Bayangan di Pasar Malam: Romansa Misterius Paling Menarik

Posted on

Jelajahi dunia penuh emosi dan misteri dalam Bayangan di Pasar Malam: Romansa Misterius Paling Menarik, sebuah cerpen epik yang mengisahkan perjalanan Selira Drayce di pasar malam Bandung pada tahun 2023. Dengan narasi mendalam tentang kalung antik, kehilangan kakaknya Jeyra dalam kecelakaan tragis, dan pertemuannya dengan pelukis enigmatik Koryn Velith, cerita ini menghadirkan romansa menyentuh hati dan teka-teki bayangan yang memikat. Cocok untuk penggemar cerita romansa dan misteri—jangan lewatkan kisah ini!

Bayangan di Pasar Malam

Cahaya di Tengah Keramaian

Di pusat pasar malam di Bandung pada tahun 2023, malam terasa hidup, dipenuhi aroma makanan goreng, asap obat nyamuk, dan gemerlap lampu-lampu tua yang bergoyang di angin sepoi-sepoi. Lorong-lorong sempit dipenuhi pedagang dan pengunjung, sementara bayangan aneh bergoyang di balik tenda-tenda kain yang usang, seolah menyimpan rahasia di balik keramaian. Di sudut pasar, seorang wanita bernama Selira Drayce, berusia dua puluh sembilan tahun, berdiri sendirian dengan kalung antik di lehernya, matanya yang cokelat keemasan menyimpan cerita tentang kehilangan dan kerinduan, terutama sejak ia kehilangan kakaknya dalam kecelakaan tragis dua tahun lalu.

Selira bekerja sebagai penjual suvenir di pasar malam, menjalani rutinitas harian yang membawanya menyusuri lorong-lorong untuk menata barang dagangannya. Setiap malam, ia kembali ke stan kayu kecilnya, sebuah kebiasaan yang dimulai sejak ia menemukan kalung itu di dalam kotak tua pada bulan April 2023. Kalung itu, dengan liontin berbentuk bulan sabit dan batu merah yang berkilau, tampak ditujukan padanya, meski ia tak mengenali tanda tangan di dalamnya. Selira memulai petualangan ini dengan hati yang penuh tanya, membawa harapan tipis bahwa kalung itu akan membawanya pada jawaban tentang kematian kakaknya, tapi setiap langkah di tengah pasar terasa seperti menyelami duka yang semakin dalam.

Hari-hari Selira di pasar biasanya dimulai dengan sinar lampu jalan yang menyelinap melalui kain tenda, diikuti oleh tugasnya mengatur pernak-pernik dan mengisi ulang stok. Ia pertama kali menemukan kalung itu pada malam yang diselimuti hujan gerimis, ketika angin membawa aroma tanah ke dalam lorong dan cahaya lampu terpantul di permukaannya. Kalung itu berisi inisial “J” dan petunjuk samar tentang bayangan yang hilang, ditulis oleh seseorang yang tampaknya mengenal kakaknya, dan Selira merasa ada sesuatu yang menariknya untuk terus mencari. Ia mulai menyimpan kalung itu di kotak kayu kecil di stan, mencoba memahami setiap detail, tapi setiap kali ia memakainya, hati terasa lebih berat dengan bayangan masa lalu.

Selira sering mengingat hari-hari bersama kakaknya, Jeyra, sebuah malam di pasar ketika mereka berbagi makanan panas, tertawa sambil menikmati suara musik jalanan. Kematian Jeyra dalam kecelakaan motor yang tak terjelaskan mengubah segalanya, meninggalkan Selira dengan rasa bersalah dan pertanyaan tanpa jawaban. Kalung menjadi pelarian baginya, sebuah petunjuk yang mungkin membawanya pada kebenaran. Pada suatu malam, setelah ia memakai kalung untuk pertama kali, ia merasa ada sentuhan dingin di pundaknya—seperti hembusan napas yang lembut, membuat bulu kuduknya berdiri.

Suatu malam di bulan Agustus, ketika hujan gerimis memenuhi pasar dengan suasana suram dan aroma makanan tercium kuat, Selira berdiri di tengah lorong, menatap kalung di tangannya. Angin membawa daun kering ke udara, dan tiba-tiba seorang pria dengan jaket denim biru muncul dari balik tenda, membawa buku kecil yang tampak lusuh. Rambut hitamnya yang panjang tergerai oleh angin, dan matanya yang abu-abu menatapnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ia memperkenalkan diri sebagai Koryn Velith, seorang pelukis misterius yang tampak terhubung dengan pasar itu. Wajahnya penuh garis-garis kelelahan, tapi ada ketenangan dalam caranya berdiri yang membuat Selira tak bisa menolak mengamatinya.

