Daftar Isi
Selami keindahan budaya Jawa melalui cerpen inspiratif Bawang Merah dan Pohon Jati: Kisah Cinta dan Pengorbanan di Tanah Jawa, sebuah kisah yang menggabungkan nilai-nilai gotong royong, hormat kepada leluhur, dan pengorbanan tulus dalam balutan emosi yang mendalam. Cerita ini mengajak Anda menjelajahi perjuangan Sari, seorang gadis sederhana penjual bawang merah, dan Jaka, pemuda nakal yang belajar arti tanggung jawab, di tengah mistis pohon jati tua yang menjadi simbol keseimbangan desa. Dengan latar Desa Sumberrejo yang kaya akan tradisi, cerpen ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajarkan pendidikan karakter yang relevan untuk semua generasi. Siap terhanyut dalam alur cerita yang penuh makna ini?
Bawang Merah dan Pohon Jati
Bayang-Bayang di Bawah Pohon Jati
Di sebuah desa kecil bernama Sumber rejo, yang terletak di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah, matahari pagi menyelinap di sela-sela kabut tipis, menyapa sawah-sawah hijau yang membentang luas. Desa ini dikenal dengan pohon jati tua yang berdiri megah di tengah alun-alun, konon ditanam oleh leluhur desa sebagai simbol keabadian dan kebersamaan. Di bawah pohon itu, anak-anak desa sering bermain, orang tua berkumpul menceritakan kisah-kisah masa lalu, dan para pemuda mengukir mimpi mereka. Namun, bagi Sari, seorang gadis berusia 16 tahun, pohon jati itu adalah saksi bisu dari luka dan harapan yang ia simpan dalam hati.
Sari bukanlah gadis biasa. Rambutnya yang panjang dan hitam legam selalu dikepang rapi, mencerminkan kerendahan hatinya. Matanya yang bening bagai embun pagi menyimpan cerita yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun. Ia tinggal bersama ibunya, Mbok Sari, di sebuah gubuk sederhana di ujung desa. Ayahnya telah tiada sejak ia masih kecil, meninggalkan mereka dalam kemiskinan yang membuat hidup terasa seperti perjuangan tiada akhir. Namun, Mbok Sari selalu mengajarkan Sari nilai-nilai luhur: “Gotong royong adalah napas desa ini, Sari. Jangan pernah menutup hati untuk menolong, meski kita tak punya banyak.”
Pagi itu, seperti biasa, Sari berjalan menuju pasar desa dengan sekeranjang bawang merah hasil kebun kecil mereka. Bawang merah adalah sumber penghasilan utama keluarga mereka, ditanam dengan penuh kasih sayang di tanah kering di belakang gubuk. Setiap bulir bawang merah yang Sari jual adalah butir harapan—untuk membeli beras, membayar sekolah, atau sekadar melihat senyum ibunya yang mulai keriput oleh beban hidup. Di pasar, ia dikenal sebagai “Sari Bawang Merah,” sebuah nama yang diberikan dengan penuh kasih oleh para tetangga, meski kadang terdengar seperti ejekan di telinga anak-anak sebayanya.
“Sari, bawangmu segar sekali hari ini!” seru Mbok Inah, pedagang sayur tetangga kiosnya. “Tapi, kapan kamu sekolah lagi? Ibumu bilang kamu pintar, sayang kalau cuma jualan di pasar.”
Sari tersenyum kecil, namun hatinya perih. Ia memang pintar, selalu menjadi yang terbaik di kelasnya dulu. Tapi, sejak ayahnya meninggal, biaya sekolah menjadi beban yang tak terjangkau. Ia terpaksa berhenti di kelas dua SMP, memilih membantu ibunya daripada melanjutkan mimpinya menjadi guru. “Nanti, Mbok. Kalau rezeki sudah cukup,” jawabnya pelan, sambil menunduk menyusun bawang-bawang merah di atas meja kayu yang sudah usang.
Di sudut pasar, di bawah naungan pohon beringin kecil, duduklah Jaka, pemuda berusia 18 tahun yang dikenal sebagai anak paling nakal di desa. Rambutnya yang sedikit acak-acakan dan senyumnya yang penuh percaya diri membuatnya disukai sekaligus ditakuti. Jaka adalah anak Pak Lurah, kepala desa yang disegani, namun ia lebih suka berkeliaran dengan teman-temannya daripada membantu ayahnya. Ia sering menggoda Sari, bukan karena jahat, tapi karena ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya penasaran.
