Bayang Cahaya di Lembah Duka: Perjalanan Hati yang Menggetarkan

Posted on

Bayang Cahaya di Lembah Duka: Kisah Perjalanan Hati yang Menggetarkan mengisahkan petualangan Tavrinel Veyra, pemuda dari Lembah Serevan, yang berjuang mencari kebenaran tentang ayahnya yang hilang di tengah misteri Lembah Terkutuk. Cerpen ini penuh dengan emosi mendalam, menggambarkan perjuangan batin, cinta keluarga, dan keberanian menghadapi kegelapan untuk menemukan cahaya dalam diri. Dengan latar pedesaan yang memesona dan petualangan penuh bahaya, kisah ini mengajak Anda merasakan duka, harapan, dan kekuatan jiwa yang tak pernah padam. Yuk, ikuti perjalanan Tavrinel yang akan mengaduk hati Anda!

Bayang Cahaya di Lembah Duka

Desir Angin di Lembah Sunyi

Di sebuah lembah terpencil bernama Lembah Serevan, tersembunyi di balik pegunungan hijau yang menjulang tinggi, hiduplah seorang pemuda bernama Tavrinel Veyra. Nama itu diberikan oleh ibunya, Lysindra, dengan harapan bahwa Tavrinel akan menjadi “penjaga jiwa yang teguh” di tengah badai kehidupan. Namun, di usianya yang ke-19, Tavrinel merasa lebih seperti daun kering yang diterpa angin—rentan, rapuh, dan tak punya arah. Rambutnya yang hitam legam selalu tergerai acak-acakan, seolah mencerminkan kekacauan dalam hatinya, sementara matanya yang cokelat tua sering kali kosong, seperti danau yang kehilangan pantulannya.

Lembah Serevan adalah tempat yang indah namun sunyi. Sawah-sawah hijau membentang seperti karpet raksasa, dikelilingi oleh hutan pinus yang menyimpan desis angin yang tak pernah henti. Di tengah lembah berdiri sebuah rumah kayu sederhana milik Tavrinel dan ibunya, dengan atap jerami yang sudah mulai rapuh dan dinding-dinding yang berderit setiap kali angin bertiup kencang. Rumah itu adalah saksi bisu dari kehidupan mereka yang sederhana, namun juga penuh luka. Ayah Tavrinel, Eryndor, seorang petani yang dikenal karena kebijaksanaan dan tawa renyahnya, menghilang sepuluh tahun lalu tanpa jejak, meninggalkan Lysindra dan Tavrinel dalam keheningan yang menusuk.

Pagi itu, seperti biasa, Tavrinel duduk di ambang pintu rumah, memandang lembah yang perlahan terbangun dengan sinar matahari pertama. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang selalu ia bawa kemanapun pergi. Kotak itu adalah peninggalan ayahnya, di dalamnya terdapat sehelai surat dan sebuah liontin perak berbentuk daun yang sudah usang. Surat itu ditulis tangan oleh Eryndor, dengan tinta yang sudah memudar, namun kalimat-kalimatnya masih terbaca jelas: “Jika aku pergi, Tavrinel, jangan mencariku. Hidupkan lentera yang kutinggalkan untukmu, dan temukan jalanmu sendiri.” Tavrinel tak pernah benar-benar memahami arti kalimat itu, tapi setiap kali ia membacanya, hatinya bergetar dengan campuran rindu dan kemarahan.

Lysindra, ibunya, adalah wanita yang tangguh namun rapuh. Di usia paruh baya, rambutnya yang dulu hitam kini dipenuhi uban, dan kulitnya yang pucat menunjukkan tanda-tanda kelelahan dari bertahun-tahun bekerja sebagai penjahit kain tradisional. Ia menghabiskan hari-harinya di depan mesin jahit tua yang berderit, mencoba mencukupi kebutuhan mereka dengan menjual kain-kain berpola daun dan bunga yang ia buat dengan teliti. Tapi di balik senyumnya yang tipis, Tavrinel tahu ibunya menyimpan duka yang dalam. Setiap malam, ketika Tavrinel berbaring di ranjang kayunya yang sederhana, ia mendengar isak tangis pelan dari kamar ibunya—suara yang menjadi soundtrack kelam dari hidup mereka.

“Tavrinel, bantu Ibu membawa air dari sumur,” panggil Lysindra suatu pagi, suaranya lembut namun membawa nada perintah. Tavrinel mengangguk, meninggalkan kotak kayu di ambang pintu dan mengambil dua ember tua dari dapur. Sumur terletak di ujung sawah, sekitar lima belas menit berjalan kaki dari rumah. Sepanjang jalan, angin membawa aroma tanah basah dan bunga liar, tapi juga kenangan tentang ayahnya yang sering mengajaknya ke sumur itu saat ia masih kecil. Eryndor selalu bercerita tentang legenda lembah—tentang roh-roh gunung yang menjaga rahasia dan lentera ajaib yang hanya menyala untuk jiwa-jiwa yang layak.

