Daftar Isi
Tenggelam dalam kisah cinta yang mengharukan di ujung Indonesia, cerpen “Batas yang Memisahkan Jiwa: Kisah Cinta di Perbatasan Papua Nugini” menggambarkan perjuangan Amsal melintasi batas geografis dan emosional untuk menemukan Yana, cinta sejatinya, di tengah tragedi kapal karam di Sungai Fly. Penuh dengan detail kehidupan perbatasan, emosi mendalam, dan konflik yang menggugah, cerita ini mengajak Anda merasakan getirnya cinta yang terpisah oleh garis tak kasat mata. Apa yang membuat cerpen ini begitu memikat? Simak ulasan lengkapnya!
Batas yang Memisahkan Jiwa
Angin di Ujung Perbatasan
Di ujung timur Indonesia, di mana hutan belantara Papua bertemu dengan garis tak kasat mata yang disebut perbatasan, angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang meranggas. Desa Batas, sebuah kampung kecil di Kabupaten Merauke, berdiri di tepi garis itu, hanya beberapa langkah dari Papua Nugini. Di sini, kehidupan berjalan lambat, diiringi suara ayam berkokok dan deru mesin perahu yang sesekali melintasi Sungai Fly di kejauhan. Tapi bagi Amsal, seorang pemuda berusia 24 tahun, setiap hembusan angin di desa ini terasa seperti bisikan tentang sesuatu yang hilang.
Amsal duduk di beranda rumah panggungnya yang sederhana, terbuat dari kayu ulin yang sudah lapuk di beberapa sudut. Matanya menatap ke arah tiang perbatasan di kejauhan, sebuah pilar beton sederhana dengan tulisan pudar: Republik Indonesia. Di sisi lain tiang itu, terbentang tanah Papua Nugini, tempat yang bagi Amsal bukan sekadar negara lain, melainkan kenangan yang terus menggenggam hatinya. Di tangannya, ia memegang sebuah kalung anyaman dari akar pohon sagu, peninggalan dari seseorang yang dulu begitu berarti.
Lima tahun lalu, Amsal masih remaja yang penuh mimpi. Ia dan Yana, gadis dari suku Asmat yang tinggal di sisi Papua Nugini, bertemu di pasar perbatasan, tempat warga dari kedua negara saling bertukar barang—ikan kering, sagu, hingga kain tenun. Pasar itu adalah jantungan kehidupan di perbatasan, tempat bahasa-bahasa bercampur: Bahasa Indonesia, Melayu Papua, dan dialek-dialek lokal yang hanya dimengerti oleh mereka yang lahir di tanah ini. Yana, dengan rambut ikalnya yang dihiasi manik-manik kayu, selalu membawa keranjang anyaman berisi ubi dan pisang. Senyumnya, bagi Amsal, seperti matahari yang menyelinap di sela-sela kanopi hutan.
“Amsal, kau lagi melamun apa?” suara ibunya, Mama Rina, memecah keheningan. Wanita paruh baya itu keluar dari dapur, tangannya masih basah setelah mencuci beras. Jubah sederhananya berwarna cokelat tua, warnanya memudar karena usia.
Amsal tersenyum kecil, tapi matanya tak berpaling dari tiang perbatasan. “Cuma ingat sesuatu, Ma.”
Mama Rina menghela napas. Ia tahu apa yang ada di pikiran anaknya. “Yana, ya?” tanyanya lembut, sambil duduk di samping Amsal. “Sudah lima tahun, Nak. Kau harus lepaskan.”
Amsal menggenggam kalung anyaman itu lebih erat. “Bukan cuma Yana, Ma. Tapi semuanya. Desanya, orang-orangnya, hidup di sana… seperti kita kehilangan separuh jiwa kita waktu perbatasan itu diperketat.”
Lima tahun lalu, situasi di perbatasan berubah. Konflik politik dan keamanan membuat pemerintah kedua negara memperketat pengawasan. Pasar perbatasan yang dulu ramai kini sepi. Pos-pos militer bermunculan, dan warga seperti Amsal dilarang melintasi garis tanpa izin resmi. Bagi Amsal, perbatasan itu bukan lagi sekadar garis di peta; itu adalah dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dari Yana, dari mimpi-mimpi yang pernah mereka rajut bersama di bawah pohon kelapa di tepi sungai.
