Api Jiwa Pemuda: Kisah Heroik Sumpah Pemuda Indonesia

Posted on

Temukan inspirasi mendalam dalam Api Jiwa Pemuda: Kisah Heroik Sumpah Pemuda Indonesia, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjuangan seorang pemuda bernama Rangga Putrawan dan rekan-rekannya dalam menyatukan suara pemuda Indonesia menjelang Kongres Pemuda 1928. Dilengkapi emosi mendalam, kesedihan, dan semangat tak kenal lelah, cerita ini menghidupkan kembali momen bersejarah yang melahirkan Sumpah Pemuda—fondasi persatuan bangsa. Siapkah Anda menyelami perjalanan heroik ini?

Api Jiwa Pemuda

Panggilan dari Bayang-Bayang

Di sebuah sudut kecil Jakarta pada tahun 1928, di antara deretan rumah kayu yang berdiri rapuh di tepi Kali Ciliwung, hiduplah seorang pemuda bernama Rangga Putrawan. Nama itu, yang berarti “penjaga keberanian,” seolah menjadi cerminan jiwa yang membara di dalam dirinya, meski usianya baru menginjak delapan belas tahun. Rangga adalah anak dari seorang pedagang keliling, Bapak Darmayuda, dan seorang penjahit sederhana, Ibu Wulan Sari, yang setiap hari berjuang menghidupi keluarga kecil mereka di tengah tekanan ekonomi dan penjajahan Belanda. Di malam hari, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, Rangga sering mendengarkan cerita ibunya tentang tanah air yang pernah bebas, sebelum kapal-kapal asing merenggut martabat rakyat.

Pagi itu, udara Jakarta terasa berat, dipenuhi asap dari cerobong pabrik dan suara klakson kereta api yang membelah kota. Rangga bangun lebih awal, membantu ayahnya mempersiapkan gerobak dagangan—sebuah gerobak tua yang penuh goresan, berisi kain-kain bekas dan rempah-rempah dari pasar. Tangan Rangga, yang masih halus namun mulai kapalan, mengangkat karung dengan hati-hati, namun pikirannya melayang ke sebuah undangan rahasia yang ia terima semalam. Selembar kertas lusuh, diselipkan di bawah pintu rumahnya, mengundangnya ke sebuah pertemuan di sebuah gudang tua di kawasan Tanah Abang. “Pemuda Indonesia bersatu untuk masa depan,” begitu tertulis, dengan tanda tangan samar yang ia kenali sebagai milik seorang aktivis muda bernama Kencana Dewi, seorang perempuan pemberani yang dikenal di kalangan bawah tanah.

Rangga tahu risikonya. Belanda memiliki mata-mata di mana-mana, dan setiap pertemuan rahasia bisa berakhir dengan penangkapan atau bahkan kematian. Namun, di dadanya, ada bara yang tak bisa ia tahan—semangat untuk melihat tanah airnya bebas dari belenggu penjajah. Ia ingat adiknya, Kiranawati, yang baru berusia lima belas tahun, sering bertanya mengapa mereka harus takut setiap kali mendengar suara sepatu tentara Belanda berderap di jalan. “Kapan kita bisa bernyanyi dengan bebas, Kak?” tanyanya suatu malam, suaranya penuh harap. Pertanyaan itu terus bergema di kepala Rangga, mendorongnya untuk mengambil langkah berani.

Saat matahari mulai naik, Rangga meminta izin kepada ayahnya untuk pergi ke pasar, meski tujuannya sebenarnya ke gudang Tanah Abang. Bapak Darmayuda, dengan wajah penuh kerut, hanya mengangguk sambil mengingatkannya untuk hati-hati. “Jangan terlibat dalam urusan yang tak perlu, Nak,” katanya pelan, namun matanya menunjukkan pemahaman yang dalam. Rangga mengangguk, namun di dalam hatinya, ia tahu ini bukan urusan yang bisa diabaikan. Ia mengenakan baju lusuh yang biasa dikenakannya saat bekerja, menyembunyikan selembar kertas undangan di saku, dan berjalan menuju destinasi yang penuh misteri.

