Daftar Isi
Hai, kamu! Pasti nggak asing kan sama yang namanya persahabatan? Nah, pernah nggak sih kamu mikir, kalau persahabatan itu bisa jadi jalan menuju mimpi? Artikel ini bakal ngebahas cerpen “Batu Loncat”, yang bukan cuma tentang dua sahabat, Arvian dan Elano, yang penuh petualangan, tapi juga tentang bagaimana mereka membangun impian bersama lewat kekuatan persahabatan.
Dari bermain egrang hingga komik yang akhirnya jadi kenyataan, perjalanan mereka bakal bikin kamu ngerasa, kalau apapun bisa jadi mungkin kalau kita punya teman yang selalu ada. Penasaran? Yuk, lanjut baca dan temukan inspirasi dari cerita seru mereka!
Batu Loncat
Benturan Pertama di Lapangan Voli
Lapangan voli Desa Lumban Hulu tidak pernah benar-benar kosong. Bahkan saat matahari mulai condong dan bayangan pepohonan jati menari panjang di tanah, selalu saja ada suara bola yang dipantulkan, teriakan anak-anak, dan tawa yang melengking riang. Tanah lapangnya tak sepenuhnya rata, banyak batu kecil tersembunyi di balik pasir, dan net-nya digantung seadanya dengan tambang plastik yang sering kali miring sebelah.
Sore itu, langit membiru terang. Angin bertiup cukup kencang, membawa aroma tanah dan daun pisang basah dari kebun warga. Bocah-bocah berlarian, sebagian tanpa alas kaki, sebagian lain hanya mengenakan sandal jepit butut yang tertekuk di bagian depan.
Arvian, bocah lokal berkulit legam dan rambut awut-awutan, sedang sibuk mengejar bola. Ia terkenal sebagai salah satu pemain terbaik di lapangan itu, bukan karena tekniknya yang jago, tapi karena semangatnya yang tak pernah surut. Lari terus, teriak terus, ketawa terus.
“Vi! Bola ke belakang tuh! Awas jangan kena semak, banyak duri!” teriak Danu, temannya dari seberang lapangan.
Arvian sudah lebih dulu melompat mengejar bola yang menggelinding tak karuan. Namun, sebelum ia berhasil meraihnya, sesosok anak lain lebih dulu menjatuhkan badan ke tanah, menerjang semak berduri, dan menggenggam bola dengan dua tangan. Anak itu mengenakan kaus garis-garis biru-putih dan celana pendek yang terlalu bersih untuk ukuran anak desa.
Seketika semua mata memandang. Anak baru. Wajah asing. Napasnya tersengal, keringat mulai membasahi pelipisnya.
“Eh… kamu siapa?” tanya Arvian, berdiri tepat di depannya, menatap dengan rasa ingin tahu setengah bingung.
Anak itu mengangguk kecil. “Aku Elano. Baru pindah ke sini. Rumahku deket SD.”
“Nama kamu… aneh juga ya,” ucap Arvian sambil tertawa pendek. “Tapi kamu keren juga. Bisa nyelametin bola aku dari semak duri. Kamu gak takut luka?”
“Takut sih,” jawab Elano pelan. “Tapi… aku gak pengen bola ini nyasar ke parit.”
Arvian terdiam sebentar, lalu mengangguk puas. “Oke. Mulai sekarang kamu main bareng kita. Tapi jangan manja ya. Di sini kalau jatuh, ya jatuh beneran.”
Elano tersenyum ragu, tapi senyumnya lebar.
Sejak hari itu, Elano resmi jadi bagian dari geng bocah lapangan. Awalnya canggung, karena logat bicaranya masih kebawa kota, dan ia sering banget bilang “permisi” tiap kali numpang lewat di antara orang-orang. Tapi lama-lama, celananya mulai kotor, sandalnya mulai lecet, dan tawa lebarnya makin sering terdengar.