Koryn duduk di samping Selira, tangannya yang kasar memegang buku dengan penuh perhatian. Matanya sesekali melirik kalung, seolah mengenali sesuatu di balik liontinnya. “Kalung ini menyimpan lebih dari sekadar kenangan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara keramaian. Selira mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan pengalamannya. Koryn memutuskan untuk tinggal sementara di pasar, dengan alasan ingin melukis pemandangan malam, dan meski Selira ragu, ia merasa ada kepercayaan dalam kehadiran pria itu, sebuah perubahan dari kesendirian yang selama ini ia pendam.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Selira. Koryn sering terlihat menggambar di sudut pasar, berjalan bersamanya di lorong-lorong, dan bahkan membantu mengatur suvenir. Ia tak banyak bertanya tentang masa lalunya, tapi gerakannya yang lembut, seperti saat ia mencelupkan kuas atau menatap langit, seolah membawa harapan ke dalam perasaannya. Selira mulai merasa tertarik oleh kehadiran Koryn, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali hujan turun, Selira merasa ada suara samar di udara—panggilan yang terdengar seperti bisikan, atau angin yang mirip dengan napas seseorang. Ia sering terbangun di malam hari di stan, berkeringat dingin, membayangkan Jeyra berdiri di lorong, wajahnya penuh kelembutan. Dan Koryn, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Selira menatap kalung, cara ia mengemas barang dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika hujan mulai.

Pada suatu malam yang sepi, ketika hujan gerimis memenuhi pasar dan aroma makanan tercium kuat, Selira mendengar derit kayu di balik tenda terjauh. Ia menoleh, berpikir itu hanya angin, tapi yang terlihat adalah sebuah kotak kayu yang terselip di antara tumpukan kain. Permukaannya penuh goresan, dan aroma kayu lembap tercium samar. Selira mengambil kotak itu, merasa panas di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah lampu di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa sedih—bukan hanya karena kehilangan Jeyra, tapi karena kenyataan bahwa kalung itu mungkin membawanya pada rahasia yang menyakitkan.

Bayang di Antara Lampu

Langit pasar malam di Bandung pada malam hari pada pertengahan musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya lampu tua yang menyelinap melalui kain tenda, membalut kotak kayu dan lorong dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang masih menempel. Selira Drayce duduk di dalam stan, kotak kayu yang ditemukan di balik tenda terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di atas meja kayu. Udara di dalam terasa lembap, bercampur dengan aroma makanan dan asap yang mengisi setiap sudut pasar. Di kejauhan, suara keramaian terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Bayangan di balik tenda berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di permukaan kain, seolah menggambarkan emosi yang terus menghantuinya.

Kotak itu berisi surat-surat tulis tangan yang membuat jantung Selira berdegup kencang—karya Jeyra, beberapa sketsa pasar yang ia kenali, dan sebuah liontin kecil yang ditandai dengan simbol bulan. Kertas itu terasa rapuh karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang malam-malam bersama Jeyra di pasar. Selira menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh liontin yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir kakaknya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka berbagi makanan, ketika tawa Jeyra masih terasa hangat di hatinya.

Malam itu, ketika hujan gerimis memenuhi pasar dengan alunan lembut, Koryn Velith kembali dari meneliti sudut terjauh. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi gulungan kertas dan sebuah buku kecil yang ia temukan di balik tumpukan kain. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya lampu, tapi matanya yang abu-abu bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan jejak di sudut pasar,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di meja di samping kotak milik Jeyra. Gulungan kertas itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan gemetar, bersama dengan sketsa bayangan yang sudah menguning di tepinya.

Selira merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Jeyra, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya kusut. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Selira, aku menulis ini untukmu,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang kehidupan Jeyra sebagai pelukis di pasar, tentang bayangan yang ia lihat, dan tentang harapannya untuk selamat. Liontin menunjukkan jalur menuju rahasia, ditandai dengan simbol yang sama seperti di sketsa.

