Bayang di Balik Senja Hati: Kisah Cinta Remaja dan Kehilangan yang Menyentuh Jiwa

Posted on

Temukan keindahan dan kepedihan dalam Bayang di Balik Senja Hati, sebuah cerpen romansa remaja yang akan membawa Anda pada perjalanan emosional yang mendalam. Mengikuti kisah Zeryn dan Elyndra, dua jiwa muda yang bertemu di tepi Sungai Nirva di Kota Liraven, cerita ini memadukan cinta, harapan, dan kesedihan dengan detail yang memikat. Dengan dialog yang kaya dan alur yang penuh perasaan, cerpen ini menawarkan pengalaman membaca yang tak terlupakan, sempurna untuk pecinta kisah cinta yang menyentuh hati dan menggugah jiwa.

Bayang di Balik Senja Hati

Pertemuan di Ujung Waktu

Langit Kota Liraven selalu memerah saat senja, seolah menyimpan luka lama yang tak pernah sembuh. Di tepi jembatan tua yang melintang di Sungai Nirva, Zeryn berdiri dengan tangan di saku jaketnya yang lusuh. Rambut hitamnya yang sedikit berantakan tertiup angin, dan matanya—sepasang zamrud yang redup—memandangi air sungai yang beriak pelan. Di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Zeryn membawa beban yang terlalu berat untuk pundaknya. Ayahnya hilang dalam kecelakaan kapal dua tahun lalu, dan ibunya kini hanya bayang-bayang yang tenggelam dalam kesedihan, meninggalkan Zeryn untuk merawat adiknya, Kael, yang masih berusia sepuluh tahun.

Hari itu, Zeryn melarikan diri dari rumah setelah pertengkaran kecil dengan Kael. “Kau nggak peduli sama aku, kan?” jeritan adiknya masih bergema di telinganya. Zeryn tahu itu tidak benar, tapi ia tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa ia juga lelah, bahwa ia juga merindukan kehidupan yang lebih sederhana. Jembatan tua itu adalah tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa bernapas tanpa rasa bersalah.

Saat ia berdiri di sana, sebuah suara lembut menginterupsinya. “Kau suka senja juga, ya?”

Zeryn menoleh, terkejut. Di sampingnya berdiri seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang berkilauan seperti emas cair, diikat longgar dengan pita biru tua. Matanya berwarna cokelat hangat, penuh dengan keajaiban, dan ia memegang sebuah buku sketsa di tangannya. Nama gadis itu, seperti yang ia perkenalkan dengan senyum malu-malu, adalah Elyndra.

“Uh, iya,” jawab Zeryn, sedikit kikuk. “Kau sering ke sini?”

Elyndra mengangguk, duduk di tepi jembatan dengan kaki menggantung. “Setiap sore. Aku suka gambar senja di sini. Warnanya… kayak hidup, tapi juga sedih gitu.”

Zeryn tersenyum kecil, merasa ada kehangatan aneh di dadanya. “Aku nggak terlalu suka gambar, tapi aku suka lihat senja. Kayak… tempat aku bisa lupain segalanya.”

Elyndra memandangnya, matanya penuh rasa ingin tahu. “Lupain apa? Kalau boleh tahu, tentu saja.”

Zeryn ragu sejenak, tapi ada sesuatu dalam tatapan Elyndra yang membuatnya merasa aman. “Keluargaku. Ayahku hilang, ibuku nggak pernah bangun dari duka, dan aku harus jaga adikku. Kadang aku merasa… aku nggak cukup kuat.”

Elyndra terdiam, lalu meletakkan buku sketsanya di samping. “Aku ngerti. Ibuku juga pergi, tiga tahun lalu. Kanker. Aku sama, cuma punya kakak yang sibuk kerja. Tapi aku selalu bilang ke diri sendiri, kalau aku bertahan, itu artinya aku kuat.”

Zeryn memandangnya, terkejut dengan kejujuran gadis itu. “Kau nggak takut bilang itu?”

“Kenapa harus takut?” balas Elyndra, tersenyum tipis. “Kalau aku nggak jujur sama diri sendiri, sama siapa lagi?”

