Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa bangga banget sama sesuatu yang kelihatannya sederhana, tapi ternyata punya makna gede banget? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu untuk ngelihat gimana bahasa Indonesia—bahasa kita yang sederhana ini—dapat jadi senjata ampuh untuk bangga, bahkan di mata dunia.
Bukan cuma soal ngomong atau nulis, tapi juga soal perjuangan dan semangat yang nggak pernah padam. Yuk, simak perjalanan Faz, yang nggak cuma ngejaga bahasa, tapi juga menjaga jati diri kita sebagai bangsa.
Bahasa Indonesia
Jejak Kata dalam Sejarah
Faz memegang buku tua itu erat, seakan kata-kata di dalamnya bisa berbicara langsung kepada hatinya. Buku yang ia temukan di perpustakaan kampus itu terlihat usang, sampulnya sudah mulai terkelupas, tapi bagi Faz, itu adalah harta karun. Di sana tertulis “Kearifan Lokal dalam Bahasa Indonesia”, sebuah buku yang membuka wawasan tentang betapa dalam dan luasnya bahasa yang ia cintai.
Sambil duduk di bangku taman kampus, ia membuka halaman demi halaman dengan seksama. Tak ada yang lebih menyenangkan baginya selain belajar tentang bahasa Indonesia yang tak hanya digunakan dalam percakapan, tapi juga berakar dalam sejarah panjang bangsa ini. Semua kata, tutur, dan frasa yang ada, menurutnya, adalah saksi bisu dari perjalanan Indonesia.
“Tahu gak sih, kamu?” Faz tiba-tiba berbicara pada temannya, Gilang, yang duduk di sampingnya sambil bermain ponsel.
Gilang hanya melirik tanpa mengangkat kepala. “Apa lagi nih, Faz? Ngomong soal bahasa Indonesia lagi?”
“Iya, tapi ini beda. Kamu tahu gak sih, kalau setiap kata yang kita ucapin itu sebenarnya punya cerita sendiri?” Faz menggenggam buku itu lebih erat, seakan memberikan penekanan. “Bahasa kita itu kayak jembatan waktu. Dari satu kata aja, kita bisa tahu asal usulnya, sejarahnya, dan gimana budaya kita berkembang.”
Gilang mengangguk, tapi masih terlihat agak bingung. “Gimana maksudnya? Kayak… bahasa gaul gitu?”
“Enggak, maksudku bukan itu. Misalnya, coba deh kamu perhatiin kata ‘gotong royong’. Itu kan bukan cuma sekadar dua kata yang artinya kerja bareng-bareng. Tapi itu filosofi, itu nilai yang turun temurun, yang diajarkan nenek moyang kita sejak dulu.”
Faz berhenti sejenak, memastikan agar Gilang bisa menyimak dengan serius. “Jadi, bahasa Indonesia itu bukan hanya tentang berbicara sehari-hari. Itu tentang menjaga nilai-nilai yang sudah ada selama ratusan tahun. Itu tentang siapa kita sebagai bangsa.”
Gilang mengangkat alis, sedikit terkejut. “Wow, gak nyangka kamu bisa ngeliat bahasa Indonesia sampai segitunya.”
“Ya, itu kan yang aku coba pahamin,” jawab Faz sambil tersenyum. “Makanya, aku gak bisa terima kalau ada orang yang bilang bahasa Indonesia itu ketinggalan zaman. Gak penting lagi.”
Faz memandang ke depan, di mana gedung-gedung tinggi kampus berdiri megah. Sinar matahari sore yang lembut menyinari halaman universitas, memberi nuansa damai yang cocok dengan pikirannya yang tenang. Di matanya, bahasa Indonesia itu bukan hanya kata-kata. Itu adalah identitas yang harus dibanggakan. Ia teringat pada ayahnya yang sering mengajarkan pentingnya bahasa ibu.
“Bahasa Indonesia itu punya keindahan tersendiri. Kamu tahu kan kalau setiap suku di Indonesia punya logat dan cara bicara yang khas? Itu semua bagian dari kekayaan kita. Jadi, jangan pernah anggap bahasa kita sepele.”
