Daftar Isi
Temukan emosi mendalam dalam Bayang Jati di Tengah Badai, sebuah cerpen yang menggambarkan perjuangan luar biasa Jati Purnama, seorang kakak yang rela mengorbankan segalanya demi adiknya, Sinta Dewi Purnama, di tengah kerasnya kehidupan desa. Dengan alur yang penuh detail dan sentuhan kehidupan nyata, cerita ini membawa pembaca pada perjalanan penuh air mata, ketabahan, dan harapan. Artikel ini akan mengupas makna mendalam di balik cerita ini serta mengapa Anda wajib membacanya untuk terinspirasi oleh cinta persaudaraan.
Bayang Jati di Tengah Badai
Cahaya di Ujung Gelap
Pagi di desa Sungai Lestari terasa dingin pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 09:54 WIB, ketika Jati Purnama, seorang kakak berusia 22 tahun, berdiri di ambang pintu rumah kayu sederhana yang sudah rapuh. Angin sepoi-sepoi membawa aroma lumpur dari sungai di kejauhan, mencampur dengan aroma kayu bakar yang masih mengepul dari tungku di dapur. Jati mengenakan kemeja lusuh berwarna cokelat tua, lengan panjangnya digulung hingga siku, memperlihatkan luka-luka kecil akibat kerja keras di ladang orang. Rambut hitamnya yang agak panjang tergerai sembarangan, tapi matanya—tajam namun penuh kelembutan—selalu tertuju pada adiknya, Sinta Dewi Purnama, yang baru berusia 14 tahun.
Sinta sedang duduk di lantai bambu, membaca buku pelajaran tua yang sudah sobek di beberapa halaman. Gadis itu memiliki wajah bulat dengan mata besar yang penuh harap, rambutnya yang hitam disanggul sederhana dengan pita bekas yang sudah memudar. Sejak kedua orang tua mereka, Pak Darmo dan Bu Lestari, meninggal dalam banjir hebat dua tahun lalu, Jati menjadi tulang punggung keluarga. Ia meninggalkan sekolah untuk bekerja, sementara Sinta tetap berjuang melanjutkan pendidikan dengan bantuan guru-guru yang iba.
“Bang, aku lapar,” kata Sinta pelan, suaranya hampir tenggelam oleh derit lantai bambu saat Jati mendekat. Jati tersenyum tipis, menyentuh kepala adiknya dengan tangan kasar yang penuh lecet. “Tunggu bentar, Sin. Abang masak nasi sama ikan asin,” jawabnya, berjalan ke dapur kecil yang hanya memiliki kompor tanah dan panci tua.
Di dapur, Jati menyalakan api dengan kayu yang ia kumpulkan kemarin, mengaduk nasi yang hanya setengah penuh dengan air dari sumur belakang. Ikan asin yang sudah sedikit berbau ia goreng dengan minyak tipis, aroma menyengat menyebar di udara. Ia tahu makanan itu tak cukup bergizi, tapi itu satu-satunya yang bisa ia sediakan dengan upah harian sepuluh ribu rupiah dari ladang Pak Wiyono. “Sin, makan dulu ya. Abang ke ladang bentar,” kata Jati, menyajikan piring kecil untuk Sinta sebelum mengenakan topi jerami tua.
Sinta mengangguk, tapi matanya menatap Jati dengan kekhawatiran. “Bang, hati-hati. Jangan kebanyakan kerja,” nasihatnya, suaranya lembut tapi penuh perhatian. Jati hanya tersenyum, memeluk adiknya sekilas, lalu berjalan keluar menuju ladang yang terletak satu kilometer dari rumah. Matahari mulai naik, membakar kulitnya yang sudah gelap, tapi ia tak peduli. Setiap langkah adalah pengorbanan untuk Sinta, setiap keringat adalah tanda cintanya.