Saat Tavrinel tiba di sumur, ia melihat seseorang yang tak asing baginya. Itu adalah Zylthera, gadis misterius yang tinggal di gubuk kecil di tepi hutan. Zylthera memiliki rambut pirang pucat yang menjuntai hingga pinggang, dan matanya berwarna hijau kehijauan seperti lumut yang tumbuh di batu-batu tua. Ia dikenal sebagai “penyanyi hutan” karena kebiasaannya bernyanyi untuk burung-burung dan pohon-pohon, seolah mereka adalah sahabatnya. Di desa, banyak yang menganggapnya aneh, tapi bagi Tavrinel, Zylthera adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendirian.

“Pagi, Tav,” sapa Zylthera sambil tersenyum kecil, tangannya memegang seikat bunga liar yang baru dipetik. “Kau terlihat pucat. Apa yang mengganggumu lagi?”

Tavrinel menghela napas, meletakkan embernya di samping sumur. “Aku tak tahu, Zyl. Setiap hari terasa sama—bangun, bantu Ibu, lalu duduk dan memandang lembah. Aku merasa seperti terjebak, tapi aku tak tahu harus ke mana.”

Zylthera mendekat, matanya menatap Tavrinel dengan kehangatan yang aneh. “Mungkin kau terjebak karena kau tak pernah mendengarkan angin,” katanya pelan. “Angin di lembah ini selalu membawa cerita. Dengarkanlah, dan kau akan menemukan jawaban.”

Tavrinel tertawa kecil, suara yang jarang terdengar darinya. “Kau dan cerita-cerita anehmu, Zyl. Tapi mungkin kau benar. Aku hanya ingin tahu mengapa ayah pergi, dan mengapa ia meninggalkan kami dengan teka-teki ini.” Ia menunjuk kotak kayu yang masih ada di tangannya, dan Zylthera mengangguk seolah memahami.

Keduanya duduk di samping sumur, membiarkan angin yang sepoi-sepoi menyapu wajah mereka. Zylthera mulai bernyanyi, suaranya lembut namun penuh emosi, seperti nyanyian yang mengalir dari hati. Tavrinel menutup matanya, mencoba mendengarkan angin seperti yang disarankan Zylthera. Untuk sesaat, ia merasa seperti mendengar bisikan—suara yang samar, memanggil namanya dari kejauhan. Tapi sebelum ia bisa memahaminya, suara itu lenyap, digantikan oleh teriakan Lysindra dari kejauhan.

“Tavrinel! Cepat pulang!” panggil ibunya, suaranya penuh kepanikan.

Tavrinel dan Zylthera bergegas kembali ke rumah, hati mereka dipenuhi rasa khawatir. Ketika mereka tiba, mereka menemukan Lysindra duduk di lantai dapur, tangannya gemetar memegang sebuah amplop tua yang baru saja dibukanya. Wajahnya pucat, dan air mata mengalir di pipinya. Tavrinel berlutut di samping ibunya, mencoba menenangkannya. “Ibu, apa yang terjadi? Apa isi surat itu?”

Lysindra menyerahkan amplop itu kepada Tavrinel, tangannya masih gemetar. “Ini dari Eryndor,” bisiknya. “Datang hari ini, dibawa oleh pedagang yang lewat. Baca sendiri.”

Dengan hati berdebar, Tavrinel membuka amplop dan mengeluarkan selembar kertas yang sudah kuning. Tulisan tangan ayahnya terpampang di sana, dengan tinta yang sedikit luntur:
“Lysindra, Tavrinel, maafkan aku. Aku pergi karena utang yang tak bisa kulunasi dengan uang. Ada orang di Lembah Terkutuk yang memegang rahasia hidupku. Jika kau membaca ini, Tavrinel, carilah Lutharion di sana. Dia tahu semuanya. Jaga Ibu, dan jangan ikuti jejakku jika kau tak siap menghadapi kegelapan. Lentera yang kutinggalkan adalah harapanmu—temukan cahayanya.”

Tavrinel merasa dadanya sesak. Lembah Terkutuk adalah tempat yang terkenal di kalangan warga Serevan sebagai lokasi yang angker, di mana hutan-hutan gelap dan gunung-gunung tinggi menyimpan cerita tentang kutukan dan kematian. Siapa Lutharion? Dan apa utang yang membuat ayahnya pergi? Pikirannya berputar-putar, bercampur antara kemarahan terhadap Eryndor dan rasa ingin tahu yang membakar.

“Ibu, apa ini berarti?” tanya Tavrinel, suaranya bergetar.

Lysindra menatap anaknya dengan mata yang penuh air mata. “Ayahmu selalu punya rahasia, Tav. Aku tak tahu detailnya, tapi aku yakin ia pergi untuk melindungi kita. Tapi Lembah Terkutuk… itu tempat yang berbahaya. Jangan pergi, Tav. Aku tak ingin kehilanganmu juga.”

Tavrinel menunduk, tangannya mencengkeram surat itu dengan erat. Ia memandang Zylthera, yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi serius. “Kau bilang angin membawa cerita, Zyl. Mungkin ini jawabannya. Tapi aku tak tahu harus bagaimana.”

