Daftar Isi
Apakah Anda pernah merasakan kehilangan yang mendalam namun menemukan kekuatan di dalamnya? Cerpen Ayahku, Cahaya di Tengah Gelap: Kisah Pribadi yang Menyentuh Hati menghadirkan kisah pribadi yang penuh emosi tentang hubungan antara Tharani Jelita dan ayahnya, Darmawan Suryo, yang menjadi cahaya di tengah masa sulit. Dengan narasi yang detail dan penuh makna, cerita ini mengajak pembaca merenung tentang cinta, pengorbanan, dan harapan. Simak ulasan lengkapnya dan temukan inspirasi dari perjalanan menyentuh ini!
Ayahku, Cahaya di Tengah Gelap
Bayang di Balik Senyuman
Pagi itu, udara di desa Kembang Lestari terasa dingin, meski matahari sudah mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Kabut tipis menyelimuti hamparan sawah di belakang rumah kami, menciptakan pemandangan yang damai namun juga menyisakan kesunyian yang menusuk. Aku, Tharani Jelita, duduk di teras kayu tua yang sudah mulai lapuk, memandangi cangkir teh hangat di tanganku. Uapnya naik pelan, membentuk lingkaran kecil di udara seolah mencoba membawa kenangan yang kini terasa jauh. Di sebelahku, ada ayahku, Darmawan Suryo, duduk dengan punggung sedikit bungkuk, tangannya sibuk mengasah parang kecil yang biasa digunakan untuk memotong rumput di kebun.
Ayahku adalah sosok yang tak pernah banyak bicara. Rambutnya yang mulai memutih di ujung-ujungnya berpadu dengan kulitnya yang kecokelatan akibat bertahun-tahun bekerja di bawah matahari. Matanya, yang dulu selalu berbinar penuh semangat, kini sering kali tampak kosong, seolah menyimpan beban yang tak pernah ia ceritakan. Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. Senyum tipis terpatri di wajahnya saat dia menoleh ke arahku, dan suaranya yang serak perlahan mengisi keheningan. “Tharani, hari ini ayah mau ke kebun sama kamu. Udah lama kita nggak ngobrol di sana.”
Aku mengangguk, meski perasaan aneh menyelinap di dadaku. Kebun itu adalah tempat istimewa bagiku dan ayah. Di sana, di antara deretan pohon mangga dan semak jarak, kami pernah menghabiskan banyak waktu saat aku masih kecil. Ayah mengajarkanku cara menanam padi, mengenali tanda-tanda hujan dari awan, dan bahkan bercerita tentang masa mudanya sebagai petani muda yang penuh mimpi. Tapi sejak ibu meninggal lima tahun lalu karena penyakit yang tak terdeteksi tepat waktu, ayah seperti kehilangan sebagian jiwanya. Dia masih bekerja, masih tersenyum, tapi ada bayang gelap yang tak pernah ia lepaskan.
Kami berjalan menuju kebun setelah sarapan sederhana berupa nasi hangat dan telur dadar. Jalan setapak yang kami lalui penuh dengan jejak lumpur dari hujan semalam, dan suara burung berkicau di pepohonan menjadi latar yang menenangkan. Ayah membawa keranjang bambu tua, sementara aku menggendong sekop kecil yang sudah usang. Di tengah perjalanan, ayah tiba-tiba berhenti, menatap sebatang pohon jati yang tumbuh besar di sisi jalan. “Ini pohon yang kamu tanem waktu umur tujuh tahun, Tharani,” katanya, suaranya lembut. “Kamu bilang waktu itu, pohon ini bakal jadi saksi kalau kamu sukses kelak.”
Aku tersenyum, mengingat hari itu. Aku memang pernah menanam pohon itu bersama ayah, dengan tangan kecil yang penuh tanah, sambil menggantungkan harapan besar di benakku yang polos. Tapi sekarang, saat aku menatap pohon itu yang sudah setinggi dua orang dewasa, perasaan aneh kembali menyelinap. Ada sesuatu dalam nada suara ayah yang terdengar seperti perpisahan, meski aku tak ingin memikirkannya.
