Daftar Isi
Masuki dunia emosi mendalam dalam Bayang Rindu di Tepi Waktu: Kisah Kehilangan yang Menyayat Hati, sebuah cerita yang menggugah jiwa tentang Tharwyn Azrael, seorang kakak yang menelusuri jejak adiknya, Lysmera, di hutan Kalimaya. Dengan penuh kesedihan, cinta, dan misteri, kisah ini mengajak Anda menyelami perjalanan menyakitkan namun penuh makna menuju penyembuhan. Cocok untuk pecinta cerita emosional dan reflektif, cerita ini akan meninggalkan jejak harapan di hati Anda.
Bayang Rindu di Tepi Waktu
Echo di Bawah Hujan
Hujan turun deras di sore hari itu, 10 Maret 2025, saat Tharwyn Azrael berdiri di depan rumah tua yang sudah usang di pinggir desa Kalimaya. Suara tetesan air mengalir dari atap yang bocor bercampur dengan desau angin, menciptakan simfoni melankolis yang seolah mencerminkan isi hatinya. Rambut hitamnya yang panjang sedikit basah menempel di dahi, dan matanya—hijau tua yang penuh luka—terpaku pada pintu kayu yang retak. Di tangannya, ia memegang sebuah payung tua yang pernah milik adiknya, Lysmera, payung yang kini menjadi satu-satunya kenangan fisik yang tersisa darinya setelah kecelakaan tragis dua tahun lalu.
Tharwyn, kini berusia dua puluh delapan tahun, kembali ke desa ini setelah bertahun-tahun tinggal di kota, diterpa oleh kesibukan yang tak pernah berhenti. Namun, panggilan jiwa membawanya kembali, terutama setelah ibunya, Marisya, mengirim surat yang penuh tangisan, memintanya pulang untuk mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi saksi tawa mereka bertiga. Lysmera, adiknya yang berusia dua puluh satu tahun saat meninggal, adalah cahaya keluarga—ceria, penuh mimpi, dan selalu membawa harapan. Kematiannya dalam kecelakaan mobil yang misterius meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh, terutama bagi Tharwyn, yang merasa bersalah karena tak bisa menyelamatkannya.
Ia mendorong pintu dengan hati-hati, dan aroma kayu lembap serta debu menyelinap ke hidungnya. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh tik-takan jam dinding tua yang terdengar seperti detak jantung yang perlahan melemah. Di sudut ruangan, ia melihat foto keluarga yang masih tergantung di dinding—Marisya dengan senyum lembut, Lysmera dengan tawa yang terpancar dari matanya, dan dirinya yang lebih muda, berdiri tegap di samping mereka. Tharwyn menelan ludah, air matanya mulai menggenang saat ia mengingat hari terakhir bersama Lysmera, saat ia berjanji akan membawanya ke pantai untuk melihat matahari terbenam, janji yang tak pernah ditepati.
Ia berjalan ke kamar Lysmera, pintunya sedikit terbuka, mengungkapkan ruangan yang masih utuh seperti dulu—tempat tidur dengan selimut bunga, meja kecil berantakan dengan buku sketsa, dan boneka tua yang selalu menjadi teman tidurnya. Di meja itu, Tharwyn menemukan buku harian Lysmera, kulitnya sudah lusuh dengan tulisan tangannya yang rapi. Dengan tangan gemetar, ia membukanya, dan halaman pertama langsung menusuk hatinya: “Kak, aku harap kau bisa datang ke desa lagi. Aku rindu kita berjalan di hutan bersama. Mungkin suatu hari kita bisa melihat senja seperti dulu.” Kata-kata itu seperti pisau, mengoyak luka lama yang ia coba kubur di balik kesibukannya.
Hujan di luar semakin deras, dan Tharwyn duduk di lantai kamar, membaca buku harian itu perlahan. Lysmera menulis tentang mimpinya menjadi pelukis, tentang bagaimana ia sering duduk di tepi hutan untuk menggambar burung dan bunga, dan tentang harapannya agar Tharwyn kembali untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayah mereka, yang meninggal saat Lysmera masih kecil. Setiap kata membawa Tharwyn kembali ke masa kecil mereka—bermain di bawah pohon besar, berlari di ladang, dan tertawa saat hujan turun. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada rasa bersalah yang membakar—ia terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri, meninggalkan Lysmera sendirian di saat-saat terakhirnya.