“Hei, Sari Bawang Merah!” panggil Jaka dari kejauhan, suaranya penuh nada menggoda. “Kapan kamu jual senyummu itu? Aku mau beli satu!”
Sari memutar bola matanya, pura-pura tak mendengar. Tapi, di dalam hati, ia merasa hangat. Jaka, meski nakal, adalah satu-satunya yang selalu menyapanya dengan penuh semangat, seolah-olah ia bukan hanya “gadis bawang merah” dari keluarga miskin. Namun, Sari tahu batasnya. Jaka adalah anak lurah, dan ia hanyalah anak petani miskin. Dunia mereka terlalu jauh.
Hari itu, pasar lebih ramai dari biasa. Ada kabar bahwa desa akan mengadakan upacara adat untuk memperingati hari jadi desa, dan pohon jati tua di alun-alun akan menjadi pusat acara. Upacara ini bukan sekadar perayaan, tapi juga wujud syukur atas hasil panen dan doa untuk kesejahteraan desa. Setiap keluarga diminta menyumbang sesuatu, baik makanan, tenaga, atau barang untuk keperluan acara. Bagi Sari dan ibunya, ini adalah beban tambahan. Mereka hampir tak punya apa-apa untuk disumbangkan, kecuali beberapa ikat bawang merah yang sudah disisihkan dengan susah payah.
Sore itu, saat Sari kembali ke gubuknya, ia mendapati ibunya duduk di beranda dengan wajah penuh kekhawatiran. Di tangannya, ia memegang sehelai kain batik tua yang sudah lusuh. “Sari, ini kain peninggalan nenekmu,” kata Mbok Sari dengan suara pelan. “Aku ingin menyumbangkan ini untuk upacara adat. Tapi, aku takut… ini satu-satunya yang kita punya dari leluhur kita.”
Sari memandang kain itu. Ia tahu betapa berharganya kain itu bagi ibunya. Itu bukan sekadar kain, tapi kenangan tentang neneknya, tentang masa-masa ketika keluarga mereka masih utuh. “Kalau itu keinginan Ibu, aku dukung,” kata Sari, meski hatinya terasa berat. “Tapi, apa kita nggak bisa menyumbang yang lain? Bawang merah, misalnya?”
Mbok Sari menggeleng. “Bawang merah adalah rezeki kita sehari-hari. Kain ini… adalah cara kita menghormati leluhur dan desa ini. Kita harus ikhlas, Sari. Itu yang diajarkan leluhur kita.”
Malam itu, di bawah sinar lampu minyak yang redup, Sari duduk di samping ibunya, memandang kain batik itu. Ia membayangkan betapa sulitnya hidup mereka, namun ia juga teringat kata-kata ibunya tentang gotong royong dan keikhlasan. Di luar, angin malam membawa suara dedaunan pohon jati yang bergoyang, seolah-olah leluhur desa berbisik, mengingatkan mereka untuk tetap kuat.
Namun, di balik ketenangan malam, ada rahasia yang belum terungkap. Pohon jati tua itu, menurut cerita yang hanya dibisikkan di antara orang-orang tua, menyimpan sebuah kutukan. Konon, siapa pun yang mengambil sesuatu dari pohon itu tanpa izin leluhur akan mendapat musibah. Dan Jaka, dengan sifatnya yang nekat, baru saja membuat keputusan yang akan mengubah hidup Sari dan desa Sumber rejo selamanya.
Bisikan Angin dan Rahasia Pohon Jati
Hari menjelang upacara adat di Desa Sumberrejo terasa seperti napas yang tertahan. Langit pagi itu berwarna kelabu, dengan awan tipis yang seolah-olah menggantung rendah, menyentuh pucuk-pucuk pohon jati di alun-alun desa. Bau tanah basah bercampur dengan aroma daun jati yang gugur, menciptakan suasana yang penuh makna namun juga penuh firasat. Di gubuk kecil Sari dan Mbok Sari, suasana tak kalah tegang. Kain batik peninggalan nenek mereka telah diserahkan kepada panitia upacara, sebuah pengorbanan yang terasa seperti melepaskan sepotong hati. Namun, Sari berusaha tegar, mengingat kata-kata ibunya: “Keikhlasan adalah kunci kedamaian hati.”
