Daftar Isi
Masih ingat rasanya main benteng-bentengan bareng temen kecil waktu SD? Cerpen ini bakal bikin kamu nostalgia habis-habisan! “Benteng Petir dan Surat dari Masa Kecil”
bukan cuma tentang petualangan seru anak-anak di kebun, tapi juga tentang persahabatan yang tulus, kenangan yang gak pernah luntur, dan kejutan manis dari masa lalu. Yuk baca sampai habis, dijamin senyum-senyum sendiri karena inget masa kecilmu yang seru banget!
Benteng Petir dan Surat dari Masa Kecil
Pasukan Petir dan Peta Rahasia
Matahari pagi menyelinap malu-malu dari balik awan tipis, menciptakan warna keemasan di ujung dedaunan yang masih basah oleh embun. Di ujung jalan kecil yang penuh batu kerikil, suara teriakan saling sahut-menyahut membelah keheningan desa Sindangharja. Di bawah pohon mangga tua yang akarnya mencuat dari tanah, lima anak duduk melingkar dengan ransel seadanya dan wajah penuh rencana.
Mereka menyebut diri mereka Pasukan Petir—nama yang lahir dari diskusi serius di bawah jemuran minggu lalu. Bukan karena mereka suka kejar-kejaran waktu hujan, tapi karena katanya, ide-ide mereka selalu menyambar tanpa aba-aba.
Rafandra membuka sebuah buku tulis bekas yang sudah lecek di ujungnya. Ia meletakkannya di tengah lingkaran.
“Lihat ini,” katanya sambil menunjuk gambar garis-garis miring dan bulatan-bulatan kecil yang terlihat seperti coretan anak ayam. “Ini peta kebun Pak Man.”
Joenal menyipitkan mata, mencoba memahami.
“Itu yang bulat-bulat apaan?” tanyanya sambil mengunyah permen karet.
“Pohon pisang,” jawab Rafandra yakin, meski sebenarnya ia juga agak ragu.
Nabilla mengambil buku itu dan membolak-baliknya. “Kalau ini, garis panjang ini?”
“Itu… jalan rahasia,” ucap Rafandra, cepat. “Yang kemarin kita temuin waktu nyari bola yang nyangkut di belakang kebun.”
Bagas menyender di batang pohon sambil menahan tawa. “Tapi kan itu bukan jalan rahasia, itu got.”
“Ah, bisa aja dijadiin jalan kalau kita mau,” balas Rafandra sambil mengerucutkan bibir.
Tegar, yang dari tadi diam, membuka kotak kecil dari kaleng biskuit. Di dalamnya ada tali rafia, gunting kecil, senter, dan sebuah kunci pas mini. Alat-alat ajaib yang selalu ia bawa, entah buat apa.
“Kita mulai sore ini. Pak Man lagi ke kota, aku denger dari Ibu,” ucap Tegar tanpa angkat kepala.
“Yakin?” tanya Nabilla.
“Iya. Katanya ngurus cucunya yang baru lahir.”
Seketika wajah mereka bersinar. Itu artinya: kebun Pak Man kosong. Tidak ada ancaman cangkul terbang atau teriakan “HEI KALIAN!” yang biasanya membuat mereka kabur tunggang langgang.
Rencana pun digodok serius—lebih serius dari pelajaran IPA waktu ulangan. Mereka akan membangun Benteng Rahasia, tempat rahasia buat ngumpul, main, dan ngelindungin ‘harta karun’ berupa permen, kelereng, dan koleksi stiker hologram milik Joenal.
Sore harinya, kelima anggota Pasukan Petir berdiri berjajar di balik semak-semak belakang rumah Tegar, mengintip pagar bambu kebun Pak Man. Hanya ada suara jangkrik dan burung kecil yang bertengger di dahan tinggi. Tak ada bayangan manusia.
“Gas, sekarang!” seru Rafandra setengah berbisik.
Mereka satu per satu melompati pagar dengan jurus masing-masing. Nabilla paling lincah—melompat tanpa suara. Joenal jatuh duluan, lalu tertawa sendiri. Bagas harus dibantu dorongan dua orang karena terlalu banyak bawa bekal.
Begitu sampai di dalam, dunia terasa berbeda. Rerimbunan pohon membentuk semacam atap alami. Cahaya matahari menari-nari di tanah yang lembap. Ada aroma tanah basah, daun kering, dan sedikit wangi pisang matang yang jatuh sebelum sempat dipetik.
