Belajar Matematika Jadi Seru?: Kisah Kelas Absurd yang Bikin Ngakak Tapi Tetap Berfaedah!

Posted on

Siapa bilang Matematika itu horor dan bikin ngantuk? Di sebuah kelas yang penuh dengan kehebohan, guru nyentrik, dan murid-murid kocak, pelajaran yang biasanya dianggap momok justru berubah jadi momen paling seru!

Dari tantangan absurd, ringtone bayi ketawa, sampai pertanyaan paling filosofis soal hidup dan angka—semua bikin belajar jadi lebih asik. Yuk, simak kisah kocak kelas X-3 yang nggak cuma bikin ketawa, tapi juga ngajarin kita kalau belajar itu nggak harus membosankan!

Belajar Matematika Jadi Seru?

PAK SASTRO DAN KELAS NYELENEH

Suasana kelas X-3 SMAN 99 Nyeleneh pagi itu sudah ramai sebelum bel berbunyi. Kelas yang seharusnya tenang malah lebih mirip pasar malam. Ada yang ribut main game, ada yang rebutan pulpen, ada yang tidur dengan santainya seperti di kamar sendiri.

Di pojokan kelas, Gilang sedang bersandar di kursinya dengan mata setengah tertutup. “Kenapa sih, tiap Senin pagi tuh rasanya kayak habis dikhianatin waktu libur?” keluhnya.

“Karena emang iya. Jumat tuh kayak gebetan yang baik, tapi Minggu sore rasanya kayak udah ditinggal nikah,” jawab Beni sambil menguap.

Dinda, yang duduk di depan mereka, menoleh sambil mengernyit. “Kalian ngomong apaan sih? Ini Senin, bukan kelas drama.”

Belum sempat ada yang membalas, pintu kelas mendadak terbuka lebar. Seorang pria berperawakan sedang dengan kemeja batik masuk dengan langkah mantap. Matanya tajam, tapi senyumnya lebar.

“Pagi, anak-anak! Masih pada ngantuk?” serunya.

Semua langsung terdiam. Itu dia, Pak Sastro. Guru Matematika yang terkenal bukan hanya karena kepintarannya, tapi juga karena caranya mengajar yang nggak biasa.

“Aku harap hari ini kalian semangat, karena kita akan belajar Matematika dengan cara yang… tidak akan kalian lupakan!” katanya dengan ekspresi penuh percaya diri.

Gilang mendesah pelan. “Dengar-dengar, Pak Sastro ini terkenal absurd, ya?” bisiknya ke Tirta.

Tirta mengangguk cepat. “Aku dengar dari kakak kelas, dia pernah ngajarin rumus Phytagoras pakai cerita anak hilang. Aku nggak ngerti korelasinya di mana.”

Pak Sastro tiba-tiba berjalan mendekati mereka. “Lagi ngomongin aku, ya?” tanyanya sambil menyipitkan mata.

Gilang dan Tirta langsung pura-pura sibuk membuka buku.

Pak Sastro tertawa. “Tenang, aku bukan tipe guru yang suka nyuruh murid maju ke depan kalau nggak bisa jawab soal. Aku lebih suka bikin kalian berpikir… dengan cara yang seru.”

Dinda, yang sejak tadi diam, mengangkat tangan. “Pak, serius belajar Matematika bisa seru?”

Pak Sastro mengangkat alis. “Tentu! Tapi sebelum kita mulai, aku mau tes sedikit. Siapa yang bisa jawab pertanyaan ini…” Ia menulis di papan tulis:

Jika kamu punya lima mantan, lalu kamu buang dua, sisa berapa?

Seisi kelas langsung ribut.

Dinda berpikir sejenak lalu menjawab, “Tiga, Pak!”

Pak Sastro menggeleng cepat. “Salah!”

Tirta mencoba, “Dua, Pak?”

Pak Sastro kembali menggeleng. “Salah lagi! Jawaban yang benar adalah… tetap lima. Karena mantan itu nggak bisa dibuang, cuma bisa dikenang.”

Sekelas langsung pecah. Beberapa siswa sampai tepuk-tepuk meja karena ngakak.

