Balas Dendam Sang Raja Terlahir Kembali: Perjuangan Merebut Takhta Zargath

Posted on

Gengs, siap-siap deh! Kalau kalian suka cerita tentang pembalasan dendam yang epic, penuh pertarungan, dan plot twist yang bikin jantung kalian deg-degan, cerpen ini wajib banget buat kalian baca!

Ada seorang Raja yang dibunuh, lalu terlahir kembali untuk menuntut balas. Ga cuma sekadar balas dendam, tapi juga perjuangan untuk merebut kembali takhtanya yang hilang! Penasaran? Yuk, lanjut baca, dijamin ga bakal nyesel!

 

Balas Dendam Sang Raja Terlahir Kembali

Pengkhianatan di Malam Berdarah

Malam itu gelap. Hanya cahaya dari obor-obor yang tersebar di sepanjang koridor istana yang memberi sedikit penerangan. Raja Azhael duduk di singgasana, wajahnya tenang namun penuh kerisauan. Sebuah perasaan aneh menguasai dirinya malam ini, seperti ada sesuatu yang tidak beres meski tidak ada tanda-tanda yang jelas. Semuanya tampak normal—keramaian di luar istana, pasukan yang berjaga, dan senyuman lembut sang permaisuri yang selalu menenangkan. Tetapi entah mengapa, hatinya tak bisa merasa damai.

“Raja,” suara lembut permaisuri Rhelia memecah keheningan. “Ada apa denganmu malam ini? Kau tampak gelisah.”

Azhael menatap istrinya, senyum samar terukir di bibirnya. “Aku hanya merasa ada yang aneh, Rhelia. Seperti ada bayangan yang mengintai, menunggu saat yang tepat.”

Rhelia mendekat, memegang tangan suaminya. “Jangan khawatir, sayang. Tak ada yang bisa mengalahkan kekuatanmu.”

Tapi, rasa gelisah di dalam hati Azhael tetap bertahan. Dia telah merasakan banyak hal dalam hidupnya, namun malam ini berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengintai dari dalam bayang-bayang.

Sementara itu, di luar istana, di antara bayang-bayang pohon besar, Khan Veydris, jenderal utama yang telah lama menjadi tangan kanan Raja Azhael, memeriksa pasukannya. Tadi malam, rencana ini telah disepakati. Semua telah dipersiapkan dengan matang, namun tidak ada ruang untuk kesalahan.

“Aku tidak akan gagal,” bisik Khan pada dirinya sendiri, matanya menyala penuh ambisi. “Kerajaan ini akan menjadi milikku.”

Saat langkah-langkah perwira dan pasukan yang sudah terlatih itu semakin mendekat, suara senjata yang berbenturan terdengar keras di udara. Sekali lagi, semuanya terasa terlalu tenang. Terlalu mudah. Azhael terlalu percaya pada orang-orang di sekitarnya. Dan kali ini, kepercayaan itu akan membawanya pada kejatuhan.

Di dalam ruang tahta, Azhael berdiri, berjalan mondar-mandir. Rasa tidak tenang itu semakin mengguncang hatinya. Dia berhenti sejenak, menatap pintu besar yang menghubungkan ruang tahta dengan luar.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pasukan istana? Tidak mungkin, pikirnya. Mereka selalu membawa langkah yang lebih berat. Ini… lebih cepat.

“Ada apa, Azhael?” Suara Khan Veydris tiba-tiba terdengar dari balik pintu.

Azhael berbalik, mengerutkan kening. Ada sesuatu dalam suara Khan yang berbeda malam ini, seolah ada yang disembunyikan. “Khan, ada apa ini? Kenapa aku merasa ada yang salah?”

Khan Veydris memasuki ruangan dengan tenang, matanya tampak lebih tajam dari biasanya. “Tidak ada yang salah, Raja. Mungkin hanya perasaanmu saja.”

Azhael menyadari ada sesuatu yang mengganjal dalam jawaban Khan. Jenderalnya ini tidak terlihat secerah biasanya, dan tatapan mata yang tajam itu tidak bisa disembunyikan. Namun, sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, suara keras terdengar dari luar ruangan, diikuti dengan teriakan dan suara logam beradu.

Tiba-tiba, pasukan kerajaan masuk ke dalam, namun mereka bukan pasukan kerajaan yang biasa dilihat Azhael. Mereka mengenakan pelindung gelap, dan senjata mereka bersinar tajam dalam kegelapan.