Zylthera mendekat, meletakkan tangannya di bahu Tavrinel. “Jika kau memilih pergi, aku akan mendampingimu. Tapi pikirkan baik-baik, Tav. Ini bukan perjalanan biasa.”

Malam itu, Tavrinel tak bisa tidur. Ia duduk di ambang pintu, memandang lembah yang kini dibatasi oleh kegelapan. Angin bertiup kencang, membawa desis yang terdengar seperti panggilan. Di tangannya, ia memegang liontin daun dari kotak kayu, merasakan dinginnya logam di kulitnya. Ia membayangkan wajah ayahnya—senyum hangat yang dulu selalu menghibur, dan tawa yang kini hanya menjadi kenangan. Di sisi lain, ia memikirkan ibunya, yang kini terbaring lemah di ranjangnya, tubuhnya yang rapuh adalah bukti bahwa ia tak akan bertahan lama tanpa perawatan yang layak.

Tavrinel tahu bahwa obat-obatan untuk jantungan Lysindra mahal, dan penghasilan mereka dari menjahit kain tak cukup. Mungkin, di Lembah Terkutuk, ia bisa menemukan jawaban—atau setidaknya sesuatu yang bisa menyelamatkan ibunya. Tapi bayang-bayang ketakutan juga menghantuinya. Apa yang akan ia temukan di sana? Akankah ia kembali, atau seperti ayahnya, ia akan hilang selamanya?

Angin malam membawa suara burung hantu dari kejauhan, dan untuk pertama kalinya, Tavrinel merasa seperti mendengar nama ayahnya dalam desir itu. Ia menutup matanya, mencoba mencari kekuatan dalam dirinya. Di dalam hatinya, sebuah keputusan mulai terbentuk—keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Langkah Pertama Menuju Kegelapan

Langit di atas Lembah Serevan pagi itu tampak kelabu, seolah alam turut merasakan beban yang kini dipikul Tavrinel Veyra. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, membawa desis yang terdengar seperti bisikan peringatan. Tavrinel berdiri di ambang pintu rumah kayu mereka, memandang sawah yang membentang hijau di depannya, tapi pikirannya jauh melayang ke Lembah Terkutuk—tempat yang selama ini hanya ia dengar dari cerita-cerita kelam para tetua desa. Di tangannya, ia memegang tas kain tua yang berisi sehelai kain tenun buatan ibunya, Lysindra, beberapa potong roti kering, sebotol air, dan kotak kayu kecil peninggalan ayahnya, Eryndor. Liontin perak berbentuk daun yang ada di dalam kotak itu kini tergantung di lehernya, dingin menyentuh kulitnya, seolah menjadi pengingat bahwa perjalanan ini bukan sekadar pencarian, melainkan juga pertaruhan.

Malam sebelumnya, setelah membaca surat dari ayahnya, Tavrinel menghabiskan waktu berjam-jam duduk di beranda, bergulat dengan keputusan yang tak pernah ia bayangkan harus diambil. Lembah Terkutuk bukanlah tempat yang ramah—cerita tentangnya selalu dipenuhi dengan kisah roh-roh gelisah, binatang buas, dan kabut tebal yang konon bisa membuat orang tersesat selamanya. Tapi di sisi lain, surat itu adalah satu-satunya petunjuk tentang kepergian ayahnya, dan Tavrinel merasa bahwa jawaban di Lembah Terkutuk mungkin juga menjadi kunci untuk menyelamatkan ibunya. Lysindra, dengan jantungan yang semakin lemah, membutuhkan obat-obatan yang mahal, dan Tavrinel tahu bahwa penghasilan mereka dari menjahit kain tradisional tak akan pernah cukup.

“Ibu, aku harus pergi,” kata Tavrinel pagi itu, suaranya penuh tekad meski matanya menyimpan keraguan. Lysindra, yang sedang duduk di depan mesin jahit tuanya, menoleh dengan wajah pucat. Matanya yang dulu cerah kini redup, dan uban di rambutnya tampak lebih banyak dari sebelumnya. Ia bangkit perlahan, tangannya gemetar saat menyentuh pipi anaknya.

“Tavrinel, kau tahu betapa berbahayanya Lembah Terkutuk,” bisik Lysindra, suaranya penuh kekhawatiran. “Aku sudah kehilangan ayahmu. Jangan biarkan aku kehilanganmu juga.”

Tavrinel memeluk ibunya erat, merasakan tubuh Lysindra yang kini terasa lebih kurus dan rapuh. “Aku akan kembali, Ibu. Aku janji. Tapi aku harus tahu mengapa ayah pergi, dan siapa Lutharion itu. Mungkin… mungkin aku bisa menemukan cara untuk membantu kita.”

Lysindra tak bisa menahan air matanya, tapi ia mengangguk pelan, tahu bahwa anaknya telah mewarisi sifat keras kepala Eryndor. “Bawa ini,” katanya sambil mengambil sehelai kain tenun berpola daun pinus dari meja. “Ini kain terakhir yang kubuat sebelum kau lahir. Biarkan ini menjadi pengingat bahwa kau selalu punya rumah untuk kembali.”