Mereka duduk berdampingan, membiarkan angin membawa percakapan mereka ke arah yang lebih ringan. Elyndra membuka buku sketsanya, menunjukkan gambar-gambar senja yang ia buat—lengkung langit merah, pantulan air sungai, dan siluet burung yang terbang menjauh. “Kau boleh coba gambar kalau mau,” ajaknya, menyerahkan pensil kepadanya.

Zeryn tertawa kecil. “Aku nggak bisa gambar. Tapi… boleh aku lihat lagi karyamu?”

Elyndra mengangguk, dan mereka menghabiskan waktu berjam-jam di sana, berbagi cerita tentang hidup mereka. Zeryn menceritakan tentang Kael, tentang bagaimana adiknya suka menggambar kapal-kapal kertas dan bermimpi menjadi pelaut seperti ayahnya. Elyndra tertawa, suaranya seperti lonceng kecil. “Kael kedengarannya lucu. Aku yakin dia bangga punya kakak seperti kamu.”

“Kadang aku nggak yakin,” kata Zeryn, suaranya rendah. “Aku sering marah sama dia tanpa alasan.”

“Semua kakak begitu,” balas Elyndra, memeluk lututnya. “Tapi yang penting, kau ada buat dia. Itu udah cukup.”

Saat matahari hampir tenggelam sepenuhnya, Elyndra menutup buku sketsanya. “Kita ketemu lagi besok, ya? Di sini, jam yang sama?”

Zeryn mengangguk, merasa ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya. “Iya. Aku janji.”

Malam itu, Zeryn pulang dengan langkah lebih ringan. Kael menunggunya di teras, wajahnya penuh rasa bersalah. “Maaf tadi, Kak,” kata adiknya pelan.

Zeryn tersenyum, merangkul Kael. “Aku juga minta maaf. Besok aku ceritain tentang temen baruku, ya?”

Kael mengangguk antusias, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rumah terasa hangat lagi. Tapi di kamarnya, Zeryn tak bisa tidur. Ia memandang langit malam melalui jendela, memikirkan Elyndra—senyumnya, matanya, dan cara ia membuat Zeryn merasa seperti bukan lagi orang yang sendirian.

Keesokan harinya, Zeryn kembali ke jembatan dengan perasaan campur aduk. Elyndra sudah ada di sana, menggambar dengan konsentrasi penuh. “Pagi!” sapa gadis itu ceria. “Kau datang tepat waktu.”

“Pagi,” balas Zeryn, tersenyum. “Apa yang kau gambar hari ini?”

Elyndra menunjukkan sketsanya—siluet dua orang berdiri di jembatan, di bawah langit merah. “Ini kita, menurutku,” katanya, wajahnya memerah. “Kau nggak keberatan, kan?”

Zeryn memandang gambar itu, terkejut dengan detailnya. “Nggak. Malah… aku suka. Kau jago banget.”

Elyndra tertawa. “Terima kasih. Kau mau coba sekarang? Aku ajarin.”

Zeryn menggeleng, tapi akhirnya menyerah pada dorongan Elyndra. Ia mengambil pensil, tangannya gemetar saat mencoba menggambar garis pertama. “Ini jelek banget,” keluhnya.

“Bukan jelek,” kata Elyndra, mendekat untuk membantunya. “Ini pertama kali. Setiap garis punya cerita, Zeryn. Jangan takut salah.”

Mereka tertawa bersama saat Zeryn membuat kesalahan demi kesalahan, tapi Elyndra terus mendampinginya, menunjukkan cara memegang pensil dan membuat bayangan. “Kau sabar banget,” kata Zeryn, memandangnya dengan kekaguman.

“Karena aku suka ngajar orang yang mau belajar,” balas Elyndra, matanya berbinar. “Apalagi kalau orangnya sekeren kamu.”

Zeryn merasa wajahnya panas, tapi ia tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Keren? Aku cuma anak biasa yang nggak bisa gambar.”

“Buat aku, kau nggak biasa,” kata Elyndra serius. “Kau punya hati yang besar, Zeryn. Aku lihat itu.”

