Belajar di Luar Sekolah: Kisah Inspiratif Pemuda Desa yang Sukses Tanpa Ijazah

Posted on

Sekolah memang penting, tapi apakah sukses hanya bisa diraih lewat bangku pendidikan formal? Kisah Raka, seorang pemuda desa yang belajar dari kehidupan, membuktikan bahwa ilmu bisa didapat dari mana saja.

Dari seorang guru tua di bawah pohon beringin, ia menemukan cara untuk mengubah nasibnya—tanpa ijazah, tanpa gelar, tapi dengan semangat belajar yang tak kenal henti. Artikel ini akan mengupas kisah inspiratifnya dan bagaimana pendidikan luar sekolah bisa membuka jalan menuju kesuksesan. Yuk, simak ceritanya!

Belajar di Luar Sekolah

Guru di Bawah Pohon Beringin

Di desa Karangjati, pohon beringin tua itu sudah berdiri jauh sebelum orang-orang di sana lahir. Akarnya mencengkeram tanah seperti tangan raksasa yang menahan waktu, dan dahannya menaungi siapa pun yang ingin berteduh. Tapi lebih dari sekadar pohon, tempat itu adalah sekolah tanpa dinding, tanpa papan tulis, dan tanpa aturan ketat.

Di sanalah Pak Wreda duduk setiap sore, mengenakan kain lusuh yang membungkus tubuhnya yang ringkih. Lelaki tua itu tidak punya meja atau kursi mewah, hanya bangku kayu sederhana yang semakin hari semakin lapuk. Namun, yang datang kepadanya bukan sekadar anak-anak, tapi juga orang dewasa yang ingin belajar tentang kehidupan.

“Pak Wreda, aku nggak ngerti, kenapa kalau air masuk ke tanah, lama-lama bisa hilang?” tanya seorang anak kecil bernama Kirana sambil duduk bersila di tanah.

Pak Wreda tersenyum tipis, lalu mengambil segenggam tanah kering dan menaburkannya ke atas permukaan air dalam tempurung kelapa. “Air nggak hilang, Kirana. Dia cuma pindah. Tanah ini menyerapnya, lalu suatu saat akan mengeluarkannya lagi. Sama kayak ilmu, kalau kamu simpan, dia nggak hilang. Dia ada di dalam kamu, siap keluar di waktu yang tepat.”

Beberapa orang yang duduk di sekelilingnya mengangguk paham. Bagi mereka, Pak Wreda bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga memberi pemahaman yang lebih dalam.

Di antara orang-orang yang rutin datang adalah Raka. Pemuda itu lebih tinggi dari kebanyakan anak muda di desa, kulitnya cokelat terbakar matahari, dan tangannya penuh kapalan akibat bekerja di sawah sejak kecil.

Sore itu, ia datang lebih awal dari biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya.

“Pak Wreda,” panggilnya pelan.

“Hm?”

“Aku tuh kepikiran. Kenapa orang-orang selalu bilang kalau sukses itu harus sekolah tinggi? Aku nggak sekolah, tapi aku pengen sukses. Jadi, menurutmu, aku harus gimana?”

Pak Wreda menatap pemuda itu lama, lalu mengambil sebutir batu kecil dari tanah dan melemparkannya ke sungai kecil di dekat mereka. Raka mengikuti gerakan batu itu dengan matanya sampai akhirnya tenggelam.

“Kamu lihat batu itu, Raka?”

“Iya.”

“Dia nggak bisa milih di mana dia jatuh, tapi dia bisa pilih gimana cara dia bertahan. Kamu nggak sekolah, tapi kamu bisa tetap belajar. Belajar itu bukan cuma dari buku atau sekolah, tapi dari hidup.”

Raka mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Pak Wreda menepuk lututnya pelan. “Setiap hari kamu ke sawah, kan? Kamu belajar cara nanam padi, cara merawat tanah, cara ngerti kapan hujan bakal turun. Itu juga ilmu. Kamu cuma perlu belajar lebih luas, lebih dalam, biar bisa pakai ilmu itu buat masa depanmu.”

