Aruna Sanctuary: Perjuangan Menyelamatkan Hewan dan Tumbuhan Langka dari Keserakahan Manusia

Posted on

Pernah kepikiran gimana rasanya berjuang mati-matian demi menyelamatkan hewan dan tumbuhan langka dari ancaman manusia serakah? Itulah yang terjadi di Aruna Sanctuary, tempat perlindungan yang jadi saksi bisu antara harapan dan kehancuran.

Cerita ini bukan cuma soal konservasi, tapi juga tentang keteguhan hati seorang pecinta alam yang nggak mau tunduk pada kekuatan uang dan keserakahan. Gimana kisahnya? Yuk, simak perjuangan Kiran dan timnya dalam mempertahankan rumah bagi makhluk-makhluk yang hampir punah!

Aruna Sanctuary

Warisan Sang Penjaga

Di antara pepohonan rimbun yang menjulang tinggi dan embusan angin yang membawa aroma tanah basah, seorang pemuda bernama Kiran berdiri menatap hamparan tanah luas di hadapannya. Tempat itu adalah rumah bagi ratusan makhluk hidup yang hampir terlupakan oleh dunia—Aruna Sanctuary.

Di kejauhan, suara burung-burung langka bercampur dengan gemerisik dedaunan. Seekor elang jawa bertengger di dahan tinggi, mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. Di bawahnya, seekor macan dahan berjalan perlahan, tubuhnya yang berotot menyelinap di antara pepohonan, seolah menjaga batas suaka ini dari bahaya luar.

“Kiran! Aku udah siapin makanan buat Lazu!” seru seorang gadis dari arah kandang kayu besar.

Gadis itu, Nesha, adalah salah satu penjaga Aruna Sanctuary dan sahabat Kiran sejak kecil. Dengan langkah cepat, ia membawa seember besar berisi dedaunan dan buah-buahan untuk badak sumatera yang sedang beristirahat di kandangnya. Lazu, badak betina itu, mengendus udara lalu mendekat, belalainya menyentuh ember dengan penuh antusias.

Kiran tersenyum kecil lalu berjalan menghampiri. “Terima kasih, Nesha. Aku tadi hampir lupa kalau jadwal makan Lazu udah mau telat.”

Nesha melirik tajam. “Makanya jangan kebanyakan melamun. Kamu sering banget gitu akhir-akhir ini. Kenapa, sih?”

Kiran menghela napas, matanya kembali menatap pepohonan di sekelilingnya. “Aku cuma mikirin ayah. Kalau dia masih ada, pasti dia bisa ngasih solusi buat beberapa masalah di sini.”

Nesha terdiam. Ia tahu betul betapa besar kehilangan yang dirasakan Kiran sejak kepergian ayahnya, Dr. Mahesa, seorang ahli konservasi yang mengabdikan hidupnya untuk menyelamatkan flora dan fauna langka. Aruna Sanctuary adalah peninggalannya—sebuah warisan yang tak hanya berupa tanah, tetapi juga impian untuk menjaga keseimbangan alam.

“Masalah apa?” tanya Nesha, mencoba memahami kegelisahan sahabatnya.

Kiran mengusap rambutnya yang berantakan. “Banyak. Persediaan makanan buat hewan-hewan makin terbatas, beberapa tanaman langka nggak mau berkembang biak, dan—”

Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, disusul suara kepakan sayap kuat. Seekor elang jawa terbang rendah, melintas tepat di atas mereka. Kiran dan Nesha saling berpandangan.

“Itu Kayra, kan?” gumam Nesha.

Kayra, elang jawa yang beberapa bulan lalu mereka selamatkan dari perdagangan ilegal, tampak gelisah. Ia berputar-putar di atas mereka, sebelum akhirnya hinggap di dahan rendah, mencengkeram kayu dengan erat.

“Kamu kenapa, Kayra?” Kiran bertanya pelan, seolah burung itu bisa menjawabnya.

Tiba-tiba, dari dalam hutan, suara langkah kaki terdengar. Bukan suara langkah manusia, tetapi lebih berat, lebih lambat. Dari balik pepohonan, muncullah seekor anak tapir dengan tubuh mungilnya yang dipenuhi motif garis-garis cokelat.

“Tapir?” Nesha menajamkan pandangannya.

Kiran segera menyadari sesuatu yang tak beres. “Tunggu… di mana induknya?”

Tapir kecil itu tampak kebingungan, sesekali mengendus udara, seolah mencari sesuatu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan induknya di sekitar sana.