Di ladang, Jati bekerja sebagai buruh tani, mencangkul tanah keras dan memanen padi dengan tangan telanjang. Pak Wiyono, tuan ladang yang keras tapi adil, mengawasinya dari kejauhan. “Jati, cepat! Targetnya selesai sebelum sore!” teriak Pak Wiyono, suaranya menggema di antara deru angin. Jati mengangguk, mempercepat gerakan tangannya meski punggungnya terasa seperti ditindih batu. Ia tak ingin kehilangan upah hari ini—sepuluh ribu rupiah yang akan ia gunakan untuk membeli beras dan buku baru untuk Sinta.
Siang itu, matahari membakar kulit Jati hingga merah, keringat bercucuran membasahi kemejanya yang sudah compang-camping. Ia hanya beristirahat sebentar, meminum air dari botol tua yang dibawanya, lalu kembali bekerja. Di sampingnya, seorang buruh lain, Pak Tarto, memperhatikannya dengan simpati. “Jati, hati-hati ya. Kamu kerja kayak gila buat adikmu,” kata Pak Tarto, menawarkan sepotong singkong rebus dari tasnya.
“Makasih, Pak. Tapi ini buat Sinta. Dia harus sekolah,” jawab Jati, menerima singkong itu dengan tangan gemetar. Ia memakannya perlahan, merasa tenaganya sedikit pulih, lalu melanjutkan pekerjaan. Hingga sore, ia berhasil menyelesaikan target, menerima sepuluh ribu rupiah dari Pak Wiyono dengan senyum lelah.
Kembali ke rumah, Jati membawa beras satu kilogram dan buku tulis bekas yang ia beli di warung Pak Slamet. Sinta menyambutnya di beranda, memeluk kakaknya erat. “Bang, aku kangen! Terima kasih buku barunya,” kata Sinta, matanya berbinar saat membuka buku itu. Jati tersenyum, menyentuh kepala adiknya, tapi dalam hatinya ia merasa bersalah—ia tak bisa memberi lebih dari ini.
Malam itu, Jati memasak nasi dengan ikan asin lagi, menambahkan sedikit garam untuk menyamarkan kekurangan rasanya. Ia dan Sinta makan bersama di lantai bambu, diterangi cahaya lampu minyak yang redup. Sinta bercerita tentang pelajarannya, tentang mimpinya menjadi guru, dan Jati hanya mendengarkan, air matanya menetes diam-diam. “Abang bangga sama kamu, Sin. Pasti kamu bisa,” katanya, suaranya penuh harap.
Setelah Sinta tidur, Jati duduk di beranda, memandang langit yang dipenuhi bintang. Ia meraba punggungnya yang nyeri, merasakan setiap otot yang menjerit, tapi hatinya hangat. Sepuluh ribu rupiah itu adalah langkah kecil, tapi untuk Sinta, itu adalah dunia. Ia mengambil sepotong kayu, berencana membuat kerajinan tangan untuk dijual besok, berharap bisa menambah tabungan untuk kebutuhan Sinta.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang, membawa suara gemuruh dari sungai. Jati berlari ke jendela, melihat air sungai yang mulai naik akibat hujan deras di hulu. Ia tahu, banjir bisa datang lagi, seperti dua tahun lalu yang merenggut orang tuanya. Dengan cepat, ia membangunkan Sinta, menggendongnya ke tempat yang lebih tinggi di loteng rumah. “Sin, pegang abang erat. Kita aman di sini,” bisiknya, suaranya teguh meski dadanya bergetar.
Hujan turun deras, mengguyur atap seng dengan suara yang membahana. Air mulai merembes ke lantai, membasahi barang-barang sederhana mereka. Jati memeluk Sinta erat, berdoa dalam hati agar rumah mereka bertahan. Sinta menangis pelan, tapi Jati terus menenangkannya, “Abang nggak akan ninggalin kamu, Sin. Kita lewatin ini bareng.”