Satu hal yang langsung bikin dia akrab dengan Arvian adalah keberanian. Elano mungkin gak bisa main layangan sebaik Arvian, tapi ia berani manjat pohon jambu paling tinggi untuk ambil bola yang nyangkut. Ia juga satu-satunya yang mau ikutan lomba panjat pinang walau badannya kurus.
Di mata Arvian, Elano itu aneh, tapi seru. Suka nanya hal-hal yang gak pernah terpikir sebelumnya. Kayak waktu mereka duduk di atas gorong-gorong sambil makan es lilin, Elano tiba-tiba nanya, “Vi, kenapa ya awan bisa gerak?”
Arvian cuma garuk kepala, “Ya karena ditiup angin lah. Masa karena dorongan semangat?”
Elano ketawa ngakak, sampai es lilinnya meleleh ke celana. Arvian ikut ketawa, dan sore itu langit terasa lebih hangat dari biasanya.
Mereka mulai sering bareng. Kalau Elano bawa bekal dari rumah, selalu ada satu potong lebih buat Arvian. Kalau Arvian dapat jambu dari kebun belakang, pasti dilempar ke balkon rumah Elano. Semacam kode: “Ayo main!”
Pada minggu ketiga sejak pertemuan itu, Arvian mengajak Elano ke tempat yang belum pernah dia ajak siapa-siapa sebelumnya.
“Aku mau tunjukin tempat rahasia,” katanya sambil nyeker, menggandeng sepeda butut ke arah selatan desa.
“Elano ikut?”
“Ya iyalah. Kamu kan sekarang sahabat aku.”
Mereka berjalan menembus ladang, melewati pohon-pohon pisang, dan akhirnya sampai di tepi Sungai Serayu. Di sana, tersembunyi di balik semak liar dan batu-batu besar, ada satu batu pipih yang menjorok ke sungai, dengan permukaan cukup rata untuk duduk dua orang.
“Ini namanya Batu Loncat,” ucap Arvian bangga. “Tempat paling keren di desa. Tapi cuma aku yang tahu.”
Elano terdiam, kagum.
“Sekarang cuma kamu dan aku yang tahu.”
Ia duduk perlahan di batu itu, menatap aliran air yang bening dan dingin. Cahaya matahari menari-nari di permukaannya, seperti serpihan kaca yang hanyut.
Elano membuka suara pelan, “Vi… kenapa kamu nunjukin aku tempat ini?”
“Karena… aku rasa kamu gak akan ninggalin aku kayak yang lain.”
“Yang lain?”
“Dulu banyak anak yang suka main bareng aku. Tapi pada pindah. Atau udah gak mau main. Katanya aku terlalu rame. Terlalu banyak ide aneh.”
Elano menatap sungai itu lama, lalu berkata pelan, “Aku suka ide-ide aneh. Dunia tanpa ide aneh itu… ngebosenin.”
Arvian tersenyum lebar. “Berarti mulai hari ini, tempat ini jadi markas kita. Kita bakal kasih nama.”
Elano mengangguk cepat, matanya berbinar. “Gimana kalau… Benteng Batu?”
“Setuju! Dan kita bikin aturan: tiap sore, kita harus ke sini. Gak boleh absen!”
Mereka mengatupkan jari kelingking, lalu berseru bersama, “Janji sahabat!”
Di balik langit yang mulai kemerahan, dua bocah itu tertawa keras. Batu Loncat menjadi saksi dari awal yang sederhana, namun mengikat kuat dua hati kecil yang mulai tumbuh bersama. Hari itu bukan sekadar pertemuan. Hari itu adalah pondasi dari sesuatu yang akan bertahan lebih lama dari musim, lebih dalam dari sungai, dan lebih kuat dari sekadar permainan sore.
Dan cerita mereka baru saja dimulai.
Benteng Batu dan Dunia Rahasia
Waktu berlalu begitu cepat di desa Lumban Hulu. Setiap sore, di bawah langit yang mulai gelap dan angin yang berdesir lembut, Arvian dan Elano selalu muncul di Batu Loncat, markas rahasia mereka. Tempat itu kini terasa seperti rumah kedua, tempat di mana segalanya mungkin terjadi, dan di mana mereka merasa bebas dari segala aturan.