“Pengkhianatan,” bisik Azhael, suara penuh kebingungannya.

Tanpa memberi waktu untuk berpikir lebih lama, pasukan itu menyerbu ke dalam. Pedang-pedang berbenturan dengan dinding dan meja, sementara Azhael, meskipun terkejut, segera menghunus pedangnya.

“Khan!” Azhael menatap Jenderalnya dengan mata penuh kemarahan. “Kau… apa yang kau lakukan?”

Khan Veydris hanya tersenyum lebar, senyum yang penuh kemenangan. “Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak lama, Azhael. Kerajaan ini seharusnya menjadi milikku.”

Azhael mengangkat pedangnya, tubuhnya bergerak cepat, mencoba melawan pasukan yang datang dengan jumlah yang lebih besar. Namun, meskipun ia adalah seorang pejuang yang hebat, kali ini ia merasa terpojok.

Dengan satu serangan yang cepat, pedang Khan menembus tubuh Azhael, darah mengalir deras, menyembur dari luka yang dalam di dadanya.

“Aku… tidak akan membiarkanmu…” bisik Azhael, tetapi suaranya semakin melemah, dan ia terjatuh ke lantai.

Sebelum matanya benar-benar terpejam, ia bisa melihat Khan Veydris berdiri di atasnya, mengangkat pedangnya, dan mengayunkannya untuk memastikan bahwa ia tidak akan hidup lagi.

Di luar, langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba diselimuti awan gelap, seakan-akan alam pun turut merasakan kesedihan yang mendalam. Istana Zargath, yang dulunya megah dan penuh kejayaan, kini menjadi saksi dari kejatuhan yang tak terelakkan. Takhta yang dulu dipenuhi dengan kebesaran kini kosong, menunggu seorang penguasa baru untuk menggantikannya—atau mungkin, untuk dibangkitkan kembali.

Tapi yang pasti, ini bukan akhir. Ini hanya permulaan dari kisah yang lebih besar.

 

Kebangkitan Sang Raja yang Hilang

Tahun demi tahun berlalu sejak kejatuhan Raja Azhael. Kerajaan Zargath, yang dulunya megah, kini hanya menyisakan kenangan akan kejayaan yang telah hilang. Di bawah pemerintahan Khan Veydris, kerajaan itu berubah menjadi kerajaan tirani, penuh ketakutan dan perbudakan. Rakyat yang dulu hidup makmur kini hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan. Setiap desakan untuk melawan dihukum dengan kejam, sementara mereka yang berani menyebut nama Azhael dicap sebagai pemberontak dan diburu tanpa ampun.

Namun, meskipun nama Azhael telah lama dilupakan oleh sebagian besar rakyat, di tempat yang sangat jauh, di sebuah desa kecil di perbatasan, ada seseorang yang merasakan ikatan kuat dengan masa lalu. Kaelith, seorang pemuda yang tumbuh di bawah tangan ibu tunggal yang bijaksana, memiliki ingatan yang aneh—sebuah ingatan yang tampak tidak miliknya. Setiap malam, ketika tidur, ia dibayang-bayangi mimpi-mimpi tentang pedang berlumur darah, takhta kerajaan yang megah, dan wajah seseorang yang sangat mirip dengannya—seorang raja.

Pagi itu, seperti biasa, Kaelith bekerja di ladang, memotong rumput dan membersihkan tanah. Namun, perasaan aneh itu kembali datang. Ada sesuatu dalam udara, sebuah sensasi yang menyusup ke dalam tubuhnya. Sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, seperti panggilan dari masa lalu yang membangkitkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

“Kaelith, ada yang ingin berbicara denganmu!” teriak ibu Kaelith, suara cemas di tengah kesunyian.

Kaelith menoleh, melihat seorang pria tua berdiri di depan rumahnya. Pria itu tampak tidak asing, meskipun Kaelith merasa ia tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya.

“Apakah kamu Kaelith?” tanya pria itu, suara berat dan dalam, penuh kebijaksanaan.

“Ya, aku Kaelith. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Kaelith, meskipun ada rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya.

Pria itu menatapnya dengan tajam, seolah mencoba menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik wajah Kaelith. “Kau mungkin tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu. Dan aku tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Kaelith mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Pria itu mengambil napas dalam-dalam, lalu berbicara pelan namun penuh keyakinan, “Kau adalah Raja Azhael. Sang raja yang hilang. Keluarga dan kerajaannya telah hancur, namun jiwa yang sejati tidak pernah mati.”