Sesampainya di kebun, ayah mulai bekerja dengan tenang. Dia menggali tanah untuk menanam bibit cabai baru, gerakannya lambat tapi penuh perhitungan. Aku membantunya, meski pikiranku melayang ke masa lalu. Aku ingat betapa ayah selalu bangga setiap kali aku membawa rapor bagus dari sekolah. “Kamu harus jadi orang besar, Tharani,” katanya berkali-kali, sambil mengelus kepalaku. Tapi sejak ibu pergi, kata-kata itu jarang terdengar. Sebaliknya, ayah lebih sering diam, hanya tersenyum kecil saat aku pulang dari kota setelah kuliah.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, kami duduk di bawah pohon mangga tua di sudut kebun. Ayah mengeluarkan sebotol air dari keranjangnya dan menawarkannya padaku. “Tharani, ayah mau bilang sesuatu,” katanya, matanya menatap ke arah horizon yang memerah. “Ayah nggak akan selamanya ada buat kamu. Tapi ayah harap kamu nggak pernah lupa, apa pun yang terjadi, ayah selalu bangga sama kamu.”
Kata-katanya seperti petir di siang bolong. Aku menatapnya, mencoba mencari arti di balik kalimat itu. “Ayah, kamu baik-baik aja, kan?” tanyaku, suaraku gemetar. Dia hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Ayah baik-baik aja, Nak. Cuma… ayah mau pastikan kamu siap buat apa pun.”
Kami pulang dalam diam, hanya suara langkah kaki kami yang mengisi keheningan. Di rumah, aku tak bisa tidur. Aku duduk di kamar, menatap foto lama di dinding—foto ayah, ibu, dan aku saat masih kecil, tersenyum bahagia di depan kebun. Ada firasat buruk yang menggelayuti dadaku, seolah malam ini adalah awal dari sesuatu yang tak bisa kulupasi. Di luar, angin malam berbisik pelan, membawa aroma tanah yang basah, dan bayangan ayahku di balik senyuman itu terus menghantuiku hingga fajar tiba.
Diam di Antara Bayang
Pagi itu, di hari Selasa, 10 Juni 2025, jam menunjukkan 09:04 WIB ketika aku, Tharani Jelita, terbangun dengan perasaan berat di dada. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah jendela kayu di kamarku, menerangi dinding yang dipenuhi kenangan—foto-foto lama, lukisan sederhana yang pernah aku buat untuk ayah, dan sebuah kalender tua yang masih bertahan sejak masa kecilku. Suara ayah, Darmawan Suryo, terdengar samar dari dapur, mengaduk sesuatu di wajan dengan ritme yang lambat, seolah setiap gerakan itu membawa beban tersendiri. Aroma nasi goreng sederhana yang bercampur bawang goreng memenuhi udara, membawaku kembali ke hari-hari ketika ibu masih ada, mengisi rumah ini dengan tawa dan cerita.
Aku bergegas ke dapur, masih mengenakan piyama lusuh yang sudah menemani malam-malam panjangku selama kuliah di kota. Ayah duduk di bangku kayu tua, rambutnya yang memutih di ujung-ujungnya tampak lebih mencolok di bawah sinar pagi. Di depannya, ada piring kecil berisi nasi goreng dan segelas teh pahit tanpa gula—menu favoritnya sejak ibu pergi. Dia menoleh ke arahku, senyum tipis kembali muncul di wajahnya, tapi matanya masih menyimpan bayang yang tak bisa kuselami. “Pagi, Tharani. Makan dulu, nanti ayah mau ke pasar. Kamu ikut nggak?” tanyanya, suaranya serak namun hangat.
Aku mengangguk, meski pikiranku masih tertinggal di percakapan kita kemarin di kebun. Kata-kata ayah, “Ayah nggak akan selamanya ada buat kamu,” terus berputar di kepalaku seperti mantra yang tak bisa kubuang. Aku takut, tapi aku juga tak ingin menunjukkan ketakutan itu di depannya. Setelah sarapan, kami bersiap. Ayah mengenakan kemeja kotak-kotak yang sudah pudar warnanya, sementara aku mengganti piyama dengan kaus dan celana jeans sederhana. Kami berjalan menuju pasar desa, jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah, melewati jalan setapak yang dikelilingi sawah hijau dan rumah-rumah bambu.
Perjalanan ke pasar biasanya adalah waktu yang menyenangkan. Ayah sering bercerita tentang masa kecilnya, tentang bagaimana dia membantu kakek menanam padi atau menangkap ikan di sungai dekat desa. Tapi hari ini, cerita itu tak muncul. Ayah hanya berjalan di sampingku, tangannya sesekali menyentuh rumput liar di pinggir jalan, seolah mencari sesuatu yang hilang. Aku mencoba memecah keheningan. “Ayah, kemarin kamu bilang sesuatu di kebun. Maksudnya apa, sih?” tanyaku hati-hati.