Selama berbulan-bulan, Batu Loncat menjadi saksi bisu dari segala ide konyol dan obrolan serius mereka. Mereka mulai merencanakan segalanya. Membuat peta harta karun dari rumput dan pasir, membangun perahu bambu yang tak pernah benar-benar bisa mengapung, dan mendalami setiap aliran sungai Serayu seolah dunia mereka hanya sebatas air itu.
Namun, satu hal yang tak pernah mereka rencanakan adalah bagaimana mereka akan menghadapinya ketika masalah datang—masalah yang datang tak diundang, mengubah semuanya tanpa bisa dihentikan.
Pagi itu, Arvian datang lebih cepat dari biasanya. Biasanya Elano yang selalu datang lebih dulu karena rumahnya dekat dengan sungai, tetapi kali ini, Arvian tampak gelisah. Ia duduk di batu besar itu, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan batu dengan cepat.
Elano muncul tak lama kemudian, berjalan dengan langkah santai sambil menyeringai. “Kenapa Vi? Seperti orang yang ketinggalan bus aja?”
Arvian menoleh, tapi senyumannya tampak dipaksakan. “Aku nggak tahu kenapa, Lan. Rasanya ada yang aneh hari ini.”
“Aneh? Aneh gimana?” Elano duduk di sampingnya, memiringkan kepala. “Mau main layangan? Atau kita latihan panjat pinang?”
“Bukan itu.” Arvian menggigit bibirnya. “Aku… nggak tahu. Ada yang beda aja.”
Elano menatap sahabatnya lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda dari sikap Arvian hari itu, dan Elano bisa merasakannya. Mereka sudah terlalu lama berteman untuk tidak tahu jika ada yang mengganjal di hati sahabatnya.
“Ada masalah di rumah?” tanya Elano akhirnya.
“Bukan itu. Tapi… aku cuma takut sesuatu bakal berubah, Lan. Kamu tahu kan, kalau gak ada yang bisa selamanya sama? Bahkan Batu Loncat pun bisa jadi rusak kalau terus diguyur hujan.”
Elano terdiam. Arvian memang selalu berbicara seperti itu kalau sedang merasa cemas, meski ia jarang mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Tapi kali ini berbeda, ada sesuatu yang lebih dalam.
“Mungkin kamu cuma capek. Mungkin kamu butuh istirahat. Gimana kalau kita cari ide baru buat permainan?” Elano mencoba meredakan kekhawatiran sahabatnya dengan cara yang paling Elano bisa lakukan—dengan tetap santai dan mencoba mengalihkan perhatian.
Arvian mengangguk pelan, tapi wajahnya masih terlihat tidak tenang. “Aku cuma nggak bisa ngebayangin kalau nanti suatu saat kita gak ada di sini lagi. Semua ini berubah. Keluarga kita, sekolah, bahkan… kita berdua.”
“Perubahan itu pasti, Vi.” Elano berkata pelan, menatap ke arah air yang mengalir perlahan. “Tapi apa yang kita punya, itu tetap kita. Bisa nggak kita nikmatin hari-hari ini dulu aja?”
“Gimana kalau aku jadi nggak ada lagi?” Arvian menatap Elano dengan mata yang serius.
Elano terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar, mencoba menghilangkan ketegangan yang terasa. “Kamu ini aneh banget. Kalau kamu hilang, aku nggak bakal bisa main bola dengan orang lain. Aku nggak bakal punya teman yang ngajarin aku manjat pohon tinggi. Aku nggak bakal bisa ketawa lagi kalau ada yang salah di game FIFA kita. Kalau kamu hilang… hidup jadi kayak komputer yang rusak.”
Arvian tertawa kecil, merasa sedikit lega. “Kamu ini ada-ada aja.”