Hari itu, seperti kebiasaannya, Amsal berjalan menuju Sungai Fly, yang menjadi pembatas alami antara kedua negara. Air sungai mengalir tenang, cokelat keruh karena lumpur. Di tepian, ia melihat seorang anak kecil dari sisi Papua Nugini, mungkin berusia sepuluh tahun, sedang melempar batu ke air. Anak itu melambai padanya, dan Amsal membalas lambaian itu dengan senyum. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga nyeri. Anak itu mengingatkannya pada adik Yana, yang dulu sering ikut ke pasar bersama mereka.
“Amsal!” teriak seorang pria dari kejauhan. Itu Pak Darius, tetangga yang juga kepala adat di Desa Batas. Pria tua itu berjalan tergesa, wajahnya penuh keringat. “Ada kabar buruk. Kapal dari kampung seberang karam tadi malam di Sungai Fly. Beberapa orang hilang.”
Amsal bangkit berdiri, jantungannya berdetak kencang. “Kampung seberang? Kampung Yana?”
Pak Darius mengangguk pelan. “Iya. Kita belum tahu siapa saja yang di kapal itu. Tapi… ada kemungkinan keluarga Yana ada di sana.”
Dunia seolah berhenti berputar. Amsal merasakan dadanya sesak, seolah angin perbatasan yang biasa membelai wajahnya kini berubah menjadi badai yang mengguncang jiwanya. Ia menatap Sungai Fly, airnya yang tenang menyembunyikan rahasia tentang nasib orang-orang yang ia sayangi di sisi lain. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju tepi sungai, seolah ingin melintasi garis itu, melintasi batas yang telah merenggut begitu banyak darinya.
Di kejauhan, tiang perbatasan berdiri tegak, dingin dan tak peduli, sementara angin terus berbisik, membawa cerita tentang cinta, kehilangan, dan harapan yang terputus di ujung tanah Papua.
Jejak di Tepi Sungai
Matahari mulai condong ke barat, melemparkan bayangan panjang di atas permukaan Sungai Fly yang berkilau seperti cermin retak. Amsal berdiri di tepi sungai, kakinya tenggelam sedikit di lumpur cokelat yang lengket. Bau air sungai bercampur dengan aroma rumput liar yang baru dipotong oleh warga desa untuk membuat jalur setapak. Di kejauhan, ia bisa melihat siluet perahu-perahu kecil milik warga Papua Nugini yang berusaha mencari korban kapal karam. Suara teriakan mereka dalam dialek yang samar-samar dikenalnya terbawa angin, bercampur dengan deru mesin perahu dan desir dedaunan.
Amsal merasakan jantungan di dadanya, seolah jiwanya terbelah dua: satu bagian ingin berlari melintasi sungai, mencari tahu nasib Yana dan keluarganya, sementara bagian lain terpaku oleh rasa takut akan kenyataan yang mungkin terlalu berat untuk ditanggung. Kalung anyaman di tangannya terasa semakin berat, seolah akar-akar sagu itu menahan langkahnya. Ia teringat malam-malam ketika ia dan Yana duduk di tepi sungai ini, berbagi cerita tentang mimpi mereka. Yana ingin menjadi guru, membawa pendidikan ke anak-anak di kampungnya di sisi Papua Nugini. Amsal, dengan malu-malu, pernah berkata ia ingin membangun perahu besar untuk membawa warga kedua sisi perbatasan bersatu kembali, seperti dulu, sebelum aturan ketat memisahkan mereka.
“Amsal, jangan dekat-dekat sungai!” teriak Pak Darius dari belakang. Pria tua itu berjalan mendekat, membawa sebilah parang yang biasa digunakan untuk memotong kayu bakar. “Tentara lagi patroli di sisi sini. Kalau kau ketahuan terlalu dekat garis perbatasan, bisa kena masalah.”
Amsal mengangguk tanpa menoleh, tapi kakinya tetap tak bergerak dari tepi sungai. “Pak, apa kabar terbaru? Ada yang selamat?” Suaranya serak, hampir tenggelam oleh suara air yang mengalir.