Kata-kata itu menembus hati Kaelith. Semua ingatannya yang samar tentang pedang, takhta, dan pengkhianatan tiba-tiba menjadi jelas. Ia merasa sebuah kekuatan mengalir dalam darahnya, sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.

“Apa yang kau bicarakan? Aku hanya Kaelith, pemuda biasa yang hidup di desa ini,” katanya, meski suaranya mulai bergetar.

Pria itu tersenyum lembut. “Itulah yang mereka inginkan, Kaelith. Mereka yang membunuhmu—mereka yang menghancurkan segalanya—mereka ingin kau lupa. Tapi ingatanmu akan kembali. Kekuatanmu akan kembali. Dan ketika itu terjadi, kau akan tahu apa yang harus dilakukan.”

Kaelith merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Sebuah pemahaman yang datang begitu saja. Dalam dirinya, ada kenangan yang tidak bisa ia pungkiri, kekuatan yang berdesir, menunggu untuk dilepaskan.

“Jika aku memang benar Azhael, jika ini memang takdirku… apa yang harus aku lakukan?” tanya Kaelith, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan.

“Bangkit, Kaelith,” jawab pria itu. “Bangkit untuk merebut kembali takhtamu, untuk mengembalikan kerajaan yang hilang. Kerajaan Zargath bukan milik Khan Veydris. Itu adalah milikmu.”

Kata-kata itu memberi kekuatan pada Kaelith. Dalam dirinya, ia merasakan api yang menyala. Raja Azhael tidak bisa mati. Ia tidak bisa membiarkan pengkhianatan itu berakhir begitu saja. Kerajaannya, keluarganya, hidupnya—semuanya telah dicuri darinya.

Tanpa ragu, Kaelith mengangguk. “Aku akan merebutnya kembali.”

Pria itu tersenyum, sebuah senyuman yang penuh harapan. “Kau bukan lagi Kaelith. Kau adalah Azhael. Dan kerajaan Zargath menunggumu untuk kembali.”

Malam itu, Kaelith berdiri di atas bukit kecil yang menghadap ke desa tempatnya dibesarkan. Angin malam menerpa wajahnya, dan matanya menatap jauh ke horizon, seolah bisa melihat kembali istana yang dulu pernah ia tinggali. Di dalam dadanya, ia merasakan detak jantung yang kuat—detak yang bukan milik pemuda biasa, tetapi milik seorang raja yang telah kembali untuk merebut takhtanya.

“Zargath,” bisiknya pelan. “Aku akan kembali.”

Dan dengan itu, perjalanan untuk membalas dendam dimulai.

 

Pemberontakan dalam Bayang-Bayang

Beberapa minggu setelah kebangkitan Kaelith, hidupnya telah berubah selamanya. Kehidupan sederhana yang pernah ia jalani kini telah digantikan oleh takdir yang jauh lebih besar. Setiap hari, ia berlatih, bertarung, dan belajar. Namun lebih dari itu, ia kini menjadi simbol—sebuah tanda harapan bagi mereka yang masih mengingat nama Azhael, bagi mereka yang tidak bisa melupakan kerajaan yang hilang.

Langkah pertama Kaelith adalah menghilang dari desa tempat ia dibesarkan. Meskipun ia meninggalkan ibunya, yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, perasaan aneh yang membungkus dirinya semakin kuat. Orang-orang mulai merasakan perubahan padanya. Kekuatan yang ada dalam dirinya kini semakin jelas.

Pemberontakan, yang dimulai dengan kelompok kecil para mantan prajurit dan mereka yang lolos dari pembantaian, perlahan berkembang. Meskipun jumlah mereka sedikit, Kaelith bukanlah sosok biasa. Ia memiliki keterampilan seorang raja, kecerdikan seorang pemimpin, dan api perjuangan yang membara dari seorang pria yang telah kehilangan segalanya. Setiap serangan yang mereka lakukan, setiap kemenangan kecil yang mereka raih, membuat pemberontakan itu semakin besar.

Mereka bergerak di bawah kegelapan malam, merusak jalur suplai milik Khan, menghancurkan mesin perang mereka, dan membebaskan orang-orang yang dipenjara hanya karena berani menyebut nama Azhael. Serangan mereka terorganisir dengan sempurna—seperti bayangan yang muncul dan menghilang begitu saja. Kerajaan yang dulunya merasa menguasai segalanya kini mulai retak.