Pagi harinya, hujan reda, tapi air banjir telah mencapai pinggang di dalam rumah. Jati turun dari loteng, membawa Sinta di punggungnya, dan memeriksa kerusakan. Nasi, ikan asin, dan buku baru Sinta hanyut, meninggalkan lantai penuh lumpur. Jati menatap kehancuran itu dengan mata kosong, tapi ia tak menangis. Ia tahu, kehilangan ini bukan akhir—ia harus bangkit lagi untuk Sinta.
Sore itu, Jati berjalan ke warung Pak Slamet, meminjam lima ribu rupiah untuk membeli beras darurat. Ia berjanji akan membayarnya dengan hasil kerajinan kayu besok. Di rumah, ia membersihkan lumpur dengan tangan telanjang, sementara Sinta membantu dengan ember kecil. “Bang, aku takut rumah kita ambruk,” kata Sinta, suaranya penuh ketakutan.
“Tenang, Sin. Abang akan perbaiki. Kita punya satu sama lain,” jawab Jati, memeluk adiknya erat. Di dalam hatinya, ia merasa berat—ia harus bekerja lebih keras, mencari cara agar Sinta tetap sekolah meski banjir telah merenggut sedikit harapan mereka. Tapi untuk Sinta, ia akan terus melangkah, menjadi bayang yang melindungi di tengah badai.
Retakan di Bawah Hujan
Pagi di desa Sungai Lestari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 09:55 WIB, masih diselimuti keheningan yang dingin setelah banjir semalam. Jati Purnama berdiri di tengah rumah kayu yang porak-poranda, lantai bambu basah kuyup oleh lumpur, dan barang-barang sederhana mereka hanyut entah ke mana. Cahaya matahari pagi yang tipis menyelinap melalui celah atap yang rusak, menerangi wajah Jati yang penuh kelelahan. Ia mengenakan kemeja cokelat tua yang kotor oleh lumpur, lengan panjangnya digulung hingga siku, memperlihatkan luka-luka baru yang bercampur dengan yang lama. Di sampingnya, Sinta Dewi Purnama duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya, matanya merah karena menangis sepanjang malam.
“Bang, buku aku hilang. Gimana aku sekolah?” tanya Sinta pelan, suaranya patah, tangannya meremas potongan kain bekas yang ia temukan di lantai. Jati mendekat, berlutut di depan adiknya, dan menyentuh pipi gadis 14 tahun itu dengan tangan kasar yang penuh empati. “Tenang, Sin. Abang cari cara. Kita mulai lagi dari nol,” jawabnya, suaranya teguh meski hatinya bergetar.
Jati bangkit, memeriksa kerusakan rumah. Atap seng di bagian timur ambruk, meninggalkan lubang besar yang membiarkan hujan masuk semalam. Lantai bambu retak di beberapa tempat, dan dapur kecil mereka hancur—panci tua tenggelam dalam lumpur, kayu bakar basah tak lagi bisa digunakan. Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan. Dengan ember tua yang masih utuh, ia mulai membersihkan lumpur, sementara Sinta membantu dengan gerakan pelan, membuang puing-puing ke luar.
Setelah dua jam bekerja, Jati berhenti sejenak, duduk di beranda yang masih berdiri, memandang sungai yang perlahan surut. Ia tahu, banjir ini bukan yang terakhir—Sungai Lestari sering meluap saat hujan deras di hulu. Di saku kainnya, ia meraba lima ribu rupiah yang dipinjam dari Pak Slamet, uang yang kini terasa sangat kecil di tengah kehancuran ini. “Sin, abang ke warung bentar. Kamu jaga rumah, ya,” katanya, berdiri dengan langkah berat.
Sinta mengangguk, tapi matanya penuh kekhawatiran. “Bang, hati-hati. Jangan lama-lama,” nasihatnya, suaranya lembut namun penuh perhatian. Jati tersenyum tipis, memakai topi jerami tua, lalu berjalan menyusuri jalan tanah yang licin oleh lumpur. Di warung Pak Slamet, ia membeli beras setengah kilogram dan sebotol kecap murah dengan harga lima ribu rupiah itu, meninggalkan janji untuk membayar sisa utang minggu depan.