Dia berhenti sejenak, menatap ke arah sawah yang berkilauan di bawah sinar matahari. “Tharani, ayah cuma mau pastikan kamu kuat. Hidup itu nggak selalu mudah, apalagi setelah ayah nggak ada. Kamu harus bisa jalan sendiri,” jawabnya, suaranya pelan tapi penuh makna. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi tatapan ayah yang penuh kesedihan membuatku menelan kata-kata itu. Kami melanjutkan perjalanan dalam diam, hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan menjadi pengganti obrolan.
Pasar desa Kembang Lestari ramai seperti biasa. Pedagang berteriak menawarkan barang—sayuran segar, ikan segar dari sungai, dan kain-kain warna-warni yang digantung di tenda-tenda sederhana. Ayah berjalan perlahan, berhenti di setiap kios untuk memilih barang dengan teliti. Dia membeli beberapa ikat bayam, dua ekor ikan nila, dan segenggam cabai merah yang masih segar dari tangan seorang ibu tua bernama Mbok Sari. “Darmawan, kok kelihatan capek banget hari ini?” tanya Mbok Sari, matanya yang sayu menatap ayah dengan prihatin. Ayah hanya tersenyum, menggeleng pelan. “Biasa, Sari. Usia udah nggak muda lagi,” balasnya, suaranya penuh tawa kecil yang terdengar dipaksakan.
Aku memperhatikan ayah dari kejauhan, merasakan ada sesuatu yang tak biasa. Biasanya, dia akan bercanda dengan pedagang, bertukar cerita tentang panen atau cuaca. Tapi hari ini, dia hanya diam, hanya tersenyum sekadarnya. Setelah selesai berbelanja, kami duduk di bangku kayu di sudut pasar, menikmati es kelapa muda yang dibeli dari pedagang keliling. Ayah menatapku, lalu berkata, “Tharani, ayah pernah cerita nggak, waktu ayah sama ibumu pertama kali ketemu?” Aku menggeleng, penasaran. Ini adalah pertama kalinya ayah membuka kenangan tentang ibu sejak kematiannya.
“Waktu itu, ayah lagi panen padi di sawah. Ibumu datang sama temen-temennya, bawa keranjang buat nyanyi-nyanyi di desa. Dia jatuh ke kubangan, dan ayah yang bantu angkat. Wajahnya merah banget, malu, tapi matanya cerah. Dari situ, ayah tahu, dia bakal jadi bagian hidup ayah,” ceritanya, matanya berkaca-kaca. Aku tersenyum, membayangkan ibu dengan gaun sederhana dan wajah memerah karena malu. Tapi di balik cerita itu, ada kesedihan yang terpendam, seolah ayah sedang mengucap selamat tinggal pada kenangan itu.
Kami pulang dengan membawa kantong belanjaan yang tak terlalu berat, tapi perasaan di dadaku semakin berat. Di rumah, ayah langsung sibuk memasak ikan nila yang dibeli, sementara aku membantu membersihkan sayuran. Dapur kecil kami dipenuhi aroma rempah—kunyit, lengkuas, dan serai—yang selalu menjadi tanda kehangatan di rumah ini. Tapi saat aku melirik ayah, aku melihat tangannya sedikit gemetar saat memotong bawang. “Ayah, kamu capek? Biar aku yang lanjut,” tawarku, khawatir.
“Tidak apa-apa, Nak. Ayah masih kuat,” jawabnya, tapi nadanya terdengar lemah. Setelah makan malam, ayah duduk di teras, menatap langit yang mulai gelap. Aku mendekat, membawakan secangkir teh hangat untuknya. “Ayah, kalau ada apa-apa, bilang sama aku, ya? Aku nggak mau kamu sendiri,” kataku, suaraku hampir tersendat.
Dia menatapku lama, lalu mengelus rambutku seperti dulu saat aku masih kecil. “Tharani, ayah janji bakal bilang. Tapi sekarang, ayah cuma mau kamu bahagia. Itu cukup buat ayah.” Kata-katanya membuat air mataku hampir jatuh, tapi aku menahannya. Aku tak ingin ayah melihatku lemah.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Aku duduk di kamar, menatap foto ayah dan ibu di meja samping tempat tidur. Di foto itu, ayah tersenyum lebar, memeluk ibu yang sedang menggendongku yang masih bayi. Aku teringat betapa ayah selalu menjadi pilar keluarga, meski hidupnya penuh tantangan. Dia pernah cerita tentang masa sulit saat panen gagal, atau saat dia harus bekerja ekstra untuk membiayai sekolahku. Tapi dia tak pernah mengeluh, selalu berkata, “Kamu harapan ayah, Tharani.”