Ia berhenti di halaman yang ditulis beberapa hari sebelum kecelakaan. “Aku merasa ada yang aneh akhir-akhir ini. Aku sering mendengar suara di hutan, seperti seseorang memanggilku. Mungkin itu hanya imajinasiku, tapi aku takut. Kak, jika kau membaca ini, datanglah ke hutan. Aku butuhmu.” Tharwyn menutup buku itu, tangannya bergetar. Apakah Lysmera merasakan sesuatu sebelum akhirnya pergi? Apakah ada yang bisa ia lakukan jika ia ada di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, tak terjawab, menyisakan rasa sakit yang menusuk.
Malam tiba, dan hujan mulai reda, meninggalkan suara tetesan air yang pelan. Tharwyn memutuskan untuk pergi ke hutan keesokan harinya, tempat yang sering dikunjungi Lysmera. Ia membawa payung itu, buku harian, dan sebuah senter tua yang ditemukan di laci. Di dapur, ia menemukan surat lain dari Marisya, yang memintanya membawa bunga liar dari hutan untuk diletakkan di makam Lysmera. Dengan hati berat, ia menyiapkan diri, merasa ada dorongan aneh yang menariknya ke hutan, seolah Lysmera masih memanggilnya dari sana.
Pagi hari, langit masih kelabu saat Tharwyn melangkah keluar rumah, payung di tangan dan ransel di punggung. Hutan Kalimaya terbentang di depannya, pohon-pohonnya tinggi dengan dedaunan yang basah oleh hujan semalam. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi ia terus berjalan, mengikuti jalur setapak yang samar, yang pernah menjadi tempat bermain mereka. Setiap langkah membawanya lebih dalam ke kenangan—suara tawa Lysmera, aroma tanah basah, dan bayangan masa lalu yang kini terasa begitu jauh.
Setelah satu jam berjalan, ia tiba di sebuah clearing kecil yang dikelilingi pohon-pohon tua. Di tengahnya, ada pohon besar dengan cabang yang melengkung, tempat Lysmera sering duduk untuk menggambar. Di bawah pohon itu, ia menemukan buku sketsa yang jatuh, halamannya basah dan beberapa gambarnya rusak. Dengan hati-hati, ia membukanya, dan melihat sketsa terakhir Lysmera—gambar pohon ini dengan bayangan seseorang yang tampak menatapnya dari kejauhan. Di sudut gambar, ada tulisan: “Aku melihatmu, Kak. Tunggu aku.”
Tharwyn jatuh berlutut, air matanya bercampur dengan tetesan hujan yang tersisa. Ia membayangkan Lysmera duduk di sini, menggambar dengan penuh harap, menantikan kedatangannya. Rasa bersalah memenuhi dadanya, menyayat hati lebih dalam dari yang ia duga. Ia merasa Lysmera memanggilnya, bukan hanya melalui buku harian, tetapi melalui setiap sudut hutan ini. Dengan buku sketsa di tangan, ia berjanji untuk mencari tahu apa yang terjadi pada adiknya, meskipun itu berarti menghadapi luka yang selama ini ia hindari.
Sore itu, ia kembali ke rumah dengan langkah berat, membawa bunga liar seperti yang diminta Marisya. Di dalam, ia menatap foto keluarga lagi, merasa Lysmera ada di sana, tersenyum padanya dari balik kaca. Hujan kembali turun, dan Tharwyn duduk di kursi tua, memegang payung itu erat-erat, mendengarkan echo hujan yang seolah membawa suara adiknya. Perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia tahu bahwa mencari kebenaran tentang Lysmera akan membawanya ke tempat yang paling menyayat hati—ke tepi waktu di mana rindu dan penyesalan bertemu.