Kembali ke rumah, Jati memasak nasi tipis dengan kecap sebagai pengganti garam, aroma sederhana itu mengisi ruangan yang masih lembap. Ia dan Sinta makan bersama di lantai bambu yang sudah dibersihkan, menggunakan piring pecah yang tersisa. “Bang, aku takut kita nggak punya apa-apa lagi,” kata Sinta, suaranya kecil, matanya menatap nasi di piringnya. Jati memegang tangan adiknya, menatapnya dengan penuh keyakinan.
“Kita punya satu sama lain, Sin. Itu cukup buat abang,” jawab Jati, meski dalam hatinya ia merasa tertekan. Ia tahu, tanpa buku dan seragam, Sinta tak bisa sekolah lagi, dan itu adalah kegagalan yang tak ingin ia terima. Malam itu, setelah Sinta tidur, Jati duduk di beranda, mengukir kayu dengan pisau kecil yang ia temukan di lumpur. Ia berencana membuat patung burung sederhana untuk dijual di pasar, berharap bisa mengumpulkan uang.
Hari berikutnya, Jati bangun lebih awal, membawa tiga patung kayu yang ia selesaikan semalaman. Ia berjalan ke pasar desa, melewati jalan yang masih berlumpur, dan menawarkan patung itu kepada pedagang. Mbok Sari, penjual kain tua, membelinya dengan harga lima belas ribu rupiah setelah tawar-menawar panjang. Jati menerima uang itu dengan tangan gemetar, merasa sedikit lega, tapi juga cemas—harga itu tak cukup untuk membeli buku baru dan seragam Sinta.
Di rumah, Jati memberitahu Sinta tentang hasilnya, mencoba menutupi kekhawatirannya dengan senyum. “Sin, abang dapat uang. Besok kita ke sekolah, minta tolong Bu Guru,” katanya, menyimpan uang itu di kaleng tua yang masih utuh. Sinta tersenyum, matanya berbinar, dan Jati merasa harapannya kembali hidup. Sore itu, ia pergi ke ladang Pak Wiyono lagi, bekerja dengan tubuh yang lelet, mencangkul tanah dan memanen padi hingga malam.
Malam kedua setelah banjir, Jati mendengar kabar buruk dari Pak Tarto di ladang. “Jati, Pak Wiyono bilang upah dipotong setengah minggu ini. Banyak lahan rusak gara-gara banjir,” kata Pak Tarto, suaranya penuh simpati. Jati terdiam, tangannya berhenti mencangkul. Lima ribu rupiah per hari—itu tak cukup untuk bertahan, apalagi membeli kebutuhan Sinta. Ia pulang dengan hati berat, membawa hanya tiga ribu rupiah sisa upah hari itu.
Di rumah, Sinta menyambutnya dengan senyum, tak tahu tentang pemotongan upah. “Bang, aku bikin mainan dari kayu bekas. Kayak burung!” kata Sinta, menunjukkan patung kecil yang ia ukir dengan paku tumpul. Jati memeluk adiknya, air matanya menetes diam-diam. “Bagus, Sin. Abang bangga,” ucapnya, menyimpan keputusasaan di dalam hati.
Pagi berikutnya, Jati memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan. Ia mendengar dari Mbok Sari bahwa ada lowongan di gudang kayu di tepi desa, membutuhkan orang untuk memindahkan balok dengan upah dua puluh ribu rupiah per hari. Dengan langkah teguh, ia berjalan ke gudang, meninggalkan Sinta di rumah dengan janji akan pulang sebelum malam. Di gudang, ia bekerja dengan tubuh yang masih lelet, mengangkat balok kayu berat hingga pundaknya nyeri hebat. Mandor, Pak Rudi, mengawasinya dengan ketat, tapi Jati tak berhenti hingga target selesai.