Gilang menatap Pak Sastro takjub. “Pak, ini pelajaran Matematika atau seminar move on?”

Pak Sastro tersenyum. “Dua-duanya. Karena hidup ini tentang menghitung langkah ke depan, bukan cuma angka di atas kertas.”

Setelah kehebohan mereda, Pak Sastro kembali menulis di papan tulis. “Baiklah, ayo kita mulai dengan persamaan kuadrat. Aku jamin, ini akan lebih menarik dari yang kalian kira.”

Tapi sebelum ia sempat menjelaskan, Beni—yang sejak tadi diam—sudah terkulai di meja dengan kepala nyender di tasnya. Tidur.

Pak Sastro menghela napas. “Lihat, sebelum belajar aja udah ada yang menyerah.”

Tirta menyikut Beni. “Oi, bangun. Pak Sastro ngelihat, nih.”

Beni menggeliat sebentar. “Duh, aku ketiduran?”

“Kamu kira ini hotel?” balas Gilang sambil menahan tawa.

Pak Sastro mengangkat tangan. “Tenang-tenang, kalau ada yang mengantuk, artinya aku belum cukup seru. Oke, aku tantang kalian. Kalau ada yang bisa jawab soal pertama dengan benar, boleh kasih tantangan buat temannya.”

Seketika suasana kelas berubah. Dari yang tadinya malas, sekarang semua fokus.

“Serius, Pak?” tanya Dinda.

“Serius,” jawab Pak Sastro dengan senyum penuh arti.

Semua langsung siaga. Gilang bahkan mengambil bolpennya dengan semangat. Kelas ini baru dimulai, tapi rasanya sudah seperti game survival.

Dan itulah awal dari kelas Matematika paling nyeleneh yang pernah mereka alami.

MATEMATIKA ATAU MOTIVASI HIDUP?

Setelah mengumumkan tantangan, Pak Sastro langsung menulis soal di papan tulis:

(5x – 3) = ? jika x = 4

Gilang langsung mengangkat tangan. “Pak, gampang banget ini! Jawabannya 17!”

Pak Sastro tersenyum puas. “Bagus, Gilang! Sekarang, kamu boleh kasih tantangan buat salah satu temanmu.”

Gilang melirik ke kanan dan kiri, mencari korban. Matanya berhenti di Beni, yang baru saja bangun dari tidur siangnya. Senyum licik muncul di wajahnya.

“Tantangannya buat Beni, Pak,” kata Gilang penuh semangat. “Dia harus nyanyiin lagu dangdut di depan kelas.”

Beni langsung membelalak. “Lah, kok aku?”

Pak Sastro tertawa. “Kamu yang ditunjuk, jadi kamu harus terima tantangan.”

Seisi kelas sudah bersiap merekam dengan HP mereka. Dinda bahkan sudah mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja seperti drummer.

Beni mendesah panjang. “Oke, oke, aku nyanyi…” Ia bangkit dari kursinya, menarik napas, lalu dengan suara yang agak serak, mulai menyanyikan lagu dangdut legendaris:

“Kopi dangdut… yang hitam manis…”

Kelas langsung meledak dalam tawa. Suara Beni lebih mirip radio rusak ketimbang penyanyi dangdut. Bahkan Pak Sastro sampai harus menahan tawa sambil menutup mulutnya.

Saat Beni selesai, ia langsung duduk kembali dengan wajah merah padam. “Udah, kan? Jangan ada yang unggah ke TikTok, ya!”

“Udah telat, bro,” jawab Tirta sambil terkekeh, menunjukkan layar HP-nya.

Pak Sastro mengusap dagunya. “Luar biasa. Aku baru pertama kali lihat penyanyi dangdut yang nyanyinya bikin orang pingsan ketawa.”

Beni mendelik. “Pak, ini kan kelas Matematika. Kenapa jadi ajang nyanyi?”

Pak Sastro tersenyum santai. “Itulah intinya. Belajar itu nggak harus membosankan. Kalau otak kalian tegang terus, nanti sulit mikir.”

Dinda mengangkat tangan. “Pak, aku masih nggak ngerti hubungan Matematika sama nyanyi dangdut.”