Jejak di Balik Kabut
Pagi itu, pukul 07:15 WIB pada hari Kamis, 12 Juni 2025, Tharwyn Azrael terbangun dengan mata sembab dan kepala penuh bayangan Lysmera. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah jendela rumah tua di desa Kalimaya, menerangi debu yang beterbangan di udara. Suara burung di luar bercampur dengan desau angin yang masih membawa sisa-sisa hujan semalam. Di tangannya, ia masih memegang buku sketsa Lysmera, halaman terakhir dengan gambar pohon besar dan tulisan “Aku melihatmu, Kak. Tunggu aku” terasa seperti bisikan yang tak pernah berhenti menggema di pikirannya.
Tharwyn bangkit dari ranjang tua yang berderit, tubuhnya terasa berat oleh beban emosi yang tak kunjung reda. Ia mengenakan jaket tebal dan sepatu bot yang sudah lusuh, mempersiapkan diri untuk kembali ke hutan. Payung tua milik Lysmera ia genggam erat, sementara buku sketsa dan senter disimpan di ranselnya. Di dapur, ia menemukan secangkir teh hangat yang ditinggalkan Marisya sebelum pergi ke pasar pagi, bersama catatan singkat: “Jaga dirimu, Thar. Aku pulang nanti.” Catatan itu membuat hatinya bergetar—ibunya masih penuh kasih meski luka kehilangan Lysmera sama dalamnya.
Ia melangkah keluar rumah, udara pagi dingin menyapu wajahnya. Kabut tipis menyelimuti desa, menciptakan suasana suram yang sesuai dengan perasaannya. Hutan Kalimaya terbentang di depan, pohon-pohonnya tampak seperti bayangan raksasa di balik kabut. Tharwyn mengikuti jalur setapak yang sama seperti kemarin, langkahnya pelan namun penuh tekad. Setiap suara—daun yang bergoyang, ranting yang patah di bawah sepatunya—membawa kenangan tentang Lysmera, tentang bagaimana ia sering berlari di sini dengan tawa ceria.
Setelah satu jam berjalan, ia tiba kembali di clearing kecil dengan pohon besar di tengahnya. Kabut di sini lebih tebal, membuat pohon itu tampak seperti menara tua yang menyimpan rahasia. Tharwyn mendekat, menyentuh batangnya yang kasar, dan merasakan getaran aneh—seperti energi yang masih hidup. Di bawah pohon, ia menemukan jejak baru: sehelai kain robek yang tampak familiar, dengan pola bunga kecil yang pernah ia lihat di syal Lysmera. Jantungnya berdegup kencang. Apakah ini petunjuk? Atau hanya imajinasinya yang bermain?
Ia mengeluarkan buku harian Lysmera dari ransel, membukanya di halaman yang menyebutkan suara-suara aneh di hutan. “Aku mendengarnya lagi malam ini, seperti seseorang menangis. Aku pergi ke arah timur, di mana pohon tua itu berdiri. Mungkin ada jawaban di sana.” Tharwyn mengangkat kepala, memandang ke arah timur hutan. Dengan senter di tangan, ia melangkah, mengikuti petunjuk adiknya, meskipun setiap langkah terasa seperti mendekati luka yang lebih dalam.
Hutan semakin gelap saat ia berjalan, cabang-cabang pohon menjulur seperti tangan yang mencoba menghentikannya. Setelah hampir dua jam, ia tiba di sebuah ngarai sempit dengan dinding batu yang ditutupi lumut. Di dasarnya, ada celah yang tampak seperti pintu masuk ke dalam tebing, dan suara samar—seperti tangisan pelan—terdengar dari dalam. Tharwyn menyalakan senter, napasnya terengah-engah, dan melangkah masuk. Udara di dalam dingin dan berbau tanah, dindingnya dipenuhi goresan aneh yang tampak seperti simbol kuno.