Pagi itu, Sari kembali ke pasar dengan langkah yang sedikit lebih berat dari biasanya. Sekeranjang bawang merah di pundaknya terasa seperti beban dunia, bukan karena beratnya, tetapi karena pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu upacara adat adalah momen penting bagi desa, tapi ia tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Di pasar, suasana ramai dengan persiapan acara. Para pedagang sibuk menyiapkan sesajen, mulai dari tumpeng beras kuning hingga buah-buahan yang ditata rapi di anyaman bambu. Di tengah keramaian, Sari melihat Jaka, yang kali ini tak sendirian. Ia bersama tiga temannya, semuanya dengan wajah penuh rahasia, berbisik di bawah pohon beringin kecil.
“Sari! Ayo sini!” panggil Jaka dengan senyum lebar, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Sari ragu. Ia mendekat dengan hati-hati, tangannya masih memegang keranjang bawang merah. “Ada apa, Jak? Kamu kok kelihatan aneh,” tanya Sari, suaranya penuh kecurigaan.
Jaka tertawa, tapi tawanya terdengar dipaksakan. “Aneh? Aku cuma mau cerita sesuatu. Tapi… janji ya, nggak bilang siapa-siapa.” Ia menurunkan suaranya, seolah-olah takut angin membawa kata-katanya ke telinga yang salah. Teman-temannya, yang biasanya riuh, kini hanya memandang dengan ekspresi canggung.
Sari mengerutkan kening. “Cerita apa? Kalau urusan nakal-nakalan, aku nggak mau dengar. Aku harus jualan.” Ia berbalik, tapi Jaka dengan cepat memegang lengannya, membuatnya terkejut. Sentuhan itu tak kasar, tapi penuh urgensi.
“Bukan nakal-nakalan, Sar. Ini serius. Aku… aku ambil sesuatu dari pohon jati tua kemarin malam,” kata Jaka, suaranya bergetar. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi rasa bersalah.
Sari menatapnya dengan mata melebar. “Apa?! Kamu ambil apa, Jaka? Kamu tahu cerita tentang pohon itu, kan? Leluhur bilang, siapa yang mengambil sesuatu tanpa izin akan kena kutukan!” Nada suaranya naik, campuran antara ketakutan dan kemarahan. Pohon jati tua itu bukan sekadar pohon; itu adalah lambang desa, tempat leluhur berdoa, tempat roh-roh penjaga desa konon bersemayam. Mengambil sesuatu dari sana tanpa restu tetua adalah pelanggaran besar.
Jaka menunduk, tangannya menggenggam sepotong kayu kecil yang diukir kasar, sepertinya bagian dari dahan pohon jati. “Aku cuma mau bikin gelang untuk… untuk seseorang. Aku pikir nggak akan apa-apa. Cuma sepotong kayu kecil, Sar.” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Sari dengan mata yang penuh penyesalan. “Tapi semalam, aku mimpi buruk. Ada suara… seperti bisikan angin, bilang kalau desa akan kena musibah kalau aku nggak mengembalikan kayu ini sebelum upacara.”
Sari merasa jantungan. Ia teringat cerita-cerita yang sering diceritakan Mbok Sari tentang pohon jati: bagaimana leluhur desa menanamnya sebagai tanda perjanjian dengan roh penjaga tanah, bahwa selama pohon itu berdiri, desa akan dilindungi. Melanggar perjanjian itu bisa membawa bencana—gagal panen, penyakit, atau bahkan kematian. “Kamu gila, Jaka! Kenapa kamu nggak pikir panjang? Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanyanya, suaranya bergetar karena campuran rasa takut dan frustrasi.
Jaka menggeleng, wajahnya pucat. “Aku nggak tahu, Sar. Aku mau kembalikan, tapi aku takut ketahuan ayahku. Dia pasti akan marah besar. Aku cuma… aku cuma mau bikin sesuatu yang spesial.” Ia memandang Sari dengan mata yang penuh makna, dan untuk pertama kalinya, Sari merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik sifat nakal Jaka. Namun, ia tak punya waktu untuk memikirkan itu sekarang. Desa mereka dalam bahaya, dan waktu menjelang upacara semakin dekat.