Kiran langsung mengambil radio komunikasi di sakunya. “Rehan, kamu bisa ke arah barat daya? Ada anak tapir yang terpisah dari induknya.”

Suara di radio menjawab dengan cepat. “Siap, aku ke sana sekarang.”

Kiran dan Nesha perlahan mendekati tapir kecil itu, mencoba tidak membuatnya ketakutan. Hewan itu mengendus tangan Kiran, matanya yang besar memancarkan ketakutan yang dalam.

“Kamu pasti tersesat, ya?” bisik Kiran.

Nesha mengusap pelan punggung tapir kecil itu, lalu menatap Kiran dengan khawatir. “Kalau induknya nggak ketemu, dia nggak akan bisa bertahan sendiri.”

Kiran mengepalkan tangan. “Kita harus cari induknya. Tapi kalau nggak ketemu… kita urus dia di sini.”

Suaka ini adalah rumah bagi siapa saja yang membutuhkan perlindungan. Kiran bersumpah dalam hati, ia tidak akan membiarkan satu pun makhluk di sini merasa sendirian.

Di langit, Kayra kembali mengepakkan sayapnya, terbang lebih tinggi seolah mengawasi tempat ini dari atas. Seperti sebuah pertanda, bahwa Aruna Sanctuary adalah tempat di mana kehidupan terus bertumbuh, meski dunia di luar semakin kejam.

Godaan di Balik Janji Manis

Sore di Aruna Sanctuary terasa lebih tenang setelah kegelisahan siang tadi. Anak tapir yang mereka temukan kini beristirahat di dalam kandang darurat, dibungkus selimut jerami yang hangat. Meski masih tampak gelisah, setidaknya ia sudah mau makan. Namun, pencarian induknya belum membuahkan hasil.

Sementara itu, di rumah kayu yang menjadi pusat suaka, Kiran duduk di beranda dengan tatapan kosong. Pikirannya berkecamuk. Meskipun ia bersikeras mempertahankan tempat ini, ancaman terus berdatangan—entah itu perburuan liar, kekurangan dana, atau bahkan gangguan dari luar.

Suara langkah kaki mendekat. Nesha muncul dari dalam rumah, membawa dua cangkir teh hangat. “Aku tahu kamu belum minum apa pun sejak tadi,” katanya sambil menyodorkan secangkir ke Kiran.

Kiran tersenyum kecil. “Terima kasih. Kamu selalu tahu kapan aku butuh sesuatu.”

Baru saja mereka akan menikmati keheningan senja, suara mobil mendekat dari arah gerbang. Kiran dan Nesha saling berpandangan. Jarang sekali ada tamu tanpa pemberitahuan.

Dari dalam mobil mewah berwarna hitam, keluarlah seorang wanita dengan pakaian rapi dan aura percaya diri. Rambutnya tertata sempurna, dan di matanya ada tatapan penuh perhitungan.

“Kiran Mahesa?” sapanya dengan nada ramah.

Kiran bangkit berdiri, mendekati wanita itu dengan waspada. “Iya, saya Kiran. Anda siapa?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Aku Radmira. Aku ke sini karena aku tertarik dengan tempat ini.”

Tatapan Kiran menajam. Sudah terlalu banyak orang yang datang dengan kepentingan terselubung. “Kalau tertarik dengan konservasi, kami selalu terbuka buat orang-orang yang ingin membantu.”

Radmira tertawa kecil. “Bukan hanya itu. Aku ingin mengajakmu bekerja sama.”

Nesha, yang berdiri di samping Kiran, melipat tangan di dada. “Maksud kamu apa?”

Radmira melangkah mendekat, lalu memandang sekeliling suaka dengan penuh minat. “Aku punya rencana besar, Kiran. Aku ingin membangun resor ekowisata di tanah ini. Bayangkan, para turis bisa datang, melihat satwa langka dari dekat, menikmati keindahan alam… Dan kamu tetap bisa menjalankan konservasi ini dengan lebih banyak dukungan finansial.”

Kiran menatap wanita itu tanpa ekspresi. Ia sudah pernah mendengar tawaran serupa sebelumnya, dan jawaban dari hatinya selalu sama.

“Kamu ingin membangun hotel di tanah ini?” tanyanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.

Radmira mengangguk. “Bukan sekadar hotel, tapi pengalaman alam yang luar biasa. Kamu bisa mendapatkan donasi besar, sponsor, dan—”

“Kamu mau menjadikan hewan-hewan di sini tontonan?” potong Kiran dengan suara lebih tajam.