Suatu malam, ketika matahari terbenam dan sinar terakhir dari cahaya hari mulai menghilang, Kaelith berdiri di depan api unggun kecil. Siluetnya yang tinggi dan tegap mencuat di balik api yang menyala. Di sekelilingnya, para pemberontak—para lelaki dan perempuan yang telah bergabung dalam perjuangan ini—duduk dengan mata yang penuh semangat. Mereka bukan prajurit terlatih, tetapi mereka memiliki tekad yang lebih kuat dari apapun. Petani, pedagang, pengrajin—sekarang bersatu oleh satu tujuan: merebut kembali Zargath.

“Saatnya tiba,” kata Kaelith, suaranya tenang namun penuh keyakinan. “Malam ini, kita akan menyerang jantung kerajaan Khan. Kita akan hancurkan pasukannya, merusak suplai mereka, dan mengirim pesan bahwa kita bukan lagi bayangan. Kita adalah masa depan Zargath.”

Keheningan menyelimuti kamp mereka. Para pemberontak saling berpandangan, rasa takut bercampur dengan tekad. Perjuangan ini bukan lagi hanya tentang bertahan hidup. Ini adalah tentang merebut kembali kerajaan yang telah hilang dan membalas semua yang telah dihancurkan.

“Kita akan bergerak dalam kegelapan malam,” lanjut Kaelith, matanya menyapu wajah para pemberontak. “Kita akan menuju gerbang kota melalui jalur utara. Begitu kita masuk, kita akan ganggu operasi mereka. Khan berpikir dia mengendalikan segalanya, tapi dia tidak tahu siapa yang sebenarnya sedang dia hadapi. Dia tidak tahu amarah mereka yang telah dia khianati.”

Seorang pemuda bernama Dael, salah satu pemimpin pemberontak, maju ke depan. “Kaelith, kau tahu ini tidak akan mudah. Pasukan Khan sangat kejam. Jika mereka menangkap kita—”

“Mereka tidak akan menangkap kita,” Kaelith memotong, sorot mata penuh tekad. “Kita bukan lagi seperti dulu. Kita tidak punya apa-apa lagi untuk ditakuti.”

Malam semakin dingin, dan api unggun yang berkobar seolah-olah mengingatkan mereka akan beratnya misi ini. Kaelith menatap ke horizon, pikirannya sudah melayang pada tujuan yang jauh lebih besar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan beban takdir yang begitu besar menekan dirinya. Ini bukan sekadar tentang merebut takhta—ini adalah tentang membalas semua yang telah dirampas darinya. Keluarganya, kerajaannya, hidupnya—semuanya telah dicuri.

Serangan di jalur utara berlangsung cepat dan brutal. Pemberontak, yang dipimpin oleh Kaelith, bergerak seperti bayangan. Mereka menyerang dengan diam, menghancurkan penjagaan di gerbang dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap langkah terencana dengan sempurna, setiap serangan dilakukan dengan ketelitian. Segalanya berjalan lancar, tidak ada yang bisa menghalangi mereka.

Namun, begitu mereka semakin mendalam memasuki kota, ketegangan mulai terasa. Sesuatu terasa tidak tepat. Kaelith merasakan firasat buruk yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Kota ini terlalu sunyi. Terlalu mudah.

Belum lama mereka melewati gerbang, lonceng-lonceng yang keras tiba-tiba terdengar di seluruh kota, menggema melalui udara malam. Itu adalah sinyal. Sinyal bagi para penjaga, bagi para prajurit yang berjaga di setiap sudut. Mereka sedang bersiap untuk menutup pintu pemberontakan ini.

“Perangkap!” teriak Dael, saat panah-panah mulai berjatuhan dari atap-atap rumah.

Kaelith berbalik, pedangnya terhunus dengan gerakan cepat. Pertempuran meletus dengan segera. Para pemberontak segera mencari perlindungan, bersembunyi di balik tong, peti, atau apa saja yang bisa menutupi mereka. Namun, meskipun Kaelith tetap tenang, dia tahu bahwa mereka sedang menghadapi sesuatu yang lebih besar dari yang mereka duga.