Raka terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Sebelum ia bisa menjawab, suara lain menyela.

“Tapi, Pak, kalau gitu kenapa orang-orang tetap maksa anaknya buat sekolah tinggi?” tanya seorang pria paruh baya yang biasa dipanggil Kang Dirga.

Pak Wreda menghela napas sebelum menjawab. “Karena dunia masih melihat ijazah sebagai bukti seseorang punya ilmu. Tapi kalau kamu nggak punya ijazah, kamu harus kasih bukti lain. Buktikan kalau kamu bisa, buktikan kalau kamu tahu apa yang kamu lakukan.”

Semua terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan beringin yang tua itu.

Di kejauhan, suara lonceng sapi terdengar samar, menandakan hari sudah mulai sore. Namun, percakapan di bawah pohon beringin itu belum selesai. Raka belum selesai mencari jawabannya.

Dan Pak Wreda belum selesai mengajarkan ilmunya.

Raka dan Pertanyaan tentang Sukses

Malam turun perlahan di Karangjati. Setelah sore yang penuh pemikiran di bawah pohon beringin, Raka pulang ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Kata-kata Pak Wreda terus terngiang di telinganya.

“Kalau kamu nggak punya ijazah, kamu harus kasih bukti lain.”

Bukti apa? Bagaimana caranya?

Di rumah, ayahnya sudah duduk di depan rumah, mengasah sabit dengan tenang. Ibunya menata hasil panen di tikar anyaman. Kehidupan mereka sederhana, tak pernah lebih dari cukup, tapi tak pernah kurang juga.

“Raka, besok pagi kita ke sawah lebih awal. Pak Likmu bilang hujan bakal turun sore,” kata ayahnya tanpa menoleh.

“Iya,” jawab Raka singkat, tapi pikirannya masih berkeliaran.

Malam itu, ia hampir tak bisa tidur. Ia memikirkan bagaimana caranya bisa sukses tanpa sekolah. Orang-orang yang ia tahu sukses di desa ini, semuanya punya warisan tanah yang luas atau sekolah tinggi. Ia tak punya keduanya.

Keesokan harinya, di sawah, ia bekerja seperti biasa. Tapi kali ini, matanya lebih awas. Ia memperhatikan cara ayahnya memilih benih, cara Pak Lik mengamati langit untuk membaca cuaca, cara air mengalir di sela-sela petak sawah.

Siangnya, setelah selesai bekerja, ia langsung pergi ke pohon beringin. Pak Wreda sudah ada di sana, duduk dengan tenang sambil menganyam tali dari serat pisang.

“Pak Wreda, aku mikirin kata-katamu,” kata Raka, duduk bersila di depannya.

Pak Wreda mengangguk pelan. “Bagus. Jadi, apa yang kamu pikirkan?”

“Aku sadar kalau aku selama ini cuma ikut-ikutan kerja di sawah tanpa ngerti kenapa aku ngelakuin sesuatu. Aku mau belajar lebih banyak, tapi gimana caranya?”

Pak Wreda tersenyum tipis. “Kamu baru mulai ngerti. Orang sukses itu bukan yang paling pintar, tapi yang paling mau belajar. Mulai dari apa yang ada di sekelilingmu.”

“Tapi, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Raka mengeluh.

Pak Wreda meraih segenggam tanah dan meletakkannya di telapak tangan Raka. “Kamu pegang tanah ini. Coba lihat, rasakan. Kamu tahu nggak kalau tanah ini bisa kasih tahu kamu banyak hal?”

Raka mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

“Kalau tanah ini terlalu kering, kamu tahu padi bakal susah tumbuh. Kalau tanahnya terlalu basah, akar bisa busuk. Kamu bisa belajar cara mengenali tanah yang baik. Itu ilmu. Ilmu yang kalau kamu kuasai, kamu bisa pakai buat bantu orang lain.”

Raka menatap tanah di tangannya, seakan baru pertama kali melihatnya.