Jalanan Jakarta pagi itu ramai dengan pedagang dan buruh, namun di balik keramaian, ada ketegangan yang tak terucap. Rangga melangkah cepat, menghindari pandangan mencurigakan dari seorang polisi Belanda yang berpatroli di sudut jalan. Setelah berbelok beberapa kali melalui gang-gang sempit yang dipenuhi bau lumpur dan ikan asin, ia tiba di depan gudang tua yang dikelilingi tumpukan kayu dan kain bekas. Pintu kayu itu terbuka sedikit, dan dari dalam terdengar bisik-bisik yang penuh semangat. Dengan hati berdebar, Rangga masuk.

Di dalam, ia disambut oleh sekitar dua puluh pemuda dan perempuan, duduk melingkar di atas tikar usang. Cahaya dari beberapa lampu minyak menerangi wajah-wajah yang penuh tekad. Di tengah kelompok, berdiri Kencana Dewi, seorang perempuan berusia dua puluh satu tahun dengan rambut dikuncir rapi dan mata yang tajam seperti elang. Ia adalah putri seorang ulama yang telah lama mengadvokasi pendidikan untuk rakyat kecil, dan kini menjadi salah satu penggerak utama gerakan pemuda. Di sisinya, ada Wirahadi, seorang pemuda tinggi kurus yang dikenal sebagai ahli pidato, dan Srikandi Puspita, seorang perempuan cerdas yang mahir menulis pamflet rahasia.

“Selamat datang, Rangga Putrawan,” sapa Kencana dengan senyum tipis. “Kami tahu kau punya hati untuk perubahan. Hari ini, kita akan merencanakan sesuatu yang besar—Kongres Pemuda yang akan menyatukan suara kita sebagai bangsa Indonesia.” Rangga menelan ludah, merasakan beban kata-kata itu. Ia tahu Kongres Pemuda, yang rencananya akan diadakan pada 27-28 Oktober 1928, adalah langkah berani untuk menyuarakan persatuan di tengah perpecahan suku dan daerah yang sengaja dipelihara Belanda.

Pertemuan itu berlangsung panjang. Wirahadi menjelaskan rencana untuk mengumpulkan perwakilan dari berbagai organisasi pemuda, seperti Perhimpunan Indonesia dan Jong Java, di sebuah gedung di Jakarta. Srikandi Puspita membagikan draf pidato yang ia tulis, penuh dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat. Namun, di tengah diskusi, suara derap sepatu di luar gudang membuat semua orang terdiam. “Mata-mata!” bisik Wirahadi panik. Kencana segera memerintahkan semua orang menyembunyikan dokumen dan berpencar melalui pintu belakang.

Rangga, yang terjebak di sudut, merasa jantungnya berhenti saat pintu depan dibanting terbuka. Dua polisi Belanda masuk, senapan terhunus, diikuti oleh seorang informan pribumi yang menunjuk ke arah kelompok. “Tangkap mereka!” teriak polisi dalam bahasa Belanda. Rangga berlari menuju pintu belakang, namun sebuah tangan kasar menarik lengannya. Ia berputar, mencoba melepaskan diri, dan dengan sekuat tenaga memukul informan itu dengan siku. Dalam kekacauan, ia berhasil lolos, berlari melalui gang-gang sempit sambil mendengar teriakan dan tembakan di kejauhan.

Setelah berjam-jam bersembunyi di balik tumpukan kayu di tepi sungai, Rangga kembali ke rumah dengan napas terengah-engah. Ia menemukan Ibu Wulan Sari menangis di beranda, memeluk Kiranawati yang gemetar. “Di mana kau, Nak? Ada razia tadi, dan aku takut kau ikut tertangkap!” jerit ibunya. Rangga memeluk mereka, merasa bersalah karena membahayakan keluarganya. Namun, di dalam hatinya, bara semangat semakin membesar. Ia tahu, pertemuan itu hanyalah awal. Ia harus melanjutkan perjuangan, demi Kiranawati, demi Ibu Wulan Sari, dan demi semua pemuda Indonesia yang haus akan kebebasan.