Radmira tertawa pelan. “Bukan tontonan. Tapi kalau mereka bisa dilihat turis, kesadaran tentang pelestarian bisa meningkat.”

Kiran menggeleng pelan. “Aku nggak butuh kesadaran yang datang dari orang-orang yang hanya ingin berfoto dengan hewan langka, lalu pulang tanpa peduli apakah mereka masih hidup esok hari atau tidak.”

Ekspresi Radmira berubah, senyumnya menipis. “Kiran, aku ngerti kamu keras kepala. Tapi dunia ini nggak berjalan dengan idealisme doang. Kamu pikir tempat ini bisa bertahan tanpa dana? Kamu bisa kasih makan berapa lama lagi tanpa bantuan dari luar?”

Nesha, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya angkat bicara. “Kami nggak butuh bantuan dari orang yang niatnya nggak tulus.”

Radmira menatap Nesha sekilas, lalu kembali menatap Kiran. “Aku nggak akan paksa kamu sekarang. Tapi pikirkan baik-baik, Kiran. Aku bisa membuat tempat ini lebih besar, lebih berpengaruh.”

Dengan langkah anggun, Radmira kembali ke mobilnya. Sebelum pergi, ia menurunkan kaca jendela dan menatap Kiran sekali lagi.

“Kamu punya waktu untuk berpikir. Kalau kamu berubah pikiran, kamu tahu di mana mencariku.”

Mobil itu pun melaju, meninggalkan debu di jalan setapak.

Kiran berdiri diam. Tawaran itu mungkin terdengar menggiurkan bagi orang lain, tapi tidak baginya. Ia tahu apa yang terjadi ketika uang menjadi prioritas utama dalam konservasi. Akhirnya, kepentingan bisnis akan selalu mengorbankan kehidupan.

Nesha menatap Kiran penuh arti. “Kamu nggak bakal tergoda, kan?”

Kiran menghela napas panjang. “Tidak. Tapi aku juga sadar, tempat ini nggak akan bisa bertahan selamanya kalau kita nggak cari solusi.”

Angin senja berhembus, membawa suara dedaunan yang bergesekan. Di kejauhan, Kayra kembali terbang melintasi langit, seolah mengawasi keputusan yang akan diambil oleh pemilik tanah ini.

Api Penghancur, Air Mata Kehidupan

Malam di Aruna Sanctuary terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara jangkrik yang biasanya bersahutan terdengar jauh lebih redup. Kiran duduk di beranda rumah kayu, menatap langit berbintang sambil memikirkan percakapan terakhirnya dengan Radmira.

Nesha datang membawa selimut dan meletakkannya di samping Kiran. “Aku tahu kamu masih kepikiran soal tawaran Radmira.”

Kiran menghela napas pelan. “Aku cuma mikir… kalau aku nolak tawarannya, aku harus bisa cari cara lain supaya tempat ini tetap bertahan.”

Nesha duduk di sebelahnya. “Aku percaya kamu bisa. Kita bisa cari sponsor yang benar-benar peduli, nggak kayak Radmira yang cuma mikirin bisnis.”

Kiran mengangguk. “Iya, aku tahu. Tapi waktu kita nggak banyak.”

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari arah kandang. Kiran dan Nesha spontan bangkit berdiri. Lazu, badak sumatera kesayangan mereka, mengeluarkan suara gelisah dari dalam kandangnya. Tak lama, suara jeritan beberapa burung langka terdengar dari hutan.

Rehan, salah satu penjaga suaka, berlari ke arah mereka dengan napas terengah-engah. “Kiran! Api! Hutan di sisi barat terbakar!”

Mata Kiran melebar. “Apa?!”

Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari ke arah sumber kebakaran. Nesha dan Rehan mengejarnya, sementara penjaga lain mulai berteriak memanggil yang lain untuk membantu.

Di kejauhan, langit malam memerah, nyala api menari-nari di antara pepohonan. Asap hitam mulai memenuhi udara. Angin kencang membuat api semakin cepat menyebar, memakan habis dedaunan dan ranting kering.

“Ini bukan kebakaran biasa…” gumam Nesha.

Kiran menggertakkan giginya. Ia juga tahu. Api ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya. Seseorang telah menyalakannya.

Namun, tidak ada waktu untuk mencari pelakunya sekarang. Mereka harus menyelamatkan suaka ini.

“Ayo! Selamatkan hewan-hewan!” teriak Kiran.

