Daftar Isi [hide]
Belajar Naik Sepeda
Keberanian Melepas Roda Bantu
Matahari sore menggantung di langit desa, menyelimuti halaman rumah dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi mengibaskan dedaunan mangga di sudut halaman, sementara suara burung gereja terdengar ramai di kejauhan. Di bawah langit yang cerah itu, seorang anak laki-laki berdiri dengan tangan mencengkeram setang sepeda kecilnya. Sepeda merah itu sudah usang, dengan beberapa goresan di rangkanya, tetapi tetap menjadi kebanggaan si pemiliknya—Ragil.
Ia menatap sepeda itu lekat-lekat, kemudian mendongak menatap abang sulungnya, Bima, yang tengah duduk di tangga teras sambil mengetatkan tali sepatu.
“Bang! Aku mau lepas roda bantu!” suara Ragil penuh semangat, nyaris seperti tantangan.
Bima mengangkat wajahnya, menatap adiknya dengan senyum samar. “Yakin? Jangan nangis kalau jatuh, lho.”
Ragil mengerucutkan bibir. “Aku nggak bakal nangis! Aku kan udah besar.”
Bima tertawa kecil lalu bangkit, berjalan mendekati adiknya yang sudah berdiri dengan dada membusung. Ia jongkok di samping sepeda, meraba dua roda kecil di sisi belakangnya. “Kalau aku lepas, kamu harus janji nggak gampang menyerah.”
“Aku janji!” Ragil mengangguk cepat.
Tanpa banyak bicara lagi, Bima mengambil kunci inggris dari kantong celananya. Ia mulai membuka baut yang menahan roda bantu itu. Sementara Bima bekerja, Ragil mengamati dengan mata berbinar-binar, tapi dalam hatinya, ada sedikit gemetar. Ini pertama kalinya ia akan benar-benar mengayuh sepeda tanpa bantuan.
Begitu roda bantu berhasil dilepas, Bima mengangkatnya dan meletakkannya di tanah. “Nah, sekarang coba naik.”
Ragil menelan ludah, lalu perlahan menaiki sadel sepeda. Tangannya mencengkeram setang erat-erat. Ia bisa merasakan genggaman tangan Bima di bagian belakang jok, memberinya sedikit keberanian.
“Siap?” tanya Bima.
“Siap!” Ragil menjawab mantap, meski sebenarnya kakinya terasa kaku di pedal.
“Oke, mulai kayuh pelan-pelan. Aku pegangin.”
Dengan hati-hati, Ragil mengayuh pedal. Sepeda mulai bergerak maju, dan ia bisa merasakan angin menyentuh wajahnya. Ini terasa menegangkan sekaligus menyenangkan!
“Aku bisa, Bang! Aku bisa!” serunya penuh semangat.
Tapi tepat saat ia merasa percaya diri, ia merasakan genggaman Bima di sadel mengendur. Tanpa aba-aba, sepeda mulai oleng.
“Bang! Pegangin lagi! Aku mau jatuh!” Ragil panik, tangannya mulai menggoyangkan setang tak beraturan.
“Tenangkan badanmu! Jangan tegang! Lihat ke depan, bukan ke roda!” suara Bima terdengar di belakangnya.
Terlambat. Sepeda kehilangan keseimbangan dan—BRUKK!
Ragil terjatuh ke tanah. Lututnya mengenai tanah berumput, sementara debu tipis membumbung di sekitarnya. Ia mengusap siku yang sedikit tergores, tetapi tidak ada air mata yang keluar.
Dari belakang, suara tawa Bima terdengar. “Baru juga mulai udah teriak bisa, eh malah jatuh.”
Ragil mendongak menatap abangnya dengan wajah penuh tekad. “Aku mau coba lagi!”
Bima tersenyum, lalu mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. “Bagus! Itu baru namanya belajar.”