Pasukan yang menghadang mereka bukanlah pasukan biasa. Mereka bergerak dengan koordinasi yang sempurna, lebih terlatih, lebih berbahaya. Mereka bukan hanya penjaga biasa—ini adalah pasukan elit Khan, yang ditempatkan di garis depan untuk menghancurkan musuh.

“Ini bukan hanya perangkap biasa,” gumam Kaelith, sambil melibas lawan satu demi satu. “Khan sudah siap dengan ini.”

Namun, Kaelith bukan orang yang mudah menyerah. Dengan ketenangan yang hanya dimiliki seorang raja sejati, dia memimpin pemberontak melawan serangan tersebut, memotong jalan mereka dengan serangan yang cepat dan tepat.

“Pisahkan diri menjadi dua kelompok!” teriak Kaelith, suaranya menggelegar di tengah kekacauan. “Dael, ambil sisi kiri. Aku akan memimpin serangan ke pusat. Paksakan mereka mundur dan jangan berhenti sampai kita berhasil menghancurkan komando mereka!”

Para pemberontak bergerak dengan cepat, menyebar ke dua arah yang berbeda. Dengan Kaelith memimpin serangan utama, mereka mulai memecah pertahanan elit Khan. Namun, semakin dalam mereka memasuki kota, semakin besar ancaman yang mereka hadapi.

Kaelith merasakan gempa kecil di bawah kakinya. Suasana kota ini mulai terasa seperti sebuah perangkap besar yang siap menelan mereka. Ketegangan semakin meningkat. Mereka berada di ujung jurang, dan pilihan mereka hanya ada dua: menang atau mati.

Kaelith tahu ini adalah titik balik. Pemberontakan ini tidak hanya soal merebut kembali takhta. Ini adalah soal bertahan hidup. Pertempuran ini hanya permulaan, dan hanya satu pihak yang akan keluar sebagai pemenang.

Kaelith sudah memutuskan. Kerajaan Zargath akan bebas, dan dia akan menjadi pemimpinnya.

 

Pertarungan Terakhir

Malam itu, jalanan kota Zargath berlumuran darah. Keriuhan pertempuran terdengar di setiap sudut, gemuruh langkah prajurit elit Khan yang semakin mendekat. Kaelith merasakan panas darah yang mengalir melalui tubuhnya, namun rasa dingin keteguhan tekad lebih mendalam. Di atas medan pertempuran yang penuh dengan suara benturan senjata dan jeritan, ia tahu, ini adalah ujian terakhir untuk segalanya.

Di hadapannya, benteng terbesar di kota Zargath sudah hampir terbuka. Gerbang besar yang seharusnya menjadi simbol kekuatan dan kejayaan Khan, kini menjadi pintu gerbang menuju kehancurannya. Dengan setiap langkah yang diambilnya, Kaelith tahu, tak ada jalan mundur lagi. Para pemberontak yang mengikuti di belakangnya telah berjuang keras, namun hanya satu hal yang bisa menenangkan keresahan mereka—kejayaan yang telah lama hilang dan akan kembali diraih.

Sambil melangkah menuju pusat benteng, Kaelith menatap gedung megah di depannya. Dari sini, ia tahu Khan sedang berada di dalam sana, mengendalikan semua yang tersisa dari kerajaannya dengan cengkraman besi. Mata Kaelith menyala dengan api dendam yang tak akan padam. Apa yang telah Khan lakukan padanya, pada keluarganya, pada rakyatnya—semua akan dibalas.

Dael, yang berada di sampingnya, menatap Kaelith dengan ragu. “Kita hampir sampai, tapi pasukan elit Khan masih di sana. Apa yang akan kita lakukan jika mereka terus menyerang kita?”

Kaelith menatapnya, suaranya penuh keyakinan. “Kita tidak bisa mundur. Ini adalah waktu untuk menghancurkan mereka.”

Kaelith melangkah lebih cepat, memimpin pemberontakan menuju pintu utama benteng. Begitu dekat, ia bisa merasakan nafas ketegangan di antara para pemberontak yang berada di belakangnya. Para pasukan elit Khan berada di depan mereka, dan perangkap yang mereka siapkan kali ini tidak bisa dianggap remeh.

Dengan komando dari Kaelith, pemberontak mulai menyerbu masuk. Pertempuran sengit terjadi begitu mereka mencapai pintu utama benteng. Pedang beradu, belati melesat, dan darah mengalir di setiap sudut. Pasukan elit Khan mengerahkan kemampuan terbaik mereka, namun semangat pemberontak tidak dapat dihentikan.