Sore itu, Jati pulang dengan dua puluh ribu rupiah di sakunya, tubuhnya lunglai dan penuh keringat. Sinta menyambutnya di beranda, memeluk kakaknya erat. “Bang, aku kangen! Kamu capek banget, ya?” tanya Sinta, suaranya penuh kehangatan. Jati tersenyum, menyerahkan uang itu. “Ini buat kita, Sin. Besok abang cari lagi,” katanya, meski dalam hatinya ia tahu tubuhnya mulai memberontak.
Malam itu, Jati tidur dengan punggung yang terasa patah, tapi ia bangun tengah malam, mendengar Sinta mengigau dalam tidurnya. “Bang… jangan pergi…” bisik Sinta, membuat Jati menangis diam-diam. Ia memegang tangan adiknya, berjanji dalam hati akan terus melindunginya, meski badai hidup terus mengguncang. Di luar, angin bertiup kencang lagi, mengingatkannya bahwa perjuangan ini jauh dari selesai, tapi untuk Sinta, ia akan tetap menjadi bayang yang tak pernah surut.
Beban di Balik Senja
Pagi di desa Sungai Lestari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 09:56 WIB, disambut oleh udara yang masih lembap setelah hujan semalam. Jati Purnama terbangun dengan punggung yang terasa seperti ditusuk jarum, akibat kerja berat di gudang kayu dan ladang kemarin. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah atap yang rusak, menerangi ruangan sederhana yang masih bau lumpur. Ia duduk di lantai bambu, mengusap wajahnya yang penuh keringat dingin, dan matanya langsung tertuju pada Sinta Dewi Purnama yang masih terlelap di sudut, tubuhnya meringkuk di bawah selimut tipis yang sudah robek. Dua puluh ribu rupiah dari kemarin tersimpan di kaleng tua, tapi Jati tahu itu tak cukup untuk membeli buku dan seragam baru yang hilang akibat banjir.
Jati bangkit perlahan, merasa setiap ototnya menjerit, tapi ia tak punya waktu untuk meratapi. Ia mengenakan kemeja cokelat tua yang sudah kering dari lumpur, lengan panjangnya digulung hingga siku, memperlihatkan luka-luka baru yang bengkak. Di dapur, ia memasak nasi tipis dengan sisa beras setengah kilogram, menambahkan kecap murah untuk memberi rasa. Aroma sederhana itu membangunkan Sinta, yang mendekat dengan langkah pelan, matanya sayu. “Bang, kamu capek banget kemarin. Makan dulu, ya,” kata Sinta, suaranya lembut, mencoba menutupi kekhawatirannya.
Jati tersenyum, menyentuh kepala adiknya. “Abang baik-baik saja, Sin. Kamu makan dulu, abang ke ladang bentar,” jawabnya, meski dadanya terasa sesak. Ia tahu tubuhnya mulai memberontak, tapi untuk Sinta, ia harus bertahan. Setelah Sinta makan, Jati berjalan ke ladang Pak Wiyono, membawa cangkul tua yang sudah tumpul, meninggalkan adiknya di rumah dengan janji akan pulang sebelum sore.
Di ladang, matahari mulai naik, membakar kulit Jati yang sudah gelap. Ia mencangkul tanah yang masih becek akibat banjir, memisahkan padi yang bisa diselamatkan dari yang rusak. Pak Wiyono mengawasinya dari kejauhan, wajahnya masam. “Jati, kerja cepat! Upah tetap lima ribu hari ini,” teriaknya, suaranya menggema di antara deru angin. Jati mengangguk, mempercepat gerakan tangannya meski punggungnya terasa seperti patah. Pada tengah hari, ia hanya menerima tiga ribu rupiah—potongan karena hasil panen menurun—dan pulang dengan hati berat.