Percakapan mereka terputus saat angin membawa daun kering jatuh di antara mereka. Elyndra mengambil daun itu, memutarnya di jarinya. “Kau percaya sama takdir, Zeryn?”

“Entah,” jawab Zeryn, memandang sungai. “Tapi kalau takdir bikin aku ketemu sama kamu, mungkin aku mulai percaya.”

Elyndra tersenyum, tapi ada kesedihan samar di matanya. “Aku juga harap begitu. Tapi kadang takdir suka main curang, ya?”

Zeryn tak mengerti maksudnya, tapi ia tak bertanya. Mereka duduk lagi, berbagi cerita tentang mimpi mereka—Zeryn ingin membawa Kael keliling dunia, Elyndra ingin mengadakan pameran sketsa di kota besar. Saat senja tiba, Elyndra menutup bukunya. “Besok lagi, ya?”

“Iya,” janji Zeryn. “Aku nggak akan telat.”

Malam itu, Zeryn menulis nama Elyndra di buku catatannya, merasa seperti ada cahaya baru di hidupnya. Tapi di sudut hatinya, ada ketakutan kecil—seperti bayang-bayang senja yang perlahan menelan cahaya, menunggu untuk mengungkap rahasia yang belum ia ketahui.

Cahaya di Antara Bayang

Pagi di Kota Liraven terasa dingin, angin musim semi membawa aroma bunga liar yang tumbuh di sepanjang Sungai Nirva. Zeryn bangun dengan perasaan yang berbeda—ada semangat aneh yang mengalir di nadinya, sesuatu yang ia hubungkan dengan pertemuan kemarin bersama Elyndra. Di dapur kecil rumahnya, ia menyiapkan sarapan untuk Kael—roti bakar dengan selai stroberi dan segelas susu hangat. Adiknya duduk di meja, masih mengantuk, tapi matanya berbinar saat melihat makanan.

“Kak, ceritain temen barumu!” pinta Kael, mulutnya penuh roti.

Zeryn tersenyum, menuang kopi untuk dirinya sendiri. “Namanya Elyndra. Dia suka gambar, dan kemarin aku coba gambar bareng dia di jembatan.”

Kael melebarkan matanya. “Kak bisa gambar? Luar biasa!”

“Belum bisa,” tawa Zeryn. “Tapi dia sabar ajarin aku. Nanti aku bawa dia ke sini, ya?”

Kael mengangguk antusias. “Aku mau liat gambarnya! Dia cantik, Kak?”

Zeryn merasa wajahnya panas. “Ya, boleh dibilang gitu. Tapi lebih ke… dia baik banget.”

Setelah sarapan, Zeryn membersihkan meja sambil memikirkan Elyndra. Ia mengenakan jaket hitamnya, memastikan pensil dan buku catatan kecilnya ada di saku, lalu berjalan ke jembatan. Jam di tangannya menunjukkan pukul 15:30, masih ada waktu sebelum janji mereka pukul 16:00. Di sepanjang jalan, ia melihat anak-anak bermain layang-layang, dan untuk sesaat, ia membayangkan Kael di antara mereka, tertawa bebas.

Saat sampai di jembatan, Elyndra sudah ada, duduk dengan buku sketsanya terbuka. Rambut pirangnya berkilau di bawah sinar senja yang mulai muncul, dan ia mengenakan sweater krem dengan syal biru yang terlihat hangat. “Kau cepet!” sapa Elyndra, tersenyum lebar.

“Maaf, aku nggak mau telat,” balas Zeryn, duduk di sampingnya. “Kau udah gambar apa?”

Elyndra menunjukkan sketsa baru—siluet jembatan dengan burung-burung terbang di langit merah. “Ini tadi pagi. Tapi aku mau gambar kita lagi hari ini. Mau coba?”

Zeryn mengangguk, mengambil pensil dari tangan Elyndra. “Kemarin aku jelek banget. Apa aku bisa lebih baik?”

“Pastinya,” kata Elyndra, mendekat untuk membantunya. “Coba gambar tanganmu sendiri dulu. Pelan-pelan.”