Pak Sastro menulis di papan tulis:

Belajar = Otak bekerja
Otak bekerja + Hiburan = Ingatan lebih kuat

“Nah, kalau aku cuma ngajarin Matematika dengan cara biasa, kalian bakal lupa setelah keluar kelas. Tapi kalau aku ngajarin dengan cara seru, kalian bakal ingat lebih lama,” jelasnya.

Tirta mengangguk. “Berarti kalau ada ulangan, kita harus nyanyi dulu, Pak?”

Pak Sastro tertawa. “Terserah kalian! Yang jelas, kalau belajar itu menyenangkan, otak lebih cepat menangkap pelajaran.”

Gilang mengangguk-angguk seolah tercerahkan. “Jadi ini alasan kenapa ada orang yang bisa hafal ratusan lagu, tapi lupa sama rumus Matematika.”

“Bingo!” kata Pak Sastro sambil menjentikkan jari.

Saat kelas mulai masuk ke materi yang lebih serius, suasana tetap santai. Murid-murid lebih semangat bertanya dan bahkan mulai menikmati pelajaran.

Sampai akhirnya, alarm HP Gilang tiba-tiba berbunyi.

Kelas mendadak hening. Semua menoleh ke Gilang, yang buru-buru mematikan alarmnya.

Pak Sastro menyipitkan mata. “Alarm buat apa itu?”

Gilang terdiam sejenak, lalu akhirnya mengakui, “Aku nyetel alarm buat bangunin aku kalau pelajarannya mulai bosenin, Pak.”

Kelas langsung pecah lagi dalam tawa. Bahkan Pak Sastro sendiri sampai menepuk jidatnya.

“Gilang, Gilang… Aku nggak tahu harus bangga atau sedih denger ini,” kata Pak Sastro sambil menggeleng-geleng.

“Bangga aja, Pak,” kata Gilang santai. “Berarti kelas Bapak nggak membosankan kalau alarm aku nggak bunyi dari tadi.”

Pak Sastro menghela napas sambil tersenyum. “Baiklah, kalau gitu, ayo kita buat pelajaran ini makin seru!”

Dan itulah awal dari sesi belajar Matematika paling absurd yang pernah mereka alami.

ALARM, TANTANGAN, DAN DANGDUT DI KELAS

Setelah alarm Gilang sukses membuat kelas heboh, Pak Sastro berdiri di depan kelas dengan tangan bersedekap, menatap murid-muridnya dengan ekspresi penuh rencana.

“Baiklah, karena kelas ini sudah cukup kacau, ayo kita buat lebih kacau lagi,” katanya dengan senyum jahil.

Murid-murid langsung curiga.

“Apa maksudnya, Pak?” tanya Tirta waspada.

Pak Sastro menulis di papan tulis dengan huruf besar:

“GAME MATEMATIKA: SIAPA CEPAT, DIA SELAMAT!”

Beni mengangkat tangan. “Pak, kenapa judulnya kayak acara survival?”

Pak Sastro hanya tersenyum misterius. “Karena hidup itu seperti ujian Matematika, Beni. Kalau kamu nggak siap, bisa-bisa kamu ketinggalan dan bingung di belakang.”

Dinda menatap Pak Sastro penuh selidik. “Dan kalau siap?”

“Kalau siap, kamu bisa kasih tantangan ke temanmu, kayak tadi Gilang kasih tantangan ke Beni,” jawab Pak Sastro. “Tapi kali ini, tantangannya harus lebih kreatif. Bebas, tapi jangan sampai bikin aku dipanggil kepala sekolah.”

Kelas langsung ribut. Gilang sudah terlihat penuh semangat, Beni terlihat pasrah, sementara Tirta memegang kepalanya seakan sudah stres sebelum permainan dimulai.

“Siap, anak-anak?” tanya Pak Sastro.

“Siap atau tidak, kami tetap harus siap,” gumam Beni lesu.

Pak Sastro menulis soal pertama:

2x² – 5x + 3 = 0, jika x = 2, berapa hasilnya?

Hanya dalam beberapa detik, Dinda langsung mengangkat tangan. “Pak, jawabannya 1!”