Pak Wreda melanjutkan, “Banyak petani di desa ini cuma ikut tradisi. Mereka tanam padi seperti yang diajarkan orang tua mereka, tanpa ngerti kenapa. Kalau kamu belajar lebih dalam, kamu bisa kasih mereka sesuatu yang lebih.”

Raka mengangguk pelan. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang masuk akal.

Hari-hari berikutnya, ia mulai lebih serius mengamati sawah. Ia bertanya ke orang-orang tua di desa tentang cara mereka bertani. Ia mencoba membandingkan tanah dari berbagai petak sawah. Bahkan, ia mulai mencatat pengamatan-pengamatannya di selembar kertas lusuh yang ia temukan di rumah.

Suatu sore, ia kembali ke pohon beringin dengan membawa segenggam tanah dari sawahnya sendiri.

“Pak Wreda, aku nemuin sesuatu,” katanya bersemangat.

Pak Wreda mengangkat alis. “Apa itu?”

“Tanah di sawah bagian selatan lebih padat dan warnanya lebih gelap dari yang lain. Aku perhatiin, padi di sana tumbuh lebih lambat. Aku tanya ke Bapak, katanya dulu di situ sering banjir. Mungkin tanahnya terlalu banyak air jadi nggak subur.”

Pak Wreda tersenyum lebar. “Bagus, Raka. Kamu sudah mulai melihat dengan mata seorang pembelajar. Sekarang, pertanyaannya, apa yang bisa kamu lakukan dengan pengetahuan itu?”

Raka terdiam. Ia belum tahu jawabannya.

Tapi satu hal yang pasti—ia mulai menemukan caranya sendiri untuk belajar.

Pelajaran di Luar Sekolah

Sejak sore itu, Raka tidak lagi melihat sawah hanya sebagai tempat bekerja. Ia melihatnya sebagai buku terbuka, tempat di mana ia bisa membaca setiap tanda-tanda kecil yang selama ini luput dari perhatiannya.

Ia mulai mencoba hal-hal baru. Ia menggali sedikit tanah, meremasnya, mencium baunya, mencoba memahami kelembapannya. Ia memperhatikan perbedaan warna daun padi dan mencoba menghubungkannya dengan kondisi tanah. Ia bahkan mulai bertanya pada orang-orang tua di desa yang dulu belajar bertani dari kakek mereka.

Namun, tidak semua orang menganggap apa yang ia lakukan itu penting.

“Raka, ngapain kamu main-main sama tanah terus?” tanya Pak Liknya suatu sore saat melihat Raka berjongkok di pematang sawah sambil mencatat sesuatu di selembar kertas.

“Aku lagi nyoba ngerti tanah di sini, Pak Lik,” jawab Raka tanpa menoleh.

Pak Lik tertawa pendek. “Ngerti tanah? Emang tanah bisa diajak ngomong?”

Raka menggeleng. “Nggak bisa ngomong, tapi bisa kasih tanda-tanda. Aku nemuin kalau bagian sawah yang sering banjir tanahnya lebih berat, jadi mungkin kurang bagus buat padi. Aku mau cari cara biar tanahnya bisa lebih subur.”

Pak Lik menghela napas. “Dulu juga sawah ini sering banjir, tapi toh padi tetap tumbuh.”

“Iya, tapi kalau kita bisa bikin tanahnya lebih baik, hasil panennya bisa lebih banyak,” kata Raka yakin.

Pak Lik tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan lalu berjalan pergi, seakan tidak ingin membuang waktu dengan sesuatu yang menurutnya tidak penting.

Namun, Raka tidak peduli. Ia tetap datang ke bawah pohon beringin setiap sore, membawa catatan dan pertanyaan-pertanyaan baru untuk Pak Wreda.

Suatu hari, ketika desa sedang sepi karena orang-orang sibuk di sawah, Raka duduk berhadapan dengan Pak Wreda.

“Aku nemuin sesuatu lagi,” katanya dengan mata berbinar.

Pak Wreda tersenyum. “Ceritakan.”