Tiba-tiba, suara batuk keras terdengar dari kamar ayah. Aku berlari ke sana, menemukannya duduk di tepi ranjang, tangannya menutup mulut. “Ayah!” panggilku, panik. Dia menggeleng, mencoba tersenyum. “Cuma batuk biasa, Nak. Kembali tidur,” katanya, tapi wajahnya pucat. Aku tak percaya, tapi aku tak bisa memaksanya. Aku kembali ke kamar, tapi hati ini tak tenang. Aku mengambil ponsel, mencari informasi tentang gejala yang mirip dengan yang kulihat pada ayah—batuk berkepanjangan, wajah pucat, dan kelelahan. Hasil pencarian membuat jantungku berdegup kencang: kemungkinan penyakit paru-paru atau jantung.
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk membawanya ke klinik desa. Ayah menolak awalnya, mengatakan itu cuma kelelahan biasa. Tapi setelah aku memohon, dia akhirnya setuju. Perjalanan ke klinik hanya beberapa ratus meter, tapi terasa seperti berjam-jam. Dokter desa, Pak Joko, memeriksanya dengan alat sederhana—stetoskop tua dan termometer. Setelah beberapa menit, Pak Joko memanggilku ke ruang terpisah. “Tharani, ayahmu perlu diperiksa lebih lanjut di rumah sakit kota. Ada suara aneh di dadanya, mungkin ada masalah di paru-paru atau jantung. Cepat bawa dia, jangan tunda,” katanya serius.
Aku kembali ke ruang tunggu, menatap ayah yang duduk dengan ekspresi tenang. “Ayah, kita ke rumah sakit, ya?” tanyaku, berusaha menjaga suaraku stabil. Dia mengangguk pelan, tapi matanya menunjukkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Kami pulang untuk mengambil uang dan pakaian, lalu naik angkot menuju kota, hati dipenuhi ketidakpastian. Di dalam angkot, ayah memegang tanganku erat, seolah tak ingin melepaskan. “Tharani, apa pun hasilnya, kamu harus kuat, ya?” bisiknya.
Kata-katanya membuat air mataku jatuh, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ayahku—pilar kuat yang selama ini kukenal—seolah rapuh. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti perjalanan menuju kebenaran yang kuharapkan tak pernah kujumpai, tapi di dalam hati, aku tahu, hidup kami sedang berada di ambang perubahan besar.
Ujian di Balik Diam
Pagi itu, tepat pukul 09:15 WIB di hari Selasa, 10 Juni 2025, angkot tua yang membawaku dan ayah, Darmawan Suryo, berhenti di depan Rumah Sakit Umum Daerah di kota. Suara klakson dan hiruk-pikuk kendaraan di sekitar kami terdengar samar di telingaku, tenggelam oleh detak jantung yang kian kencang. Aku, Tharani Jelita, memegang erat tangan ayah yang terasa dingin meski udara pagi cukup hangat. Wajahnya pucat, tapi dia masih mencoba tersenyum, seolah ingin menenangkanku. Kami turun dari angkot, membawa tas kain sederhana yang berisi pakaian ganti, uang tabungan ayah, dan sebuah foto kecil ayah dan ibu yang kuselipkan diam-diam ke dalam saku.
Ruang tunggu rumah sakit dipenuhi aroma obat-obatan yang menyengat dan suara langkah kaki petugas yang sibuk. Aku mendaftarkan ayah di loket pendaftaran, tanganku gemetar saat mengisi formulir dengan data sederhana—nama, usia, dan keluhan awal yang kucatat berdasarkan pengamatanku: batuk berkepanjangan, kelelahan, dan sesak napas sesekali. Perawat muda bernama Siti mengantar kami ke ruang pemeriksaan, memberikan senyuman kecil yang seolah mencoba meredakan ketegangan. Ayah duduk di kursi plastik keras, tangannya memainkan ujung kemeja kotak-kotaknya yang sudah pudar, sementara aku berdiri di sampingnya, mencoba menelan rasa cemas yang menggerogoti.