Pak Darius menghela napas panjang, wajahnya yang penuh keriput tampak semakin tua di bawah sinar matahari sore. “Tadi pagi ada dua orang ditemukan. Satu masih hidup, satunya… sudah tidak bernyawa. Mereka dari kampung Yana, tapi belum tahu siapa. Perahu yang karam itu katanya membawa keluarga yang mau ke pasar di sisi kita.”
Amsal menutup mata, mencoba menahan gelombang emosi yang menerpanya. Ia membayangkan Yana, dengan senyumnya yang hangat, mungkin berada di perahu itu, mungkin sedang berjuang melawan arus sungai yang ganas. Atau lebih buruk lagi, mungkin ia… Amsal mengguncang kepalanya, menolak pikiran itu. “Saya harus tahu, Pak. Saya harus ke sana.”
“Kau gila, Nak?” Pak Darius melangkah mendekat, suaranya tegas tapi penuh keprihatinan. “Kau tahu aturannya. Melintasi sungai tanpa izin sama saja bunuh diri. Tentara di kedua sisi tidak main-main. Apalagi sekarang, setelah kecelakaan ini, mereka pasti lebih ketat.”
Amsal menoleh, matanya berkaca-kaca. “Pak, Yana bukan cuma teman. Dia… dia separuh hidup saya. Kalau dia ada di antara mereka yang hilang, saya harus tahu. Saya tidak bisa cuma duduk di sini, menunggu kabar seperti penutup peti mati.”
Pak Darius terdiam. Ia menatap pemuda di depannya, melihat api di matanya yang bercampur antara putus asa dan tekad. Sebagai kepala adat, ia tahu betul betapa perbatasan ini telah merenggut banyak hal dari warganya—keluarga, cinta, bahkan harapan. Ia sendiri pernah kehilangan adiknya, yang ditembak oleh patroli karena dianggap penyelundup, hanya karena ia menyeberang untuk menemui kerabat di sisi lain. “Amsal,” katanya pelan, “aku mengerti. Tapi kau harus hati-hati. Kita cari cara yang aman.”
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Amsal duduk bersama Pak Darius dan beberapa warga desa di balai adat. Ruangan itu sederhana, dengan dinding anyaman bambu dan lantai tanah yang ditutupi tikar pandan. Lampu minyak tanah menerangi wajah-wajah mereka, yang penuh kekhawatiran. Salah satu warga, seorang wanita tua bernama Nenek Sela, berbicara dengan suara gemetar. “Anakku, Markus, ada di perahu itu. Dia bilang mau ke pasar untuk jual ikan. Sekarang… aku cuma bisa berdoa.”
Amsal merasakan hatinya teriris. Ia tahu Markus, pemuda ceria yang sering membawa ikan pari kering ke pasar. Markus adalah sepupu Yana, dan kebersamaan mereka di pasar dulu adalah bagian dari kenangan yang Amsal pegang erat. “Nenek, aku janji, aku akan cari tahu. Aku akan coba ke sisi seberang,” katanya, meski suaranya penuh keraguan.
Pak Darius menggeleng. “Kita tidak bisa sembarangan. Tapi ada cara. Besok pagi, aku akan bicara dengan kepala kampung di sisi Papua Nugini lewat radio. Mereka punya kontak dengan pos militer di sana. Kita minta izin untuk membantu pencarian, mungkin sebagai relawan.”
Amsal mengangguk, meski hatinya masih gelisah. Ia tahu proses itu bisa memakan waktu, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti menit-menit yang mencuri harapannya. Setelah pertemuan selesai, ia kembali ke tepi sungai, sendirian. Di bawah cahaya bulan yang samar, ia melihat bayangan dirinya di air. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya, ditandai oleh beban yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun, bahkan pada Mama Rina.
Ia mengeluarkan kalung anyaman dari saku celananya, menggenggamnya erat hingga jari-jarinya memutih. “Yana,” bisiknya pada angin, “jika kau masih di sana, tunggu aku. Aku akan datang, meski harus melawan batas ini.”