Mereka berjalan ke arah rumpun bambu yang tumbuh rapat seperti pagar hidup. Tempat itu dulu disebut ‘zona terlarang’ karena katanya ada ular. Tapi buat mereka, tempat itu sempurna.
“Di sini aja,” kata Nabilla sambil menyibak daun-daun tinggi yang menyentuh wajahnya.
Rafandra mengangguk. “Kita bikin dua ruangan. Satu buat markas, satu buat… yaa buat naruh makanan sama mainan lah.”
“Aku mau bikin jendela rahasia!” seru Bagas dengan penuh semangat.
“Terserah, asal jangan pake daun pisang semua lagi, ya,” sahut Joenal geli.
Mereka mulai bekerja. Tegar memotong-motong bambu kecil dengan pisau dapur milik ibunya, hati-hati tapi cepat. Nabilla merangkai tali rafia membentuk kerangka dinding. Rafandra menggali sedikit tanah buat bikin ‘ruang penyimpanan’, padahal cuma cekungan kecil yang ditutup papan.
Sambil bekerja, mereka saling ledek, bercanda, dan tertawa sampai perut sakit. Kadang-kadang terdiam karena suara ranting patah—takut Pak Man tiba-tiba muncul. Tapi ketakutan itu selalu diusir dengan tawa baru.
Di tengah semua kekacauan terorganisir itu, ada satu momen yang terasa diam: ketika mereka duduk bersama di tengah tanah, tangan kotor, baju penuh debu, tapi mata berbinar.
“Kamu sadar gak sih?” kata Nabilla pelan. “Kita kayak… punya dunia sendiri di sini.”
Rafandra mengangguk. “Iya. Dunia tanpa orang dewasa.”
“Dan tanpa PR,” tambah Joenal cepat, disambut sorakan setuju.
Hari mulai gelap. Mereka belum selesai. Tapi tak satu pun dari mereka mau pulang duluan. Mereka sepakat, malam ini harus rapat darurat di markas. Besok, mereka lanjut pembangunan.
Saat matahari mulai tenggelam, mereka berdiri di tengah proyek benteng setengah jadi itu. Nafas masih berat karena lelah. Tapi tak satu pun dari mereka kehilangan semangat.
Pasukan Petir tidak sekadar lima anak yang bosan dengan rumah. Mereka adalah penjaga mimpi masa kecil, penjelajah dunia kecil yang belum tersentuh peta mana pun. Dan di kebun Pak Man, petualangan baru saja dimulai.
Operasi Benteng Bambu
Udara pagi di kebun Pak Man masih dingin, tapi Pasukan Petir sudah hadir dengan semangat membara. Hari itu mereka datang lebih lengkap—bawa kantong plastik berisi roti tawar, tambang jemuran, palu kecil, dan bahkan sebotol besar sirup jeruk yang katanya buat perayaan nanti malam kalau bentengnya jadi.
Rafandra tiba paling dulu. Ia memeriksa kondisi markas semalam seperti kapten kapal yang khawatir kapalnya bocor. Dinding dari bambu kecil yang mereka susun semalam sebagian runtuh karena angin malam. Tapi dia cuma mengangguk.
“Ini cuma uji coba dari semesta,” katanya tenang, meski sempat menghela napas panjang.
Tak lama, Nabilla datang sambil menggiring ember kecil yang diikatkan pada sepeda. “Aku bawa karpet dari dapur. Tapi jangan bilang-bilang Ibuku ya.”
“Karpet?” Joenal mendekat, menatap barang bawaan itu dengan mata terbelalak. “Itu kan… karpet meja makan?”
“Shh… penting buat lantai markas. Masa kita duduk di tanah terus?” jawab Nabilla santai sambil meletakkannya di tengah.
Bagas datang paling terakhir, ngos-ngosan, sambil bawa bantal kecil dan kantong plastik penuh kelereng. “Biar markasnya nyaman. Kalau nanti kita tidur sini, enak.”
Tegar sudah sibuk di sudut, memasang semacam alat pendeteksi gerakan dari dua kaleng bekas yang diikat benang—benang itu disambung ke tumpukan batu kecil yang siap jatuh kalau ada yang lewat.
“Canggih, Teg,” kata Rafandra, memandangnya kagum. “Kalau beneran jalan, kamu bisa kerja di NASA.”
“Aku sih lebih pengen bikin taman bermain,” jawab Tegar pelan, tapi pasti.