“Tapi serius, Vi. Aku nggak akan ke mana-mana. Kita sama-sama di sini. Benteng Batu ini gak akan goyah hanya karena angin kencang. Kita yang bakal jadi angin itu.” Elano berkata dengan percaya diri.
“Ya… ya. Kamu bener.” Arvian akhirnya menarik napas dalam, merasa sedikit lebih tenang. “Oke, kita buat rencana baru. Apa yang harus kita lakukan biar benteng kita gak runtuh?”
Elano tersenyum lebar, senang melihat sahabatnya mulai ceria lagi. “Mudah. Kita buat perahu bambu beneran. Dan kali ini, kita bisa buat sambil ketawa, tanpa mikirin hal-hal aneh.”
Sejak saat itu, mereka mulai bekerja lebih keras. Mengumpulkan bambu dari hutan dekat desa, mengikatnya dengan tali dari kulit pohon, dan menguji perahu buatan mereka di Sungai Serayu. Kadang perahu itu tenggelam sebelum sempat mengapung, kadang meluncur kencang tanpa kendali, tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyerah.
Suatu sore, saat perahu mereka berhasil mengapung untuk pertama kalinya—meski hanya untuk beberapa detik—Elano dan Arvian saling bertatapan dengan senyum lebar. Mereka berdua tahu, meski dunia di luar sana terus berubah, benteng mereka di Batu Loncat tetap akan ada, tak tergoyahkan oleh apapun. Karena persahabatan mereka sudah cukup kuat untuk bertahan, meskipun segala hal berubah.
Malamnya, di bawah bintang-bintang yang bersinar cerah, mereka duduk bersama di atas batu itu, mendengarkan suara air yang berdebur pelan.
“Pernah nggak kamu pikirin, Lan, kalau ada satu hal yang nggak pernah berubah dalam hidup kita?”
Elano menoleh, mengerutkan dahi. “Apa itu?”
Arvian mengangkat tangan ke langit, menunjuk bintang-bintang yang bersinar terang. “Ini. Kalau pun kita nggak punya apa-apa, kita masih punya langit, dan kita masih punya Batu Loncat.”
Elano terdiam, lalu ikut menatap ke atas. “Kita punya lebih dari itu, Vi. Kita punya satu sama lain.”
Keduanya tersenyum, dan malam itu, dunia seolah hanya milik mereka berdua.
FIFA, Egrang, dan Impian Komik
Pagi itu, Arvian bangun dengan semangat yang berbeda. Biasanya, ia akan langsung berlari menuju Batu Loncat, berusaha mengejar waktu sebelum matahari terik. Tapi hari itu, ia memutuskan untuk melangkah ke tempat yang jarang ia kunjungi: rumah Elano.
Sejak beberapa minggu terakhir, Elano sudah mulai sibuk dengan berbagai hal. Ia tidak hanya menghabiskan waktu bersama Arvian, tapi juga mulai ikut les bahasa Inggris dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Namun, mereka tetap menyempatkan waktu untuk bertemu setiap sore, meski hanya untuk duduk diam di Batu Loncat atau bermain sepak bola di lapangan yang berdebu.
Arvian tak tahu kenapa, tapi kali ini ia merasa perlu untuk pergi ke rumah Elano. Tiba-tiba saja, ide tentang komik yang Elano impikan muncul lagi di pikirannya. Komik yang dulu hanya dibicarakan dengan setengah serius, kini terasa seperti sesuatu yang harus diwujudkan.
Ia berjalan ke rumah Elano, menaiki jalan setapak yang dipenuhi batu-batu kecil dan tanaman rambat. Di sana, Elano sedang duduk di depan meja kayu tua, dengan tumpukan buku dan pensil di tangan. Wajahnya serius, tak seperti biasanya.
“Lan, ngapain kamu?” Arvian muncul di ambang pintu, mengerutkan dahi melihat Elano begitu fokus.