Gilang mengangguk, kali ini benar-benar mendengarkan dengan penuh perhatian. “Iya, sih. Aku juga sering denger orang-orang ngomong bahasa Indonesia itu biasa aja, gak sehebat bahasa Inggris misalnya. Tapi kayaknya, kamu bener juga. Kalau kita gak ngelestarinya, ya siapa lagi?”
Faz mengangguk mantap. “Betul. Dan itulah yang bikin aku makin bersemangat buat ngajarin orang-orang, terutama anak muda, buat lebih peduli sama bahasa kita. Kalau kita gak bangga sama bahasa kita sendiri, gimana orang lain bisa respek?”
“Jadi kamu mau jadi duta bahasa Indonesia gitu?” Gilang sedikit bercanda, tapi ada rasa kagum dalam tatapannya.
Faz tertawa kecil, meski di dalam hati, ia merasa serius. “Bukan jadi duta sih, tapi lebih ke… pengingat. Bahwa bahasa kita itu hebat. Bisa gak sih kita mulai dari hal-hal kecil? Ngomong dengan baik, pakai bahasa yang tepat, dan jangan malu dengan bahasa Indonesia. Setiap kata itu punya makna, dan kita harus menghargainya.”
Matahari semakin rendah, dan suasana taman kampus semakin sepi. Faz menutup buku itu pelan, lalu menghadap Gilang. “Aku dapet undangan jadi pembicara di seminar nasional tentang bahasa Indonesia minggu depan. Tema seminar itu Menghidupkan Kembali Kecintaan pada Bahasa Indonesia di Era Digital.”
Gilang melongo. “Serius? Itu keren banget, Faz! Gimana rasanya jadi pembicara?”
Faz menarik napas panjang, merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Aku gak tahu, Gil. Tapi aku merasa ini kesempatan buat ngomongin hal-hal yang selama ini aku pendam. Aku ingin orang-orang tahu, bahwa bahasa Indonesia itu bukan cuma sekadar kata, tapi hidup dalam setiap detil yang kita ungkapkan.”
“Yakin kamu bisa? Kamu kan biasa cuma ngomong tentang ini sama aku doang,” Gilang bertanya, sedikit khawatir.
“Aku yakin,” jawab Faz, dengan tekad yang kuat. “Ini lebih dari sekadar ngomong tentang bahasa. Ini tentang identitas kita sebagai bangsa. Aku mau mereka tahu, bahwa bahasa Indonesia itu punya tempat yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan kita.”
Gilang terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, “Kalau kamu ngomong kayak gitu, aku yakin kamu pasti bisa. Jangan lupa kasih tahu aku jadwalnya, ya. Aku mau denger langsung.”
Faz tersenyum, merasa senang bisa berbagi semangat itu. “Aku akan kasih tahu, Gil. Tapi aku harap kamu juga bisa bangga sama bahasa kita, kayak aku. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?”
Saat langit semakin gelap, dan udara mulai terasa sejuk, Faz berjalan pulang dengan langkah yang mantap. Dalam hatinya, ia merasa semakin yakin dengan apa yang ia perjuangkan. Bahasa Indonesia adalah bagian dari dirinya, dan ia ingin berbagi semangat itu dengan dunia.
Menyuarakan Cinta di Depan Dunia
Hari yang ditunggu akhirnya datang. Faz berdiri di depan panggung besar di ruang seminar universitas, dengan ratusan pasang mata tertuju padanya. Di sekelilingnya, terdengar bisik-bisik kecil, mungkin dari peserta seminar yang penasaran dengan pembicara muda yang diundang. Meskipun ada sedikit kegugupan yang merayapi dirinya, Faz tetap berusaha tenang. Di dalam dirinya, ia tahu ini adalah saat yang tepat untuk menyuarakan apa yang selama ini ia yakini.