Mereka mulai bekerja. Ada yang motong bambu, ada yang merangkai dinding dari daun pisang dan terpal robek, ada juga yang sibuk menggali lubang kecil di tanah buat simpan ‘harta karun’. Tak ada yang diam. Tangan mereka kotor, tapi hati mereka penuh.
Di sela-sela kerja, mereka ngobrol macam-macam. Mulai dari gosip anak SD sebelah yang katanya bisa sulap, sampai rencana bikin kode rahasia khusus Pasukan Petir.
“Aku udah mikirin sandi rahasia,” kata Joenal tiba-tiba. “Kita ganti semua huruf jadi angka. Kayak A itu satu, B itu dua, dan seterusnya.”
“Lah itu sih udah ada,” komentar Bagas sambil mengangkat alis.
“Ya udah, kita bikin yang lebih sulit. Campur huruf sama simbol. Kayak A jadi @, B jadi #, C jadi %, gitu deh.”
“Aku setuju,” kata Nabilla, sambil mengikat tali rafia. “Tapi kamu yang nulis semua suratnya ya. Aku males ribet.”
Joenal mengangguk semangat, merasa terpilih jadi ahli strategi.
Siang menjelang. Matahari makin garang, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh. Bahkan saat dahi sudah basah dan tangan pegal, suara tawa masih lebih banyak terdengar daripada keluhan. Mereka saling oper makanan, berebut teh manis, dan sesekali rebutan tempat duduk yang masih bersih dari debu.
Menjelang sore, mereka memutuskan menghentikan pembangunan sejenak. Duduk di atas karpet meja makan yang sudah berubah fungsi, mereka menikmati bekal masing-masing.
“Menurut kamu, benteng ini bisa tahan berapa lama?” tanya Nabilla sambil menggigit potongan roti.
“Kalau gak kena hujan deras, bisa sampe seminggu,” jawab Rafandra optimis.
“Kita bisa tambahin atap dari daun kelapa. Aku bisa ambil besok,” tawar Bagas, sambil menatap langit seperti merancang bangunan pencakar langit.
Tegar yang sedang memeriksa sistem alarmnya, tersenyum kecil. “Kayaknya benteng ini bisa lebih dari sekadar tempat main, deh.”
Semua melirik Tegar, menunggu lanjutannya.
“Maksud aku… ini bisa jadi tempat rahasia kita. Tempat kita cerita, nyimpen barang, main, atau ya… kalau lagi sedih juga bisa ke sini. Gak semua orang punya tempat kayak gini.”
Ucapan itu membuat mereka terdiam sejenak. Ada sesuatu di dalam kalimat sederhana Tegar yang terasa dalam. Mungkin karena benar. Atau mungkin karena tak seorang pun dari mereka pernah memikirkan makna ‘benteng’ lebih dari sekadar bangunan bambu dan tali rafia.
Sore itu, sebelum matahari benar-benar tenggelam, mereka menyelesaikan struktur dasar benteng. Ada dinding, atap seadanya, dan sebuah bendera kecil dari kaos bekas yang ditulisi spidol: “Wilayah Pasukan Petir – Dilarang Masuk!”
Tegar meletakkan batu besar di depan pintu masuk sebagai ‘gerbang utama’. Joenal menempelkan kode rahasia di atas dinding. Nabilla menaruh sebuah boneka kecil di sudut ruangan, katanya sebagai penjaga benteng. Rafandra menancapkan bendera, dan Bagas duduk di tengah sambil berseru:
“Kita berhasil!”
Mereka bersorak kecil, tak ingin suara mereka menarik perhatian siapa pun. Tapi semangatnya tak kalah dari perayaan besar. Malam itu, mereka pulang dengan kaki kotor, rambut kusut, dan tawa yang masih tersisa di dada.
Namun satu hal tak mereka tahu, di balik semak-semak dekat pagar bambu, sepasang mata mengintip penuh curiga.
Dan itulah awal dari kejadian besar yang akan mengubah petualangan ini jadi lebih dari sekadar main-main.
Penjaga Gerbang dan Pohon Jambu
Langit mendung menggantung sejak pagi. Daun-daun di kebun Pak Man bergoyang pelan diterpa angin, dan aroma tanah basah mulai menguar sebelum hujan betul-betul turun. Tapi meskipun cuaca tak bersahabat, Pasukan Petir tak bergeming. Hari itu mereka berniat memasang atap permanen di benteng—daun kelapa kering hasil curian kecil-kecilan dari belakang masjid desa.