Di kejauhan, suara anjing hutan melolong, seolah menjawab doanya dengan nada yang penuh duka. Sungai Fly terus mengalir, membawa rahasia-rahasia yang belum terungkap, sementara Amsal berdiri di tepi, seorang pemuda yang terperangkap antara cinta dan garis tak kasat mata yang memisahkan dunianya.
Langkah di Atas Air
Pagi menyingsing di Desa Batas dengan kabut tipis yang menyelimuti Sungai Fly, seolah alam sendiri sedang menyembunyikan rahasia. Amsal berdiri di dekat balai adat, tangannya memegang tas anyaman kecil yang berisi sebotol air, sepotong sagu bakar, dan kalung anyaman peninggalan Yana. Udara pagi terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan asap dari dapur-dapur kayu di desa. Di kejauhan, suara burung kasuari bergema dari hutan, bercampur dengan deru mesin perahu patroli yang mulai bergerak di sisi Indonesia.
Pak Darius telah berjanji untuk menghubungi kepala kampung di sisi Papua Nugini melalui radio, tapi hingga pagi ini, belum ada kabar pasti. Amsal tidak bisa menunggu lebih lama. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menusuk hatinya, memperdalam ketakutannya bahwa Yana mungkin tidak lagi ada di dunia ini. Ia memutuskan untuk bertindak, meski tahu langkahnya penuh risiko.
“Amsal, kau yakin?” tanya Mama Rina, yang berdiri di beranda rumah dengan wajah penuh kekhawatiran. Rambutnya yang mulai memutih diikat sederhana dengan kain merah, dan matanya mencerminkan ketakutan seorang ibu yang tahu anaknya akan menantang bahaya. “Kau tahu apa yang terjadi kalau tentara menangkapmu di sisi seberang tanpa izin.”
Amsal menoleh, mencoba tersenyum untuk menenangkan ibunya, tapi senyumnya penuh beban. “Ma, aku tidak akan pergi jauh. Aku cuma mau ke tepi sungai di sisi mereka, cari tahu apa yang terjadi. Aku janji akan hati-hati.”
Mama Rina menggeleng pelan, tapi ia tahu tak ada yang bisa menghentikan anaknya. “Bawa ini,” katanya, menyerahkan sebuah gelang tali yang dihiasi manik-manik kayu. “Ini dari ayahmu. Katanya, ini pelindung dari leluhur. Jangan lepaskan.”
Amsal mengangguk, mengikat gelang itu di pergelangan tangannya. Sentuhan manik-manik yang dingin memberinya sedikit keberanian, seolah semangat ayahnya, yang meninggal saat ia masih kecil, ikut menemaninya. Ia lalu berjalan menuju tepi sungai, tempat sebuah perahu kayu kecil milik Pak Darius tertambat. Perahu itu sederhana, dengan cat hijau yang sudah mengelupas dan tambalan di beberapa bagian lambungnya. Amsal tahu, melintasi Sungai Fly tanpa izin adalah pelanggaran serius, tapi hatinya tidak memberinya pilihan lain.
Sungai Fly pagi itu tampak tenang, tapi Amsal tahu arus di bawah permukaan bisa menipu. Ia mendorong perahu ke air, melompat masuk, dan mulai mendayung dengan hati-hati. Setiap tarikan dayung terasa seperti langkah menuju ketidakpastian. Air sungai memercik kecil di sisi perahu, dan kabut pagi membuat pandangannya terbatas. Di kejauhan, ia melihat siluet pos patroli Papua Nugini, sebuah bangunan sederhana dengan atap seng dan bendera yang berkibar lemas di tiang.
Saat perahu mendekati sisi seberang, Amsal mendengar suara keras dari belakang. “Berhenti!” teriak seseorang dalam Bahasa Indonesia. Ia menoleh, jantungnya berdegup kencang. Seorang tentara muda, mungkin seusia dengannya, berdiri di tepi sisi Indonesia, memegang senapan. Seragam hijaunya tampak kontras dengan latar belakang hutan. “Kembali! Kau tidak punya izin!”
Amsal berhenti mendayung, perahu terombang-ambing di tengah sungai. “Saya cuma mau cari tahu tentang kapal karam!” teriaknya balik, suaranya bergema di atas air. “Ada keluarga saya di sana!”