Elano menoleh, melemparkan senyum tipis. “Oh, Vi. Aku lagi coba buat konsep komik. Gimana kalau kamu jadi karakter utama di komikku?”
“Serius? Aku jadi karakter utama?” Arvian tercengang, tapi senyumnya mulai lebar. “Aku sih oke aja, tapi komiknya harus seru. Jangan cuma tentang orang yang nggak pernah diam aja.”
Elano tertawa, lalu mengacak rambut Arvian. “Iya, iya. Tapi aku pengen kamu jadi pahlawan, lho. Pahlawan yang nggak biasa. Aku pikir, gimana kalau kamu jadi jagoan yang bisa ngalahin monster, tapi caranya itu… unik.”
“Monster? Monster kayak apa?”
“Ya, monster yang suka makan makanan aneh. Jadi pahlawan kita harus melawan monster-monster itu dengan makanan favorit mereka, kayak mie ayam atau bakso.”
Arvian terdiam, berpikir sejenak. “Kocak juga sih, tapi itu menarik. Aku mau! Aku jadi pahlawan yang ngelawan monster dengan mie ayam!”
Mereka berdua tertawa, membayangkan konsep aneh yang mereka buat sendiri. Namun, di dalam hati, Arvian mulai merasa sesuatu yang lebih serius. Ini bukan sekadar permainan atau ide konyol. Ini adalah mimpi Elano—mimpi untuk menjadi seorang pembuat komik yang hebat, dan mungkin juga untuk mengubah hidup mereka berdua.
Sebelum mereka melanjutkan diskusi tentang konsep komik tersebut, Arvian berusaha mengalihkan topik sedikit. “Ngomong-ngomong, minggu depan ada lomba egrang di desa kan? Kamu ikut?”
Elano mengernyitkan dahi. “Egrang? Aku nggak pernah main.”
“Ayo dong! Kita kan sering latihan di lapangan. Kamu udah bisa lari kencang, tinggal belajar keseimbangan. Lagipula, ini cuma buat seru-seruan.”
Elano tertawa, tapi kemudian menatap Arvian dengan serius. “Ya, tapi… kalau aku gagal, malu dong. Kamu kan udah jago banget.”
“Ya kalau kalah, ya kalah. Tapi yang penting kita nyoba. Nggak ada salahnya juga jadi orang yang beda, kan?” Arvian menjawab dengan senyum lebar. “Pokoknya, aku nggak akan biarin kamu sendirian. Kita berdua harus ikut!”
Elano akhirnya mengangguk setuju, meskipun ekspresinya masih ragu. “Oke deh. Tapi kalau aku jatuh, kamu harus bantuin aku.”
“Jelas!” Arvian menjawab mantap. “Aku nggak akan biarin kamu jatuh, Lan. Kalau jatuh, kita jatuh bareng.”
Hari itu mereka berlatih egrang. Bukan cuma latihan keseimbangan, tapi juga latihan ketawa. Sering kali, mereka terjatuh bersama, tertawa terbahak-bahak hingga perut sakit, sementara orang-orang di sekitar melihat mereka dengan pandangan lucu.
Mereka tidak peduli. Bagi mereka, itu adalah cara mereka menikmati waktu bersama. Setiap langkah di atas egrang menjadi pelajaran tentang keberanian untuk mencoba hal baru, tentang pentingnya kebersamaan, dan tentang bagaimana persahabatan mereka tumbuh dengan cara yang tak terduga.
Pada suatu sore, setelah latihan yang cukup melelahkan, Elano kembali ke rumah dengan langkah ringan. Ia merasa senang bisa berbagi banyak hal dengan Arvian. Namun, ada satu hal yang masih mengusik pikirannya—impian tentang komik yang ia miliki. Ia mulai merasa semakin yakin untuk mengejar mimpinya, dan mungkin Arvian adalah bagian penting dari mimpi itu.
Di Batu Loncat, tempat mereka selalu bertemu, Arvian dan Elano kembali duduk bersama setelah seharian penuh latihan. Elano membuka bukunya lagi, menunjukkan beberapa sketsa karakter pahlawan dengan kepala jangkrik yang mereka buat bersama.