Sari menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Baik, kita harus kembalikan kayu itu sebelum upacara dimulai malam ini. Tapi kita nggak bisa sembarangan. Kita harus minta izin tetua desa dan lakukan ritual kecil untuk memohon maaf kepada leluhur. Aku akan bantu kamu, tapi kamu harus janji, Jaka, nggak akan ceroboh lagi.”
Jaka mengangguk cepat, wajahnya penuh rasa terima kasih. “Makasih, Sar. Aku tahu aku bisa percaya sama kamu.” Namun, di balik kata-katanya, ada ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Sari juga merasakan hal yang sama. Ia tahu, mengembalikan kayu itu bukan sekadar soal meletakkannya kembali di pohon. Ada harga yang harus dibayar, dan ia tak yakin apakah mereka siap menghadapinya.
Sore itu, Sari dan Jaka berjalan menuju rumah Mbah Joyo, tetua desa yang dikenal sebagai penutur cerita leluhur dan penjaga tradisi. Rumah Mbah Joyo terletak di pinggir desa, dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang bergoyang pelan ditiup angin. Di beranda rumah, Mbah Joyo sedang duduk, memegang tongkat kayu yang sudah usang, matanya yang tua namun tajam menatap kedatangan mereka. “Ada apa, anak-anak? Wajah kalian seperti membawa beban dunia,” katanya dengan suara serak namun penuh wibawa.
Sari menunduk hormat, sementara Jaka tampak gugup. Dengan hati-hati, Sari menceritakan apa yang terjadi, berusaha memilih kata-kata agar tak terdengar menuduh Jaka. Namun, Mbah Joyo bukan orang yang mudah ditipu. Ia mendengarkan dengan saksama, lalu menghela napas panjang. “Kalian tahu, pohon jati itu bukan sekadar pohon. Ia adalah jantungan desa ini. Mengambil sesuatu darinya tanpa izin sama saja dengan mencuri napas leluhur kita,” katanya, suaranya berat. “Tapi, kalian masih muda, dan kesalahan adalah bagian dari belajar. Malam ini, sebelum upacara dimulai, kalian harus melakukan ritual pembersihan di bawah pohon jati. Bawa sesajen—bunga, kemenyan, dan air dari mata air suci di kaki Gunung Lawu. Dan yang terpenting, kalian harus ikhlas.”
Sari mengangguk, hatinya sedikit lega mendengar ada jalan keluar, tapi juga berat karena tahu ritual itu tak akan mudah. Jaka, di sisi lain, tampak semakin gelisah. “Mbah, apa… apa benar ada kutukan? Apa yang akan terjadi kalau kami gagal?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
Mbah Joyo menatapnya lama, seolah-olah melihat jauh ke dalam jiwanya. “Kutukan bukan selalu tentang petir atau bencana besar, Nak. Kadang, kutukan adalah penyesalan yang menggerogoti hati, atau kehilangan yang tak pernah bisa digantikan. Kalian punya waktu sampai matahari terbenam. Jangan sia-siakan.”
Malam mulai merangkak, dan langit di atas Desa Sumberrejo berubah menjadi lautan ungu yang dalam. Sari dan Jaka bergegas menyiapkan sesajen, berjalan menuju mata air suci di kaki Gunung Lawu. Di sepanjang jalan, mereka tak banyak bicara, tapi pandangan mereka saling bertaut, penuh dengan ketakutan dan harapan. Sari memikirkan ibunya, kain batik yang telah mereka serahkan, dan beban hidup yang tak pernah ringan. Jaka memikirkan ayahnya, yang selalu mengharapkannya menjadi pemuda yang bertanggung jawab, dan bagaimana ia telah gagal memenuhi harapan itu.
Di bawah pohon jati tua, saat angin malam mulai bertiup kencang, mereka berdiri dengan sesajen di tangan. Kemenyan menyala, mengeluarkan asap tipis yang naik ke langit. Namun, di kejauhan, suara gemuruh pelan terdengar dari arah Gunung Lawu, seolah-olah alam sendiri sedang berbisik, memperingatkan mereka bahwa waktu hampir habis.