Selira merasa dadanya sesak. Ia ingat Jeyra, yang selalu penuh semangat di pasar, dan malam-malam ketika ia menantikan kehadiran kakaknya dengan harapan yang perlahan memudar. Jurnal itu mengungkap bahwa Jeyra terjebak oleh bayangan setelah mencoba melukis malam, dan ia meninggalkan petunjuk untuk Selira. Selira menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa dilupakannya.

Koryn memperhatikan reaksi Selira, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut meja, membolak-balik sketsa dengan gerakan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Selira untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Koryn, meski diam, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Selira untuk menggali lebih dalam. Ia menatap sketsa kecil di tangannya, lalu ke liontin di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Selira mulai merasa bahwa kehadiran Koryn bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Jeyra, yang membuat Selira curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di lorong, Koryn tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar bayangan ini, Selira.” Selira menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Koryn dari pasar, tapi ada sesuatu dalam nada suara Koryn yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang lebih baik tak mencari tahu,” jawabnya dingin, lalu berbalik dan berjalan kembali ke stan, meninggalkan Koryn sendirian dengan pikirannya.

Malam itu, Selira akhirnya memberanikan diri untuk mempelajari sketsa kecil. Di belakangnya, ia menemukan petunjuk menuju sudut tersembunyi, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik tenda ini aku melukis, meninggalkan bayangan untukmu. Maafkan aku.” Selira merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan pasar dan semua kalung yang tersimpan di kotak itu, tapi ia tahu ia tak bisa. Pasar itu, kalung yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Koryn menemukan Selira duduk di stan, dikelilingi oleh jurnal, sketsa kecil, dan liontin dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan secangkir teh hangat. Tapi di matanya, Selira melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Koryn tahu lebih banyak tentang Jeyra daripada yang ia katakan. “Kau pernah melihat seseorang di pasar ini?” tanya Selira dalam hati, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Koryn menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sulitnya itu.”

Hari itu, Selira mulai mengikuti petunjuk menuju sudut tersembunyi, berjalan bersama Koryn melalui lorong-lorong yang sempit dan berdebu. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara keramaian seperti pengingat akan Jeyra. Mereka menemukan sebuah ruang kecil di balik tenda, di dalamnya terdapat jejak-jejak lukisan di kain dan sebuah kotak besar yang terbuat dari kayu tua. Di dalam kotak, Selira menemukan surat lain dari Jeyra, bersama dengan sebuah liontin kecil yang berkilau lembut.

Surat itu berbunyi: “Selira, aku terjebak oleh bayangan ini. Aku meninggalkan cahaya untukmu, tapi hati ini penuh penyesalan. Maafkan aku.” Selira merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Koryn, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus tahu apa yang ada di sini,” katanya pelan, dan di matanya, Selira melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Pasar itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah rahasia yang mungkin akan menghancurkannya.

Cahaya di Balik Tenda

Langit pasar malam di Bandung pada malam hari pada akhir musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya lampu tua yang menyelinap melalui kain tenda, membalut ruang kecil dan kotak kayu dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang masih menempel di permukaan. Selira Drayce duduk di dalam ruang tersembunyi di balik tenda, surat dari Jeyra yang usang terbuka di pangkuannya, sementara kotak kayu yang ditemukan di lorong tergeletak di samping tumpukan kain tua. Udara di dalam terasa lembap, bercampur dengan aroma makanan dan asap yang mengisi setiap sudut pasar. Di kejauhan, suara keramaian terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu yang tak pernah ia lepaskan. Bayangan di balik kain berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di permukaan kain, seolah menggambarkan emosi yang terus menggerogoti hatinya.

Surat itu berisi tulisan tangan yang membuat jantung Selira berdegup kencang—cerita tentang lukisan Jeyra, sketsa pasar yang ia kenali, dan sebuah petunjuk tentang liontin kecil yang berkilau di tangannya. Kertas itu terasa rapuh karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar membawa kembali ingatan tentang malam-malam bersama Jeyra di pasar. Selira menatap isi surat itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh liontin yang tampak seperti menyimpan rahasia terdalam kakaknya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka berbagi makanan, ketika tawa Jeyra masih terasa seperti harapan di hatinya.

Malam itu, ketika hujan gerimis memenuhi pasar dengan alunan lembut, Koryn Velith kembali dari meneliti lorong terjauh. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi gulungan kertas dan sebuah buku kecil yang ia temukan di balik tumpukan kain. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya lampu, tapi matanya yang abu-abu bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan sesuatu di lorong,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di lantai di samping kotak milik Jeyra. Gulungan kertas itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan gemetar, bersama dengan sketsa bayangan yang sudah menguning di tepinya.