Tentara itu tampak ragu, tapi suaranya tetap tegas. “Kembali sekarang, atau saya laporkan!”
Sebelum Amsal bisa menjawab, suara lain terdengar dari sisi Papua Nugini. “Siapa di sana?” Seorang pria tua dengan kulit gelap dan topi anyaman muncul di tepi sungai, diikuti oleh dua pemuda yang membawa tombak tradisional. Amsal mengenali pria itu—Kepala Kampung Wapi, ayah Yana. Jantung Amsal melonjak. Jika Wapi ada di sini, mungkin ada harapan untuk menemukan Yana.
“Pak Wapi!” teriak Amsal, mendayung lebih cepat menuju tepi. “Saya Amsal, dari Desa Batas! Saya dengar tentang kapal karam. Yana… apa kabar Yana?”
Wapi menatapnya dari kejauhan, wajahnya sulit dibaca di bawah bayang-bayang kabut. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar Amsal mendekat, tapi suaranya berat. “Amsal, anak muda. Kau seharusnya tidak di sini. Tapi… datanglah. Kita bicara.”
Amsal mendaratkan perahu di tepi sungai, kakinya gemetar saat melangkah ke daratan Papua Nugini. Ia merasakan tatapan tajam dari kedua pemuda di sisi Wapi, tapi Wapi mengangguk pada mereka, memberi isyarat agar tetap tenang. “Ikut aku,” kata Wapi, berjalan menuju sebuah gubuk kecil di tepi kampung. Di sekitar mereka, warga kampung mulai berkumpul, wajah mereka penuh rasa ingin tahu dan kecemasan.
Di dalam gubuk, yang berbau kayu bakar dan daun kering, Wapi duduk di atas tikar pandan. Amsal mengikuti, jantungnya masih berdetak kencang. “Kapal karam itu… itu kapal keluarga kami,” kata Wapi, suaranya rendah dan penuh duka. “Markus, adik Yana, ada di sana. Dia… tidak selamat.”
Amsal merasakan dunia di sekitarnya runtuh. Markus, pemuda ceria yang selalu menggoda Yana di pasar, kini tiada. Ia menunduk, mencoba menahan air mata. “Dan Yana?” tanyanya, hampir berbisik.
Wapi menatapnya lama, matanya penuh luka yang tak terucapkan. “Yana ada di kapal itu juga. Dia… kami belum menemukannya. Tapi ada kabar dari warga yang selamat. Mereka bilang Yana sempat berpegangan pada puing-puing kapal, tapi arus membawanya ke hilir. Kami masih mencari.”
Amsal merasakan napasnya tersendat. Harapan dan keputusasaan bercampur dalam dadanya, seperti air sungai yang berputar-putar di pusaran. “Saya mau ikut cari, Pak. Izinkan saya.”
Wapi menggeleng pelan. “Kau bukan dari sini, Amsal. Jika tentara tahu kau menyeberang, kau bisa ditahan. Tapi…” Ia berhenti, menatap kalung anyaman di tangan Amsal. “Yana pernah cerita tentangmu. Dia bilang kau orang yang tidak pernah menyerah. Kalau kau mau membantu, kita cari cara. Tapi kau harus janji, jangan gegabah.”
Amsal mengangguk, matanya penuh tekad. Di luar gubuk, kabut mulai terangkat, memperlihatkan Sungai Fly yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Di suatu tempat di hilir sungai itu, Yana mungkin masih berjuang, atau mungkin sudah menyerah pada arus. Amsal tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—harapan atau kenyataan. Tapi satu hal yang ia tahu: ia akan melangkah, meski batas itu terus mencoba memisahkan jiwanya.
Di Ujung Arus
Langit di atas Sungai Fly berubah menjadi kanvas kelabu, dengan awan-awan tebal yang menggantung rendah, seolah meratapi nasib mereka yang tersapu arus. Amsal duduk di perahu kecil bersama dua pemuda dari kampung Wapi, Elias dan Kwe, yang ditugaskan untuk membantunya menyusuri hilir sungai. Perahu kayu itu bergoyang pelan di atas air cokelat yang keruh, membawa bau lumpur dan dedaunan busuk yang terbawa arus. Dayung Elias mengiris air dengan ritme mantap, sementara Kwe, yang lebih pendiam, memindai tepian sungai dengan mata tajam, mencari tanda-tanda apa pun—puing kapal, pakaian, atau, seperti yang Amsal harapkan dengan seluruh jiwanya, Yana.