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Rangga duduk di samping adiknya. “Kak, aku dengar ada orang bilang kita tak akan menang melawan Belanda,” kata Kiranawati dengan suara kecil. Rangga menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Mereka salah, Kirana. Kita tak hanya akan menang, tapi kita akan membuktikan bahwa pemuda Indonesia punya jiwa yang tak bisa dipadamkan.” Ia mengeluarkan selembar kertas yang tersisa dari pertemuan—draf sumpah yang akan mereka ucapkan—and membacakannya pelan. “Kami putra dan putri Indonesia, bersumpah….” Kata-kata itu terdengar seperti doa, menggema di hati mereka berdua, menandai awal dari perjalanan yang akan mengubah sejarah.

Di kejauhan, suara sirene polisi masih terdengar, namun Rangga tak lagi gentar. Ia tahu, bahaya akan selalu mengintai, tetapi panggilan dari bayang-bayang masa lalu dan harapan masa depan telah membawanya ke jalan ini. Dengan setiap detak jantung, ia merasa lebih dekat pada hari di mana bendera merah putih akan berkibar bebas, dan nama-nama seperti Kencana Dewi, Wirahadi, dan Srikandi Puspita—serta dirinya sendiri—akan menjadi bagian dari api jiwa pemuda yang tak pernah padam.

 

Bayang di Tengah Kabut

Pagi hari di Jakarta pada akhir September 1928 terasa dingin, dengan kabut tipis menyelimuti Kali Ciliwung dan gang-gang sempit di sekitar rumah Rangga Putrawan. Setelah kejadian mencekam di gudang Tanah Abang beberapa hari lalu, udara di rumahnya terasa berat, dipenuhi dengan ketegangan yang tak terucap. Rangga bangun dengan mata sembab, tidurnya terganggu oleh mimpi buruk tentang polisi Belanda yang menyerbu dan wajah Kencana Dewi yang hilang dalam kekacauan. Di luar, suara ayahnya, Bapak Darmayuda, yang sedang memperbaiki gerobak dagangan, menjadi satu-satunya tanda kehidupan di pagi yang sunyi. Ibu Wulan Sari, dengan wajah pucat, sibuk menyiapkan sarapan sederhana dari nasi jagung dan sayuran liar yang mereka kumpulkan di tepi sungai.

Rangga duduk di beranda, memandangi selembar kertas draf sumpah yang ia selamatkan dari razia. Kata-kata itu—“Kami putra dan putri Indonesia, bersumpah untuk menjaga persatuan dan kesatuan”—terasa seperti beban sekaligus harapan di pundaknya. Ia tahu, setelah kejadian itu, pertemuan-pertemuan rahasia akan semakin sulit, namun semangatnya tak padam. Adiknya, Kiranawati, mendekatinya dengan langkah pelan, membawa segelas air. “Kak, aku dengar dari tetangga, ada yang bilang Kencana ditangkap,” katanya, suaranya bergetar. Rangga menatapnya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di hatinya. “Kita belum tahu pasti, Kirana. Tapi aku akan cari tahu,” jawabnya, meski di dalam dirinya, ia merasa gelisah.

Setelah sarapan, Rangga memutuskan untuk pergi ke pasar, menggunakan alasan biasa untuk menyelinap ke tempat pertemuan darurat yang dijadwalkan di sebuah rumah tua di kawasan Senen. Ia mengenakan topi lusuh untuk menyamarkan wajahnya, menyadari bahwa polisi Belanda mungkin masih mencarinya setelah insiden Tanah Abang. Perjalanan ke Senen penuh dengan kehati-hatian. Ia berjalan melintasi jalan-jalan berdebu, menghindari pandangan polisi yang berpatroli dengan anjing pelacak, dan sesekali berhenti di warung kopi untuk berpura-pura minum agar tak dicurigai. Di dalam hatinya, ia berdoa agar Kencana dan teman-temannya selamat.