Dokter yang memeriksa ayah, Dr. Ardi, adalah pria paruh baya dengan kacamata tebal dan rambut yang mulai menipis. Dia mendengarkan detak jantung ayah dengan stetoskop, memeriksa tekanan darah, dan memintanya mengikuti beberapa tes dasar—röntgen dada dan tes darah. Prosesnya terasa lama, setiap menit terasa seperti jam. Aku duduk di bangku luar ruangan pemeriksaan, menatap dinding putih yang penuh noda, pikiranku melayang ke kenangan bersama ayah. Aku ingat saat dia mengajarkanku memancing di sungai, tangannya yang kasar memandu tanganku yang kecil untuk melempar kail, atau saat dia menemaniku belajar di bawah lampu minyak saat listrik padam.
Setelah hampir dua jam, Dr. Ardi memanggilku ke ruang konsul. Aku masuk dengan langkah berat, jantungku berdetak kencang. “Tharani, berdasarkan hasil awal, ada kemungkinan ayahmu mengalami masalah pada paru-paru, mungkin fibrosis atau infeksi kronis yang sudah cukup parah. Tapi kita perlu tes lanjutan—CT scan dan biopsi kecil—untuk memastikan. Kondisinya cukup serius, jadi kita harus cepat,” jelasnya, suaranya datar namun penuh empati. Aku merasa dunia berputar, kaki terasa lelet saat aku mencoba mencerna kata-kata itu. Fibrosis paru? Aku tak sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu itu bukan berita baik.
Aku kembali ke ayah, yang kini duduk di ranjang pemeriksaan dengan ekspresi tenang. “Ayah, dokter bilang kamu perlu tes lebih lanjut. Kita akan selesaikan ini, ya?” kataku, berusaha menahan air mata. Dia mengangguk, tangannya meraih tanganku dan memeluknya erat. “Tharani, apa pun hasilnya, ayah nggak mau kamu sedih. Ayah udah hidup cukup lama, dan kamu adalah kebanggaan ayah,” katanya, suaranya parau. Aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk sambil menahan isak.
Proses tes lanjutan dimulai sore itu. Aku menunggu di luar ruang CT scan, menatap jam dinding yang bergerak lambat. Setiap suara mesin yang terdengar dari dalam ruangan membuatku semakin gelisah. Aku ingat saat ayah pernah bercerita tentang kakek yang meninggal karena penyakit paru akibat rokok, dan bagaimana ayah berjanji tak akan menyentuh rokok seumur hidupnya. Tapi ayah bukan perokok—mungkin ini akibat tahun-tahun bekerja di sawah, menghirup debu dan udara kotor tanpa perlindungan. Pikiran itu membuatku semakin bersalah, seolah aku tak cukup melindunginya.
Malam tiba, dan kami dipindahkan ke ruang rawat inap sederhana dengan dua tempat tidur. Ayah tidur di ranjang dekat jendela, sementara aku duduk di kursi plastik di sampingnya, menatap wajahnya yang tampak tenang dalam tidur. Cahaya bulan menyelinap melalui celah tirai, menerangi rambutnya yang memutih, dan untuk sesaat, aku melihat sosok muda yang dulu penuh semangat dalam cerita-ceritanya. Aku mengambil foto kecil ayah dan ibu dari saku, menatapnya dengan hati yang hancur. Ibu, jika kamu di sana, tolong lindungi ayah, pikirku dalam hati.
Keesokan paginya, Dr. Ardi kembali dengan hasil tes. Aku berdiri di samping ayah, memegang tangannya yang terasa semakin dingin. “Berdasarkan CT scan dan biopsi, ayahmu didiagnosis dengan fibrosis paru idiopatik stadium lanjut. Ini kondisi di mana jaringan paru menjadi rusak dan mengeras, membuatnya sulit bernapas. Penyebabnya belum jelas, tapi bisa jadi akibat paparan lingkungan jangka panjang. Kami bisa memberikan terapi oksigen dan obat untuk memperlambat perkembangan, tapi prognosisnya… kurang baik,” jelasnya, matanya menatapku dengan simpati.
Aku merasa dunia runtuh. Fibrosis paru idiopatik—kata-kata itu terdengar asing, tapi artinya jelas: ayah tak akan sembuh sepenuhnya. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan, dan ayah menarik tanganku lebih erat. “Tharani, jangan nangis. Ayah udah siap. Yang penting, kamu harus lanjut hidup dengan kuat,” katanya, suaranya lemah tapi tegas. Aku mengangguk, meski hati ini berteriak menolak. Dr. Ardi menyarankan kami tinggal di rumah sakit selama beberapa hari untuk pengaturan terapi, dan aku setuju, meski dompet tipis kami membuatku khawatir.