Hari sudah menjelang siang, tapi udara tetap dingin karena bayang-bayang hutan lebat yang menjulang di kedua sisi sungai. Burung-burung kecil berkicau di sela-sela pohon sagu, tapi suara mereka terasa seperti nyanyian duka bagi Amsal. Kalung anyaman di tangannya, yang kini basah oleh keringat dan percikan air sungai, menjadi satu-satunya pengingat bahwa Yana pernah ada dalam hidupnya—nyata, hangat, dan penuh harapan. Gelang manik-manik dari Mama Rina masih melingkar di pergelangan tangannya, dingin dan berat, seolah mengingatkannya pada janji untuk tetap hidup, apa pun yang ia temukan di ujung perjalanan ini.
“Amsal, lihat itu!” seru Kwe tiba-tiba, menunjuk ke arah semak-semak di tepi sungai, sekitar dua kilometer dari kampung Wapi. Sesuatu yang berwarna merah mencolok di antara dedaunan hijau. Amsal berdiri di perahu, hampir membuatnya oleng, matanya membelalak. Itu kain tenun, mirip dengan yang sering dikenakan Yana di pasar perbatasan dulu. Jantungnya berdetak kencang, bercampur antara harapan dan ketakutan.
Elias mendayung lebih cepat, mengarahkan perahu ke tepi. Amsal melompat ke daratan sebelum perahu benar-benar berhenti, kakinya tenggelam dalam lumpur hingga betis. Ia berlari menuju semak-semak, tangannya gemetar saat meraih kain itu. Itu memang kain tenun merah, dengan pola manik-manik khas suku Asmat. Tapi kain itu robek di beberapa bagian, dan noda lumpur serta darah kering menempel di permukaannya. Amsal merasakan napasnya tersendat, seolah udara di sekitarnya tiba-tiba menghilang.
“Ini… ini punya Yana,” katanya, suaranya serak. Ia menoleh pada Elias dan Kwe, yang kini berdiri di sisinya, wajah mereka penuh simpati. “Dia pasti di dekat sini. Kita harus cari!”
Kwe meletakkan tangan di bahu Amsal, suaranya pelan tapi tegas. “Amsal, kita akan cari. Tapi kau harus siap. Sungai ini… dia tidak selalu mengembalikan apa yang diambilnya.”
Amsal mengangguk, tapi kata-kata Kwe terasa seperti pisau yang menusuk. Mereka bertiga menyusuri tepian sungai, menyisir semak-semak dan akar-akar pohon yang menjulur ke air. Setiap langkah terasa berat, seolah lumpur di bawah kakinya ingin menahannya, menariknya kembali ke kenyataan yang tak ingin ia hadapi. Di kejauhan, suara mesin perahu patroli terdengar lagi, mengingatkannya bahwa waktu mereka terbatas. Jika tentara dari kedua sisi menemukan mereka, Amsal bisa ditahan, atau lebih buruk lagi.
Setelah hampir satu jam mencari, Elias berteriak dari balik sebuah pohon kelapa yang tumbang. “Di sini! Ada seseorang!” Amsal berlari, jantungnya seolah ingin meloncat keluar dari dadanya. Di bawah pohon itu, tersangkut di antara akar-akar yang terendam air, terbaring seorang gadis. Rambut ikalnya yang penuh lumpur menutupi wajahnya, tapi Amsal tahu itu Yana. Pakaiannya basah kuyup, robek di lengan, dan luka-luka kecil memenuhi tangan dan kakinya. Ia tampak tak sadarkan diri, tapi dadanya masih naik-turun, meski lemah.
“Yana!” Amsal berlutut di sisinya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah gadis itu. Ia membersihkan lumpur dari pipinya, matanya berkaca-kaca. “Yana, bangun. Aku di sini. Aku datang.”
