laksmi menepuk dahinya pelan. “Itu inti dari cerita kita, kan?”
Mereka saling pandang.
“Kita selalu ribut karena merasa gerakan atau budaya kita yang paling cocok,” lanjut Laksmi. “Padahal, justru dengan menggabungkan semuanya, kita bisa bikin sesuatu yang unik.”
Gadis terdiam, lalu mendengus pelan. “Oke, kalau gitu kita buat ulang koreografi. Semua orang masukkan gerakan dari budaya masing-masing.”
Awalnya sulit, tapi ketika mereka mulai terbuka, segalanya terasa lebih menyenangkan. Rafiq memasukkan sedikit gerakan Saman, Gadis menambahkan tari Jaipong, sementara Abimana dan Laksmi mengkombinasikan gerakan silat dengan Tari Piring. Mereka akhirnya menyadari, bahwa mereka tidak perlu memaksakan keseragaman—karena justru keberagaman itulah yang membuat tarian mereka istimewa.
Namun, masalah terbesar datang dua hari sebelum pertunjukan.
Saat mereka sedang latihan di aula sekolah, seorang guru mendekati mereka dengan wajah serius. “Anak-anak, ada sedikit kendala. Kostum kalian sepertinya belum bisa dipakai.”
Laksmi mengernyit. “Maksudnya?”
“Kostum yang kalian pesan belum selesai dijahit, dan perajin yang mengerjakannya sedang sakit.”
Semua terdiam. Itu berarti, mereka harus mencari solusi dalam waktu dua hari.
“Ya ampun,” gumam Gadis, memegang kepalanya. “Gimana ini? Kita nggak mungkin tampil tanpa kostum.”
“Kita buat sendiri,” ucap Abimana tiba-tiba.
Semua menoleh.
“Loh, gimana caranya?” tanya Rafiq.
“Kita pakai kain dari budaya masing-masing. Kita padukan. Aku punya kain batik di rumah. Kalau kalian punya sesuatu dari daerah kalian, kita bisa bikin sesuatu yang tetap sesuai tema.”
Rafiq berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Aku punya sarung khas dari Aceh.”
“Aku punya kain ulos,” tambah Gadis.
“Aku bisa pinjam kain songket dari kakakku,” ujar Laksmi.
Mereka saling berpandangan. Awalnya mereka merasa panik, tapi sekarang, mereka justru semakin bersemangat.
Malam itu, mereka berkumpul di rumah Laksmi, memotong, menjahit, dan merangkai kain-kain yang mereka bawa menjadi kostum yang benar-benar menggambarkan keberagaman mereka. Meski tidak sesempurna kostum yang seharusnya mereka pakai, mereka tahu bahwa yang mereka buat ini memiliki makna yang lebih dalam.
Ketika semuanya selesai, mereka menatap hasil karya mereka dengan kagum.
“Ini jauh lebih keren dari yang aku bayangkan,” gumam Gadis.
“Kostum ini… seperti kita,” tambah Abimana. “Berbeda, tapi saling melengkapi.”
Laksmi tersenyum kecil. “Bhinneka Tunggal Ika.”
Mereka tersenyum, untuk pertama kalinya tanpa beban.
Besok adalah hari pertunjukan. Dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar merasa siap.
Panggung Persatuan
Hari pertunjukan akhirnya tiba. Aula sekolah telah dipenuhi siswa, guru, dan para tamu undangan. Lampu-lampu panggung menerangi ruangan, menciptakan suasana yang megah sekaligus menegangkan bagi mereka yang akan tampil.
Di belakang panggung, Laksmi menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kain ulos yang ia kenakan. “Ini benar-benar terjadi,” gumamnya.
“Kita sudah latihan berbulan-bulan. Kita siap,” ujar Abimana, mencoba menenangkan semua orang, meskipun tangannya sendiri tampak sedikit gemetar.
Gadis menepuk pundak mereka satu per satu. “Dengar, apa pun yang terjadi nanti di panggung, kita harus yakin. Ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini soal membuktikan bahwa kita bisa bersatu dalam keberagaman.”
Rafiq tersenyum tipis. “Dan soal membuktikan bahwa kita bisa menyelesaikan sesuatu tanpa ribut tiap lima menit.”
Mereka semua tertawa kecil, menghilangkan sedikit ketegangan yang tersisa.
Tak lama kemudian, suara pembawa acara menggema di aula, memanggil nama kelompok mereka. Lampu panggung meredup, memberikan isyarat bahwa inilah saatnya mereka maju.
Begitu musik mulai mengalun, mereka bergerak.
Gerakan yang sebelumnya terasa kaku kini mengalir dengan indah. Abimana membuka pertunjukan dengan gerakan silat yang gagah, lalu Gadis mengikuti dengan Tari Jaipong yang penuh energi. Rafiq menyelipkan tarian Saman di sela-sela irama, sementara Laksmi membawa gerakan Tari Piring yang anggun.
Bukan hanya mereka yang terpukau—penonton pun dibuat takjub.
Kostum yang mereka buat sendiri, dengan warna dan motif yang beragam, mencerminkan jati diri mereka. Ada batik, ulos, songket, dan sarung khas Aceh, semuanya menyatu dalam satu harmoni yang sempurna.
Di detik terakhir pertunjukan, mereka berbaris di tengah panggung, saling menggenggam tangan, lalu membungkuk sebagai tanda penghormatan. Musik berhenti.
Hening.
Lalu tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.
Mereka saling berpandangan, napas masih tersengal, tapi senyum mulai merekah di wajah masing-masing. Semua kerja keras mereka, semua perdebatan, semua malam-malam panjang yang dihabiskan untuk latihan—semuanya terbayar.
Ketika mereka turun dari panggung, kepala sekolah mendekati mereka dengan ekspresi bangga. “Anak-anak, ini adalah salah satu pertunjukan terbaik yang pernah saya lihat. Kalian tidak hanya menampilkan tarian, tapi juga pesan yang sangat kuat tentang Bhinneka Tunggal Ika. Saya harap kalian ingat bahwa inilah inti dari bangsa kita—bersatu dalam perbedaan.”
Laksmi menatap teman-temannya dan mengangguk pelan. “Kita nggak perlu sama untuk bisa berjalan bersama.”
Abimana menyeringai. “Dan kita nggak perlu selalu setuju untuk tetap jadi satu tim.”
Rafiq mengangkat kepalan tangannya ke udara. “Ini kemenangan kita!”
Mereka semua tertawa, menyadari bahwa yang mereka menangkan bukan hanya sekadar lomba, tapi sesuatu yang lebih besar—pemahaman bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan.
Di luar aula, matahari mulai terbenam, langit berubah warna menjadi jingga keemasan. Seperti mereka—berbeda, tapi tetap indah dalam satu kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika.
Dari yang awalnya ribut tiap hari sampai akhirnya bisa tampil dengan penuh kebanggaan, perjalanan mereka bener-bener ngebuktiin satu hal: perbedaan bukan buat diperdebatkan, tapi buat dirayakan.
Nggak ada yang harus sama untuk bisa maju bareng, karena justru di dalam keberagaman, ada kekuatan yang nggak bisa digantikan. Jadi, kapan terakhir kali kamu benar-benar menghargai perbedaan di sekitarmu?