Para penjaga berlarian ke berbagai arah. Beberapa membuka kandang agar hewan-hewan bisa melarikan diri ke hutan yang lebih dalam, sementara yang lain berusaha menyiram api dengan air seadanya.

Lazu masih terperangkap di dalam kandangnya. Badak itu meronta ketakutan, menghantam pagar kayu dengan tubuh besarnya, tetapi kandang itu terlalu kuat.

“Kiran! Lazu nggak bisa keluar!” seru Rehan panik.

Kiran langsung berlari ke arah kandang, mengambil linggis dan mencoba mencungkil kunci besi yang mulai memanas akibat api yang semakin mendekat.

“Lazu, tahan sebentar!” Kiran berusaha tetap tenang, meski tubuhnya mulai berkeringat karena panas yang menyengat.

Nesha datang membawa ember berisi air dan menyiramkan ke kandang untuk mengurangi panasnya. “Ayo, Kiran! Kita nggak punya banyak waktu!”

Kiran menggertakkan giginya, menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka gembok. Dengan satu tarikan terakhir, akhirnya kandang terbuka.

Lazu langsung keluar, berlari menjauh dari kobaran api.

Namun, sebelum Kiran sempat bergerak, sebuah batang kayu terbakar jatuh dari atas, tepat ke arahnya.

“Kiran!!!” teriak Nesha.

Kiran merasakan panas luar biasa di punggungnya saat kayu itu mengenai tubuhnya. Rasa sakit menyebar, tapi ia masih bisa mendengar suara Nesha yang berlari ke arahnya.

Tangannya terasa lemah. Pandangannya mulai kabur oleh asap. Namun sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia sempat melihat Lazu berhenti berlari dan menoleh ke arahnya. Mata badak itu penuh kecemasan, seolah mengerti apa yang terjadi pada penyelamatnya.

Lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika Kiran membuka mata, ia mendengar suara air menetes. Bau obat menyengat menusuk hidungnya. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat atap kayu yang familiar—ruangan di dalam rumah suaka.

“Kiran!”

Suara Nesha terdengar sebelum sosoknya muncul di samping ranjang. Matanya sembab, wajahnya penuh kekhawatiran.

Kiran mencoba bangun, tapi tubuhnya terasa berat. Punggungnya terasa perih, dan ketika ia mencoba menggerakkan tangan, ia menyadari perban melilit sebagian tubuhnya.

“Apa yang terjadi…?” suaranya serak.

Nesha menarik napas dalam sebelum menjawab, “Kamu pingsan pas coba nyelamatin Lazu. Untung kita berhasil padamin apinya sebelum semuanya habis terbakar.”

Kiran menatap langit-langit, mencoba mencerna semuanya. “Berapa banyak yang rusak?”

Wajah Nesha meredup. “Cukup banyak. Beberapa kandang hancur, sebagian tanaman langka ikut terbakar… Tapi kita bisa membangun lagi.”

Kiran mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Suara-suara dari luar terdengar samar—para penjaga sedang bekerja membersihkan sisa-sisa kebakaran.

“Ini bukan kebetulan, kan?” tanyanya pelan.

Nesha menggeleng. “Nggak. Ini disengaja.”

Kiran mengepalkan tangannya. Ia sudah tahu siapa yang paling mungkin melakukannya.

Radmira.

Matanya menyala dengan tekad baru. Jika seseorang berpikir mereka bisa menghancurkan Aruna Sanctuary demi keuntungan pribadi, mereka salah besar.

Ia akan membangun kembali tempat ini, lebih kuat dari sebelumnya.

Janji di Bawah Langit Aruna

Udara pagi di Aruna Sanctuary masih menyisakan bau asap dari kebakaran semalam. Pohon-pohon yang terbakar meninggalkan jejak hitam di tanah, beberapa kandang rusak parah, dan beberapa satwa masih dalam kondisi trauma. Namun, tempat ini masih berdiri. Itu yang terpenting.

Kiran duduk di kursi beranda, masih merasakan nyeri di punggungnya akibat luka bakar. Tapi matanya penuh dengan tekad. Ia tak akan mundur.

Rehan mendekat dengan wajah serius. “Aku baru dapat laporan dari tim yang patroli tadi pagi. Mereka menemukan bekas jerigen bensin di dekat titik api pertama.”

Kiran menggertakkan giginya. “Jadi ini memang dibakar.”

Nesha datang membawa segelas air. “Kamu yakin ini kerjaannya Radmira?”

Kiran menatap Nesha dalam-dalam. “Siapa lagi yang punya motif? Dia yang datang menawarkan ‘bantuan’, dia yang mengancam secara halus, dan sekarang tiba-tiba ada kebakaran? Itu terlalu kebetulan.”