Zeryn mencoba, garis-garisnya masih kaku, tapi Elyndra terus memberi saran. “Lebih lembut di sini,” katanya, tangannya memandu tangan Zeryn. “Lihat, kau udah mulai jago!”

Zeryn tertawa. “Jago? Ini masih kayak coretan anak TK!”

“Setiap seni punya keindahan,” balas Elyndra, matanya berbinar. “Ceritain Kael lagi, dong. Aku penasaran sama adikmu.”

Zeryn menceritakan tentang Kael yang suka menggambar kapal-kapal kertas, tentang bagaimana adiknya sering menangis diam-diam saat mengingat ayahnya. “Kadang aku nggak tahu harus ngomong apa,” akunya. “Aku cuma bisa peluk dia.”

Elyndra memandangnya dengan simpati. “Kau udah hebat, Zeryn. Kael pasti tahu itu. Aku juga dulu gitu sama kakakku. Dia sibuk, tapi aku selalu tunggu dia pulang.”

“Apa kakakmu baik sama kamu?” tanya Zeryn.

“Iya, tapi dia jarang ada,” jawab Elyndra, suaranya sedikit meredup. “Dia kerja di luar kota. Aku cuma punya sketsa buat temenin aku.”

Mereka berbagi cerita lagi, dari mimpi Elyndra mengadakan pameran hingga Zeryn ingin membeli kapal mainan untuk Kael. Saat senja semakin dalam, Elyndra mengeluarkan termos kecil berisi teh hangat. “Minum bareng, ya?”

Zeryn menerima cangkirnya, merasa hangatnya menyebar ke jantungnya. “Terima kasih. Kau selalu punya cara bikin orang nyaman.”

Elyndra tersenyum. “Karena aku suka sama kamu, Zeryn. Maksudku… sebagai temen, tentu saja!”

Zeryn merasa jantungnya berdetak kencang. “Aku juga suka… temenan sama kamu. Kau beda dari yang lain.”

Mereka tertawa, tapi ada ketegangan kecil di udara. Elyndra lalu mengusulkan, “Ayo jalan ke taman dekat sini. Aku mau gambar pohonnya.”

Di taman, mereka duduk di bawah pohon besar dengan daun kuning. Elyndra menggambar, sementara Zeryn mencoba menirunya. “Ini bagus, tapi cabangnya kurang,” kata Elyndra, memperbaiki sketsa Zeryn.

“Kau terlalu perfectionis,” keluh Zeryn, tapi ia tersenyum.

“Karena aku mau kau bangga sama karyamu,” balas Elyndra, matanya penuh semangat.

Saat matahari hampir tenggelam, Elyndra menutup bukunya. “Kau mau tahu rahasia kecil?” tanyanya, suaranya pelan.

“Apa?” tanya Zeryn, penasaran.

“Aku gambar kamu di sketsa pertama kita kemarin,” akunya, wajahnya memerah. “Tanpa kamu tahu.”

Zeryn terkejut, tapi ia tersenyum. “Kenapa aku?”

“Karena kau bikin aku pengen gambar sesuatu yang hidup,” jawab Elyndra. “Kau punya aura… kayak senja gitu.”

Zeryn tak tahu harus bilang apa, tapi ia merasa hatinya hangat. “Terima kasih. Aku… seneng banget denger itu.”

Mereka berjalan pulang bersama, tangan mereka hampir bersentuhan. Di depan rumah Zeryn, Elyndra berhenti. “Besok lagi, ya? Bawa Kael kalau bisa.”

“Iya,” janji Zeryn. “Aku tunggu kamu di jembatan.”

Malam itu, Zeryn tak bisa tidur. Ia memandang langit melalui jendela, memikirkan Elyndra dan sketsa yang ia gambar. Tapi di sudut pikirannya, ada bayang-bayang—Elyndra yang sedikit sedih saat bicara tentang kakaknya, dan firasat bahwa ada sesuatu yang belum ia ketahui.

Keesokan harinya, Zeryn membawa Kael ke jembatan. Elyndra tersenyum lebar saat melihat adiknya. “Hai, Kael! Aku Elyndra!”

“Hai! Kak Zeryn cerita banyak tentang kamu!” kata Kael ceria.