Tavrinel menerima kain itu, memasukkannya ke dalam tas dengan hati-hati. Ia lalu berjalan keluar, menuju tepi sawah tempat Zylthera sudah menunggunya. Gadis itu, dengan rambut pirang pucat dan mata hijau lumut, berdiri di bawah pohon pinus tua, memegang sebuah tongkat kayu sederhana dan tas kain kecil yang berisi bunga-bunga kering dan botol kecil berisi ramuan herbal. Zylthera tersenyum kecil saat melihat Tavrinel mendekat, tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang sama seperti Lysindra.

“Kau yakin, Tav?” tanya Zylthera, suaranya lembut namun tegas. “Kita bisa berbalik sekarang, dan tak ada yang akan menyalahkanmu.”

Tavrinel menatap Zylthera, mencoba mencari kekuatan dari mata gadis itu. “Aku harus melakukannya, Zyl. Untuk ayah, untuk Ibu, dan untuk diriku sendiri. Aku tak bisa hidup dengan pertanyaan yang terus menghantuiku.”

Zylthera mengangguk, lalu menggenggam tangan Tavrinel. “Kalau begitu, kita akan melakukannya bersama. Angin akan memandu kita.”

Perjalanan menuju Lembah Terkutuk memakan waktu tiga hari dengan berjalan kaki, melintasi hutan pinus yang semakin lelet, bukit-bukit berbatu, dan sungai-sungai kecil yang airnya dingin menusuk tulang. Hari pertama berjalan relatif lancar, meski angin yang bertiup kencang membuat mereka harus sering berhenti untuk melindungi diri dari ranting-ranting yang beterbangan. Malam itu, mereka mendirikan perkemahan sederhana di tepi sungai, menggunakan ranting dan daun-daun kering untuk membuat api unggun. Zylthera mengeluarkan ramuan herbal dari tasnya, mencampurnya dengan air sungai untuk membuat teh yang harum, sementara Tavrinel duduk memandang api, pikirannya dipenuhi bayang-bayang masa lalu.

“Ayah sering membawaku ke sungai seperti ini,” kata Tavrinel tiba-tiba, suaranya pelan. “Dia bilang air sungai adalah cermin jiwa—jika kau melihatnya dengan hati, kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Zylthera tersenyum kecil, menyerahkan cangkir kayu berisi teh kepada Tavrinel. “Mungkin itu yang dia maksud dengan lentera, Tav. Cahaya itu ada di dalam dirimu, tapi kau harus belajar melihatnya.”

Malam itu, mereka tidur di bawah langit yang penuh bintang, tapi Tavrinel terbangun beberapa kali karena mimpi buruk. Ia bermimpi tentang ayahnya, berdiri di tengah kabut tebal, memegang lentera yang cahayanya meredup perlahan. Setiap kali ia mencoba mendekat, kabut itu menelannya, dan ia terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Zylthera, yang tidur di sampingnya, memegang tangannya tanpa berkata apa-apa, memberikan kehangatan yang membuat Tavrinel merasa sedikit lebih tenang.

Hari kedua perjalanan mereka jauh lebih berat. Hutan pinus mulai berganti dengan hutan yang lebih gelap, di mana pohon-pohonnya tinggi dan daun-daunnya membentuk kanopi yang menghalangi sinar matahari. Udara terasa lembap, dan suara burung yang biasanya riuh kini digantikan oleh keheningan yang menyesakkan. Zylthera, yang biasanya ceria, tampak lebih waspada, tangannya selalu memegang tongkat kayunya dengan erat.

“Kita sudah memasuki perbatasan Lembah Terkutuk,” katanya saat mereka berhenti untuk minum di tepi sungai kecil. “Aku bisa merasakan angin di sini berbeda—penuh dengan cerita yang tak selesai.”

Tavrinel mengangguk, tapi hatinya terasa semakin berat. Ia mengeluarkan surat ayahnya dari tasnya, membacanya kembali untuk kesekian kalinya. Nama “Lutharion” terasa seperti teka-teki yang tak bisa ia pecahkan, dan kalimat tentang “kegelapan” membuatnya merinding. Tapi ia tahu, ia tak bisa berbalik sekarang.

Sore itu, mereka tiba di sebuah jembatan tua yang terbuat dari kayu dan tali, membentang di atas jurang yang dalam. Di bawah jembatan, sungai mengalir dengan deras, suaranya seperti raungan yang menakutkan. Jembatan itu tampak rapuh, dengan beberapa papan yang sudah patah dan tali-tali yang tampak akan putus kapan saja. Tavrinel menatap jembatan itu dengan ragu, tapi Zylthera melangkah maju tanpa ragu-ragu.

“Jika kita ingin sampai ke Lembah Terkutuk, kita harus melewati ini,” katanya, suaranya tegas. “Aku duluan, ikuti langkahku.”

Zylthera melangkah dengan hati-hati, tongkatnya digunakan untuk menyeimbangkan tubuhnya. Tavrinel mengikuti di belakang, tangannya mencengkeram tali jembatan dengan erat. Setiap langkah terasa seperti tarian di atas maut—angin bertiup kencang, membuat jembatan bergoyang, dan papan kayu berderit di bawah kaki mereka. Di tengah jembatan, salah satu papan tiba-tiba patah, dan Tavrinel kehilangan keseimbangan. Ia berteriak, tangannya meraih tali dengan panik, sementara Zylthera berbalik dengan cepat, meraih lengannya dengan kuat.