Rafandra datang paling awal, membawa payung lipat dan tali rafia tambahan. Tak lama, Bagas muncul sambil menenteng dua helai tikar plastik, basah karena sempat jatuh ke selokan. Nabilla datang terakhir, wajahnya sedikit murung, langkahnya pelan.
“Kamu kenapa?” tanya Tegar yang sudah duduk di sudut benteng sambil memperbaiki alarm kalengnya yang semalam jatuh tertiup angin.
Nabilla menghela napas. “Tadi Ibu nemu karpet yang kita ambil dari dapur. Kena semprot habis-habisan.”
Joenal langsung tertawa. “Makanya, ambilnya jangan karpet meja makan! Mending sapu lidi sekalian.”
“Tapi tetap kamu yang minta, Bil,” tambah Rafandra dengan senyum jahil.
Nabilla menjulurkan lidah, lalu duduk di atas peti kayu kecil yang mereka pakai buat menyimpan ‘logistik’. Walau sempat kesal, suasana kembali mencair. Mereka memulai pembangunan atap, dibantu hujan yang masih ragu-ragu turun.
Tegar memanjat batang bambu pendek untuk mengikat helai daun kelapa di rangka atap. Bagas berdiri di bawah, memegangi ujung tali sambil terus mengeluh karena jarinya terjepit dua kali. Sementara Joenal sibuk mengecat bendera mereka dengan cat poster sisa lomba 17 Agustus tahun lalu.
“Eh, tunggu… kalian denger gak?” Rafandra tiba-tiba berbisik, tubuhnya membeku di tengah langkah.
Mereka semua terdiam.
Di antara desir angin dan gemerisik dedaunan, terdengar bunyi samar—langkah kaki berat menginjak ranting kering, pelan, tapi jelas.
Nabilla langsung berbisik panik, “Jangan-jangan itu… Pak Man?”
Wajah mereka serempak pucat. Tegar buru-buru memeriksa sistem alarm kaleng, tapi ternyata benangnya putus. Bendera mereka masih berkibar, terang benderang, seperti mengejek.
“Cepet, sembunyi!” bisik Joenal sambil menyeret Nabilla ke balik pagar bambu.
Bagas menjatuhkan tikar, Rafandra menendang ember ke semak-semak, dan Tegar berguling di bawah tumpukan daun pisang, seluruh tubuhnya ikut lenyap dari pandangan.
Langkah kaki itu makin dekat. Dari celah-celah dedaunan, mereka melihat bayangan seseorang berjalan pelan, mengenakan celana kain cokelat, kemeja lusuh, dan topi bundar. Napas mereka tertahan. Sekarang, tinggal menunggu apakah benteng mereka akan ditemukan dan dibubarkan… atau lebih buruk lagi, mereka diusir dari kebun Pak Man selamanya.
Tapi yang muncul dari balik pohon ternyata bukan Pak Man.
Dia seorang laki-laki tua, lebih kurus, dengan kumis tipis dan sepasang sandal jepit. Ia membawa karung kecil di punggungnya dan tongkat kayu di tangan. Langkahnya pelan, seperti sedang menyusuri kenangan.
“Pakde Jamir?” bisik Bagas, hampir tak percaya.
Mereka semua mengintip bersama-sama, lalu serempak menghela napas lega. Pakde Jamir adalah adik jauh Pak Man, yang katanya dulu pernah tinggal di kota sebelum akhirnya pulang kampung dan tinggal di rumah kecil di pinggir desa. Ia jarang bicara, tapi terkenal baik hati dan selalu kasih permen ke anak-anak kalau lewat depan rumahnya.
Pakde itu berhenti di dekat benteng mereka, memandangi bendera kecil yang berkibar di tengah bambu. Ia menunduk sedikit, lalu tersenyum samar, seperti sedang mengingat sesuatu.
“Kebun ini… masih aja jadi tempat petualangan ya…” gumamnya lirih.
Nabilla menatap teman-temannya. “Kalian denger itu?”
Rafandra mengangguk. Mereka saling pandang, lalu diam-diam keluar dari persembunyian.
“Pakde!” sapa Joenal sambil melambai.
Pakde Jamir tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya langsung melunak.
“Oh… kalian. Ini punya kalian?” tanyanya sambil menunjuk ke benteng bambu yang berdiri tegak, meski agak miring di sisi kanan.
“Iya, Pakde… ini markas kami. Pasukan Petir,” jawab Tegar pelan.