Di ujung celah, ia menemukan ruangan kecil yang diterangi oleh sinar matahari yang menyelinap melalui celah di atas. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu dengan benda aneh di atasnya—sebuah liontin perak yang memancarkan cahaya lembut. Di sampingnya, tergeletak sebuah buku kecil yang terbuka, halamannya basah oleh embun. Tharwyn mendekat, mengenali tulisan tangan Lysmera di buku itu. Dengan tangan gemetar, ia membacanya: “Jika kau menemukan ini, Kak, maafkan aku. Aku di sini mencari suara itu, dan aku terjebak. Liontin ini… aku pikir itu membawaku ke ayah. Tapi aku tak bisa kembali. Aku sayang kamu.”
Tharwyn jatuh berlutut, air matanya menetes ke halaman buku. Liontin itu—dengan desain bintang kecil yang sama seperti yang pernah dikenakan ayah mereka—terasa seperti petunjuk yang menyakitkan. Ia membayangkan Lysmera masuk ke ruangan ini, tertarik oleh suara misterius, dan terjebak oleh sesuatu yang tak bisa ia mengerti. Rasa bersalah memenuhi dadanya—jika saja ia ada di desa saat itu, mungkin ia bisa mencegahnya. Ia mengambil liontin, dan seketika ruangan dipenuhi cahaya terang, membentuk bayangan samar Lysmera yang berdiri di altar.
“Kakak,” suara adiknya bergema, lembut namun penuh kesedihan. “Aku tak menyalahkanmu. Aku hanya ingin kau tahu aku baik-baik saja di sini.” Bayangan itu tersenyum, tangannya terulur seolah ingin menyentuhnya, sebelum memudar perlahan. Tharwyn menangis tersedu, merasa kehadiran Lysmera lebih nyata dari sebelumnya, tetapi juga menyadari ia tak bisa membawanya pulang.
Ia duduk di lantai ruangan, memegang liontin erat-erat, merasakan getaran yang seolah menghubungkannya dengan adiknya. Buku harian dan buku kecil itu ia simpan bersama, bersama sehelai kain robek sebagai bukti. Kesedihan memenuhi hatinya, tetapi ada juga rasa lega—ia akhirnya menemukan jejak Lysmera, meskipun itu berarti menghadapi kebenaran yang menyayat. Ia membayangkan Marisya, ibunya, dan bagaimana wajahnya akan berubah saat mendengar kabar ini.
Sore itu, ia keluar dari ngarai, liontin bersinar lembut di tangannya. Kabut mulai menghilang, mengungkapkan langit yang memerah oleh senja. Tharwyn duduk di tepi ngarai, memandang hutan yang luas, dan merasa Lysmera ada di sisinya. Ia berbicara pelan, “Aku akan ceritakan ini pada Ibu. Dan aku akan membawamu dalam hatiku selamanya.” Suara angin membalasnya, seolah mengangguk setuju.
Malam tiba, dan Tharwyn mendirikan tenda di dekat ngarai, suara alam menjadi pengantar tidurnya. Di dalam tenda, ia menulis di buku catatannya sendiri, mencatat setiap detail perjalanan ini untuk Marisya. Dengan liontin di sisinya dan payung tua di tangannya, Tharwyn tertidur, bermimpi tentang Lysmera yang tersenyum di tepi waktu, menemaninya dalam kesunyian yang penuh rindu.
Cahaya di Ujung Kesunyian
Pagi itu, pukul 07:45 WIB pada hari Kamis, 12 Juni 2025, Tharwyn Azrael terbangun di dalam tenda yang basah oleh embun pagi. Cahaya matahari menyelinap melalui kain tipis, menerangi liontin perak yang bersinar lembut di sisinya, seolah menjaga janji bisikan Lysmera semalam. Udara di hutan Kalimaya terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang masih basah oleh kabut malam. Di tangannya, ia memegang buku kecil Lysmera, halaman terakhirnya masih terbuka, dan air matanya yang mengering meninggalkan noda di kertas.