Tiba di rumah tua itu, Rangga disambut oleh Wirahadi, yang tampak pucat namun tetap teguh. Di dalam, hanya ada beberapa orang—Srikandi Puspita, seorang pemuda bernama Bagus Pranata yang ahli membuat pamflet, dan seorang pria tua bernama Ki Jatmiko, yang konon pernah menjadi pejuang melawan Belanda di masa lalu. Kencana Dewi tak ada di antara mereka, dan suasana menjadi muram ketika Wirahadi mengumumkan kabar buruk: Kencana ditangkap semalam di rumahnya, bersama beberapa dokumen penting. “Kita harus melanjutkan rencana Kongres Pemuda,” kata Wirahadi dengan suara berat. “Ini untuk menghormati pengorbanannya.”

Rangga merasa jantungnya berdebar. Ia ingat tatapan tajam Kencana saat pertama kali bertemu, dan bagaimana ia menginspirasinya untuk percaya pada persatuan. “Bagaimana kita bisa melakukannya tanpa dia?” tanyanya, suaranya penuh keraguan. Srikandi Puspita, dengan mata merah namun penuh tekad, menjawab, “Kita harus lebih cerdas. Kita akan gunakan jalur rahasia dan kode untuk komunikasi. Kencana ingin ini terjadi, dan kita tak boleh mengecewakannya.” Ki Jatmiko, dengan suara parau, menambahkan, “Pemuda adalah harapan. Kalau kita menyerah, siapa lagi yang akan berjuang?”

Mereka menghabiskan sore itu untuk menyusun strategi. Bagus Pranata mengusulkan penggunaan surat kode yang disembunyikan di dalam kain dagangan, sementara Srikandi menulis ulang draf sumpah dengan bahasa yang lebih kuat. Rangga ditugaskan untuk menyebarkan pesan ke kelompok pemuda di daerah lain, seperti Bandung dan Surabaya, menggunakan jalur pedagang keliling yang bisa dipercaya. Tugas itu berat, tetapi ia menerimanya dengan hati penuh tanggung jawab. Namun, di tengah diskusi, suara ketukan keras di pintu membuat semua orang terdiam. Polisi Belanda! Wirahadi segera memerintahkan mereka berpencar melalui jendela belakang.

Rangga berlari melalui gang sempit, kali ini dengan lebih terlatih setelah kejadian sebelumnya. Ia melompat ke atas tumpukan kayu dan menyelinap ke dalam semak di tepi sungai, mendengar suara teriakan dan suara sepatu yang semakin menjauh. Napasnya tersengal, namun ia tak berhenti sampai yakin aman. Di balik semak, ia menemukan sebuah kotak kecil yang jatuh dari saku seseorang—mungkin Srikandi—berisi peta lokasi pertemuan berikutnya dan nama-nama kontak rahasia. Ia menyimpannya dengan hati-hati, menyadari bahwa ini adalah tanggung jawab besar yang kini berada di pundaknya.

Kembali ke rumah pada malam hari, Rangga menemukan Ibu Wulan Sari menunggunya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Ada polisi tanya tentangmu, Nak,” katanya, suaranya gemetar. “Mereka bilang ada pemuda yang dicari karena pemberontakan.” Rangga memeluk ibunya, merasa bersalah karena membawa bahaya ke keluarganya. Di kamar, ia membuka kotak itu dan mempelajari peta dengan teliti, merencanakan perjalanan pertamanya ke Bandung. Namun, pikirannya terus kembali ke Kencana. Apakah ia masih hidup? Apakah ia sedang disiksa di penjara Belanda? Rasa sedih dan kemarahan bercampur di dadanya.

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang samar, Rangga duduk bersama Kiranawati. Adiknya, yang peka terhadap perubahan suasana, bertanya, “Kak, apa yang terjadi dengan Kencana? Aku takut.” Rangga menatapnya, lalu mengusap rambut adiknya dengan lembut. “Aku juga takut, Kirana. Tapi Kencana mengajarkan kita untuk berani. Kita harus lanjutkan mimpinya, untuk semua pemuda Indonesia.” Ia membacakan draf sumpah lagi, dan kali ini, suaranya lebih tegas, seolah mengikat janji itu dalam darahnya.