Pakde tertawa kecil, suara tawanya seperti angin lewat sela-sela pohon.
“Dulu, waktu Pak Man masih seumuran kalian, dia juga suka bikin benteng di sini. Bedanya, dia lebih sering nyuri singkong orang terus ngumpet di pohon jambu.”
Mereka ternganga. “Serius, Pakde?”
Pakde Jamir mengangguk. “Bahkan dulu, pohon jambu yang di ujung sana—” ia menunjuk pohon besar berdaun rimbun di pojok kebun, “—jadi markas utama. Ada lubang rahasia di batangnya. Coba kalian lihat deh nanti.”
Mereka langsung semangat. Dalam sekejap, rasa takut lenyap, diganti rasa penasaran yang menyala-nyala. Pakde Jamir duduk sebentar di batang pohon, menatap benteng mereka.
“Jaga baik-baik tempat ini. Jangan cuma buat main, tapi buat kalian saling jagain juga. Gak semua persahabatan bisa tumbuh, apalagi di kebun kayak gini,” katanya sebelum berdiri dan berjalan perlahan meninggalkan mereka.
Mereka terdiam cukup lama setelah Pakde pergi. Tak ada yang bicara, tapi semua tahu, benteng mereka bukan lagi cuma proyek main sore hari. Sekarang, ada sejarah di baliknya. Ada kenangan yang menyambung antar generasi.
Sore itu, setelah menambahkan beberapa helai daun kelapa lagi di atap, mereka berempat berdiri di depan pohon jambu besar di ujung kebun. Rafandra menepuk batangnya, lalu menyusuri bagian bawah. Di antara akar dan lumut, Nabilla menemukan cekungan kecil.
“Eh… ini lubang, loh,” katanya pelan.
Joenal menunduk, menggali sedikit dengan tangan. Sebuah kotak kayu kecil muncul, terkubur separuh di tanah.
“Serius ini apa?” tanya Bagas, suaranya sedikit gemetar antara takut dan senang.
Tegar membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, ada benda-benda lama—stiker tahun ‘90-an, sebuah pensil kayu yang ujungnya sudah tumpul, dan selembar kertas yang warnanya sudah memudar. Tulisan di atasnya samar, tapi masih bisa terbaca:
“Untuk siapapun yang menemukan ini—selamat datang di markas generasi pertama. Jaga tempat ini. Jangan pernah lupakan masa kecilmu.”
— Pasukan Awan, 1994
Mereka saling pandang. Tak ada yang bicara. Tapi senyum mereka sama. Hangat, lebar, dan penuh arti.
Surat dari Masa Kecil
Hari-hari setelah penemuan kotak dari “Pasukan Awan” terasa berbeda. Seolah-olah benteng mereka bukan lagi sekadar tumpukan bambu dan daun kelapa, tapi jadi semacam ruang waktu—menghubungkan mereka, anak-anak tahun dua ribuan, dengan petualang-petualang kecil di masa lalu.
Rafandra menyimpan kertas lusuh itu di dalam plastik bening, lalu memasangnya di dinding markas seperti pajangan museum. Nabilla membuat ulang kotak harta karun dari kardus sepatu dan menghiasinya dengan gambar bintang dan petir. Tegar bahkan menambahkan kalender kecil bertuliskan “Jadwal Penjaga Markas”, dengan nama mereka bergiliran.
“Kalau markas ini penting, kita juga harus serius ngejaganya,” katanya tegas, tapi matanya berbinar seperti anak kecil yang baru tahu makna warisan.
Joenal setuju. Ia mulai menulis surat sendiri, isinya tentang apa saja yang mereka alami, benda apa yang mereka simpan, bahkan siapa saja anggota Pasukan Petir saat ini. Surat itu dimasukkan ke dalam botol plastik dan dikubur di dekat akar pohon jambu, persis di tempat kotak lama ditemukan.
“Aku pengen ada yang nemuin surat kita juga, dua puluh tahun lagi,” katanya sambil menepuk tanah yang baru ditimbun.
“Aku sih berharap, kita yang nemuin lagi,” sahut Bagas sambil tertawa.
Hari itu, mereka berjanji untuk menjaga markas setidaknya sampai akhir libur semester. Mereka mulai datang lebih pagi, membawa makanan lebih banyak, dan permainan makin kreatif. Mulai dari lomba lempar batu, main peran jadi penjaga kerajaan, sampai bikin sandiwara sendiri tentang makhluk dari luar angkasa yang datang ke kebun Pak Man.