Hari-hari di rumah sakit terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Pagi hari, perawat membawa tabung oksigen untuk ayah, dan aku belajar cara memasangkannya dengan tangan yang gemetar. Ayah sering batuk, suara itu menusuk hati, tapi dia selalu tersenyum setelahnya, berkata, “Ini cuma batuk biasa, Nak.” Aku tahu itu bohong, tapi aku tak ingin membantahnya. Malam-malam, aku tidur di kursi samping ranjangnya, terjaga oleh suara napasnya yang kadang terputus-putus. Aku sering memegang tangannya, merasakan kulitnya yang kasar, dan mengingat setiap momen bersamanya—saat dia menggendongku pulang dari sekolah, atau saat dia menangis tersembunyi di kebun setelah ibu meninggal.
Suatu sore, saat aku membacakan surat dari teman kuliahku, ayah tiba-tiba memintaku berhenti. “Tharani, ayah mau cerita sesuatu,” katanya, matanya menatap langit-langit seolah mencari kekuatan. “Waktu ibumu sakit, ayah tahu dia nggak akan selamat. Tapi ayah sembunyiin itu darimu, supaya kamu nggak sedih. Sekarang, ayah juga nggak mau kamu tahu semua, tapi ayah takut waktu ayah udah dekat. Ayah cuma minta, jangan benci ayah kalau ayah pergi.”
Kata-katanya seperti pisau yang menusuk jantungku. Aku menangis tersedu, memeluknya meski tabung oksigen membatasi gerakanku. “Ayah, jangan bilang gitu. Aku nggak akan benci, tapi aku nggak mau kehilangan kamu,” kataku, suaraku pecah. Dia mengelus rambutku, seperti dulu, dan berkata, “Tharani, ayah udah bahagia. Kamu udah besar, udah jadi orang yang ayah impikan. Itu cukup.”
Hari-hari berikutnya, kondisi ayah semakin menurun. Napasnya semakin pendek, dan dia sering terlelap dalam tidur yang dalam. Aku menghabiskan waktu bersamanya, menceritakan rencanaku untuk lulus kuliah dan kembali ke desa untuk membantunya mengelola kebun. Tapi di dalam hati, aku tahu waktu kami semakin terbatas. Suatu malam, saat aku tertidur di kursi, aku terbangun oleh suara pelan ayah memanggil namaku. “Tharani…” katanya, tangannya meraihku lemah. Aku bangun, panik, dan melihat matanya yang berkaca-kaca. “Ayah sayang kamu. Jangan lupa itu,” bisiknya, sebelum matanya perlahan menutup.
Perawat dan dokter bergegas masuk, tapi aku tahu, saat itu, ayah pergi. Jeritan kesedihan keluar dari mulutku, memenuhi ruangan yang dingin. Aku memeluk tubuhnya yang sudah tak bergerak, menangis hingga tak ada air mata lagi. Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela tampak redup, seolah ikut berduka. Ayahku, pilar hidupku, telah menjadi cahaya yang kini padam, meninggalkan aku dalam gelap yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Cahaya yang Tetap Menyala
Pagi itu, tepat pukul 09:08 WIB, Selasa, 10 Juni 2025, dunia terasa sunyi di dalam ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah. Aku, Tharani Jelita, masih memeluk tubuh ayahku, Darmawan Suryo, yang kini terbaring diam di ranjang putih dengan tabung oksigen yang tak lagi berguna. Tanganku gemetar saat menyentuh wajahnya yang dingin, kulitnya yang kasar akibat bertahun-tahun bekerja di sawah kini terasa seperti kenangan yang perlahan memudar. Air mataku telah kering, tapi hati ini masih terasa robek, seperti peta tua yang tercerai-berai. Suara langkah cepat perawat dan dokter memenuhi ruangan, tapi semua terdengar samar, seolah aku terjebak dalam gelembung kesedihan yang tak bisa ditembus.
Dr. Ardi, dengan wajah penuh simpati, mendekatiku setelah beberapa menit mencoba memeriksa ayah. “Tharani, aku turut sedih. Ayahmu sudah pergi dengan tenang. Kami akan membantu proses selanjutnya—surat kematian dan persiapan pemakaman. Kamu nggak sendiri, ya?” katanya lembut, tangannya menepuk pundakku. Aku mengangguk pelan, tapi pikiran ku terfragmentasi, berlomba antara kenyataan pahit dan kenangan manis bersama ayah. Perawat membawa keranda sederhana, dan aku menutup matanya dengan tangan gemetar, mengucap doa dalam hati untuk kepergiannya menuju tempat yang lebih damai.