Keesokan harinya, Rangga memulai perjalanan pertamanya ke Bandung, menyamar sebagai pedagang kain. Ia membawa surat kode yang disembunyikan di gulungan kain, dan di sakunya, ia menyimpan sebuah foto kecil Kencana yang ia temukan di kotak itu—sebuah pengingat akan pengorbanan temannya. Di sepanjang jalan, ia menghadapi pemeriksaan ketat dari polisi Belanda, namun dengan kecerdikan, ia berhasil lolos. Di Bandung, ia bertemu dengan kelompok pemuda lain, yang menyambutnya dengan semangat membara. Namun, di tengah rapat, kabar datang: Kencana berhasil melarikan diri dari penjara dengan bantuan teman-temannya, meski kondisinya lemah.

Rangga merasa lega, namun juga semakin terdorong untuk mempercepat rencana. Ia tahu, setiap hari yang berlalu membawa risiko baru, dan Kongres Pemuda harus berhasil. Di malam hari, di sebuah losmen sederhana, ia menulis surat untuk Kiranawati dan Ibu Wulan Sari, berjanji akan kembali dengan kabar baik. Di luar, suara angin membawa bisikan harapan, dan di dalam hatinya, bara api jiwa pemuda semakin menyala, siap menghadapi badai yang akan datang menjelang hari bersejarah itu.

Api di Tengah Badai

Pagi hari di Bandung pada awal Oktober 1928 menyapa Rangga Putrawan dengan udara sejuk yang bercampur bau asap dari kompor-kompor pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Braga. Setelah berhasil menyampaikan surat kode kepada kelompok pemuda di kota ini semalam, Rangga merasa sedikit lega, namun ketegangan masih menggantung di dadanya. Kabar tentang pelarian Kencana Dewi dari penjara Belanda telah menyebar melalui jaringan rahasia, membawa harapan baru bagi gerakan pemuda. Namun, kabar itu juga memicu reaksi keras dari pihak kolonial, dengan peningkatan patroli dan razia di berbagai daerah. Rangga tahu, waktu menjelang Kongres Pemuda pada 27-28 Oktober semakin sempit, dan setiap langkah harus dihitung dengan cermat.

Rangga menginap di sebuah losmen sederhana milik seorang pedagang tua bernama Pak Suryo, yang diam-diam mendukung perjuangan pemuda dengan menyediakan tempat persembunyian. Pagi itu, ia membantu Pak Suryo mengangkut kain dagangan ke pasar, menyamar sebagai asisten agar tak mencurigakan. Di balik gulungan kain, ia menyimpan peta dan catatan dari pertemuan semalam dengan kelompok pemuda Bandung, yang dipimpin oleh seorang aktivis muda bernama Arga Wicaksono. Arga, dengan rambut gondrong dan tatapan penuh semangat, telah berjanji untuk mengirim perwakilan ke Jakarta, meski ia memperingatkan Rangga tentang risiko pengkhianatan dari dalam.

Setelah selesai di pasar, Rangga kembali ke losmen untuk bertemu dengan utusan dari Jakarta—Wirahadi dan Srikandi Puspita, yang tiba dengan wajah pucat namun penuh tekad. Mereka membawa kabar bahwa Kencana, meski lemah, telah bergabung kembali dengan jaringan di sebuah desa terpencil di Bogor untuk pemulihan. “Dia menyuruh kita lanjutkan rencana,” kata Srikandi, suaranya bergetar. “Tapi Belanda semakin agresif. Ada daftar nama yang bocor, dan namamu ada di dalamnya, Rangga.” Rangga menelan ludah, merasakan dingin merayap di tulang punggungnya. Ia tahu, ini berarti ia menjadi target, dan keluarganya di Jakarta juga dalam bahaya.