Sore itu, Ragil kembali naik ke sepeda dengan semangat yang lebih besar. Ia belum bisa, tetapi ia tahu, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Jatuh Pertama, Bukan yang Terakhir
Ragil menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih berdebar setelah jatuh tadi. Ia menggenggam setang lebih erat, memastikan kedua kakinya bertumpu kuat di atas pedal. Bima berdiri di sampingnya, menyilangkan tangan di dada dengan senyum jahil yang masih tersisa di wajahnya.
“Kalau takut jatuh, ya nggak bakal bisa,” ujar Bima santai.
“Aku nggak takut! Aku cuma… belum siap tadi,” bantah Ragil cepat.
Bima terkekeh, lalu menepuk bahu adiknya. “Yaudah, ayo coba lagi.”
Ragil mengangguk. Kali ini, ia mencoba mengingat apa yang dikatakan Bima sebelumnya—jangan lihat roda, tapi lihat ke depan. Jangan tegang. Pelan-pelan, ia mulai mengayuh.
Sepeda bergerak maju. Awalnya oleng, tapi Ragil tetap berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Bima masih memegang bagian belakang jok, memastikan adiknya tidak langsung jatuh.
“Kamu harus percaya sama sepedamu,” kata Bima. “Sepeda itu nggak bakal jatuh kalau kamu tetap mengayuh.”
Ragil menggigit bibirnya. “Tapi gimana kalau oleng?”
“Jangan panik. Coba rasain aja. Kalau oleng ke kiri, miringin badan ke kanan, jangan malah ngerem mendadak.”
Ragil mencoba memahami ucapan itu. Ia terus mengayuh, dan untuk sesaat, ia merasa lebih tenang. Ia mulai menikmati pergerakan sepeda di bawahnya. Angin menyapu wajahnya lebih kuat dari sebelumnya, membawa rasa bebas yang aneh tapi menyenangkan.
“Bang! Aku mulai bisa nih!” serunya dengan wajah sumringah.
Bima tersenyum kecil. “Bagus. Sekarang aku lepas, ya?”
Tanpa menunggu jawaban, Bima melepaskan genggamannya. Ragil tidak langsung menyadarinya. Ia masih terus mengayuh, pikirannya hanya fokus pada keseimbangan. Untuk beberapa detik, semuanya terasa sempurna—seperti ia benar-benar bisa mengendarai sepeda sendiri.
Tapi kemudian, angin bertiup sedikit lebih kencang, dan tanpa sadar Ragil mulai melambat. Perasaan panik menyergapnya. Setang kembali goyah. Ia mencoba mengingat apa yang Bima katakan, tetapi tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya—dan kali ini, BRUKK!
Ragil jatuh lagi. Lebih keras daripada sebelumnya.
Siku dan lututnya terasa perih. Ia meringis, mengusap-usap bagian yang terasa sakit. Bima datang mendekat, lalu jongkok di sampingnya.
“Nggak papa?” tanyanya.
Ragil menunduk, melihat luka lecet di lututnya. Bibirnya sedikit bergetar, tapi ia tidak menangis.
“Kok diem aja?” goda Bima. “Kalau mau nangis, nangis aja.”
Ragil menatapnya tajam. “Aku nggak mau nangis.”
Bima terkekeh. “Sip. Nah, sekarang gimana? Mau nyerah atau coba lagi?”
Ragil melirik sepedanya yang tergeletak di tanah. Jujur saja, badannya mulai terasa pegal. Tapi saat ia mengingat sensasi tadi—saat ia hampir bisa mengayuh sendiri—rasa penasaran dan semangatnya kembali muncul.
Ia berdiri, menepuk celananya yang kotor, lalu mengangkat sepedanya kembali.
“Aku mau coba lagi,” katanya tegas.
Bima tersenyum lebar, menepuk kepala adiknya pelan. “Gitu dong.”
Sore semakin tua, tapi semangat Ragil justru semakin besar. Ia tahu, jatuh bukan berarti gagal. Jatuh hanya berarti ia belum bisa—dan ia akan terus mencoba sampai benar-benar bisa.