“Aku perhatiin, tanah yang lebih ringan dan nggak sering kebanjiran itu lebih gembur. Aku tanya-tanya ke orang-orang, katanya tanah seperti itu bagus buat tanaman lain, bukan cuma padi. Jadi aku kepikiran, kalau di bagian sawah yang sering banjir itu kita tanam sesuatu yang lebih cocok buat tanah basah, hasilnya bisa lebih bagus.”

Pak Wreda menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Kamu sudah berpikir seperti seorang petani yang cerdas, Raka. Kamu nggak cuma ikut tradisi, tapi mencoba memahami apa yang kamu lakukan. Itu yang membedakan antara bekerja dan belajar.”

Raka tersenyum bangga. Ia merasa sedang berada di jalur yang benar.

Namun, ide-idenya tidak selalu diterima dengan mudah. Ketika ia menceritakan temuannya kepada ayahnya, tanggapan yang ia dapatkan tidak jauh berbeda dari Pak Lik.

“Tanam selain padi? Orang di sini sudah bertahun-tahun nanam padi, Raka. Itu yang kita tahu, itu yang kita makan,” kata ayahnya tegas.

“Iya, Pak, tapi kalau kita bisa nanam sesuatu yang lebih cocok buat tanahnya, kita bisa panen lebih banyak,” kata Raka, mencoba menjelaskan.

Ayahnya menghela napas. “Aku tahu kamu banyak belajar dari Pak Wreda, tapi ingat, Raka. Hidup itu nggak bisa hanya berdasarkan teori. Orang-orang di desa ini butuh makan, bukan eksperimen.”

Kata-kata itu menusuk hati Raka, tapi ia tidak menyerah.

Di bawah pohon beringin, ia menceritakan kegelisahannya pada Pak Wreda.

“Aku ngerasa nggak ada yang percaya sama aku, Pak,” katanya lesu.

Pak Wreda tersenyum bijak. “Itu karena mereka belum melihat hasilnya. Orang lebih mudah percaya pada apa yang bisa mereka lihat dan rasakan.”

Raka terdiam. “Jadi, aku harus buktiin sendiri?”

Pak Wreda mengangguk. “Ilmu itu baru berguna kalau bisa diterapkan. Kalau kamu yakin dengan apa yang kamu pelajari, buktikan.”

Raka pulang dengan tekad baru.

Malam itu, ia duduk di depan rumah, memandangi bulan yang menggantung di langit. Ia sadar, jalan yang ia pilih tidak mudah. Tapi kalau ia ingin sukses tanpa sekolah, ia harus bisa membuktikan kalau belajar di luar sekolah pun bisa membawa perubahan.

Dan ia tahu, hanya ada satu cara untuk melakukannya—dengan bertindak.

Warisan yang Tak Terlupakan

Raka tidak menunggu orang lain percaya padanya. Ia tahu, satu-satunya cara membuktikan ilmunya adalah dengan bertindak.

Ia memilih sebidang kecil tanah di pinggir sawah yang sering kebanjiran. Tanah yang selama ini dianggap kurang berguna oleh para petani desa. Dengan sisa uang tabungannya, ia membeli bibit talas dan kangkung—dua tanaman yang bisa tumbuh di tanah basah.

Setiap hari, setelah bekerja di sawah milik keluarganya, ia menyempatkan diri merawat lahannya sendiri. Ia memastikan tanahnya tetap subur, mengatur aliran air agar tidak terlalu tergenang, dan mencatat setiap perubahan yang ia lihat.

Orang-orang desa memandangnya dengan heran.

“Raka tuh aneh, masa sawah dipakai buat nanam kangkung?” bisik beberapa ibu-ibu di pasar.

Pak Lik hanya menggelengkan kepala setiap kali melihatnya, sementara ayahnya memilih untuk diam.

Namun, Raka tidak peduli. Ia terus bekerja.

Bulan demi bulan berlalu, dan hasilnya mulai terlihat. Talas yang ia tanam tumbuh besar dengan daun hijau yang lebar. Kangkungnya tumbuh subur, bahkan lebih cepat dari yang ia perkirakan.