Api Kemenyan dan Bayang-Bayang Leluhur
Malam itu, di bawah pohon jati tua yang menjulang di alun-alun Desa Sumberrejo, udara terasa berat, seolah-olah membawa rahasia yang terlalu besar untuk ditanggung oleh angin. Cahaya bulan purnama menyelinap di sela-sela ranting-ranting pohon, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di tanah, seperti roh-roh leluhur yang sedang mengamati. Sari dan Jaka berdiri di depan sesajen yang telah mereka siapkan dengan susah payah: setangkup bunga melati yang harum, kemenyan yang asapnya mengepul tipis, dan semangkuk air dari mata air suci di kaki Gunung Lawu. Di tangan Jaka, sepotong kayu jati yang ia ambil tanpa izin terlihat kecil namun terasa seperti beban seberat gunung.
Sari menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungan yang tak henti-hentinya berdegup kencang. Ia memandang Jaka, yang wajahnya pucat di bawah sinar bulan, matanya penuh penyesalan dan ketakutan. “Kita harus mulai, Jak,” bisik Sari, suaranya lembut namun tegas. “Mbah Joyo bilang kita harus ikhlas. Kalau hati kita nggak tulus, leluhur nggak akan memaafkan.”
Jaka mengangguk pelan, tapi tangannya gemetar saat ia meletakkan kayu jati itu di atas tanah, tepat di bawah pohon. “Aku takut, Sar,” akunya, suaranya hampir pecah. “Aku nggak mau desa ini kena musibah gara-gara aku. Ayahku… dia selalu bilang aku cuma bikin masalah. Kali ini, aku benar-benar takut dia benar.”
Sari memandang Jaka dengan mata yang penuh empati. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari pemuda nakal yang selalu menggodanya di pasar. Di balik senyum percaya diri dan tingkahnya yang sembrono, Jaka adalah anak yang merasa tertekan oleh harapan ayahnya, Pak Lurah, yang menginginkannya menjadi penerus yang sempurna. “Kamu nggak sendiri, Jak,” kata Sari, suaranya menghibur. “Kita akan hadapi ini bersama. Itu yang diajarkan desa kita, kan? Gotong royong.”
Kata-kata itu seolah memberi Jaka sedikit keberanian. Mereka mulai ritual pembersihan sesuai petunjuk Mbah Joyo. Sari menyalakan kemenyan tambahan, membiarkan asapnya membumbung tinggi, sambil mengucapkan doa-doa yang ia pelajari dari ibunya. “Kami, anak-cucu yang lemah, memohon ampun kepada leluhur dan roh penjaga desa. Kami mengembalikan apa yang telah diambil, dengan hati yang tulus dan jiwa yang ikhlas,” ucapnya, suaranya mantap meski dadanya terasa sesak. Jaka mengikuti, mengulang doa-doa itu dengan suara yang penuh penyesalan.
Namun, saat mereka selesai meletakkan sesajen dan kayu jati di akar pohon, angin tiba-tiba berhenti. Suara dedaunan yang biasanya bergoyang pelan lenyap, meninggalkan keheningan yang mencekam. Sari merasa bulu kuduknya merinding. Ia memandang Jaka, yang juga tampak gelisah. “Kamu dengar itu?” tanya Jaka, suaranya bergetar. “Seperti… ada yang berbisik.”
Sari mencoba mendengarkan, tapi yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang tak wajar. Tiba-tiba, dari arah Gunung Lawu, gemuruh pelan yang mereka dengar sebelumnya kini menjadi lebih keras, seperti langkah raksasa yang mendekat. Pohon jati tua itu seolah-olah bergoyang, meski tak ada angin yang bertiup. Sari meraih tangan Jaka tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. “Ini nggak beres,” bisiknya. “Kita harus lari, Jak!”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, sebuah bayangan gelap muncul di antara akar-akar pohon jati. Bukan bayangan biasa—ia bergerak seperti asap, membentuk sosok yang samar, seperti seorang tua dengan jubah kain yang usang. Mata Sari melebar, napasnya tersendat. “Leluhur…” katanya, suaranya hampir tak terdengar. Jaka terpaku, tak mampu bergerak, wajahnya pucat seperti kain kafan.
“Anak-anak yang ceroboh,” suara itu bergema, bukan dari mulut sosok itu, melainkan dari angin yang tiba-tiba kembali bertiup. “Kalian telah mengganggu keseimbangan. Mengembalikan kayu bukan cukup. Harga harus dibayar dengan pengorbanan yang seimbang.”