Panggung itu terasa lebih besar dari yang ia bayangkan. Ruangan penuh dengan mahasiswa, dosen, bahkan beberapa akademisi yang sudah cukup berpengalaman dalam dunia bahasa dan sastra. Mereka semua duduk dengan penuh perhatian, menanti pemikiran dari Faz, pemuda yang baru saja dipilih menjadi pembicara karena semangatnya dalam mempromosikan bahasa Indonesia.
Faz menarik napas panjang, merasakan udara segar yang seolah-olah memberi energi baru. Ia meraih mikrofon dan mulai berbicara dengan suara yang cukup keras agar seluruh ruangan bisa mendengarnya.
“Selamat pagi, teman-teman sekalian,” suaranya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya, tapi tetap penuh semangat. “Sebelum kita mulai, saya ingin mengajak kalian semua untuk sejenak memikirkan sesuatu yang sangat sederhana. Apa yang pertama kali terlintas di pikiran kalian saat mendengar kata ‘bahasa Indonesia’?”
Faz berhenti sejenak, menunggu beberapa detik. Di ruangan yang tenang itu, suara detakan jantungnya sendiri terdengar jelas. “Mungkin bagi sebagian orang, itu hanya sekadar alat komunikasi. Tapi bagi saya, bahasa Indonesia lebih dari itu. Bahasa ini adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan sejarah, dengan budaya, dengan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.”
Faz melirik sekelilingnya. Ia bisa melihat beberapa peserta seminar mulai mengangguk, seolah-olah mereka mulai memahami arah pembicaraannya. Ia melanjutkan, “Bahasa kita adalah cermin dari siapa kita. Ia tidak hanya berbicara tentang bagaimana kita berkomunikasi, tapi juga bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak sebagai sebuah bangsa.”
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti api yang membakar semangatnya. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak hanya penting bagi orang Indonesia, tetapi juga punya kekuatan besar di mata dunia.
“Saya ingin mengajak kalian semua untuk membuka mata,” lanjut Faz, matanya menyapu ruangan dengan penuh keyakinan. “Di tengah kemajuan zaman yang serba cepat ini, kita harus bisa mengubah pandangan kita terhadap bahasa Indonesia. Tidak ada yang lebih berharga selain melestarikan bahasa yang telah menjadi identitas kita. Kalau kita mengabaikan bahasa kita, berarti kita juga mengabaikan warisan budaya yang sangat berharga.”
Beberapa peserta seminar tampak terpukau. Faz merasakan ada sesuatu yang berubah di udara. Ada rasa kebanggaan yang terbangun di sekelilingnya, meskipun ia tahu ini baru awal dari perjalanan panjang yang harus ia tempuh. Ia tidak ingin hanya berbicara tentang teori; ia ingin membuktikan bahwa bahasa Indonesia itu bisa hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di era digital yang penuh dengan bahasa asing.
“Sebagai contoh,” Faz berkata dengan penuh semangat, “lihat saja dunia maya sekarang. Banyak orang muda yang lebih bangga menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi. Kenapa? Karena mereka merasa itu lebih keren, lebih modern. Tapi apakah kita benar-benar sadar kalau dengan melupakan bahasa Indonesia, kita juga kehilangan salah satu aspek penting dari jati diri kita?”
Faz melangkah beberapa langkah maju, merasa semakin dekat dengan audiensnya. “Saya bukan anti-bahasa asing, bukan. Bahasa asing itu penting, terutama dalam era globalisasi. Tapi itu bukan alasan untuk kita meninggalkan bahasa kita sendiri. Kita bisa menjadi modern tanpa harus mengorbankan identitas kita.”
Suaranya mulai lebih lantang, lebih tegas. “Kita, sebagai bangsa, harus bisa membawa bahasa kita ke dunia internasional, bukan hanya dalam bentuk teori atau budaya, tapi juga dalam praktik sehari-hari. Kita harus bangga, bahkan dalam hal terkecil sekalipun, ketika kita menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat. Dari percakapan sehari-hari, hingga karya-karya besar di bidang sastra, seni, dan bahkan ilmu pengetahuan.”