Proses pemakaman dimulai sehari kemudian, setelah aku menghubungi tetangga dan kerabat di desa Kembang Lestari. Angin pagi bertiup pelan saat kami membawa jenazah ayah menuju pemakaman desa, sebuah lahan hijau di ujung sawah yang dikelilingi pohon jati tua. Mbok Sari, pedagang sayur yang akrab dengan ayah, membawa karangan bunga sederhana dari daun pisang dan mawar liar. “Darmawan orang baik, Tharani. Dia selalu bantu aku pas pasar sepi,” katanya sambil menangis pelan. Aku hanya bisa mengangguk, menahan isak yang kembali naik ke tenggorokan.
Upacara pemakaman diadakan dengan sederhana, sesuai kebiasaan desa. Aku berdiri di samping kuburan yang baru digali, memandangi peti kayu sederhana yang menampung tubuh ayah. Saat tanah mulai ditutup, aku melemparkan segenggam tanah ke atasnya, mengingat saat ayah mengajarkanku menanam bibit padi di kebun. “Tharani, tanah ini hidup. Dia ngasih kita makan, jadi kita harus jaga,” katanya dulu. Kini, tanah itu mengambilnya kembali, dan aku tak bisa melawan. Setelah doa selesai, kerumunan orang perlahan meninggalkan pemakaman, meninggalkanku sendirian di depan makam ayah, dengan plakat kayu bertulis nama dan tanggal kelahirannya—1 Januari 1965 hingga 9 Juni 2025.
Kembali ke rumah, suasana terasa kosong. Dapur yang dulu dipenuhi aroma masakan ayah kini hanya menyisakan dingin. Aku duduk di teras kayu tua, menatap cangkir teh yang masih ada di meja—cangkir yang biasa digunakan ayah. Di tanganku, aku memegang foto kecil ayah dan ibu, yang kini menjadi satu-satunya saksi hidup dari cinta mereka. Aku menangis lagi, tapi kali ini air mata itu bercampur dengan tekad. Ayah pernah bilang, “Kamu harus kuat, Tharani.” Kata-katanya menjadi pecut bagiku untuk bangkit, meski luka ini masih segar.
Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu merapikan barang-barang ayah. Di sudut lemari, aku menemukan buku catatan tua berisi tulisan tangannya yang rapi. Aku membukanya dengan hati-hati, dan ternyata itu adalah jurnal yang ditulisnya sejak ibu sakit. “10 Maret 2020: Ibu batuk lagi hari ini. Aku takut, tapi aku harus kuat buat Tharani. Dia harapanku,” tulisnya. Lalu, “15 April 2020: Ibu pergi. Rumah terasa kosong. Aku janji akan jaga Tharani sampai aku nggak bisa lagi.” Air mataku jatuh di atas kertas, membasahi tinta yang memudar. Di halaman terakhir, tertulis, “9 Juni 2025: Tharani, ayah pergi dengan damai. Jangan sedih, lanjutkan mimpimu. Ayah selalu ada di hatimu.”
Jurnal itu seperti surat terakhir dari ayah, dan aku memeluknya erat, seolah dia masih di sampingku. Aku memutuskan untuk kembali ke kuliah di kota, tapi sebelum itu, aku ingin menghormati janji ayah untuk menjaga kebun. Setiap sore, aku pergi ke kebun, menggali tanah, menyiram tanaman, dan menanam bibit baru—cabai, tomat, dan mangga seperti yang ayah lakukan. Di antara deretan pohon, aku berbicara padanya, menceritakan hari-hariku, harapanku, dan rencanaku untuk lulus dengan nilai terbaik. Angin yang bertiup pelan seolah membalas, membawa ketenangan ke dalam jiwaku.
Suatu hari, saat aku sedang memotong rumput di kebun, Mbok Sari datang membawa sekeranjang sayuran. “Tharani, kamu kuat banget. Darmawan pasti bangga,” katanya, matanya penuh kekaguman. Aku tersenyum, merasa dukungan itu seperti pelukan dari ayah. Mbok Sari lalu bercerita tentang bagaimana ayah sering membantu warga desa secara diam-diam—memperbaiki atap rumah, memberi sisa panen, atau sekadar mendengarkan keluh kesah. Aku tak tahu semua itu, dan cerita itu membuatku semakin yakin bahwa ayah adalah cahaya yang tak pernah padam, bahkan setelah kepergiannya.