“Aku nggak tahu gimana, tapi aku mulai yakin bisa ngejar impian ini,” kata Elano sambil menggambar. “Aku nggak mau cuma jadi anak yang ikut-ikutan. Aku pengen jadi penulis komik yang beneran.”
Arvian menatap Elano, merasa bangga. “Kalau kamu jadi penulis, aku jadi pembaca pertama, Lan. Janji.”
Elano tersenyum. “Kita bakal bikin komik ini bareng. Dan siapa tahu, suatu saat nanti kita bisa bikin komik yang terkenal.”
“Bener banget. Kita bakal jadi duo kreatif. Komik kita bakal laku keras!” jawab Arvian penuh semangat.
Mereka duduk diam untuk beberapa saat, membiarkan angin sore yang sejuk menyelimuti mereka. Tidak ada yang berkata-kata lebih. Mereka hanya tahu satu hal—mimpi mereka, sekecil apapun, akan menjadi kenyataan suatu saat nanti, karena mereka berdua akan selalu ada untuk satu sama lain.
Di bawah langit yang mulai meredup, Arvian dan Elano tidak lagi merasa ragu. Mereka sudah menemukan jalannya masing-masing, dan jalannya itu akan selalu berjalan berdampingan.
Melangkah Menuju Impian
Musim telah berganti. Langit yang dulu cerah, kini sedikit lebih mendung, namun tak mengurangi semangat Arvian dan Elano. Mereka masih bertemu di Batu Loncat setiap sore, meskipun waktu terasa lebih cepat berlalu. Tak lagi hanya sekadar bermain dan tertawa, kini mereka memiliki tujuan yang lebih besar—mewujudkan impian mereka.
Lomba egrang yang mereka ikuti beberapa minggu lalu menjadi kenangan lucu yang terus mereka bicarakan. Mereka memang tidak menang, malah sering terjatuh bersama, tetapi itu bukan masalah bagi mereka. Yang lebih penting adalah bagaimana mereka berhasil menjalani pengalaman itu bersama, saling mendukung, dan tertawa dalam prosesnya.
Namun, ada perubahan lain yang lebih besar yang mulai terjadi. Di tengah kebersamaan mereka yang semakin erat, Elano mulai lebih serius dengan komik yang ia impikan. Ia mulai menggambar lebih banyak, menulis lebih banyak, dan bahkan mencari cara untuk mempublikasikan karyanya. Arvian selalu ada di sampingnya, memberikan semangat dan ide-ide gila yang malah sering kali jadi bahan cerita dalam komiknya.
Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di Batu Loncat, Elano menunjukkan sketsa terbaru yang ia buat—sebuah komik pendek yang menceritakan petualangan mereka berdua sebagai pahlawan melawan monster makanan.
“Vi, ini dia. Aku baru selesai buat episode pertama komik kita. Apa menurutmu ini bisa jadi sesuatu?” Elano membuka buku sketsanya, matanya penuh harapan.
Arvian memandangi halaman demi halaman dengan antusias, tertawa melihat beberapa detail yang konyol—seperti sosok pahlawan yang memiliki kemampuan mengendalikan mie ayam yang bisa terbang. “Keren, Lan! Tapi… bisa nggak kamu tambahin monster ayam goreng yang bisa ngeluarin saus sambel pedas?”
Elano terkekeh. “Itu sih ide yang gila banget, Vi. Tapi, kenapa nggak?”
Mereka tertawa, dan pada saat itu, Arvian merasa yakin, komik ini bukan hanya sekadar hiburan. Ini adalah hasil dari persahabatan yang telah menguatkan mereka berdua. Mereka sudah mulai membangun dunia mereka sendiri, dunia yang tidak hanya terbatas di Batu Loncat, tetapi juga di kertas dan tinta.