“Pegang erat, Tav!” teriak Zylthera, matanya penuh ketegangan. Dengan susah payah, ia menarik Tavrinel kembali ke papan yang lebih kokoh, dan mereka berdua akhirnya berhasil mencapai sisi lain jembatan, terengah-engah.

Mereka duduk di tepi jurang, napas mereka tersengal-sengal, tapi rasa lega membanjiri hati mereka. “Kau menyelamatkanku, Zyl,” kata Tavrinel, suaranya penuh rasa terima kasih.

Zylthera tersenyum kecil, meski wajahnya masih pucat. “Kita bersama dalam ini, Tav. Aku tak akan membiarkanmu jatuh.”

Malam itu, mereka berkemah di tepi hutan yang semakin gelap, api unggun mereka menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti. Tavrinel memandang api, pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang ayahnya dan ibunya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan Lembah Terkutuk masih menyimpan banyak misteri yang menanti. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit cahaya di dalam hatinya—cahaya yang d Vestiasa berikan kepada Zylthera, cahaya yang diberikan oleh api unggun mereka.

Pertemuan di Bayang Kabut

Pagi di tepi hutan Lembah Terkutuk menyambut Tavrinel Veyra dan Zylthera dengan kabut tebal yang menyelimuti segalanya, seolah alam sengaja menyembunyikan rahasia-rahasia yang tersimpan di dalamnya. Api unggun dari malam sebelumnya telah padam, meninggalkan abu dingin yang ditiup angin pagi. Tavrinel bangun dengan tubuh yang kaku akibat tidur di atas tanah yang keras, sementara Zylthera sudah berdiri di dekat pohon tua, matanya menatap ke arah kegelapan hutan dengan ekspresi waspada. Di leher Tavrinel, liontin perak berbentuk daun yang ditinggalkan ayahnya, Eryndor, terasa dingin menyentuh kulitnya, seolah menjadi pengingat bahwa perjalanan ini semakin mendekati puncaknya.

Setelah menyeberangi jembatan tua yang hampir merenggut nyawanya kemarin, Tavrinel merasa campuran antara kelelahan dan tekad yang membara. Tas kain tuanya, yang kini terasa lebih berat dengan setiap langkah, masih memuat kain tenun buatan ibunya, Lysindra, serta roti kering dan botol air yang mulai menipis. Zylthera, dengan tongkat kayunya dan tas kecil berisi ramuan herbal, tampak lebih siap menghadapi hari ini, meski wajahnya menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.

“Kita harus bergerak cepat, Tav,” kata Zylthera, suaranya pelan namun tegas. “Kabut ini akan semakin tebal seiring kita masuk lebih dalam. Dan… aku merasa ada yang mengawasi kita.”

Tavrinel mengangguk, mengikuti Zylthera yang mulai melangkah masuk ke dalam hutan. Pohon-pohon di sini lebih tinggi dan lebih tua dari yang ada di perbatasan, dengan batang-batangnya ditutupi lumut hijau yang basah. Daun-daunnya membentuk kanopi yang begitu rapat hingga sinar matahari hanya menyelinap dalam bentuk titik-titik cahaya yang samar. Udara terasa dingin dan lembap, dan suara langkah kaki mereka di atas daun-daun kering bercampur dengan desir angin yang terdengar seperti bisikan tak terucap.

Perjalanan mereka hari itu dipenuhi dengan keheningan yang menyesakkan, hanya sesekali dipecah oleh suara burung tak dikenal yang berkicau dari kejauhan. Tavrinel merasa seperti berjalan dalam mimpi buruk—setiap langkah membawanya lebih jauh dari kehangatan Lembah Serevan, dan lebih dekat ke misteri yang mungkin menghancurkan hatinya. Di dalam pikirannya, ia terus memutar ulang surat ayahnya: “Carilah Lutharion di Lembah Terkutuk. Dia tahu semuanya.” Tapi siapa Lutharion? Dan apa yang akan ia temukan di tempat ini?

Sepanjang hari, mereka menghadapi rintangan kecil namun melelahkan—akar-akar pohon yang menonjol dari tanah, sungai kecil yang harus mereka lewati dengan melompat dari batu ke batu, dan kabut yang semakin pekat hingga mereka hampir tak bisa melihat satu sama lain. Zylthera, dengan insting alaminya, tampak lebih terampil menavigasi hutan ini, sering kali berhenti untuk memeriksa jejak atau mencium udara seperti binatang liar yang mencari arah. Tavrinel mengikuti di belakang, tangannya mencengkeram kain tenun ibunya sebagai sumber kekuatan.