Sari merasa lututnya lemas. Ia teringat cerita Mbah Joyo tentang kutukan yang bukan selalu bencana fisik, tapi bisa berupa kehilangan yang tak tergantikan. “Apa yang harus kami lakukan?” tanyanya, suaranya penuh keputusasaan. “Kami sudah ikhlas, kami sudah meminta maaf!”
Sosok itu tak menjawab langsung. Ia hanya menunjuk ke arah desa, ke arah gubuk kecil tempat Sari dan ibunya tinggal. “Keseimbangan menuntut keikhlasan yang lebih besar. Satu dari kalian harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga. Hanya itu yang akan menenangkan roh-roh penjaga.”
Jaka menatap Sari, matanya penuh ketakutan. “Sar, apa maksudnya? Aku nggak mau ada yang terluka karena kesalahanku!” Ia melangkah maju, menghadap sosok itu. “Ambil aku kalau perlu! Aku yang salah, aku yang ambil kayu itu!”
Sari menarik tangan Jaka dengan keras. “Jaka, jangan bicara sembarangan!” bentaknya, matanya berkaca-kaca. “Kita akan cari cara lain. Kita nggak akan menyerah!” Tapi di dalam hati, Sari tahu bahwa sosok itu bukan berbicara tentang nyawa. Pengorbanan yang diminta adalah sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang akan mengoyak hati mereka.
Sebelum sosok itu lenyap, ia meninggalkan satu petunjuk terakhir. “Pergilah ke mata air suci saat fajar menyingsing. Di sana, kalian akan tahu apa yang harus diberikan.” Bayangan itu kemudian melebur ke dalam kegelapan, meninggalkan Sari dan Jaka dalam keheningan yang mencekam. Kemenyan masih menyala, tapi apinya kini redup, seolah-olah kehilangan semangat.
Sari dan Jaka kembali ke desa dengan langkah yang berat. Malam itu, upacara adat dimulai seperti biasa, dengan tarian-tarian tradisional dan doa-doa yang dipimpin oleh Mbah Joyo. Namun, Sari tak bisa menikmati kemeriahan itu. Ia terus memikirkan kata-kata sosok misterius itu, tentang pengorbanan yang harus mereka berikan. Ia memandang kain batik peninggalan neneknya, yang kini dipajang sebagai bagian dari sesajen utama upacara, dan hatinya terasa semakin perih. Apakah kain itu, yang begitu berharga bagi ibunya, adalah bagian dari harga yang diminta?
Di sisi lain, Jaka tak bisa tidur. Ia duduk di beranda rumah besar ayahnya, memandang bintang-bintang dengan pikiran yang kacau. Ia teringat gelang yang ia buat dari kayu jati itu, yang sebenarnya ia rencanakan untuk diberikan kepada Sari sebagai tanda perasaannya. Ia tak pernah berani mengungkapkan cinta yang tumbuh di hatinya, karena ia tahu status mereka berbeda. Tapi kini, karena kecerobohannya, ia telah membahayakan desa dan orang yang paling ia sayangi.
Saat fajar mulai menyingsing, Sari dan Jaka bertemu kembali di tepi desa, menuju mata air suci seperti yang diperintahkan. Langit berwarna merah muda, namun udara masih dingin, membawa aroma tanah dan embun. Di mata air, air mengalir jernih, memantulkan cahaya fajar seperti cermin. Mereka berlutut di tepi air, mencoba mencari petunjuk. Tiba-tiba, Sari melihat sesuatu di dalam air—pantulan wajah ibunya, Mbok Sari, yang tampak pucat dan lemah. Ia tersentak, hatinya dipenuhi firasat buruk.
“Jaka, aku harus pulang sekarang!” serunya, berdiri dengan panik. “Ada sesuatu yang salah dengan Ibu!” Tanpa menunggu jawaban, ia berlari kembali ke desa, meninggalkan Jaka yang masih berlutut di tepi mata air, memandang gelang kayu jati di tangannya dengan air mata yang mulai mengalir.
Di gubuk kecilnya, Sari menemukan Mbok Sari terbaring di tikar, napasnya lemah dan wajahnya pucat. “Sari…” bisik ibunya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku merasa… leluhur memanggilku. Jangan takut, Nak. Apa pun yang terjadi, ingat ajaranku tentang keikhlasan.”