Faz berhenti sejenak, memberi ruang bagi audiens untuk merenung. Ia merasa ada getaran semangat yang muncul, sesuatu yang mulai membangkitkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap bahasa yang sering kali terlupakan.
“Saya yakin,” lanjutnya dengan yakin, “bahasa Indonesia bisa berkembang dan hidup bersama dengan dunia yang terus berubah. Tugas kita, terutama generasi muda, adalah menjaga dan memelihara bahasa ini agar tetap relevan, tetap hidup dalam setiap kalimat yang kita ucapkan.”
Tepuk tangan pecah di seluruh ruangan. Faz menghela napas panjang, merasakan sedikit lega. Meski masih ada sedikit rasa gugup di dalam dirinya, tapi ia merasa berhasil menyampaikan pesannya. Ia tahu bahwa apa yang ia sampaikan bukan hanya sekadar kata-kata, tapi sebuah panggilan untuk bertindak. Bahwa bahasa Indonesia bukanlah hal yang seharusnya dipandang sebelah mata, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dan dibanggakan.
Setelah seminar selesai, banyak orang yang datang menghampiri Faz. Beberapa di antaranya adalah dosen dan akademisi yang memberinya pujian. “Faz, itu luar biasa,” kata seorang profesor senior. “Saya tidak menyangka seorang pemuda seperti kamu bisa berbicara dengan begitu penuh semangat tentang bahasa kita. Kamu benar, kita harus menjaga bahasa kita, terutama di era digital ini.”
Faz hanya tersenyum, merasa senang bisa berbagi semangatnya. “Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin semua orang tahu, bahwa bahasa Indonesia itu lebih dari sekadar kata-kata. Itu adalah bagian dari siapa kita sebagai bangsa.”
Di luar ruangan seminar, Faz merasa langkahnya lebih ringan. Meskipun ia tahu perjuangannya baru saja dimulai, ia merasa lebih yakin dari sebelumnya. Sebagai pemuda, ia tidak hanya ingin berbicara tentang bahasa Indonesia, tapi juga ingin memberi inspirasi bagi banyak orang untuk mencintai dan melestarikannya.
Hari itu, Faz tahu bahwa ia telah melakukan sesuatu yang penting. Ia telah menanamkan benih-benih kebanggaan terhadap bahasa Indonesia di hati banyak orang. Kini, ia hanya perlu menunggu benih itu tumbuh dan berkembang, bersama dengan semangat yang tak akan pernah padam.
Menghadapi Tantangan dalam Kegelapan
Setelah seminar yang sukses, Faz merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak hanya merasa bangga dengan apa yang telah ia capai, tetapi juga semakin menyadari betapa besar tantangan yang harus dihadapi untuk membawa bahasa Indonesia ke posisi yang seharusnya. Di balik tepuk tangan dan pujian, ada dunia nyata yang lebih keras, tempat di mana perjuangan itu benar-benar diuji.
Seminggu setelah seminar, Faz mendapat undangan untuk berbicara di sebuah konferensi internasional tentang pengaruh bahasa terhadap perkembangan budaya. Ia merasa sangat bangga dan terhormat, tetapi juga sedikit cemas. Konferensi ini akan dihadiri oleh para akademisi dari berbagai negara, banyak di antaranya yang fasih berbahasa Inggris, Prancis, atau bahkan bahasa asing lainnya yang dianggap lebih “internasional”. Faz tahu bahwa ini akan menjadi tantangan besar baginya.
Pada suatu malam, saat ia duduk sendirian di kamar apartemennya, mempersiapkan materi untuk konferensi, pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran. Ia membuka laptop dan membaca banyak artikel tentang perkembangan bahasa Indonesia, mencoba mencari cara untuk memperkenalkan bahasa Indonesia dengan cara yang lebih menarik dan relevan di kancah internasional.