Sore menjelang, ketika matahari hampir tenggelam di balik kabut, mereka tiba di sebuah lembah kecil di tengah hutan. Di sana, berdiri sebuah gubuk kayu tua yang tampak hampir runtuh, dengan atap jerami yang bolong dan dinding-dinding yang ditumbuhi tanaman merambat. Di depan gubuk, seorang pria tua duduk di atas batu datar, memandang ke arah mereka dengan mata yang tajam namun penuh kelelahan. Rambutnya putih panjang dan berantakan, wajahnya penuh kerutan, dan ia mengenakan jubah sederhana yang sudah lusuh. Di tangannya, ia memegang sebuah tongkat kayu yang diukir dengan pola aneh.

“Lutharion?” tanya Tavrinel, suaranya bergetar karena campuran antara harapan dan ketakutan.

Pria tua itu menoleh, matanya meneliti Tavrinel dan Zylthera dengan penuh perhatian. “Kau tahu namaku,” katanya dengan suara serak, hampir seperti gumaman. “Itu berarti kau membawa nama Eryndor. Masuklah, tapi hati-hati—tempat ini bukan untuk yang lemah.”

Tavrinel dan Zylthera bertukar pandang, lalu mengikuti Lutharion ke dalam gubuk. Di dalam, udara terasa pengap, dipenuhi bau kayu tua dan ramuan herbal yang menguar dari sebuah tungku kecil di sudut. Rak-rak kayu penuh dengan botol-botol kaca berisi cairan misterius, gulungan kertas tua, dan patung-patung kayu yang tampak seperti simbol-simbol kuno. Lutharion duduk di kursi kayu, mengisyaratkan mereka untuk duduk di lantai yang ditutupi kulit binatang.

“Kau anak Eryndor, bukan?” tanya Lutharion, matanya tidak berkedip. “Aku bisa melihatnya di matamu—mata yang penuh dengan pertanyaan dan luka.”

Tavrinel mengangguk, mengeluarkan surat dari tasnya dan menyerahkannya kepada Lutharion. “Ayahku meninggalkan ini untukku. Dia bilang kau tahu semuanya. Mengapa dia pergi? Apa utang yang ia maksud?”

Lutharion mengambil surat itu, membukanya dengan tangan yang gemetar, dan membacanya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Setelah beberapa menit, ia menghela napas panjang, lalu menatap Tavrinel. “Eryndor adalah sahabatku dulu,” katanya pelan. “Kami tumbuh bersama di Lembah Serevan, bermimpi tentang dunia yang lebih baik. Tapi dia terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari dirinya—Ordo Gunung.”

Tavrinel mengerutkan kening. “Ordo Gunung? Apa itu?”

Lutharion menunduk, seolah memori itu menyakitkan baginya. “Ordo Gunung adalah kelompok rahasia yang mengendalikan hutan-hutan di pegunungan ini. Mereka menjalankan perdagangan gelap—ramuan, senjata, dan bahkan jiwa manusia. Eryndor terlibat dengan mereka karena ia mencoba menyelamatkan seorang teman yang ditawan. Tapi utangnya kepada mereka terlalu besar, dan satu-satunya cara untuk melunasinya adalah dengan pergi, meninggalkan keluarganya untuk melindungi kalian dari balas dendam Ordo.”

Tavrinel merasa dadanya sesak. “Jadi… dia pergi bukan karena tak mencintai kami?”

Lutharion menggeleng pelan. “Tidak, anak muda. Dia pergi karena terlalu mencintaimu dan ibumu. Tapi aku tak bisa bilang kepadanya untuk pergi—aku malah membantunya merencanakan pelariannya. Dan aku menyesalinya setiap hari sejak itu.”

Zylthera, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Jadi, dia masih hidup? Di mana dia sekarang?”

Lutharion menatap api di tungku, suaranya menjadi sangat pelan. “Aku tak tahu pasti. Terakhir kali aku mendengar kabar, dia berada di markas Ordo Gunung, sebuah gua tersembunyi di ujung lembah ini. Tapi aku dengar dia terluka parah dalam pertempuran dengan mereka. Jika dia masih hidup, dia pasti dalam kondisi yang buruk.”

Tavrinel merasa dunia di sekitarnya berputar. Ayahnya, yang selama ini ia bayangkan mungkin hidup bahagia di suatu tempat, ternyata terjebak dalam dunia yang gelap dan penuh bahaya. Ia ingin marah pada Lutharion, pada Ordo Gunung, bahkan pada ayahnya sendiri, tapi yang keluar hanyalah air mata yang tak bisa ia tahan.

“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanya Tavrinel, suaranya pecah. “Aku datang ke sini untuk menemukannya, tapi bagaimana caranya menghadapi Ordo Gunung?”

Lutharion menatapnya lama, lalu mengeluarkan sebuah peta tua dari rak di belakangnya. “Ini peta ke markas Ordo Gunung. Tapi hati-hati, Tavrinel. Tempat itu dijaga oleh penjaga bayangan—roh-roh yang dilatih untuk melindungi rahasia mereka. Kau perlu lentera batinmu untuk melewati mereka. Dan… aku tak bisa menjamin kau akan kembali.”