Selira merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Jeyra, tinta hitamnya hampir tak terbaca karena air yang merembes, tapi kata-katanya masih jelas. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Selira, kau adalah cahaya yang kutunggu,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang kehidupan Jeyra sebagai pelukis di pasar, tentang bayangan yang ia ciptakan, dan tentang harapannya untuk meninggalkan warisan bagi Selira. Liontin kecil menunjukkan jalur menuju rahasia, ditandai dengan simbol yang sama seperti di sketsa.

Selira merasa dadanya sesak. Ia ingat Jeyra, yang selalu penuh semangat di pasar, dan malam-malam ketika ia menantikan kehadiran kakaknya dengan harapan yang perlahan memudar. Jurnal itu mengungkap bahwa Jeyra terjebak oleh bayangan setelah mencoba melukis malam, dan ia meninggalkan petunjuk untuk Selira. Selira menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa ia hindari.

Koryn memperhatikan reaksi Selira, tapi ia tetap diam, membolak-balik sketsa dengan gerakan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Selira untuk menghadapi pikirannya. Namun, kehadiran Koryn, meski tenang, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Selira untuk menggali lebih dalam. Ia menatap halaman terakhir jurnal itu, lalu ke liontin kecil di gulungan kertas. Ada hubungan antara keduanya, ia yakin itu, tapi ia belum siap untuk mengungkapnya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Selira mulai merasa bahwa kehadiran Koryn memiliki peran lebih dari sekadar pelukis. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Jeyra, yang membuat Selira curiga bahwa pria ini tahu tentang rahasia pasar. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di lorong, Koryn tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar bayangan ini, Selira.” Selira menatapnya tajam, merasa seperti dihadapkan pada kebenaran. Ia ingin menolak, ingin meninggalkan Koryn di pasar, tapi ada kekuatan dalam matanya yang membuatnya terdiam. “Kadang kebenaran itu berat,” jawabnya pelan, lalu berbalik dan berjalan kembali ke stan, meninggalkan Koryn sendirian dengan pikirannya.

Malam itu, Selira memberanikan diri untuk mempelajari sketsa tambahan. Di belakangnya, ia menemukan petunjuk menuju ruang tersembunyi, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik tenda ini aku melukis, meninggalkan cahaya untukmu. Maafkan aku.” Selira merasa dadanya tercekat, seolah ada bayangan tak terlihat yang menariknya ke dalam misteri itu. Ia ingin lari, ingin meninggalkan pasar dan semua kalung yang tersimpan di kotak itu, tapi ia tahu ia tak bisa. Pasar itu, kalung yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Koryn menemukan Selira duduk di stan, dikelilingi oleh jurnal, sketsa tambahan, dan liontin kecil dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan secangkir teh hangat. Tapi di matanya, Selira melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Koryn tahu lebih banyak tentang Jeyra daripada yang ia katakan. “Kau pernah melihat seseorang di pasar ini?” tanya Selira dalam hati, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Koryn menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sulitnya itu.”

Hari itu, Selira mulai mengikuti petunjuk menuju ruang tersembunyi, berjalan bersama Koryn melalui lorong-lorong yang sempit dan berdebu. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara keramaian seperti pengingat akan Jeyra. Mereka menemukan sebuah ruang kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu tua, di dalamnya terdapat jejak-jejak lukisan di kain dan sebuah meja antik yang terbuat dari kayu tua. Di atas meja, Selira menemukan surat lain dari Jeyra, bersama dengan sebuah liontin kecil yang berkilau lembut.

Surat itu berbunyi: “Selira, aku terjebak oleh bayangan ini. Aku meninggalkan cahaya untukmu, tapi hati ini penuh penyesalan. Maafkan aku.” Selira merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Koryn, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus memutuskan apa yang harus dilakukan,” katanya pelan, dan di matanya, Selira melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Pasar itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah keputusan yang mungkin akan menghancurkannya.

Pagi berikutnya, Selira dan Koryn kembali ke ruang kecil, membawa jurnal, sketsa tambahan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di dalam ruang, mereka menemukan dinding yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan simbol bayangan dan kalimat yang tak bisa dibaca sepenuhnya. Selira merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa ini adalah pusat dari misteri yang ditinggalkan Jeyra, dan ia harus menghadapinya, apa pun risikonya.