Sari memegang tangan ibunya, air matanya jatuh membasahi lantai tanah. “Ibu, jangan bicara begitu! Aku nggak akan biarkan apa pun terjadi padamu!” Tapi di dalam hati, ia tahu bahwa pengorbanan yang diminta oleh roh leluhur mungkin lebih besar dari yang ia bayangkan.
Pengorbanan di Bawah Cahaya Fajar
Fajar di Desa Sumberrejo menyapa dengan lembut, namun bagi Sari, pagi itu terasa seperti akhir dari segalanya. Langit yang berwarna merah muda dengan semburat emas tak mampu menghibur hatinya yang remuk. Di gubuk kecilnya, ia berlutut di samping Mbok Sari, ibunya, yang terbaring lemah di atas tikar pandan usang. Napas Mbok Sari pelan dan tersendat, wajahnya pucat seperti kain batik yang telah mereka serahkan untuk upacara adat. Sari memegang tangan ibunya erat-erat, air matanya jatuh tanpa henti, membasahi tangan yang kini terasa dingin. “Ibu, tolong tahan. Aku akan cari cara untuk menyembuhkanmu,” isaknya, suaranya penuh keputusasaan.
Di luar, suara burung-burung pagi bercampur dengan gemerisik dedaunan pohon jati tua di alun-alun desa, seolah-olah alam sendiri sedang berdoa. Jaka, yang berlari mengejar Sari setelah ditinggal di mata air suci, kini berdiri di ambang pintu gubuk, wajahnya penuh penyesalan dan ketakutan. Gelang kayu jati yang ia buat masih tergenggam di tangannya, sebuah simbol dari kecerobohannya yang telah membawa mereka ke titik ini. “Sar, ini semua salahku,” katanya, suaranya serak. “Kalau aku nggak ambil kayu itu… Ibumu nggak akan begini.”
Sari menoleh, matanya merah karena tangis, namun ia menggeleng pelan. “Jaka, ini bukan cuma salahmu. Aku juga ikut dalam ritual itu. Kita… kita harus selesaikan ini bersama.” Ia bangkit, menyeka air matanya dengan punggung tangan, dan memandang ibunya dengan tekad yang baru. “Sosok itu bilang kita harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga. Aku pikir… aku tahu apa yang harus kita lakukan.”
Jaka mengerutkan kening, bingung. “Apa, Sar? Kita sudah kembalikan kayu itu, kita sudah lakukan ritual. Apa lagi yang mereka mau?” Suaranya penuh frustrasi, tapi di balik itu, ada rasa bersalah yang tak pernah ia ungkapkan sebelumnya.
Sari menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju sudut gubuk tempat ia menyimpan sebuah kotak kayu kecil, peninggalan terakhir dari ayahnya. Di dalamnya, ada seuntai kalung sederhana dari manik-manik kayu yang diukir ayahnya sebelum meninggal. Kalung itu adalah harta paling berharga bagi Sari, bukan karena nilainya, tapi karena itu adalah kenangan terakhir dari ayahnya, satu-satunya benda yang membuatnya merasa ayahnya masih ada di sisinya. “Ini,” katanya, suaranya gemetar saat ia mengangkat kalung itu ke cahaya fajar yang masuk melalui jendela. “Aku akan serahkan ini ke mata air suci. Kalau pengorbanan yang mereka minta adalah sesuatu yang paling berharga, ini adalah milikku.”
Jaka menatap kalung itu, lalu memandang gelang kayu jati di tangannya. Ia tiba-tiba tersadar. “Sar, tunggu. Aku juga punya sesuatu.” Ia mengulurkan gelang itu, matanya berkaca-kaca. “Aku bikin ini untukmu. Aku… aku suka kamu, Sar. Dari dulu. Tapi aku tahu aku nggak pantas, makanya aku cuma bisa menggoda di pasar. Gelang ini… ini adalah mimpiku untuk bisa dekat denganmu. Kalau kamu serahkan kalungmu, aku akan serahkan ini juga.”
Sari terpaku, hatinya terasa seperti dihantam badai. Untuk pertama kalinya, ia melihat Jaka bukan sebagai anak nakal atau anak lurah yang jauh dari jangkauannya, tapi sebagai seseorang yang tulus, yang rela menyerahkan mimpinya demi menebus kesalahan. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan hanya karena kesedihan, melainkan juga karena kehangatan yang tak pernah ia duga. “Jaka… makasih,” bisiknya. “Kita lakukan ini bersama.”