Malam itu, Tavrinel dan Zylthera berkemah di luar gubuk Lutharion, api unggun mereka menjadi satu-satunya cahaya di tengah kabut yang semakin tebal. Tavrinel memandang peta itu, mencoba memahami jalur yang ditandai dengan tinta merah. Di dalam hatinya, ia merasa badai emosi yang semakin membesar—rindu akan ayahnya, ketakutan akan apa yang menanti, dan tekad untuk menyelamatkan ibunya. Zylthera duduk di sampingnya, menyanyikan lagu pelan yang konon bisa menenangkan roh-roh gelisah, tapi Tavrinel tahu bahwa perjalanan ini baru saja memasuki fase yang paling berbahaya.

Penjaga Bayangan dan Duka yang Tak Terucap

Kabut di Lembah Terkutuk pagi itu terasa lebih dingin dan lebih pekat dari sebelumnya, seolah-olah alam sendiri sedang memperingatkan Tavrinel Veyra dan Zylthera tentang bahaya yang menanti. Langit di atas mereka tersembunyi di balik awan kelabu tebal, dan suara angin yang bertiup melalui celah-celah pohon tua terdengar seperti jeritan pelan yang tak pernah berhenti. Tavrinel memegang peta tua yang diberikan Lutharion dengan erat, jari-jarinya gemetar bukan karena dingin, melainkan karena ketegangan yang kini menguasai setiap inci tubuhnya. Peta itu menunjukkan jalur berliku menuju markas Ordo Gunung, sebuah gua tersembunyi di ujung lembah, yang menurut Lutharion dijaga oleh “penjaga bayangan”—roh-roh gelisah yang dilatih untuk melindungi rahasia kelompok itu.

Zylthera berjalan di depan, tongkat kayunya mengetuk tanah dengan ritme yang mantap, seolah mencoba menjaga semangat mereka tetap hidup di urmnya. Rambut pirang pucatnya yang panjang tampak basah karena embun pagi, dan matanya yang hijau lumut terus memindai sekitar dengan kewaspadaan tinggi. Di tangannya, ia memegang tas kecil berisi ramuan herbal yang ia bawa dari Lembah Serevan, barangkali sebagai bentuk perlindungan atau harapan kecil di tengah ancaman yang tak terlihat.

“Kita hampir sampai, Tav,” kata Zylthera, suaranya tegas meski ada sedikit getar yang tak bisa disembunyikan. “Gua itu seharusnya ada di balik air terjun kecil di depan. Tapi aku merasa ada yang tidak beres. Angin… angin terasa salah.”

Tavrinel mengangguk, mulutnya terasa kering. Ia memegang liontin perak berbentuk daun yang tergantung di lehernya, peninggalan ayahnya, Eryndor, yang kini terasa seperti jangkar emosional di tengah badai ketidakpastian. “Aku juga merasakannya, Zyl. Tapi kita tak bisa berbalik sekarang. Aku harus tahu apa yang terjadi pada ayahku.”

Perjalanan terakhir menuju markas Ordo Gunung terasa seperti berjalan di tepi jurang—setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke jawaban, tapi juga ke bahaya yang tak terucapkan. Hutan di sekitar mereka semakin gelap, dengan pohon-pohon tua yang batangnya meliuk aneh, seolah-olah mereka hidup dan sedang mengawasi. Suara air terjun kecil mulai terdengar dari kejauhan, gemuruhnya bercampur dengan desis angin yang kini terdengar seperti bisikan-biasikan samar: “Pergi… pergi… atau mati…”

Ketika mereka akhirnya tiba di depan air terjun, pemandangan itu memukau sekaligus mengerikan. Air terjun itu mengalir dari tebing setinggi dua puluh meter, airnya jatuh dengan gemuruh ke kolam kecil di bawah, menciptakan kabut tipis yang berkilauan di udara. Di belakang air terjun, terlihat mulut gua yang gelap, dengan batu-batu di sekitarnya ditutupi lumut dan tanaman merambat yang tampak seperti tangan-tangan yang mencoba meraih sesuatu. Tavrinel dan Zylthera berdiri sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian mereka.

“Kita harus masuk,” kata Tavrinel, suaranya hampir tenggelam oleh suara air terjun. “Tapi hati-hati, Zyl. Penjaga bayangan itu… aku tak tahu apa yang akan kita hadapi.”

Zylthera mengangguk, menggenggam tongkatnya lebih erat. “Aku siap, Tav. Kita lakukan ini bersama.”

Mereka melangkah melewati air terjun, air dingin menyiram tubuh mereka, membuat pakaian mereka basah kuyup dan tubuh mereka menggigil. Di dalam gua, udara terasa lebih dingin dan lebih berat, seolah-olah dipenuhi dengan energi yang tak terlihat. Cahaya dari luar hanya menyelinap sedikit, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di dinding gua yang kasar. Di tengah gua, mereka melihat sebuah altar kecil yang terbuat dari batu, dengan simbol-simbol aneh yang diukir di permukaannya. Di atas altar, terdapat sebuah peti kayu kecil yang terkunci dengan rantai besi tua.

“Itu pasti ada hubungannya dengan ayahku,” gumam Tavrinel, melangkah mendekati altar. Tapi sebelum ia bisa menyentuh peti itu, udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Kabut hitam pekat mulai muncul dari lantai gua, membentuk sosok-sosok bayangan yang samar—penjaga bayangan yang dikatakan oleh Lutharion.