Suatu sore, awan kelabu menutupi langit. Hujan turun mendadak, deras, tanpa isyarat. Mereka berempat terjebak di dalam markas. Suara hujan menari di atas daun kelapa yang jadi atap, dan udara mendadak dingin menusuk. Tapi tak ada yang panik. Mereka justru saling menatap dan tertawa—karena ternyata, markas mereka benar-benar tahan hujan.
“Kita hebat juga, ya,” kata Nabilla sambil mengelus dinding bambu yang basah di beberapa sudut.
Tegar duduk memeluk lutut, tersenyum kecil. “Kayaknya markas ini bakal jadi hal yang bakal terus aku inget.”
“Kalian pernah mikir gak sih,” Rafandra berkata pelan, “nanti kalau kita udah gede, markas ini masih ada gak, ya?”
Joenal menjawab tanpa ragu, “Kalau gak ada, ya kita bangun lagi. Tapi nanti bentuknya lebih keren. Bisa ada Wi-Fi, AC, kursi gaming—”
“Gak seru ah, kaku banget,” potong Nabilla. “Yang ini tuh spesial karena kita yang bikin. Kotor, iya. Nggak sempurna, iya. Tapi beneran bikin kita ngerasa kayak… punya dunia sendiri.”
Tak ada yang menyela. Hujan masih turun, dan suara tetes air seperti irama yang menyanyikan kenangan.
Beberapa hari kemudian, liburan berakhir. Satu per satu dari mereka mulai sibuk dengan sekolah. Tegar pindah ke luar kota karena ayahnya dimutasi. Rafandra ikut lomba pramuka tingkat provinsi. Nabilla mulai masuk les tiap sore. Joenal diminta bantu jaga warung orang tuanya.
Mereka tak sempat pamit resmi pada markas. Hari itu berlalu seperti biasa, tanpa perayaan, tanpa tumpengan, bahkan tanpa tawa.
Beberapa minggu kemudian, hujan besar mengguyur desa tiga malam berturut-turut. Saat akhirnya langit cerah, dan mereka mencoba kembali ke kebun Pak Man… markas itu sudah roboh.
Bambu-bambunya tercerai berai, daun kelapa menghitam dan lapuk. Bendera mereka hanyut entah ke mana. Tak ada satu pun yang utuh. Pohon jambu masih berdiri, tapi lubang tempat surat dikubur tertutup tanah dan dedaunan.
Nabilla berdiri lama di depan bekas markas mereka. Tangannya menyentuh batang pohon, seolah berharap keajaiban bisa membalikkan waktu. Rafandra menatap reruntuhan itu, lalu menoleh ke teman-temannya.
“Kita mungkin gak bisa balikin markas ini,” katanya lirih, “tapi kita bisa inget semuanya.”
Bagas mengangguk pelan. “Iya. Semua yang pernah kita lakuin di sini… udah jadi bagian dari kita.”
Joenal membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya menatap tanah kosong itu lama, lalu mengeluarkan buku kecil dari tasnya. Di halaman terakhir, ia menulis satu kalimat:
“Kalau suatu hari kamu kembali ke sini dan baca ini… berarti masa kecilmu pernah sangat indah.”
Beberapa tahun berlalu. Pasukan Petir tumbuh, menjelma remaja dengan kehidupan masing-masing. Tapi di sudut hati mereka, kenangan tentang benteng bambu, alarm kaleng, dan hujan yang menari di atas atap daun kelapa… tetap hidup.
Karena masa kecil, meski tak bisa diulang, adalah surat paling jujur yang pernah kita tulis untuk diri kita sendiri—di saat kita masih percaya bahwa dunia bisa dibangun dari bambu, dan persahabatan bisa bertahan walau markas kita roboh.
Tamat.
Masa kecil emang nggak bisa diulang, tapi kenangannya selalu bisa kita datangi lewat cerita-cerita kayak gini. “Benteng Petir dan Surat dari Masa Kecil” ngingetin kita kalau hal-hal sederhana kayak benteng bambu,
hujan sore, dan tawa bareng sahabat itu ternyata punya tempat spesial di hati. Jadi, kapan terakhir kali kamu inget lagi masa kecilmu yang seru? Yuk, simpan cerita ini baik-baik… siapa tahu suatu hari nanti, kamu juga nemu “surat” dari dirimu yang dulu.