Setelah beberapa minggu bekerja keras, akhirnya Elano mendapatkan kesempatan besar—sebuah kompetisi komik yang diadakan di kota sebelah. Hadiahnya cukup besar, dan kesempatan ini bisa membuka jalan bagi Elano untuk memulai karier sebagai pembuat komik.
Elano sempat ragu, tetapi Arvian meyakinkannya. “Ini waktunya, Lan. Kamu udah siap. Jangan takut gagal. Aku percaya sama kamu.”
Hari pengiriman karya pun tiba. Elano mengirimkan komik mereka, berjudul “Mie Ayam vs Monster Goreng”, dengan perasaan campur aduk—antara percaya diri dan cemas. Namun, ia tahu satu hal: meskipun mereka tidak menang, ini adalah langkah pertama mereka.
Beberapa minggu setelahnya, ketika mereka sedang duduk bersama di Batu Loncat, memandang langit yang mulai merah, telepon Elano berdering. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, lalu membuka pesan yang baru masuk.
“Vi… kita menang!”
Arvian menatapnya dengan tidak percaya. “Apa? Serius?”
Elano melompat berdiri, hampir menjatuhkan ponselnya. “Iya, kita menang! Komik kita terpilih, Vi!”
Arvian berdiri juga, hampir tak bisa menahan kebahagiaannya. “Kita benar-benar menang! Kamu benar-benar bisa melakukannya, Lan!”
Mereka berdua saling melompat dan berteriak kegirangan, sementara matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan. Ini bukan hanya kemenangan bagi Elano, tetapi juga untuk Arvian, karena mereka telah menjalani perjalanan ini bersama—berjuang, tertawa, dan saling mendukung.
Tak lama setelah itu, Elano diundang ke kota untuk menghadiri pameran komik dan bertemu dengan penerbit. Sementara Arvian tetap di desa, merasa bangga dan senang melihat sahabatnya meraih impian. Meski mereka berjauhan, mereka berdua tahu bahwa apapun yang terjadi, persahabatan mereka takkan pernah berubah.
Beberapa bulan kemudian, Elano kembali ke desa dengan kabar baik—komiknya mulai dikenal lebih banyak orang, dan ia mendapatkan kontrak untuk melanjutkan ceritanya ke edisi selanjutnya. Ia tak pernah melupakan Batu Loncat, tempat di mana semua mimpi itu bermula. Tempat yang menjadi saksi persahabatan yang begitu kuat dan tulus.
Di suatu sore yang tenang, Elano dan Arvian kembali duduk di Batu Loncat, kali ini dengan buku komik di tangan mereka. Elano membuka halaman pertama komiknya yang baru, dan Arvian tersenyum lebar.
“Bener kan? Aku janji bakal jadi pembaca pertama,” kata Arvian sambil menepuk bahu Elano.
Elano hanya tersenyum dan mengangguk. “Kamu selalu ada, Vi. Kita udah lewati banyak hal bareng, dan ini baru permulaan.”
Dengan langit yang perlahan menggelap, mereka berdua duduk dalam diam, merasakan angin sore yang menyegarkan. Mereka tahu, meskipun dunia terus berubah, Batu Loncat dan persahabatan mereka akan tetap ada, seperti dulu—seperti sekarang—seperti selamanya.
Tamat.
Gimana, keren kan perjalanan persahabatan Arvian dan Elano? Dari sekadar teman main, mereka berhasil mewujudkan impian besar berkat dukungan satu sama lain. Cerita ini nggak cuma mengajarkan kita tentang arti persahabatan, tapi juga tentang pentingnya berani bermimpi dan saling mendukung dalam setiap langkah.
Jadi, jangan ragu untuk terus mengejar impianmu dan temukan teman sejati yang selalu siap mendampingimu. Ingat, seperti yang dibilang Arvian dan Elano, “Kita jatuh bareng, kita bangkit bareng!” Semoga cerita ini bisa memberi inspirasi buat kamu yang lagi berjuang mengejar mimpi. Terus semangat!