Pak Sastro mengacungkan jempol. “Benar! Sekarang, siapa yang mau kamu tantang?”

Dinda berpikir sejenak, lalu menatap Tirta dengan senyum penuh arti. “Tirta aja, Pak. Dia terlalu serius hari ini.”

Tirta langsung panik. “Loh, loh, loh, kenapa aku?”

“Kebanyakan mikir bikin stres. Makanya, tantangan buat kamu…” Dinda berpikir sejenak sebelum tersenyum licik. “Kamu harus keluar kelas dan pura-pura nanya arah ke kantin ke kakak kelas.”

Kelas langsung bersorak kegirangan.

Tirta menggeleng keras. “Nggak! Itu malu-maluin banget!”

Pak Sastro hanya mengangkat bahu. “Aturan tetap aturan, Tirta.”

Akhirnya, dengan langkah berat dan wajah seperti orang yang baru kehilangan harapan hidup, Tirta berjalan keluar kelas. Beberapa teman sekelasnya ikut mengintip dari jendela, menahan tawa.

Di luar, terlihat ada beberapa kakak kelas yang sedang duduk di koridor. Tirta mendekat dengan wajah setengah pasrah.

“Ehm… Kak, maaf… Kantin di mana, ya?” tanyanya dengan suara kecil.

Salah satu kakak kelas menatapnya bingung. “Lah, kan kamu anak sini juga?”

Tirta berpikir keras mencari alasan. “E-eh, iya, Kak, tapi… aku lupa jalan.”

Kakak kelas itu semakin bingung, sementara di balik jendela kelas, teman-teman Tirta sudah nyaris jatuh ke lantai menahan tawa.

Setelah beberapa detik menyerap rasa malu, Tirta akhirnya kembali ke kelas dengan wajah merah padam. “Kalian semua kejam.”

Dinda tertawa puas. “Tapi kan sekarang otak kamu lebih segar, ya?”

Pak Sastro mengangguk. “Luar biasa. Ini baru kelas yang seru.”

Belum selesai dengan kekacauan itu, tiba-tiba HP Gilang berbunyi lagi. Kali ini bukan alarm, tapi ringtone yang—anehnya—berbunyi suara bayi ketawa.

Seisi kelas langsung menoleh ke Gilang yang buru-buru mematikan HP-nya.

Pak Sastro melipat tangan. “Gilang, tolong jelaskan, kenapa ringtone kamu begitu?”

Gilang mengangkat bahu. “Biar kalau ada yang nelpon, aku nggak marah-marah, Pak. Masa denger suara bayi ketawa terus emosian?”

Pak Sastro terdiam beberapa detik, lalu akhirnya tertawa. “Baiklah, aku nggak bisa marah kalau alasannya sebagus itu.”

Kelas kembali penuh dengan tawa. Pelajaran Matematika hari itu bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang tawa, tantangan, dan ringtone absurd.

Dan tanpa mereka sadari, di tengah semua kekonyolan itu, mereka belajar lebih banyak daripada yang mereka kira.

BELAJAR DENGAN TAWA, MENGINGAT DENGAN BAHAGIA

Setelah kehebohan ringtone bayi ketawa milik Gilang, kelas X-3 masih penuh gelak tawa. Bahkan Pak Sastro sendiri sempat duduk sebentar di meja guru sambil memijat dahinya, mungkin karena baru pertama kali mengajar di kelas sekacau ini.

“Tolong, ya, kelas ini jangan berubah jadi acara komedi,” katanya akhirnya sambil menghela napas.

“Pak, bukan kami yang bikin kelas ini begini, tapi Bapak sendiri,” kata Tirta sambil nyengir.

Pak Sastro menatapnya penuh arti. “Memang itu tujuanku. Kalau kalian ingat betapa konyolnya kelas ini, kalian juga akan lebih mudah ingat pelajaran Matematika.”

Dinda mengangguk pelan. “Iya juga, sih. Kalau aku disuruh inget rumus kuadrat doang, mungkin aku bakal lupa. Tapi kalau inget Tirta nanya arah ke kantin ke kakak kelas, aku bakal langsung inget.”