Di tengah pertempuran, Kaelith melihat sosok yang ia cari. Khan Veydris, raja tiran yang telah merenggut segalanya dari hidupnya, berdiri di atas balkon istana, menyaksikan kerusakan yang terjadi. Sosoknya yang tinggi dan berbaju zirah emas itu menatap Kaelith dengan tatapan penuh kebencian. Mungkin Khan tahu ini adalah akhir dari semuanya. Mungkin ia sadar, di tangan Kaelith, Zargath akan kembali.

“Aku sudah menunggumu, Azhael,” teriak Khan, suaranya bergaung di antara pertempuran yang terus berlangsung.

Kaelith tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam, tidak bergeming. Dengan satu gerakan cepat, ia menembus garis pertahanan elit Khan. Setiap gerakan Kaelith penuh dengan ketepatan, setiap langkahnya dihitung untuk membawa dirinya lebih dekat kepada musuh utamanya.

Sampai akhirnya, Kaelith berdiri di hadapan Khan, keduanya saling memandang. Kaelith bisa merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Di sinilah pertarungan terakhir akan terjadi—di antara dua sosok yang saling membenci, antara seorang raja yang dirampas takhtanya dan seorang tiran yang tak akan menyerah tanpa perlawanan.

“Zargath tidak akan pernah menjadi milikmu lagi, Khan!” Kaelith berkata dengan suara penuh kemarahan.

Khan hanya tersenyum sinis, “Dan kau pikir kau bisa menghentikan semuanya hanya dengan darahmu? Aku sudah membangun kerajaan ini. Aku adalah Zargath.”

Tanpa memberikan kesempatan untuk melanjutkan kata-katanya, Kaelith menyerang. Pedang mereka berbenturan dengan keras, dan api pertempuran membara di antara mereka. Kaelith merasakan setiap inci tubuhnya mengerahkan kekuatan. Setiap gerakan, setiap serangan, bukan hanya untuk dirinya sendiri—ini adalah balas dendam atas segala yang telah dicuri darinya.

Mereka bertarung sengit, saling memanfaatkan setiap kelemahan. Khan lebih berpengalaman, namun Kaelith memiliki kekuatan yang lebih besar—kekuatan yang lahir dari penderitaan, dari kehilangan, dan dari tekad untuk merebut kembali semuanya. Setiap kali pedang Kaelith menyentuh tubuh Khan, itu bukan hanya tentang memenangkan pertarungan, tapi tentang menuntut keadilan.

Akhirnya, setelah pertarungan yang melelahkan, Kaelith berhasil mendorong Khan ke sudut. Dengan satu serangan terakhir yang kuat, Kaelith mengangkat pedangnya dan menancapkan senjata itu ke tubuh Khan, menembus armor dan kulitnya. Khan terjatuh, darahnya mengalir deras ke lantai istana.

Kaelith berdiri di atas tubuh Khan yang jatuh, napasnya terengah-engah. Kemenangan ini bukan tentang kebanggaan—ini adalah akhir dari perjalanan panjangnya. Kerajaan ini kini telah kembali pada yang berhak. Zargath tidak lagi berada di tangan seorang tiran. Kaelith, sang raja yang terlahir kembali, mengangkat wajahnya ke langit, merasakan udara segar yang tidak lagi tercemar oleh keserakahan.

“Dendamku telah terbalas, dan kerajaan ini akan dibangun kembali,” Kaelith berkata, suaranya rendah namun penuh kekuatan. “Zargath akan bebas. Aku akan memimpin.”

Dengan langkah pasti, Kaelith keluar dari istana. Pemberontakan itu telah berakhir. Zargath akan dibangun kembali, tidak hanya sebagai kerajaan, tetapi sebagai simbol kebebasan dan keadilan yang sejati. Semua yang telah hilang akan kembali, dan sang raja yang terlahir kembali akan memimpin dengan tangan yang adil.

 

Nah, gimana? Seru banget kan perjalanan Kaelith? Dari dibunuh sampai bangkit lagi, perjuangannya untuk merebut kembali takhta Zargath itu nggak main-main.

Dendam yang dibalaskan dengan penuh aksi dan strategi, dan tentu saja, ending yang epic! Kalau kalian suka cerita kayak gini, jangan lupa share, dan tunggu cerita seru lainnya yang nggak kalah keren. Sampai jumpa di cerita berikutnya, guys!

Leave a Reply