Nesha mengepalkan tangannya. “Kita nggak bisa tinggal diam, Kiran. Kita harus cari bukti.”

Seolah alam mendukung tekad mereka, Kayra, elang jawa yang selalu mengawasi Aruna Sanctuary dari langit, tiba-tiba melayang rendah, mencengkeram sesuatu di cakarnya. Ia mendarat di pagar kayu dan menjatuhkan benda itu—sebuah benda kecil berkilau.

Kiran mengambilnya dan memeriksanya dengan saksama. Itu sebuah pin berbentuk bunga anggrek emas. Matanya langsung menyipit.

“Ini milik Radmira.”

Nesha menatapnya tidak percaya. “Serius?”

Kiran mengangguk. “Ayahku pernah cerita tentang wanita yang dulu mencoba membeli tanah ini darinya. Dia selalu memakai pin ini di bajunya.”

Rehan, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Kalau kita kasih ini ke pihak berwenang, mereka bisa menyelidiki lebih dalam.”

Kiran menggenggam pin itu erat. “Iya. Kali ini, kita lawan mereka dengan cara yang benar.”

Beberapa hari setelah laporan diajukan, kabar itu akhirnya sampai ke telinga Radmira. Wanita itu muncul di suaka sekali lagi, tapi kali ini tanpa senyum manisnya. Wajahnya dingin, penuh ketegangan.

“Kenapa kamu melakukan ini, Kiran?” tanyanya dengan nada tajam.

Kiran berdiri tegak, meski masih merasakan perih di tubuhnya. “Karena kamu sudah melampaui batas. Kamu pikir dengan membakar sebagian tempat ini, aku akan menyerah dan menjual tanahnya?”

Radmira mendengus, mencoba tetap tenang. “Buktinya mana?”

Kiran mengangkat pin emas itu. “Kamu meninggalkan ini di dekat titik api. Ini cukup buat memulai penyelidikan.”

Radmira terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku nggak akan semudah itu tumbang, Kiran.”

Kiran membalas tatapan tajamnya. “Dan aku juga nggak akan semudah itu menyerah.”

Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan. Radmira pergi, dan Kiran tahu ini bukan akhir. Tapi setidaknya, sekarang mereka punya kesempatan untuk melawan.

Beberapa minggu kemudian, penyelidikan terus berjalan. Aruna Sanctuary perlahan mulai pulih. Para relawan dan pendukung konservasi berdatangan untuk membantu membangun kembali kandang, menanam kembali pohon yang rusak, dan memastikan semua satwa tetap aman.

Di antara semua satwa yang mereka selamatkan, ada satu yang tumbuh dengan sangat baik—anak tapir yang mereka temukan dulu. Kini, tubuhnya lebih besar dan sehat.

Kiran berdiri di dekatnya, membelai lembut punggungnya. “Aku akan menamakan kamu ‘Aruna’. Karena kamu adalah simbol harapan tempat ini.”

Nesha tersenyum di sampingnya. “Itu nama yang bagus.”

Kiran menghela napas panjang, menatap hutan yang masih berdiri kokoh di hadapannya. Meski mereka sudah melewati banyak rintangan, perjalanan ini belum selesai. Tapi satu hal yang pasti—ia tak akan berhenti berjuang untuk rumah ini. Untuk hewan-hewan langka, untuk tumbuhan yang hampir punah, dan untuk impian ayahnya yang kini menjadi impiannya juga.

Di atas langit, Kayra mengepakkan sayapnya, melayang tinggi di atas Aruna Sanctuary, seolah mengawasi tempat itu dengan penuh kebanggaan.

Dan di bawah langit yang luas, Kiran bersumpah dalam hati—selama ia masih bernapas, tak ada satu pun yang bisa menghancurkan rumah bagi kehidupan ini.

Aruna Sanctuary bukan cuma tempat perlindungan hewan dan tumbuhan langka, tapi juga simbol dari perjuangan, harapan, dan cinta terhadap alam. Kisah Kiran mengajarkan kita bahwa menjaga kelestarian lingkungan bukan hal mudah, tapi dengan tekad yang kuat, segalanya mungkin.

Jadi, apa kita mau jadi bagian dari solusi atau malah ikut jadi ancaman? Mulai dari hal kecil—jaga lingkungan, dukung konservasi, dan sebarkan kesadaran! Karena kalau bukan kita, siapa lagi?

Leave a Reply