Mereka menghabiskan hari itu untuk menyusun strategi lebih lanjut. Wirahadi mengusulkan penggunaan jalur sungai untuk mengangkut perwakilan ke Jakarta, menghindari jalan darat yang dipantau ketat. Srikandi menyarankan pembuatan pamflet baru yang akan disebarkan secara diam-diam, berisi seruan persatuan yang lebih kuat. Rangga ditugaskan untuk mengkoordinasi komunikasi dengan kelompok di Surabaya, yang dikabarkan akan mengirim utusan melalui kereta api. Tugas itu memaksanya untuk meninggalkan Bandung malam itu juga, sebuah keputusan yang membuatnya gelisah karena ia harus meninggalkan Wirahadi dan Srikandi yang tampak lelah.

Malam tiba dengan langit berawan, menyembunyikan bulan purnama yang biasanya menerangi jalan. Rangga berpamitan dengan Pak Suryo, yang memberikan sebuah pisau kecil sebagai perlindungan. “Hati-hati, Nak. Jiwa pemuda adalah harta bangsa,” kata pria tua itu dengan suara parau. Rangga mengangguk, menyimpan pisau di saku celananya, dan berjalan menuju stasiun kereta api kecil di pinggiran Bandung. Di sana, ia menyusup ke dalam gerbong barang, bersembunyi di antara karung beras dan kain, dengan detak jantung yang tak kunjung reda. Suara peluit kereta dan derap roda di rel menjadi latar belakang ketegangan yang ia rasakan.

Perjalanan ke Surabaya memakan waktu seharian penuh, dengan pemeriksaan ketat di beberapa stasiun. Rangga, dengan kecerdikan, menyamar sebagai buruh dengan wajah diolesi abu untuk menyamarkan kulitnya yang bersih. Di setiap pemeriksaan, ia berdoa agar tak ada yang mencurigai isi tas kainnya, yang berisi dokumen rahasia. Ketika kereta akhirnya tiba di Surabaya pada malam hari, ia disambut oleh seorang pemuda bernama Dwi Santosa, yang membawanya ke sebuah rumah kecil di kawasan Ampel. Di sana, ia bertemu dengan kelompok pemuda lain, termasuk seorang perempuan bernama Ratna Jaya, yang dikenal sebagai penyanyi rahasia yang menyebarkan pesan perjuangan melalui lagu.

Pertemuan di Surabaya berlangsung panas. Ratna menyanyikan sebuah lagu patriotik yang ia ciptakan, membuat bulu kuduk Rangga berdiri. Dwi Santosa melaporkan bahwa kelompok mereka siap mengirim tiga perwakilan, namun ada masalah: seorang informan diduga telah mengkhianati lokasi pertemuan mereka kepada Belanda. Ketegangan meningkat saat suara derap sepatu terdengar di luar rumah. “Serbu!” teriak seseorang dalam bahasa Belanda, diikuti suara tembakan. Rangga dan kelompoknya berlari keluar melalui pintu belakang, namun Ratna tertinggal untuk mengalihkan perhatian musuh dengan lagunya yang keras.

Di tengah kekacauan, Rangga melihat Ratna ditangkap, tangannya diikat oleh polisi, sementara ia berteriak, “Lanjutkan sumpah kita!” Air mata mengalir di wajah Rangga saat ia berlari bersama Dwi menuju sungai, menyelinap ke dalam perahu kecil yang telah disiapkan. Perahu itu bergoyang di arus deras Brantas, dan di bawah cahaya bulan yang samar, Rangga merasa dunia runtuh. Ia kehilangan Ratna, dan kini ia tak yakin apakah perjuangannya akan membuahkan hasil. “Kita harus selamat untuk menyampaikan pesan ini,” kata Dwi dengan suara parau, mencoba menenangkan Rangga.

Setelah beberapa jam mengayuh, mereka tiba di sebuah desa kecil di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di sana, mereka bertemu dengan utusan dari Bogor, yang membawa kabar bahwa Kencana telah pulih cukup untuk kembali ke Jakarta. Rangga merasa harapan kembali menyala, namun ia tak bisa melupakan wajah Ratna yang penuh keberanian. Di desa itu, ia menulis laporan untuk Wirahadi, menggambarkan kejadian di Surabaya dan meminta bantuan untuk menyelamatkan Ratna. Ia juga menambahkan pesan pribadi untuk Kiranawati dan Ibu Wulan Sari, meminta mereka untuk tetap aman dan berdoa.