Elyndra tertawa. “Bagus dong! Mau gambar bareng kita?”

Mereka duduk bersama, Kael mencoba menggambar kapal, sementara Zeryn dan Elyndra bekerja sama menggambar pohon. “Kael jago!” puji Elyndra.

“Karena aku punya guru hebat!” balas Kael, membuat Zeryn dan Elyndra tertawa.

Sore itu terasa sempurna, tapi saat Zeryn menatap Elyndra, ia melihat bayangan kesedihan di matanya lagi. “Ada apa?” tanyanya pelan.

Elyndra menggeleng. “Nggak apa-apa. Cuma… aku harap hari ini nggak pernah berakhir.”

Zeryn memandangnya, merasa ada sesuatu yang tersembunyi. “Kita buat hari ini panjang, ya? Aku ajak kalian ke kafe.”

Di kafe kecil, mereka memesan cokelat panas. Kael bercerita tentang mimpinya, sementara Elyndra menggambar di serbet. “Ini buat kamu,” katanya, memberikan sketsa wajah Zeryn pada Kael.

“Keren!” seru Kael. “Kak, kau harus simpen!”

Zeryn tersenyum, tapi di hatinya, ia merasa ada yang tak beres. Elyndra terlalu ceria, seolah menyembunyikan sesuatu. Saat mereka pulang, Zeryn berjanji dalam hati untuk mencari tahu, karena ia tak ingin kehilangan cahaya yang baru ia temukan.

Retakan di Antara Harapan

Pagi di Kota Liraven terasa lebih sejuk dari biasanya, awan tipis menyelimuti langit yang mulai memerah menjelang senja. Zeryn terbangun dengan pikiran penuh pada Elyndra dan Kael, yang kemarin tertawa bersama di kafe kecil itu. Di dapur, ia menyiapkan sarapan—telur dadar dan roti panggang—sambil mendengarkan Kael bercerita tentang mimpinya menjadi pelaut. “Kak, aku mau bikin kapal kertas buat Elyndra!” kata Kael antusias, matanya berbinar.

Zeryn tersenyum, menuang kopi ke cangkirnya. “Bagus ide itu. Kita bawa ke jembatan nanti, ya?”

Kael mengangguk keras. “Iya! Aku mau dia suka sama aku!”

Setelah sarapan, Zeryn membantu Kael melipat kertas hingga menjadi kapal kecil yang rapi. Ia mengenakan jaket hitamnya, memastikan pensil dan buku catatan ada di saku, lalu berjalan bersama Kael ke jembatan. Jam di tangannya menunjukkan pukul 15:45, dan angin membawa aroma bunga liar yang membuatnya merasa tenang. Tapi di sudut hatinya, ada rasa khawatir—bayangan kesedihan di mata Elyndra kemarin terus mengganggunya.

Saat sampai di jembatan, Elyndra sudah ada, duduk dengan buku sketsanya terbuka. Rambut pirangnya tergerai lembut, dan ia mengenakan mantel abu-abu yang membuatnya terlihat lebih rapuh. “Hai, Zeryn! Hai, Kael!” sapa Elyndra, tersenyum lebar.

“Hai, Elyndra! Ini buat kamu!” Kael berlari, menyerahkan kapal kertasnya.

Elyndra menerimanya dengan mata berbinar. “Wow, Kael! Ini cantik banget! Terima kasih, ya!”

Kael tersenyum bangga. “Aku buat sama Kak Zeryn!”

“Bagus banget kalian berdua,” kata Elyndra, meletakkan kapal itu di samping bukunya. “Mau gambar bareng lagi?”

Zeryn mengangguk, duduk di sampingnya. “Iya, tapi aku mau tanya sesuatu dulu. Kemarin… kau kelihatan sedih. Ada apa?”

Elyndra terdiam, jarinya memainkan pensilnya. “Nggak apa-apa, Zeryn. Cuma… aku capek aja.”

“Tapi aku lihat lebih dari itu,” tegas Zeryn, matanya menatapnya serius. “Kau bisa cerita sama aku, kan?”