Sosok-sosok itu tidak memiliki wajah, hanya bayangan hitam dengan mata merah menyala yang menatap mereka dengan penuh kebencian. Mereka bergerak tanpa suara, melayang di udara seperti asap yang hidup, tangan-tangan mereka yang tak berbentuk menjangkau ke arah Tavrinel dan Zylthera. Rasa dingin yang menusuk tulang menyelimuti mereka, dan suara bisikan yang mengerikan menggema di gua: “Pengkhianat… pengkhianat… Eryndor… harus… mati…”

“Zyl, lari!” teriak Tavrinel, tapi Zylthera tidak bergerak. Ia mengangkat tongkatnya, mengucapkan mantra yang ia pelajari dari cerita-cerita tua di Lembah Serevan, suaranya penuh tekad. “Roh-roh gelisah, dengarkan nyanyianku! Kembali ke damai, biarkan kami lewat!”

Nyanyian Zylthera lembut namun kuat, seperti angin yang membawa harapan. Untuk sesaat, penjaga bayangan tampak ragu, gerakan mereka melambat, dan mata merah mereka berkedip-kedip. Tapi kemudian, salah satu bayangan bergerak dengan cepat, tangannya yang tak berbentuk mencengkeram lengan Zylthera. Gadis itu berteriak, tubuhnya terangkat dari tanah, dan cahaya hijau di matanya mulai meredup.

“Zylthera!” Tavrinel berlari ke arahnya, menghunus pisau kecil yang ia bawa dari rumah, tapi bayangan itu terlalu cepat. Dalam sekejap, Zylthera dilemparkan ke dinding gua dengan keras, tubuhnya menghantam batu dengan suara yang mengerikan. Ia terjatuh ke lantai, darah mengalir dari dahinya, dan matanya tertutup perlahan.

“Tidak! Zyl!” Tavrinel berlutut di sampingnya, air matanya jatuh ke wajah gadis itu. “Jangan tinggalkan aku, Zyl. Tolong…”

Zylthera membuka matanya sedikit, suaranya lemah. “Tav… kau harus… lanjutkan… lentera… ada di dalam dirimu…” Napasnya terhenti, dan tubuhnya menjadi dingin di pelukan Tavrinel.

Tavrinel menangis tersedu-sedu, memeluk tubuh Zylthera yang kini tak lagi bergerak. Penjaga bayangan masih melayang di sekitar mereka, tapi mereka tidak menyerang lagi, seolah nyanyian Zylthera telah melemahkan mereka. Tavrinel tahu ia harus melanjutkan, demi Zylthera, demi ibunya, dan demi ayahnya. Dengan tangan gemetar, ia mendekati peti di altar, memukuli rantai itu dengan pisau hingga terbuka.

Di dalam peti, ia menemukan sebuah buku harian tua dan sehelai kain yang mirip dengan kain tenun ibunya. Buku harian itu bertuliskan catatan-catatan dari ayahnya, menceritakan bagaimana ia mencoba melawan Ordo Gunung untuk menyelamatkan seorang gadis muda yang mereka culik, tapi akhirnya ia tertangkap dan disiksa. Catatan terakhir bertuliskan: “Aku gagal, Tavrinel. Ordo Gunung mengambil nyawaku di gua ini. Jangan cari aku lagi. Hidupkan lentera dalam hatimu, dan lindungi ibumu.”

Tavrinel merasa dunia runtuh di sekitarnya. Ayahnya sudah mati, Zylthera pergi, dan ia kini sendirian di gua yang penuh kematian. Ia memeluk buku harian itu, air matanya jatuh ke halaman yang sudah menguning. Di tengah kesedihan itu, ia teringat kata-kata Zylthera: “Lentera ada di dalam dirimu.” Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya—sebuah kekuatan, sebuah cahaya, yang muncul dari duka dan kehilangan.

Penjaga bayangan mulai menghilang satu per satu, seolah kehadiran cahaya itu mengusir mereka. Tavrinel menggendong tubuh Zylthera keluar dari gua, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menguburkannya di Lembah Serevan, di bawah pohon pinus tempat mereka sering bertemu. Dengan buku harian ayahnya di tangan, ia melangkah keluar, siap menghadapi perjalanan pulang yang penuh luka, tapi juga penuh makna.

Bayang Cahaya di Lembah Duka adalah lebih dari sekadar cerita; ini adalah perjalanan emosional yang mengajarkan kita tentang makna kehilangan, cinta, dan ketabahan hati. Kisah Tavrinel yang penuh liku ini menjadi pengingat bahwa bahkan di lembah duka yang paling gelap, selalu ada cahaya harapan yang menanti untuk ditemukan—sebuah bacaan yang wajib bagi siapa saja yang mencari inspirasi hidup.

Terima kasih telah mengikuti ulasan tentang Bayang Cahaya di Lembah Duka! Semoga kisah ini membawa inspirasi dan kehangatan di hati Anda. Sampai bertemu di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk berbagi cerita ini dengan orang-orang terdekat!

Leave a Reply