Bangkit dan Mencoba Lagi
Lututnya masih terasa perih, tapi Ragil tidak peduli. Ia menggenggam setang sepeda lebih erat, matanya menatap lurus ke depan. Sore mulai bergeser menuju senja, tetapi semangatnya belum surut. Bima berdiri di belakangnya dengan tangan bertumpu di pinggang, memperhatikan adiknya yang jelas-jelas menahan rasa sakit di kaki.
“Kamu yakin masih mau coba?” tanya Bima, sedikit mengernyit melihat lecet di lutut adiknya.
Ragil mengangguk mantap. “Aku udah hampir bisa tadi. Aku nggak mau berhenti sebelum benar-benar bisa.”
Bima tersenyum kecil. Ia tahu keras kepala adiknya ini bukan sekadar gengsi—Ragil benar-benar ingin menguasai dua roda itu.
“Oke,” kata Bima akhirnya. “Tapi kali ini kita pelan-pelan, ya.”
Ragil menaiki sadel lagi, menarik napas panjang, lalu mulai mengayuh perlahan. Ia merasa lebih tenang dibanding sebelumnya, mencoba mengingat semua yang Bima ajarkan—jangan tegang, lihat ke depan, rasakan keseimbangan.
Bima masih memegang bagian belakang sadel, mengikuti langkahnya dari belakang. “Rasain dulu ritmenya. Nggak usah buru-buru.”
Ragil mengangguk. Sepeda bergerak lebih stabil, meski ia masih merasa sedikit oleng. Namun, kali ini ia tidak panik.
“Jaga kayuhanmu, jangan berhenti.”
Ia berusaha mengayuh dengan kecepatan yang sama, dan anehnya, semakin ia rileks, semakin terasa mudah. Ia mulai menikmati momen ini—angin yang membelai wajahnya, suara rantai sepeda yang bergerak, roda yang melaju di atas tanah.
Bima tersenyum melihat adiknya mulai percaya diri. “Bagus. Sekarang aku lepas, ya.”
Tanpa menunggu jawaban, Bima melepas pegangannya. Tapi kali ini, Ragil sadar. Ia tahu dirinya sudah benar-benar sendirian di atas sepeda.
Dan… ia tetap melaju!
Ragil menahan napas. Tangannya tetap menggenggam setang dengan mantap, tapi tidak terlalu kaku. Kakinya terus mengayuh. Ia benar-benar melaju tanpa bantuan!
“Aku bisa, Bang! Aku bisa!” serunya penuh kegembiraan.
Bima tertawa dan bertepuk tangan dari belakang. “Bagus, lanjut terus!”
Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan beberapa detik. Saat melihat jalanan di depan sedikit menurun, kepanikan kembali menyergap Ragil. Ia merasa sepedanya melaju terlalu cepat.
“Bang, gimana ngeremnya?!” teriaknya panik.
Bima langsung berseru, “Pakai rem belakang, jangan rem depan, nanti nyungsep!”
Tapi Ragil yang masih panik justru menarik kedua tuas rem sekaligus—dan seketika, sepeda berhenti mendadak. Badannya terdorong ke depan, dan…
“WAAAH!”
BRUKK!
Untuk ketiga kalinya, ia terjatuh. Kali ini lebih keras, tepat di atas tanah berumput di pinggir halaman. Debu beterbangan, sementara suara tawa Bima langsung pecah di belakangnya.
Ragil meringis sambil duduk, mengusap lengan yang sedikit merah akibat gesekan dengan tanah. Ia mendengus kesal, tapi tidak menangis.
Bima berjalan mendekat, masih tertawa. “Aku bilang pakai rem belakang, bukan dua-duanya! Kalau dua-duanya, ya pasti berhenti mendadak!”
Ragil mendongak menatap abangnya, lalu melirik sepedanya yang tergeletak di sampingnya. Meski kesal, ia juga merasa geli sendiri.