Mereka bergegas kembali ke mata air suci, berlari melintasi sawah-sawah yang masih diselimuti embun. Di tepi mata air, air mengalir jernih, memantulkan cahaya fajar seperti cermin yang hidup. Sari dan Jaka berlutut, memegang kalung dan gelang mereka dengan penuh hormat. “Leluhur, roh penjaga desa, kami menyerahkan apa yang paling berharga bagi kami,” ucap Sari, suaranya penuh keikhlasan. “Kami mohon ampun atas kesalahan kami. Lindungi desa kami, dan pulihkan ibuku.”
Mereka meletakkan kalung dan gelang itu ke dalam air, membiarkan arus membawanya perlahan. Saat benda-benda itu tenggelam, air di mata air seolah-olah berpendar, memancarkan cahaya lembut yang tak wajar. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga melati yang tak ada di sekitar. Sari dan Jaka saling memandang, merasa beban di hati mereka sedikit berkurang, meski ketakutan masih mengintai.
Ketika mereka kembali ke gubuk, sesuatu yang luar biasa terjadi. Mbok Sari, yang tadi pagi tampak di ambang kematian, kini duduk di beranda, wajahnya masih lemah tapi matanya penuh kehidupan. “Sari… Jaka…” katanya, suaranya pelan namun penuh kehangatan. “Aku bermimpi leluhur datang. Mereka bilang kalian telah membayar harga dengan hati yang tulus. Desa ini aman sekarang.”
Sari menangis, kali ini karena kelegaan, dan memeluk ibunya erat-erat. Jaka berdiri di samping, tersenyum kecil, meski matanya masih basah. “Mbak Sari, maafkan aku,” katanya, menunduk hormat. “Aku janji akan jadi lebih baik. Untuk desa, untuk kalian.”
Hari-hari berikutnya, Desa Sumberrejo kembali hidup dengan harmoni. Upacara adat telah usai, dan pohon jati tua seolah-olah berdiri lebih tegak, daun-daunnya lebih hijau, seperti tanda bahwa leluhur telah memaafkan. Sari kembali ke pasar, menjual bawang merah dengan senyum yang lebih cerah, sementara Jaka mulai membantu ayahnya dengan penuh tanggung jawab, tak lagi berkeliaran tanpa tujuan. Desa melihat perubahan pada Jaka, dan cerita tentang pengorbanan mereka berdua menjadi legenda baru, diceritakan dari generasi ke generasi di bawah pohon jati tua.
Namun, di antara semua itu, ada satu momen kecil yang hanya diketahui Sari dan Jaka. Suatu sore, saat matahari terbenam di balik Gunung Lawu, Jaka datang ke pasar dengan tangan di belakang punggung. “Sari,” katanya, suaranya sedikit gugup. “Aku nggak punya gelang lagi untukmu, tapi… aku bikin sesuatu yang lain.” Ia mengulurkan seikat bunga melati yang diikat dengan tali pandan, sederhana namun penuh makna.
Sari tersenyum, menerima bunga itu dengan hati yang hangat. “Kamu nggak perlu gelang, Jak. Keberanianmu untuk berubah sudah cukup.” Mereka berdiri di bawah pohon beringin kecil di pasar, tertawa bersama, sementara angin membawa aroma melati dan harapan baru. Di kejauhan, pohon jati tua seolah-olah mengangguk, menyaksikan dua hati muda yang telah belajar tentang pengorbanan, keikhlasan, dan cinta yang tulus.
Cerpen Bawang Merah dan Pohon Jati: Kisah Cinta dan Pengorbanan di Tanah Jawa adalah lebih dari sekadar cerita; ia adalah cerminan kearifan lokal Jawa yang mengajarkan kita tentang keikhlasan, gotong royong, dan kekuatan cinta dalam menghadapi cobaan. Melalui perjuangan Sari dan Jaka, kita diajak untuk menghargai warisan leluhur dan memahami bahwa pengorbanan sejati lahir dari hati yang tulus. Cerita ini tidak hanya menyentuh hati tetapi juga menginspirasi kita untuk menjalani hidup dengan nilai-nilai luhur yang tetap relevan di era modern. Jangan lewatkan kisah ini untuk merasakan kehangatan budaya Jawa dan pelajaran hidup yang mendalam!