Di rumah, Sinta menyambutnya dengan senyum, membawakan segelas air dari sumur. “Bang, aku bantu bersihin rumah lagi. Biar cepet kering,” kata Sinta, menunjukkan lantai yang sudah mulai bersih dari lumpur. Jati tersenyum, memeluk adiknya, tapi dalam hatinya ia merasa tertekan. Uang tiga ribu rupiah itu tak cukup untuk apa-apa, dan ia tahu Sinta butuh buku untuk sekolah minggu depan.
Sore itu, Jati memutuskan untuk kembali ke gudang kayu, meski tubuhnya lelet. Ia berjalan menyusuri jalan tanah yang licin, membawa harapan tipis untuk upah tambahan. Di gudang, Pak Rudi menyambutnya dengan muka serius. “Jati, hari ini target dua puluh balok. Bisa nggak?” tanya Pak Rudi, menunjuk tumpukan kayu besar. Jati mengangguk, meski pundaknya sudah nyeri hebat. Ia mengangkat balok demi balok, serat kasar menggores kulitnya, dan pada balok kesepuluh, ia merasa pandangannya buram.
Tiba-tiba, Jati jatuh, balok terlepas dari pundaknya, menabrak lantai dengan bunyi keras. Pak Rudi berlari mendekat, membantunya duduk di sudut. “Jati! Kamu kelelahan! Pulang aja, aku kasih sepuluh ribu,” kata Pak Rudi, suaranya penuh simpati. Jati mencoba menolak, tapi tubuhnya tak lagi patuh. Ia pulang dengan sepuluh ribu rupiah, tangannya gemetar, dan keringat dingin membasahi wajahnya.
Di rumah, Sinta memandang kakaknya dengan mata penuh ketakutan. “Bang, kamu sakit! Kenapa nggak bilang?” tanya Sinta, membantu Jati duduk di lantai bambu. Jati tersenyum lemah, menyerahkan uang itu. “Abang baik-baik saja, Sin. Ini buat kita,” katanya, meski dadanya terasa sesak. Sinta menangis, memeluk kakaknya erat, dan Jati hanya bisa menenangkannya, menyimpan rasa sakitnya sendiri.
Malam itu, Jati tidur dengan demam ringan, tubuhnya panas membakar, tapi ia terbangun tengah malam mendengar Sinta mengigau lagi. “Bang… jangan tinggalin aku…” bisik Sinta, membuat Jati menangis diam-diam. Ia memegang tangan adiknya, berjanji dalam hati akan terus melindunginya, meski badainya semakin berat. Pagi berikutnya, Jati memaksakan diri bangun, meski kepalanya pusing. Ia memasak nasi tipis untuk Sinta, lalu berjalan ke warung Pak Slamet untuk meminjam uang lagi.
Di warung, Pak Slamet memandang Jati dengan simpati. “Jati, kamu kelihatan sakit. Pinjem berapa?” tanya Pak Slamet, mengeluarkan dompet tua. Jati meminta sepuluh ribu rupiah, berjanji akan membayarnya dengan hasil kerajinan kayu besok. Dengan uang itu, ia membeli beras dan minyak, kembali ke rumah dengan langkah goyah.
Siang itu, Jati duduk di beranda, mengukir kayu dengan tangan gemetar, mencoba membuat patung burung lagi. Sinta membantu dengan mengumpulkan kayu bekas, tapi matanya tak lepas dari kakaknya. “Bang, istirahat dulu. Aku takut kamu pingsan,” kata Sinta, suaranya penuh kekhawatiran. Jati mengangguk, berhenti sejenak, tapi pikirannya penuh tekanan—ia harus mencari cara agar Sinta tetap sekolah.