Suatu hari, saat ia memanen hasil pertama dari lahannya, Pak Wreda datang dan duduk di bawah pohon beringin seperti biasa.

“Pak, aku berhasil,” kata Raka dengan senyum lebar, menunjukkan hasil panennya.

Pak Wreda mengamati talas dan kangkung itu dengan mata berbinar. “Bagus, Raka. Lalu, apa langkah selanjutnya?”

Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Aku mau jual ini ke pasar. Kalau berhasil, aku bakal tanam lebih banyak.”

Dan begitulah yang ia lakukan. Ia membawa hasil panennya ke pasar, menjualnya dengan harga yang layak. Beberapa orang mulai penasaran. Mereka bertanya dari mana ia mendapatkan talas sebesar itu dan bagaimana ia bisa menanam kangkung di sawah yang selalu banjir.

Ketika mereka tahu kalau tanah yang sering kebanjiran ternyata bisa dimanfaatkan untuk hal lain, perlahan orang-orang desa mulai memperhatikannya.

Pak Lik, yang awalnya meremehkan ide Raka, akhirnya datang ke lahannya dan bertanya, “Gimana caranya kamu bisa bikin ini semua tumbuh subur?”

Raka tersenyum. “Aku cuma belajar dari tanah, Pak Lik. Seperti yang selalu dibilang Pak Wreda, kalau kita mau lihat dengan mata seorang pembelajar, kita bisa nemuin ilmu di mana-mana.”

Seiring waktu, beberapa petani mulai mencoba metode Raka. Mereka tidak lagi hanya mengandalkan padi, tapi juga mulai menanam tanaman lain yang lebih cocok untuk tanah mereka. Hasil panen meningkat, dan desa Karangjati perlahan menjadi lebih sejahtera.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, datang kabar yang membuat seluruh desa bersedih.

Pak Wreda meninggal dunia dalam tidurnya.

Hari itu, di bawah pohon beringin yang telah menjadi saksi segala pelajarannya, orang-orang desa berkumpul untuk mengantarnya pergi.

Raka berdiri di antara mereka, menatap bangku kayu tempat lelaki tua itu biasa duduk. Ia mengingat semua kata-kata bijak yang pernah ia dengar. Tentang belajar dari kehidupan, tentang membuktikan diri tanpa ijazah, tentang bagaimana ilmu yang sesungguhnya tidak selalu berasal dari sekolah.

Ia mengambil napas dalam, lalu duduk di bangku itu.

Beberapa anak kecil yang biasa mendengar cerita Pak Wreda ikut duduk di sekelilingnya. Salah satu dari mereka, Kirana, menatap Raka dengan penuh harapan.

“Raka, sekarang kamu yang jadi guru di sini, ya?” tanyanya polos.

Raka tersenyum, menatap pohon beringin tua itu sejenak sebelum menjawab.

“Aku bukan guru, Kirana. Aku cuma seorang murid yang masih belajar,” katanya. “Tapi kalau kalian mau belajar bersama, kita bisa cari jawabannya bareng-bareng.”

Sejak hari itu, pohon beringin itu tidak pernah sepi. Raka meneruskan warisan Pak Wreda, bukan sebagai seorang guru, tapi sebagai seorang pembelajar yang tak pernah berhenti mencari ilmu.

Karena ia tahu, pendidikan luar sekolah tidak pernah berakhir.

Ia tetap ada, selama masih ada orang yang mau belajar dari kehidupan.

Kisah Raka membuktikan bahwa pendidikan tidak selalu harus datang dari ruang kelas. Ilmu bisa ditemukan di mana saja, asalkan kita mau belajar dan mencoba. Sukses bukan soal seberapa tinggi sekolah kita, tapi seberapa besar usaha yang kita lakukan untuk memahami dunia.

Jadi, apakah kamu masih berpikir bahwa tanpa ijazah masa depan itu suram? Mungkin sudah waktunya melihat bahwa kehidupan ini adalah sekolah terbaik, dan gurunya ada di sekitar kita. Yuk, mulai belajar dari apa yang ada di depan mata!

Leave a Reply