“Kenapa harus aku yang jadi contoh?” keluh Tirta, tapi dia sendiri nggak bisa menahan tawa.

Pak Sastro kembali ke depan kelas dan menulis sebuah kalimat besar di papan tulis:

“MATEMATIKA ITU SEPERTI HIDUP.”

Kelas langsung terdiam.

Beni mengangkat tangan. “Pak, kalau hidup aku berantakan, berarti Matematika aku juga berantakan?”

Pak Sastro tertawa. “Bukan begitu, Beni. Tapi seperti hidup, dalam Matematika kalian juga harus mencari solusi.”

Gilang bersandar di kursinya. “Wah, berat banget, Pak. Udah kayak motivator.”

“Motivator yang bisa ngitung integral,” tambah Tirta, membuat kelas tertawa lagi.

Pak Sastro melanjutkan, “Kadang, kalau kita cuma lihat angka dan rumus, kita jadi takut duluan. Sama seperti kalau kita lihat masalah dalam hidup. Tapi kalau kita mendekatinya dengan cara yang menyenangkan, segalanya jadi lebih mudah.”

Kelas mendadak hening. Untuk pertama kalinya, mereka mendengar sesuatu yang benar-benar bermakna dari seorang guru Matematika.

Dinda mengangguk kecil. “Aku ngerti, Pak. Kalau kita menikmati pelajaran, kita bakal lebih gampang paham.”

“Benar sekali,” kata Pak Sastro. “Makanya, aku nggak mau kelas ini jadi kelas yang penuh tekanan. Kalian boleh main, boleh tertawa, boleh gagal. Yang penting, kalian tetap belajar.”

Gilang menghela napas panjang. “Pak, kalau gitu… Bisa nggak kita bikin Matematika masuk kategori ekstrakurikuler aja? Jadi lebih santai?”

Pak Sastro tertawa sambil menggeleng. “Kalau Matematika dijadiin ekskul, kalian bakal lebih memilih tidur di rumah.”

Kelas langsung ramai dengan tawa setuju.

Bel berbunyi, menandakan jam pelajaran selesai.

“Tugas buat kalian,” kata Pak Sastro sebelum keluar kelas. “Setiap kali kalian ketemu soal Matematika, jangan panik. Coba anggap itu sebagai tantangan yang bisa kalian taklukkan.”

Beni mengangkat tangan. “Pak, kalau tantangannya terlalu susah?”

Pak Sastro tersenyum. “Cari teman untuk bantu. Karena seperti hidup, Matematika juga lebih mudah kalau kita hadapi bersama.”

Seisi kelas terdiam sebentar, lalu tersenyum.

Saat Pak Sastro keluar dari kelas, Gilang menoleh ke teman-temannya. “Jujur, aku masih nggak suka Matematika.”

Beni mengangguk. “Sama. Tapi… aku suka kelas ini.”

Dinda tersenyum. “Aku juga. Mungkin bukan Matematika yang kita nikmati, tapi cara kita belajar bareng.”

Tirta menatap papan tulis yang masih penuh dengan tulisan dan coretan. “Iya. Mungkin ini pertama kalinya aku ngerasa belajar Matematika bisa menyenangkan.”

Dan dengan begitu, kelas X-3 menyadari bahwa pelajaran bukan cuma tentang angka dan rumus, tapi juga tentang pengalaman, tawa, dan teman-teman yang menemani di setiap langkahnya.

Karena seperti kata Pak Sastro… belajar lebih mudah jika dilakukan dengan bahagia.

Jadi, siapa bilang belajar Matematika harus selalu serius dan bikin pusing? Dengan cara yang tepat, bahkan angka dan rumus bisa jadi petualangan seru yang penuh tawa! Seperti kelas X-3, belajar bareng teman, ditambah guru yang asik, bisa bikin pelajaran lebih gampang dicerna.

Mungkin, yang kita butuhin bukan sekadar hafalan rumus, tapi cara belajar yang bikin kita enjoy! Jadi, yuk ubah mindset—belajar itu nggak harus membosankan, yang penting semangat dan tetap happy!

Leave a Reply