Sore itu, Jati mendengar kabar dari Pak Tarto bahwa ada lomba menggambar di desa sebelah, dengan hadiah lima puluh ribu rupiah untuk juara satu. Ia tahu Sinta jago menggambar, dan harapan baru menyala di hatinya. “Sin, kamu bisa ikut lomba itu. Abang bantu buatin alatnya,” katanya, tersenyum lebar. Sinta mengangguk antusias, dan mereka menghabiskan malam dengan membuat pensil dari arang dan kertas dari kain bekas.
Malam terakhir dalam bab ini, Jati tidur dengan tubuh yang lelet, tapi hatinya hangat. Ia memandang Sinta yang tertidur dengan senyum kecil, memegang kertas gambarnya, dan berdoa agar adiknya menang. Di luar, angin bertiup pelan, membawa bisikan harap, tapi Jati tahu, beban di pundaknya semakin berat—dan untuk Sinta, ia akan terus membawanya, meski retakan itu semakin dalam.
Cahaya di Ujung Retak
Pagi di desa Sungai Lestari pada Jumat, 13 Juni 2025, pukul 09:57 WIB, menyapa Jati Purnama dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui celah atap rumah kayu yang rusak. Udara segar bercampur aroma tanah basah membawa sedikit kelegaan bagi Jati, meski tubuhnya masih lelet akibat demam dan kelelahan. Ia terbangun di lantai bambu, selimut tipis menutupi tubuhnya yang kurus, dan matanya langsung tertuju pada Sinta Dewi Purnama yang sedang menggambar di sudut ruangan dengan pensil darurat dari arang. Sepuluh ribu rupiah dari pinjaman Pak Slamet dan hasil ukiran kayu tersimpan di kaleng tua, menjadi harapan tipis untuk hari ini.
Jati bangkit perlahan, merasa pundaknya masih kaku, tapi ada kekuatan baru dalam dirinya—mungkin dari semangat Sinta yang tak pernah padam. “Bang, aku bikin gambar burung buat lomba. Lihat, ya!” kata Sinta, menunjukkan kertas kain bekas yang diwarnai dengan arang dan sisa cat yang ia temukan. Jati tersenyum, menyentuh kepala adiknya dengan tangan kasar. “Bagus banget, Sin. Pasti menang,” jawabnya, suaranya parau tapi penuh kebanggaan.
Setelah memasak nasi tipis dengan sisa beras dan kecap, Jati mempersiapkan Sinta untuk lomba menggambar di desa sebelah, yang akan dimulai siang nanti. Ia mengenakan kemeja cokelat tua yang sudah dicuci, meski noda lumpur masih tersisa, dan membawa Sinta berjalan menyusuri jalan tanah yang mulai kering. Perjalanan satu jam itu terasa berat bagi Jati, tapi ia tak menunjukkan keluh kesah—untuk Sinta, ia akan terus melangkah.
Di desa sebelah, lomba diadakan di balai desa sederhana, dipenuhi anak-anak dan orang tua yang mendukung. Sinta duduk di meja kayu, menggambar dengan penuh konsentrasi, sementara Jati berdiri di sudut, memandang adiknya dengan hati bergetar. Setelah dua jam, lomba selesai, dan panitia mengumumkan pemenang. “Juara satu, Sinta Dewi Purnama!” teriak MC, membuat Sinta berlari ke Jati, memeluknya erat. Jati menangis diam-diam, menerima hadiah lima puluh ribu rupiah dari panitia, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat.
Kembali ke rumah, Jati dan Sinta merayakan kemenangan dengan makan nasi yang ditaburi kecap, ditambah jeruk liar yang mereka petik di jalan. “Bang, ini buat buku dan seragam aku, ya?” tanya Sinta, matanya berbinar. Jati mengangguk, menyimpan uang itu di kaleng tua, berjanji akan membelikan kebutuhan Sinta esok hari. Malam itu, Jati tidur dengan hati yang hangat, meski punggungnya masih nyeri.