Tharwyn bangkit, menggosok wajahnya yang terasa berat oleh kurang tidur dan emosi yang terus bergolak. Ia mengenakan jaket tebal dan sepatu bot yang sudah penuh lumpur, mempersiapkan diri untuk hari yang mungkin membawanya lebih dalam ke dalam misteri adiknya. Payung tua Lysmera ia genggam erat, sementara ranselnya kini berisi liontin, buku harian, buku kecil, dan sehelai kain robek sebagai bukti perjalanan ini. Di luar tenda, langit mulai cerah, tetapi ada rasa berat di dadanya, seolah hutan ini masih menyimpan rahasia yang belum terungkap.
Ia melangkah keluar, memandang ngarai yang masih diselimuti bayangan pohon-pohon tua. Suara burung berkicau bercampur dengan desir angin, tetapi ada nada lain—suara samar yang terdengar seperti tangisan pelan, sama seperti yang disebutkan Lysmera di buku kecilnya. Tharwyn mengikuti arah suara itu, berjalan ke arah timur hutan, di mana pohon-pohon semakin rapat dan jalurnya semakin sulit dilalui. Akar-akar menjulur seperti rintangan, dan semak belukar mencakar jaketnya, tetapi ia terus maju, didorong oleh dorongan untuk memahami apa yang terjadi pada adiknya.
Setelah hampir dua jam, ia tiba di sebuah lembah kecil yang tersembunyi, dikelilingi tebing tinggi yang ditutupi lumut hijau. Di tengah lembah, ada danau kecil dengan air yang berkilau seperti cermin, memantulkan langit biru yang mulai terang. Di tepi danau, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang—sebuah tanda kayu kecil yang terpatri dengan goresan bintang, sama seperti di liontin dan altar ngarai. Di dekat tanda itu, terdapat jejak kaki yang sudah memudar, tampak seperti milik seseorang yang berjalan dengan tergesa-gesa.
Tharwyn mendekat, menyentuh tanda kayu itu, dan merasakan getaran aneh yang sama seperti di altar. Ia membuka buku kecil Lysmera lagi, mencari petunjuk, dan menemukan entri terakhir yang tak sengaja ia lewati semalam: “Aku sampai di danau ini. Suara itu membawaku ke sini, dan aku melihat bayangan ayah. Liontin ini… aku pikir itu membukakan pintu. Tapi aku tak tahu bagaimana kembali. Kak, jika kau datang, ikuti cahaya.” Tharwyn mengangkat kepala, memindai danau, dan tiba-tiba cahaya lembut muncul dari permukaan air, membentuk lingkaran terang yang tampak seperti portal.
Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati danau, liontin di tangannya bersinar lebih terang saat ia mendekat. Ia merasa ada tarikan aneh, seolah danau itu memanggilnya. Dengan napas tertahan, ia menyentuh air dengan ujung jarinya, dan seketika dunia di sekitarnya berputar. Cahaya menyelimuti pandangannya, dan ia menemukan dirinya berdiri di ruang lain—ruang yang penuh dengan kabut lembut dan dinding batu yang dipenuhi ukiran bintang. Di tengah ruangan, ada bayangan samar Lysmera, berdiri dengan gaun putih yang berkilau, memandangnya dengan mata penuh cinta.
“Lysmera?” suara Tharwyn bergetar, tangannya terulur ke arah bayangan itu. Lysmera tersenyum, suaranya lembut seperti angin, “Kakak, kau akhirnya datang. Aku di sini bersama ayah. Kami baik-baik saja, tapi aku tak bisa kembali.” Tharwyn jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. “Mengapa? Aku bisa membawamu pulang!” Lysmera menggelengkan kepala, “Ini bukan tempat untukmu. Aku pergi karena aku mencari ayah, dan liontin ini membawaku ke sini. Tapi kau harus kembali, ceritakan ini pada Ibu.”
Bayangan itu menunjuk ke arah liontin di tangan Tharwyn, dan cahaya dari permata itu semakin terang. Tharwyn melihat kilasan kenangan—Lysmera duduk di tepi danau, menggenggam liontin, dan tiba-tiba ditarik ke dalam air oleh kekuatan tak terlihat. Ia membayangkan adiknya berjuang, memanggil namanya, dan akhirnya menyerah pada takdir yang membawanya ke ruang ini. Rasa bersalah memenuhi dadanya, tetapi Lysmera berbicara lagi, “Jangan menyalahkan diri, Kak. Aku bahagia di sini. Bawa liontin ini pulang, dan lepaskan kami.”