Damai di Antara Bayangan

Langit pasar malam di Bandung pada malam hari pada akhir musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya lampu tua yang menyelinap melalui kain tenda, membalut ruang kecil dan meja antik dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang kini hilang. Selira dan Koryn berdiri di depan dinding ruangan, memegang jurnal Jeyra dan liontin kecil. Cahaya lampu dari luar menyelinap melalui celah-celah kain, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara keramaian yang berdesir melalui pasar terdengar samar, membawa ketenangan yang tak terucap. Selira merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di pasar, apa pun yang telah membangkitkan cinta selama dua tahun.

Ketika mereka menatap dinding ruangan, mereka melihat simbol-simbol yang mulai bersinar terang, diiringi oleh suara derit kayu yang semakin keras dari dalam meja. Selira merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Koryn, yang wajahnya tiba-tiba tenang. “Ini adalah jawabannya,” katanya pelan, menunjuk ke arah liontin kecil. Selira mengangguk, meski ia tak sepenuhnya memahami. Mereka mulai menempatkan liontin kecil di atas meja, dan cahaya itu menyebar, menciptakan lingkaran terang di sekitar ruangan.

Koryn menjelaskan bahwa ia datang ke pasar bukan hanya sebagai pelukis, tapi untuk mencari jejak Jeyra, yang konon hilang karena kecelakaan pada 2021. Ia menemukan petunjuk tentang bayangan melalui sketsa kuno, dan ketika ia bertemu Selira, ia tahu bahwa wanita itu adalah kunci untuk mengungkap rahasia itu. Selira merasa dunia di sekitarnya berputar. Jeyra, kakak yang ia cintai, yang konon hilang karena alasan tak jelas, kini terhubung dengan perjuangan yang lebih besar.

Malam itu, Selira dan Koryn kembali ke lorong utama, membawa jurnal dan tekad untuk mengakhiri misteri. Cahaya lampu memandu mereka, dan dengan bantuan liontin kecil, mereka mencapai meja besar yang diterangi oleh cahaya dari ruang kecil, di mana bayangan Jeyra muncul untuk sesaat—senyumnya yang hangat, tatapannya yang penuh harapan. Kemudian bayangan itu hilang, dan pasar kembali tenang, seolah misteri itu telah selesai.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Selira merasa cintanya memudar, digantikan oleh kelegaan yang hangat. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai Jeyra, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tenggelam bersama cahaya. Ia jatuh berlutut di lorong, menangis tanpa suara, sementara Koryn memegang tangannya. “Kau melakukannya, Selira,” katanya pelan. “Ia bebas sekarang.” Tapi Selira tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan kakak yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa penuh dengan kekosongan.

Hari-hari berikutnya di pasar terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Hujan tetap menyelimuti tenda-tenda, tapi langkah Jeyra tak lagi terdengar. Selira duduk di stan, menatap cakrawala yang kini kosong, tanpa bayangan yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika lampu terlihat jelas, Selira berjalan menuju ruang kecil, membawa surat terakhir Jeyra. Ia berdiri di meja, menatap pantulan cahaya, dan merasa bahwa hidupnya telah dimulai kembali bersama kakak yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan surat di atas meja dan berjalan menjauh, membiarkan pasar menyelimuti dirinya sepenuhnya. Pasar itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang emosi dalam kelegaan yang abadi.

Pasar itu berdiri diam di pusat Bandung, lampu-lampunya berkilau redup, dan ruang tersembunyi tetap menjadi saksi bisu dari akhir damai Selira Drayce, di mana bayangan yang hilang berakhir dalam pelepasan yang tak pernah sirna.

Bayangan di Pasar Malam: Romansa Misterius Paling Menarik menyajikan perjalanan cinta dan pengorbanan yang terjalin di balik keramaian malam, diuji oleh kehilangan dan akhirnya menemukan damai yang mengharukan. Dengan alur penuh emosi dan pesan mendalam tentang ikatan keluarga, cerpen ini mengajak Anda untuk merenungkan kekuatan bayangan yang abadi. Segera baca kisah Selira dan rasakan keajaiban serta kesedihan yang tak terlupakan!

Terima kasih telah menyelami ulasan Bayangan di Pasar Malam: Romansa Misterius Paling Menarik. Semoga cerita ini membawa Anda pada petualangan emosional yang berkesan dan inspirasi yang mendalam. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk kisah literatur berikutnya—jangan lupa bagikan pengalaman Anda dengan kami!

Leave a Reply