“Apakah mereka benar-benar peduli tentang bahasa Indonesia?” pikirnya. “Atau apakah saya hanya akan menjadi angin lalu, sebuah pembicaraan kecil yang tidak berarti di antara bahasa-bahasa besar dunia?”
Faz mengusap wajahnya, merasa terjebak antara idealismenya yang besar dengan kenyataan yang begitu keras. Ia tahu bahwa memperkenalkan bahasa Indonesia ke dunia internasional bukanlah perkara mudah. Dunia ini sudah sangat terbiasa dengan dominasi bahasa asing, terutama bahasa Inggris, yang seolah-olah menjadi bahasa utama dalam segala hal. Namun, sesuatu dalam dirinya menolak untuk menyerah begitu saja.
Keesokan harinya, Faz duduk di taman kampus, melanjutkan menulis materi presentasinya. Ia menulis dengan semangat baru, mencoba menulis dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, agar para peserta konferensi bisa merasakan energi yang sama tentang bahasa Indonesia yang ia rasakan. Tiba-tiba, seorang teman lama, Sarah, datang menghampirinya. Sarah adalah teman kuliah yang dulu sangat dekat dengan Faz, tetapi belakangan mereka jarang berbicara karena perbedaan minat. Sarah adalah seorang praktisi komunikasi yang sering bekerja dengan bahasa asing, sementara Faz lebih suka berfokus pada bahasa Indonesia.
“Faz!” seru Sarah dengan senyum lebar. “Lama tak jumpa! Dengar-dengar, kamu akan bicara di konferensi internasional? Itu keren banget, serius!”
Faz tersenyum, merasa sedikit lega melihat Sarah. “Iya, bener. Tapi, aku agak deg-degan. Kamu tahu sendiri kan, betapa besarnya pengaruh bahasa asing di dunia ini. Apakah ada orang yang benar-benar peduli dengan bahasa Indonesia?”
Sarah duduk di sampingnya, lalu mengangguk dengan serius. “Aku paham apa yang kamu maksud. Tapi menurutku, kamu harus tetap maju. Ini kesempatan bagus buat kamu. Kalau kamu bisa menunjukkan betapa pentingnya bahasa Indonesia, mereka pasti akan lebih menghargainya.”
Faz menghela napas, menatap langit yang cerah. “Aku cuma takut kalau mereka menganggap aku hanya bicara tentang hal yang kecil. Aku harus bisa memberikan bukti, bukan cuma kata-kata.”
Sarah menatap Faz dengan mata yang penuh keyakinan. “Bukan cuma kata-kata, Faz. Kamu punya semangat yang nyata. Bahasa itu bukan cuma soal komunikasi, tapi juga soal identitas. Kamu nggak bisa berharap orang lain langsung paham, tapi kalau kamu tetap berjuang dengan cara yang benar, mereka pasti akan melihat. Apalagi kalau kamu bisa menyajikan hal-hal yang lebih menarik, yang nggak cuma teoretis.”
Faz terdiam sejenak. Ia tahu Sarah benar. Keberhasilan itu bukan hanya tentang mengharapkan hasil instan, tapi tentang ketekunan dan keyakinan pada apa yang diperjuangkan. Ia tersenyum, berterima kasih pada temannya yang selalu bisa memberikan sudut pandang baru.
Pada malam konferensi, Faz berdiri di depan audiens yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Lampu sorot menyinari wajahnya, dan mikrofon yang ia genggam terasa sedikit berat. Di sekelilingnya, banyak pembicara yang sudah berpengalaman, berbicara dengan lancar dalam berbagai bahasa internasional. Namun, di dalam hati, Faz merasa lebih siap dari sebelumnya. Ia tahu ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang harus ia tempuh.
Dengan penuh keyakinan, ia mulai berbicara, “Selamat pagi semuanya, saya Faz. Hari ini saya ingin berbicara tentang bahasa Indonesia, bahasa yang mungkin bagi sebagian orang terdengar asing, tetapi bagi saya, bahasa ini adalah simbol kekayaan budaya dan sejarah.”