Tharwyn mengangguk perlahan, meskipun hatinya hancur. Bayangan Lysmera memudar, digantikan oleh bayangan samar ayahnya, yang tersenyum dan mengangguk sebelum lenyap sepenuhnya. Cahaya di ruangan itu perlahan memudar, dan Tharwyn kembali ke tepi danau, tubuhnya gemetar dan wajahnya basah oleh air mata. Ia memegang liontin erat-erat, merasakan getaran yang kini terasa seperti pelukan terakhir dari adiknya.
Sore itu, ia duduk di tepi danau, memandang air yang kembali tenang. Langit memerah oleh senja, menciptakan pemandangan yang indah namun menyayat hati. Tharwyn membuka buku catatannya, menulis setiap detail visi itu untuk Marisya, merasa ada kewajiban untuk menyampaikan kebenaran, meskipun itu berarti membukakan luka ibunya. Ia membayangkan wajah Marisya saat mendengar bahwa Lysmera dan ayahnya telah bersatu di tempat lain, dan air matanya kembali mengalir.
Malam tiba, dan Tharwyn mendirikan tenda di dekat danau, suara air yang tenang menjadi pengantar tidurnya. Di dalam tenda, ia memegang liontin dan payung tua, merasa kehadiran Lysmera masih ada di sekitarnya. Ia tahu perjalanan ini akan berakhir dengan kembali ke desa, membawa berita yang pahit namun penuh damai. Dengan hati yang hancur namun penuh harapan, Tharwyn tertidur, bermimpi tentang senja di mana ia berdiri bersama Lysmera dan ayahnya, menatap tepi waktu yang menyatukan mereka dalam rindu abadi.
Penutup di Cahaya Senja
Pagi itu, pukul 08:15 WIB pada hari Kamis, 12 Juni 2025, Tharwyn Azrael terbangun di dalam tenda yang diselimuti embun pagi di tepi danau Kalimaya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui kain tenda, menerangi liontin perak yang bersinar lembut di sisinya, seolah menjadi penjaga janji terakhir dari Lysmera. Udara segar membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang bermekar di sekitar danau, tetapi hati Tharwyn terasa berat, dipenuhi oleh visi semalam dan tugas berat yang menantinya. Di tangannya, ia memegang buku catatan yang sudah penuh tulisan, mencatat setiap detail perjalanan ini untuk Marisya, ibunya yang menantikan di desa.
Tharwyn bangkit, melipat tenda dengan hati-hati dan menyimpan barang-barangnya ke dalam ransel. Liontin itu ia letakkan di saku jaketnya, dekat jantung, sementara payung tua Lysmera ia genggam erat sebagai tanda perpisahan yang tak pernah diucapkan. Ia melirik danau yang tenang, airnya berkilau di bawah sinar matahari, dan merasa ada kehangatan aneh yang seolah mengucapkan selamat tinggal. Dengan langkah pelan namun tegas, ia meninggalkan lembah kecil itu, kembali menuju desa, membawa beban emosi yang bercampur antara duka dan damai.
Perjalanan pulang terasa lebih sunyi. Hutan Kalimaya yang sebelumnya penuh misteri kini tampak seperti saksi bisu dari kisahnya dengan Lysmera. Burung-burung berkicau di atas, dan angin membawa bisikan lembut yang terdengar seperti tawa adiknya. Tharwyn tersenyum kecil, membiarkan kenangan itu mengalir, meskipun air matanya masih menggenang. Setelah hampir tiga jam berjalan, ia tiba di pinggir desa, rumah tua Marisya tampak hangat dengan asap mengepul dari cerobong, menandakan ibunya sudah pulang dari pasar.