Elyndra menghela napas, lalu menatap sungai. “Baiklah. Aku… aku sakit, Zeryn. Dokter bilang aku punya penyakit jantung. Itu kenapa aku sering lelet, dan kenapa aku takut kehilangan hari-hari seperti ini.”

Zeryn terpana, jantungnya berdegup kencang. “Sakit? Kenapa kau nggak bilang dari awal?”

“Karena aku nggak mau kau kasihan sama aku,” jawab Elyndra, suaranya bergetar. “Aku mau kita temenan kayak orang normal. Tapi… waktuku nggak banyak.”

Kael memandang mereka, bingung. “Elyndra sakit? Apa yang salah?”

Elyndra tersenyum pada Kael, menyeka air matanya. “Nggak apa-apa, Kael. Aku cuma harus istirahat lebih banyak. Tapi aku seneng banget sama kapalmu.”

Zeryn meraih tangan Elyndra, merasakan dinginnya. “Kau nggak sendirian, Elyndra. Aku dan Kael ada buat kamu.”

Elyndra mengangguk, tapi matanya penuh air. “Terima kasih, Zeryn. Aku… aku takut. Tapi ketemu kalian bikin aku berani.”

Mereka memutuskan untuk menggambar bersama, mencoba mengalihkan perasaan berat itu. Kael menggambar kapal di air, sementara Zeryn dan Elyndra bekerja sama menggambar pohon di tepi sungai. “Ini bagus,” kata Elyndra, memperbaiki garis Zeryn. “Kau udah jauh lebih baik.”

“Karena gurunya hebat,” balas Zeryn, tersenyum tipis.

Saat senja tiba, Elyndra terlihat lelah. “Aku mau istirahat bentar,” katanya, bersandar pada Zeryn.

“Kita pulang bareng, ya?” ajak Zeryn, khawatir.

Di perjalanan, Elyndra bercerita tentang masa kecilnya, saat ia dan ibunya sering menggambar bersama. “Aku kangen ibu,” katanya pelan. “Tapi sekarang aku punya kalian.”

Di depan rumah Elyndra, sebuah rumah kecil dengan taman bunga, Zeryn berhenti. “Kau janji cerita kalau ada apa-apa, ya?”

“Iya,” janji Elyndra, tersenyum lemah. “Besok lagi?”

“Iya,” jawab Zeryn. “Aku bawa Kael lagi.”

Malam itu, Zeryn tak bisa tidur. Ia memandang langit, memikirkan Elyndra dan penyakitnya. Kael mendekat, memeluknya. “Kak, Elyndra bakal sembuh, kan?”

Zeryn mengangguk, meski hatinya tak yakin. “Iya, Kael. Kita doain dia.”

Keesokan harinya, Zeryn dan Kael kembali ke jembatan, tapi Elyndra terlambat. Setelah menunggu sejam, Zeryn khawatir. “Aku ke rumahnya,” katanya pada Kael.

Di rumah Elyndra, pintu dibuka oleh kakaknya, seorang pria tinggi bernama Tavrin. “Kamu temen Elyndra?” tanyanya, wajahnya penuh kekhawatiran.

“Iya. Dia nggak datang ke jembatan. Ada apa?” tanya Zeryn, jantungnya berdebar.

Tavrin menghela napas. “Dia masuk rumah sakit tadi pagi. Serangan jantung. Dokter bilang kondisinya kritis.”

Zeryn terdiam, tangannya gemetar. “Bisa ketemu dia?”

Tavrin mengangguk, membawanya ke rumah sakit. Di kamar, Elyndra terbaring pucat, tabung oksigen di hidungnya. “Zeryn…” bisiknya lemah.

“Elyndra, aku di sini,” kata Zeryn, memegang tangannya. “Kau kuat, ya?”

Elyndra tersenyum tipis. “Aku seneng ketemu kamu. Sketsaku… simpen buat Kael, ya?”

Zeryn mengangguk, air matanya jatuh. “Iya. Tapi kau harus sembuh dulu.”

Elyndra menatapnya, matanya berkaca. “Kalau aku nggak bisa… jangan sedih, ya? Hidup terus buat Kael.”