Faz melanjutkan presentasinya, menjelaskan dengan cara yang menarik dan penuh semangat bagaimana bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sebuah warisan budaya yang perlu dilestarikan. Ia berbicara tentang perkembangan bahasa Indonesia di dunia digital, tentang tantangan bahasa Indonesia di kancah internasional, dan bagaimana pentingnya menyuarakan bahasa Indonesia dengan cara yang tidak hanya relevan, tetapi juga berpengaruh.
Di tengah presentasinya, ia melihat ada beberapa peserta yang tampak tertarik, mereka mengangguk dan bahkan mencatat beberapa hal. Ada rasa kebanggaan yang tumbuh dalam dirinya, tapi ia tahu bahwa ini baru permulaan. Ia harus terus berjuang untuk bahasa Indonesia, agar dapat menunjukkan bahwa bahasa ini memiliki potensi untuk berdiri sejajar dengan bahasa-bahasa besar dunia.
Setelah presentasi selesai, Faz mendapat banyak pujian dari peserta konferensi. Beberapa akademisi bahkan mengajaknya untuk berdiskusi lebih lanjut. Faz merasa sangat puas dengan apa yang telah ia sampaikan. Ia tidak hanya berhasil memperkenalkan bahasa Indonesia dengan cara yang berbeda, tetapi juga menyentuh hati banyak orang yang mungkin tidak pernah menganggap bahasa ini sepenting itu.
Pada akhir malam, saat ia berjalan keluar dari ruangan konferensi, Faz merasa sesuatu telah berubah dalam dirinya. Ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan bukanlah perjalanan yang mudah, tapi justru itulah yang membuatnya merasa hidup. Ia tahu bahwa perjuangan untuk bahasa Indonesia akan terus berlanjut, namun ia siap untuk menanggung tantangan itu, dengan penuh kebanggaan dan semangat.
Saat ia melangkah ke luar gedung konferensi, ia tersenyum. Jalan panjang ini baru saja dimulai.
Jejak Langkah yang Tak Akan Terhenti
Setelah konferensi itu, dunia Faz terasa sedikit berbeda. Pujian dan tanya jawab dari para akademisi memberi rasa bangga yang mendalam, tetapi juga mengingatkannya pada kenyataan bahwa perjuangan untuk bahasa Indonesia baru saja dimulai. Di dunia yang semakin terhubung ini, dia tahu bahwa satu langkah kecil tidak cukup. Dunia masih dipenuhi dengan bahasa-bahasa yang lebih dominan, lebih dikenal, lebih diterima. Tapi, dia merasa lebih siap dari sebelumnya.
Beberapa hari setelah konferensi, Faz kembali ke kampus. Ia duduk di bangku favoritnya di taman, tempat di mana ia sering merenung dan berpikir. Angin yang berhembus lembut membuatnya merasa tenang. Tak lama, Sarah datang menghampirinya, membawa secangkir kopi.
“Jadi, gimana rasanya setelah konferensinya?” tanya Sarah sambil duduk di sampingnya.
Faz tersenyum, tangannya memegang cangkir kopi yang masih panas. “Rasanya… kayak ada beban berat yang terangkat. Tapi, sekaligus aku merasa lebih sadar bahwa perjalanan ini jauh dari selesai. Orang-orang mungkin terkesan dengan apa yang aku sampaikan, tapi di luar sana, masih banyak yang nggak peduli.”
Sarah mengangguk, menatap jauh ke depan. “Aku tahu perasaan itu. Tapi yang penting, kamu udah berhasil membuka mata mereka. Bahkan sedikit perubahan itu berarti.”
Faz menghela napas panjang, menatap langit biru di atasnya. “Ya, aku cuma nggak mau berhenti di sini. Aku nggak bisa cuma ngomong doang. Aku harus melakukan lebih banyak lagi. Ini bukan cuma tentang presentasi itu. Ini tentang membuat orang-orang di luar sana mulai menghargai bahasa kita, dan melihatnya bukan sebagai sesuatu yang asing, tapi sebagai bagian dari warisan budaya yang patut dijaga.”