Ia mengetuk pintu dengan tangan yang gemetar, dan Marisya membukanya dengan wajah penuh harap. “Tharwyn?” suaranya bergetar, matanya mencari tanda-tanda di wajah anaknya. Tharwyn mengangguk, memeluk ibunya erat tanpa kata-kata, air mata mereka bercampur dalam diam yang penuh makna. Di ruang tamu, ia mengeluarkan ranselnya, meletakkan liontin, buku harian, buku kecil, dan buku catatannya di atas meja tua. Marisya menatap benda-benda itu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat menyentuh liontin.
Dengan suara pelan, Tharwyn menceritakan semuanya—jejak kain robek, altar ngarai, danau, visi Lysmera, dan pertemuan dengan bayangan adiknya. Marisya menangis tersedu, tetapi ada kilau damai di matanya saat mendengar bahwa Lysmera bersama ayah mereka. “Dia baik-baik saja,” bisik Marisya, memegang liontin erat-erat. “Kau membawanya pulang, Tharwyn.” Tharwyn mengangguk, merasa beban bersalahnya sedikit terangkat, meskipun luka kehilangan tetap ada.
Malam itu, mereka duduk bersama di teras rumah, memandang senja yang memerah di langit. Marisya membawa bunga liar yang Tharwyn bawa dari hutan, meletakkannya di foto keluarga yang sudah tua. “Lysmera suka senja seperti ini,” katanya pelan. Tharwyn tersenyum, mengingat janjinya untuk membawanya ke pantai. Ia mengeluarkan payung tua, membukanya di teras, dan mereka duduk di bawahnya, seolah Lysmera ada di antara mereka. Liontin diletakkan di meja kecil, cahayanya lembut menerangi wajah mereka, menjadi simbol koneksi yang tak pernah putus.
Hari-hari berikutnya, Tharwyn membantu Marisya merawat rumah, sambil menulis buku berdasarkan petualangannya. Ia mengubah buku catatannya menjadi memoir, berjudul “Echo di Tepi Waktu”, sebagai penghormatan untuk Lysmera. Liontin itu menjadi pusat perhatian di rumah, diletakkan di altar kecil yang mereka buat, dikelilingi foto dan bunga liar. Setiap senja, Tharwyn duduk di teras, memandang langit, merasa Lysmera dan ayahnya menemaninya dalam keheningan yang penuh rindu.
Pada sore terakhirnya di desa sebelum kembali ke kota, Tharwyn membawa Marisya ke hutan, menuju pohon besar tempat Lysmera sering menggambar. Mereka meletakkan bunga liar di bawah pohon, dan Marisya berdoa pelan, “Terima kasih, Lysmera, karena membawamu pulang melalui Tharwyn.” Tharwyn memegang tangan ibunya, merasakan kehangatan yang lama hilang. Senja itu tampak lebih indah, langitnya memerah dengan gradasi yang menakjubkan, seolah langit turun untuk menyapa mereka.
Sebelum pergi, Tharwyn menulis surat untuk Lysmera, yang ia simpan di buku sketsa adiknya: “Aku akan selalu ingatmu, adikku. Terima kasih telah membimbingku. Sampai jumpa di tepi waktu.” Ia meninggalkan desa dengan hati yang hancur namun penuh harapan, membawa bayang rindu yang akan abadi dalam dirinya. Di kota, ia melanjutkan hidup, tetapi setiap senja, ia memandang langit, merasa Lysmera tersenyum padanya dari balik cahaya, menyatukan mereka dalam ikatan yang tak pernah padam.
Bayang Rindu di Tepi Waktu: Kisah Kehilangan yang Menyayat Hati adalah perjalanan emosional yang mengajarkan kekuatan cinta dan pengampunan di tengah kehilangan. Tharwyn membawa pulang kedamaian bagi dirinya dan ibunya, menjadikan kisah ini inspirasi untuk menghadapi luka dengan hati terbuka. Jelajahi cerita ini untuk menemukan kekuatan menyembuhkan yang tersembunyi dalam rindu dan kenangan.
Terima kasih telah menyelami Bayang Rindu di Tepi Waktu bersama kami. Semoga cerita ini membawa kehangatan dan inspirasi dalam hidup Anda—sampai jumpa lagi dalam petualangan emosional berikutnya!