Mereka duduk dalam diam, tangan mereka saling menggenggam. Tavrin mendekat, membawa buku sketsa Elyndra. “Dia minta kasih ini padamu,” katanya.

Zeryn membukanya, menemukan sketsa dirinya dan Kael di jembatan, dengan tulisan: “Terima kasih telah jadi cahayaku.” Di halaman terakhir, ada surat pendek: “Zeryn, aku sayang sama kamu. Jaga Kael, dan jangan lupain senja kita.”

Malam itu, Elyndra tertidur dalam tidur yang dalam. Dokter mengatakan ia masih dalam kondisi kritis. Zeryn pulang dengan buku itu, memeluk Kael yang menangis. “Kak, aku takut Elyndra pergi,” kata Kael.

“Aku juga,” akui Zeryn, air matanya jatuh. “Tapi kita doain dia.”

Di kamarnya, Zeryn membaca surat itu berulang-ulang, merasa retakan di hatinya membesar. Ia tahu waktunya dengan Elyndra mungkin singkat, tapi ia berjanji akan menghargai setiap momen yang tersisa.

Senja yang Abadi

Pagi di Kota Liraven terasa sunyi, langit kelabu menyelimuti Sungai Nirva dengan lapisan kabut tipis. Jam di dinding menunjukkan pukul 07:30 WIB, Jumat, 20 Juni 2025, tapi Zeryn tak bisa merasakan kehangatan hari itu. Malam sebelumnya, ia pulang dari rumah sakit dengan hati yang hancur, memeluk Kael yang menangis hingga keduanya tertidur. Buku sketsa Elyndra masih tergeletak di meja kecil di kamarnya, dan surat yang ia tulis terus bergema di pikirannya. Hari ini, Zeryn tahu, adalah hari yang menentukan—dokter akan memberikan kabar terbaru tentang kondisi Elyndra.

Di dapur, Zeryn menyiapkan sarapan sederhana—roti dan susu—meski tangannya gemetar. Kael duduk di kursi, matanya sembab, memainkan kapal kertas yang ia buat untuk Elyndra. “Kak, kita ke rumah sakit lagi, ya?” pinta Kael, suaranya pelan.

Zeryn mengangguk, menyeka wajahnya dengan lengan baju. “Iya, Kael. Kita ke sana sekarang.”

Mereka berjalan menuju rumah sakit, jaket hitam Zeryn basah oleh embun pagi, sementara Kael memegang buku sketsa itu erat-erat. Di perjalanan, Zeryn memandang jembatan tua, tempat pertemuan pertama mereka, dan merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Saat sampai di rumah sakit, pukul 08:15 WIB, mereka langsung menuju kamar Elyndra. Tavrin, kakak Elyndra, berdiri di koridor dengan wajah pucat.

“Zeryn, Kael…” panggil Tavrin, suaranya bergetar. “Dokter mau bicara sama kalian.”

Zeryn merasa jantungnya berhenti. Ia menggenggam tangan Kael, mengikuti Tavrin ke ruang konsultasi. Dokter, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Sari, menyapa mereka dengan ekspresi serius. “Kalian temen Elyndra, kan?” tanyanya.

“Iya,” jawab Zeryn, suaranya serak. “Bagaimana dia?”

Dr. Sari menghela napas panjang. “Kondisi Elyndra memburuk semalam. Penyakit jantungnya sudah parah, dan kami coba segalanya, tapi… ia masuk dalam koma. Peluangnya kecil untuk bangun lagi.”

Kael menangis, memeluk Zeryn. “Nggak, aku mau Elyndra sembuh!”

Zeryn menahan air matanya, memeluk Kael erat. “Dokter, kita bisa lihat dia?”

Dr. Sari mengangguk. “Iya, tapi bersiaplah. Ia lemah sekali.”

Di kamar, Elyndra terbaring dengan tabung oksigen dan monitor yang berderit pelan. Wajahnya pucat, tapi ada kedamaian aneh di ekspresinya. Zeryn mendekat, memegang tangannya yang dingin. “Elyndra, aku di sini. Kael juga,” bisiknya.

Kael menangis di samping ranjang. “Elyndra, bangun, ya? Aku bikin kapal lagi buat kamu!”