Sarah tersenyum, wajahnya penuh dengan keyakinan. “Dan aku yakin kamu bisa, Faz. Kamu punya visi yang kuat, dan kamu punya semangat yang nggak pernah padam. Kamu nggak cuma memperjuangkan bahasa, kamu juga memperjuangkan identitas kita sebagai bangsa. Itu sesuatu yang jauh lebih besar.”
Faz menatap Sarah, merasa terinspirasi oleh kata-kata temannya. Ia tahu bahwa apa yang dilakukan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk banyak orang yang mungkin tak memiliki kesempatan untuk berbicara tentang bahasa mereka. Dalam hatinya, ia merasa lebih yakin, lebih berani. Tidak ada lagi keraguan.
Pagi itu, Faz memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia mulai menghubungi berbagai lembaga pendidikan, organisasi internasional, dan bahkan perusahaan yang berfokus pada budaya dan bahasa. Tujuannya jelas: memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa global, yang tidak hanya digunakan di Indonesia, tetapi juga dihargai di seluruh dunia.
Selama beberapa bulan berikutnya, Faz mengadakan lebih banyak seminar, diskusi, dan bahkan mulai menulis buku yang mengupas lebih dalam tentang peran bahasa Indonesia dalam percakapan global. Buku itu diberi judul Bahasaku, Identitasku: Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Dunia. Dalam buku ini, Faz menceritakan pengalamannya, tantangan yang ia hadapi, dan harapannya untuk masa depan bahasa Indonesia.
Namun, meskipun banyak yang mulai menyadari, Faz tidak merasa puas. Ia tahu bahwa setiap langkah kecil yang diambilnya, baik di ruang akademik maupun di dunia profesional, membawa dampak yang lebih besar dari yang bisa dilihat oleh mata. Di setiap seminar yang ia adakan, di setiap diskusi yang ia pimpin, Faz merasa bahwa ia bukan hanya berbicara tentang bahasa. Ia berbicara tentang sebuah identitas, sebuah jati diri yang harus dijaga.
Suatu pagi, saat ia sedang duduk di meja kerjanya, membaca email dari seorang profesor dari universitas di luar negeri yang tertarik untuk bekerja sama dalam program pelatihan bahasa Indonesia, Faz tersenyum. Ini adalah bukti nyata bahwa usaha dan keyakinannya mulai membuahkan hasil.
Ketika Sarah datang lagi menemuinya, membawa secangkir kopi seperti biasanya, Faz berkata, “Aku rasa, kita baru saja mulai melihat hasilnya.”
Sarah tertawa kecil. “Kamu memang nggak pernah berhenti, ya?”
Faz mengangguk. “Bahasa ini punya potensi besar. Aku nggak akan berhenti sampai semua orang di luar sana mengenal bahasa Indonesia dengan bangga.”
Langkah-langkah kecil yang dilakukan Faz tidak lagi terasa kecil. Setiap kali ia berbicara, setiap kali ia mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang-orang baru, ia tahu bahwa ia sedang meninggalkan jejak yang tidak akan pernah terhapus. Sebuah jejak yang akan dikenang, bukan hanya oleh dirinya, tapi juga oleh generasi yang akan datang. Karena bagi Faz, bahasa Indonesia bukan sekadar bahasa. Itu adalah bagian dari siapa dirinya, dari siapa kita semua.
Dan untuk itu, ia akan terus berjuang. Sampai akhir.
Jadi, mulai sekarang, coba deh lebih bangga sama bahasa kita. Gak cuma karena itu bahasa sehari-hari, tapi juga karena dengan bahasa Indonesia, kita punya cerita, identitas, dan sejarah yang kaya.
Apa yang dimulai dengan satu langkah kecil, bisa jadi gerakan besar. Jangan pernah ragu untuk berbicara dan berbagi, karena setiap kata yang kita ucapkan, punya kekuatan untuk mengubah dunia.