Elias dan Kwe membantu mengangkat Yana ke perahu, berhati-hati agar tidak memperparah luka-lukanya. Amsal memegang tangan Yana, yang terasa dingin seperti air sungai. “Kau harus bertahan,” bisiknya, suaranya penuh harap dan keputusasaan. “Aku tidak akan kehilanganmu lagi.”
Perjalanan kembali ke kampung Wapi terasa seperti selamanya. Amsal terus berbicara pada Yana, menceritakan kenangan-kenangan mereka di pasar, tentang janji-janji yang pernah mereka buat di bawah pohon kelapa. Ia tidak tahu apakah Yana mendengarnya, tapi ia harus terus berbicara, seolah kata-katanya bisa menahan jiwa Yana agar tetap tinggal di dunia ini.
Di kampung, Wapi dan warga lainnya sudah menunggu dengan cemas. Ketika mereka melihat Yana, tangis haru pecah dari beberapa warga, tapi Wapi hanya berdiri diam, matanya penuh campuran lega dan ketakutan. “Bawa dia ke dukun,” perintahnya. “Cepat!”
Dukun kampung, seorang wanita tua bernama Mama Kwea, segera bekerja. Ia membakar daun-daunan khas Papua, asapnya memenuhi gubuk kecil dengan aroma yang menyengat. Ia mengoleskan ramuan dari akar dan daun ke luka-luka Yana, sambil melantunkan doa-doa dalam bahasa yang hanya dipahami oleh leluhur. Amsal duduk di samping, memegang tangan Yana, menolak melepaskan meski Mama Kwea memintanya untuk memberi ruang.
Malam menjelang, dan Yana akhirnya membuka mata. Pandangannya kosong pada awalnya, tapi ketika ia melihat Amsal, ada kilau kecil di matanya. “Amsal…” suaranya lemah, hampir tak terdengar. “Kau… menyeberang?”
Amsal tersenyum, air matanya akhirnya tumpah. “Untukmu, aku akan menyeberang seribu sungai.”
Tapi kebahagiaan itu hanya sesaat. Yana menggenggam tangan Amsal dengan sisa tenaganya, lalu berbisik, “Aku… tidak bisa tinggal. Sungai… terlalu kuat.” Napasnya melemah, dan sebelum Amsal bisa menjawab, mata Yana terpejam kembali, kali ini untuk selamanya.
Tangis Amsal pecah, mengguncang gubuk kecil itu. Wapi memeluknya dari belakang, air mata pria tua itu jatuh tanpa suara. Di luar, hujan mulai turun, membasahi Sungai Fly yang terus mengalir, seolah tak peduli pada luka yang ditinggalkannya. Amsal memegang kalung anyaman dan gelang manik-manik di tangannya, dua benda yang kini menjadi satu-satunya jembatan antara dirinya dan Yana.
Pagi berikutnya, Amsal kembali ke sisi Indonesia, ditemani Elias hingga tepi sungai. Ia tidak ditahan oleh tentara, mungkin karena Wapi telah berbicara dengan pihak berwenang di sisi Papua Nugini. Tapi kemenangan itu terasa hampa. Yana telah pergi, membawa separuh jiwa Amsal bersamanya. Di tepi Sungai Fly, Amsal meletakkan kalung anyaman itu di air, membiarkannya hanyut bersama arus. “Sampai jumpa di sisi lain batas, Yana,” bisiknya.
Sungai Fly terus mengalir, memisahkan dua dunia, dua hati, dan dua jiwa. Di ujung perbatasan, Amsal berdiri sendirian, ditemani angin yang berbisik tentang cinta yang tak pernah bisa dikalahkan oleh garis di peta, meski akhirnya kalah pada kehendak alam.
“Batas yang Memisahkan Jiwa” bukan sekadar cerita tentang cinta dan kehilangan, melainkan cerminan kehidupan di perbatasan Papua Nugini yang penuh dengan tantangan, harapan, dan luka. Melalui perjalanan Amsal, cerpen ini mengingatkan kita bahwa cinta sejati mampu melintasi batas, meski terkadang harus berakhir dalam air mata. Jangan lewatkan kisah ini untuk merasakan sendiri kekuatan emosi dan keindahan narasi yang menyentuh hati.