“Ya, mana aku tahu, Bang…” gumamnya sambil tersenyum masam.
Bima mengulurkan tangan, membantu Ragil berdiri. “Santai, jatuh segini doang belum seberapa. Tapi kamu udah hampir jago, serius.”
Ragil menghela napas, lalu mengangguk. “Berarti aku harus coba lagi.”
Bima tersenyum bangga. “Nah, itu dia jawabannya.”
Langit semakin oranye, tapi di wajah Ragil, tekadnya semakin kuat. Ia tahu ia sudah dekat. Tinggal sedikit lagi, dan ia akan benar-benar bisa.
Dua Roda, Satu Pelajaran Berharga
Langit mulai berubah warna, dari oranye terang menjadi semburat ungu kemerahan. Angin sore bertiup lebih lembut, membawa aroma tanah yang sedikit berdebu. Ragil berdiri di samping sepedanya, menatap kendaraan kecil itu dengan sorot mata penuh tekad. Lututnya sudah lecet, lengannya terasa sedikit nyeri, tapi semangatnya justru semakin membara.
Bima, yang berdiri dengan tangan di pinggang, mengangguk puas. “Sekali lagi, ya. Kalau kali ini bisa tanpa jatuh, berarti kamu lulus.”
Ragil tersenyum lebar. Ia sudah jatuh tiga kali, tapi entah kenapa kali ini ia merasa jauh lebih siap.
Ia menaiki sadel, mengatur posisi duduknya, lalu mengayuh pelan. Bima tidak lagi memegang bagian belakang sepeda—Ragil tahu kali ini ia harus benar-benar melakukannya sendiri.
Kayuh pertama, kayuh kedua… Ia bisa merasakan roda mulai bergerak stabil. Tangannya lebih santai menggenggam setang, punggungnya tidak terlalu kaku. Ia tetap mengayuh dengan ritme yang teratur, membiarkan tubuhnya menyesuaikan diri dengan gerakan sepeda.
Tidak ada pegangan dari Bima. Tidak ada dorongan dari siapa pun. Hanya dia, sepedanya, dan jalanan di depan.
Dan kali ini, ia tidak takut lagi.
“Aku bisa, Bang! Aku bisa!” serunya girang, wajahnya berseri-seri.
Bima tertawa dari belakang. “Mantap! Sekarang belok ke kanan, coba puterin halaman!”
Ragil mengangguk dan perlahan memiringkan setangnya. Sepeda berbelok dengan lancar, tanpa oleng sedikit pun. Ini pertama kalinya ia benar-benar merasakan kebebasan di atas dua roda. Ia melaju mengitari halaman rumah, lalu kembali ke tempat Bima berdiri.
Begitu kakinya menapak ke tanah untuk berhenti, ia melompat turun dengan senyum penuh kemenangan.
“Aku bisa, Bang! Aku berhasil!” teriaknya penuh semangat.
Bima mengacak rambut adiknya dengan bangga. “Gokil! Sekarang kamu resmi bisa naik sepeda tanpa roda bantu!”
Ragil tertawa senang, matanya berbinar-binar. Semua jatuh, semua luka kecil, semua rasa sakit di lutut dan tangan—semuanya terbayar lunas oleh rasa bangga yang kini memenuhi dadanya.
Ia menatap sepedanya lagi. Benda yang tadinya terasa mustahil untuk dikendalikan, sekarang sudah jadi sahabat barunya.
Bima menepuk bahunya pelan. “Nah, besok kita coba di jalan raya, ya.”
Ragil mendelik. “Hah?! Jalan raya?!”
Bima tertawa. “Santai aja. Yang penting kamu udah bisa. Nanti lama-lama juga bakal terbiasa.”
Ragil mendengus kecil, tapi senyum masih mengembang di wajahnya.
Matahari mulai menghilang di balik pepohonan, menandakan hari sudah hampir berakhir. Tapi bagi Ragil, ini bukan akhir—ini adalah awal dari petualangan barunya di atas dua roda.