Pagi berikutnya, Jati bangun lebih awal, membawa uang lima puluh ribu rupiah ke warung Pak Slamet. Ia membeli buku tulis baru, pensil, dan seragam bekas yang masih layak untuk Sinta, menghabiskan seluruh uang itu. Di rumah, ia menyerahkan barang-barang itu pada Sinta, yang tersenyum lebar. “Bang, aku bisa sekolah lagi! Terima kasih!” kata Sinta, memeluk kakaknya erat. Jati tersenyum, air matanya menetes, tapi kali ini karena kebahagiaan.
Siang itu, Jati kembali bekerja di ladang Pak Wiyono, meski upahnya masih lima ribu rupiah per hari. Ia mencangkul tanah dengan tenaga yang mulai pulih, berharap bisa menabung lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, sore harinya, ia mendengar kabar buruk dari Pak Tarto: ladang akan ditutup sementara karena kerusakan banjir, dan upah akan dihentikan hingga dua minggu ke depan. Jati terdiam, tapi ia tak menyerah. Ia berjalan ke gudang kayu, meminta tambahan jam kerja pada Pak Rudi.
“Jati, kamu kerja keras. Aku kasih tiga puluh ribu seminggu kalau mau lembur malam,” kata Pak Rudi, menatap Jati dengan simpati. Jati mengangguk, menerima tawaran itu meski tahu tubuhnya akan semakin lelet. Malam itu, ia bekerja hingga tengah malam, mengangkat balok kayu dengan pundak yang nyeri, tapi pikirannya penuh harap—uang itu akan cukup untuk bertahan hingga ladang dibuka lagi.
Beberapa hari kemudian, Jati pulang dengan tiga puluh ribu rupiah, tubuhnya lunglai dan penuh keringat. Sinta menyambutnya di beranda, memeluk kakaknya erat. “Bang, aku dapat nilai bagus di sekolah hari ini!” kata Sinta, menunjukkan rapor sederhana. Jati tersenyum, menyerahkan uang itu. “Bagus, Sin. Ini buat kita,” katanya, meski dalam hatinya ia merasa tertekan—utang pada Pak Slamet masih menanti.
Sore terakhir dalam cerita ini, Jati duduk di beranda bersama Sinta, memandang langit jingga yang indah. Sinta membacakan puisi yang ia tulis di sekolah, sementara Jati mendengarkan dengan hati penuh kebanggaan. Tiba-tiba, Pak Slamet datang, membawa sekeranjang ubi dan berita mengejutkan. “Jati, aku dengar cerita kamu dari Pak Rudi. Ini buat kalian, dan utangmu aku hapus. Kamu anak hebat,” kata Pak Slamet, tersenyum hangat.
Jati terdiam, air matanya menetes. Ia memeluk Sinta, merasa beban di pundaknya akhirnya terangkat. “Sin, kita aman sekarang. Abang janji bakal selalu ada buat kamu,” katanya, suaranya penuh harap. Sinta tersenyum, memeluk kakaknya kembali, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, suasana rumah terasa penuh kehangatan.
Di kejauhan, sungai mengalir tenang, dan angin membawa bisikan harap. Pengorbanan Jati—lelah di ladang, malam di gudang kayu, dan demam yang ia abaikan—akhirnya berbuah manis. Di ujung retakan hidupnya, ada cahaya yang bersinar, dan bayang Jati kini menjadi pelindung yang tak lagi goyah di tengah badai.
Bayang Jati di Tengah Badai adalah bukti tak ternilai bahwa pengorbanan seorang kakak dapat menjadi cahaya di tengah kegelapan hidup. Kisah Jati mengajarkan kita tentang kekuatan cinta, ketahanan, dan harapan yang tak pernah padam. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merasakan getaran emosi yang dalam dan motivasi untuk menghargai ikatan keluarga.
Terima kasih telah menyelami kisah Bayang Jati di Tengah Badai. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan ke dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, tetaplah terhubung dengan kisah-kisah yang menyentuh jiwa!