Beberapa minggu kemudian, aku kembali ke kota untuk melanjutkan kuliah. Sebelum berangkat, aku mengunjungi makam ayah, membawa bunga liar yang kukumpulkan dari kebun. Aku duduk di samping makam, menatap plakat kayu yang kini mulai ditumbuhi lumut kecil. “Ayah, aku akan lulus dan kembali ke desa. Aku janji akan jaga kebun dan bikin kamu bangga,” kataku pelan, meletakkan bunga di atas tanah. Angin bertiup kencang, seolah menyetujui janjiku.
Di kota, kuliah terasa berat, tapi aku termotivasi oleh kenangan ayah. Aku belajar keras, sering begadang di perpustakaan, dan menyisihkan uang saku untuk mengirim bantuan ke desa—terutama untuk kebutuhan kebun. Suatu malam, saat aku sedang menulis tugas akhir tentang pertanian berkelanjutan—topik yang terinspirasi dari ayah—aku mendapat telepon dari Mbok Sari. “Tharani, kebunmu lagi subur banget! Tomatnya udah merah, cabainya banyak. Aku bantu jaga, ya,” katanya dengan suara ceria. Aku tersenyum, merasa ayah tersenyum bersamaku dari kejauhan.
Tiga bulan kemudian, aku lulus kuliah dengan predikat cum laude. Saat menerima ijazah, aku membayangkan ayah berdiri di tengah kerumunan, tersenyum bangga seperti dulu. Aku kembali ke desa dengan gelar di tangan dan rencana di hati: mengembangkan kebun ayah menjadi lahan pertanian modern yang bisa membantu warga desa. Aku membawa bibit unggul, alat pertanian sederhana, dan semangat baru. Bersama Mbok Sari dan beberapa tetangga, kami mulai bekerja, mengubah kebun itu menjadi simbol harapan.
Pada hari peresmian kebun yang kubenamakan “Taman Darmawan” sebagai penghormatan untuk ayah, aku berdiri di tengah lahan hijau yang kini dipenuhi tanaman subur. Warga desa berkumpul, membawa hasil panen pertama—tomat merah, cabai segar, dan mangga manis. Aku memotong pita sederhana yang kubuat dari kain warna-warni, dan sorak sorai menggema. Di sudut kebun, aku menanam pohon jati baru, mengenang pohon yang kutanam bersama ayah dulu. “Ini buat kamu, Ayah. Terima kasih sudah jadi cahayaku,” bisikku, menaburkan tanah di sekitar bibit.
Malam itu, aku duduk di teras rumah, menatap langit penuh bintang. Di tanganku, aku memegang jurnal ayah dan foto keluarga. Angin malam membawa aroma tanah yang basah, sama seperti saat ayah masih ada. Aku merasa dia dekat, tersenyum dari balik bintang-bintang, menyaksiku melangkah maju. Luka kehilangan masih ada, tapi kini aku tahu, cahaya ayah tak pernah benar-benar padam—ia hidup dalam setiap langkahku, dalam setiap tanaman yang tumbuh di kebun, dan dalam hati yang kini penuh harapan.
Dengan tekad baru, aku berjanji untuk terus menjaga warisan ayah, bukan hanya kebun, tapi juga nilai-nilai kebaikan dan ketahanan yang dia ajarkan. Desa Kembang Lestari akan menjadi saksi perjalanan hidupku, dan ayah akan selalu menjadi cahaya yang memandu di tengah gelap, selamanya.
Cerpen Ayahku, Cahaya di Tengah Gelap: Kisah Pribadi yang Menyentuh Hati bukan hanya sekadar kisah sedih, tetapi juga pelajaran hidup yang mendalam tentang kekuatan cinta seorang ayah dan ketahanan seorang anak untuk bangkit dari kehilangan. Dari kebun yang menjadi warisan hingga tekad Tharani untuk menghormati ayahnya, cerita ini menginspirasi kita semua untuk menghargai momen bersama keluarga. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca karya ini dan rasakan sentuhan emosionalnya yang tak terlupakan!
Terima kasih telah membaca ulasan tentang Ayahku, Cahaya di Tengah Gelap: Kisah Pribadi yang Menyentuh Hati! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan ke dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel menarik lainnya, dan jangan lupa bagikan pengalaman pribadi Anda di kolom komentar!