Elyndra tak bergerak, tapi jari-jarinya sedikit bergetar di tangan Zeryn. Detak jantung di monitor melambat, dan Dr. Sari masuk dengan ekspresi berat. “Kalian harus kuat,” katanya pelan.

Zeryn mengangguk, air matanya jatuh. “Elyndra, kalau kamu dengar aku… aku sayang sama kamu. Jangan pergi, ya?”

Tiba-tiba, mata Elyndra berkedip, membuka perlahan. “Zeryn… Kael…” bisiknya lemah, suaranya hampir tak terdengar.

“Elyndra!” seru Zeryn, berlutut di samping ranjang. “Kamu bangun! Pegang tanganku!”

Elyndra tersenyum tipis, matanya berkaca. “Aku seneng… lihat kalian. Maaf… aku nggak bisa lama.”

“Nggak, jangan bilang gitu!” tangis Kael. “Aku mau kamu tetap ada!”

Elyndra menggeleng pelan. “Kael, simpen kapal itu. Zeryn… jaga dia. Sketsaku… buat kalian.”

Zeryn menggenggam tangannya erat. “Aku janji, Elyndra. Tapi tolong, bertahan.”

Elyndra menatapnya, napasnya semakin pendek. “Senja kita… indah, ya? Aku… sayang kamu, Zeryn.”

Sebelum Zeryn bisa menjawab, detak jantung di monitor berhenti. Dr. Sari bergegas masuk, tapi ia hanya menggeleng pada Zeryn dan Kael. “Maaf… ia pergi.”

Kael menangis histeris, memeluk Elyndra, sementara Zeryn terdiam, air matanya membanjiri wajahnya. Ia memeluk Kael, merasa dunia runtuh. Tavrin mendekat, menyerahkan buku sketsa itu. “Ini untuk kalian,” katanya, suaranya pecah.

Zeryn membukanya, menemukan sketsa terakhir—gambar dirinya, Kael, dan Elyndra di jembatan, dengan tulisan: “Terima kasih telah jadi senjaku.” Di halaman berikutnya, ada catatan: “Jika aku pergi, jangan sedih. Hidup terus, dan ingat aku di setiap senja.”

Beberapa hari kemudian, pemakaman Elyndra diadakan di tepi Sungai Nirva, di bawah pohon besar tempat mereka pernah menggambar. Zeryn dan Kael melepaskan kapal kertas ke air, menangis bersama Tavrin. “Dia mau kita kuat,” kata Zeryn pada Kael, menyeka air matanya.

“Iya, Kak. Tapi aku kangen dia,” balas Kael, memeluk Zeryn.

Malam itu, Zeryn duduk di jembatan, memandang senja yang memerah. Ia membuka buku sketsa, menggambar siluet Elyndra dengan gitar imajiner, seperti yang ia bayangkan. “Aku sayang kamu, Elyndra,” bisiknya pada angin. “Aku janji jaga Kael, dan aku nggak akan lupain senja kita.”

Kael mendekat, membawa kapal kertas baru. “Kak, kita gambar bareng, ya? Buat Elyndra.”

Zeryn mengangguk, tersenyum lewat air matanya. Mereka menggambar bersama, garis-garisnya penuh luka dan cinta. Di kejauhan, angin membawa suara samar, seperti tawa Elyndra, dan Zeryn merasa ia masih ada—sebagai bayang di balik senja hati mereka, abadi selamanya.

Bayang di Balik Senja Hati adalah lebih dari sekadar cerpen—ini adalah cerminan kekuatan cinta di tengah cobaan kehidupan dan kehilangan yang mendalam. Kisah Zeryn dan Elyndra akan terus hidup di hati pembaca, mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen bersama orang tersayang dan menemukan kekuatan dalam kenangan. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan emosi yang kuat ini, dan biarkan cerita ini menjadi inspirasi dalam menghadapi hari-hari Anda.

Terima kasih telah menyelami keindahan Bayang di Balik Senja Hati bersama kami. Semoga kisah ini membawa Anda kedamaian dan inspirasi. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus eksplorasi cerita-cerita yang menyentuh hati Anda!

Leave a Reply