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Rangga dan Dwi merencanakan langkah berikutnya. Mereka memutuskan untuk membagi tugas: Dwi akan kembali ke Surabaya untuk mengorganisasi kelompok yang tersisa, sementara Rangga akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta untuk memastikan Kongres berlangsung. Di hati Rangga, bara semangat semakin membesar, didorong oleh pengorbanan Kencana, Ratna, dan semua pemuda yang telah bertaruh nyawa. Namun, di tengah kegelapan, ia juga merasakan bayang-bayang ketakutan—takut gagal, takut kehilangan lebih banyak lagi, dan takut bahwa sumpah yang mereka cita-citakan tak akan pernah terwujud.

Saat fajar menyingsing, Rangga memulai perjalanan kembali ke Jakarta, membawa luka di hatinya dan harapan di pundaknya. Di sepanjang jalan, ia mengingat kata-kata Kencana: “Api jiwa pemuda tak akan padam, meski badai mengguncang.” Dengan tekad yang diperkuat oleh pengorbanan teman-temannya, ia melangkah menuju hari yang akan mengubah sejarah, siap menghadapi apapun yang menantinya menjelang Kongres Pemuda yang penuh harapan dan bahaya.

Sumpah di Bawah Langit Bebas

Pagi hari di Jakarta pada 27 Oktober 1928 menyambut Rangga Putrawan dengan udara yang penuh ketegangan, bercampur harum bunga kamboja dari taman-taman kecil di sekitar gedung pertemuan rahasia di Jalan Kramat Raya. Setelah perjalanan penuh liku dari Surabaya dan Bogor, Rangga akhirnya tiba kembali di ibu kota, membawa luka di hatinya—kenangan akan Ratna Jaya yang ditangkap dan harapan tipis untuk menyelamatkannya—serta beban tanggung jawab untuk memastikan Kongres Pemuda berjalan lancar. Di dalam dirinya, bara api jiwa pemuda yang ia warisi dari Kencana Dewi dan teman-temannya masih menyala, meski tubuhnya lelah dan pikirannya dipenuhi bayang-bayang bahaya.

Rangga tiba di gedung tua yang telah disiapkan untuk Kongres, sebuah bangunan dua lantai dengan jendela-jendela tertutup rapat untuk menyamarkan aktivitas di dalamnya. Ia disambut oleh Wirahadi, yang tampak kurus namun berseri-seri, dan Srikandi Puspita, yang membawa tumpukan pamflet baru dengan tulisan “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa.” Di sudut ruangan, Kencana Dewi berdiri dengan tongkat penopang, wajahnya pucat namun matanya penuh api. “Kau berhasil, Rangga,” katanya dengan suara lemah namun tegas. “Sekarang, mari kita selesaikan apa yang kita mulai.” Rangga mengangguk, merasa emosi membuncah saat melihat Kencana masih bertahan setelah semua penderitaan.

Kongres dimulai dengan kehati-hatian. Sekitar lima puluh perwakilan dari berbagai organisasi pemuda, seperti Perhimpunan Indonesia, Jong Java, dan Jong Sumatranen Bond, hadir dengan penuh semangat. Arga Wicaksono dari Bandung dan Dwi Santosa dari Surabaya juga berhasil tiba, membawa kabar bahwa kelompok mereka masih bertahan meski menghadapi tekanan. Di dalam ruangan yang dipenuhi asap rokok dan bisik-bisik, Rangga duduk di barisan depan, memegang selembar kertas draf sumpah yang telah direvisi berkali-kali. Ia tahu, hari ini adalah puncak perjuangan mereka, namun juga hari yang paling berisiko—mata-mata Belanda bisa saja menyusup.

Diskusi berlangsung sengit. Beberapa perwakilan memperdebatkan kata-kata yang tepat untuk menyatakan persatuan, sementara yang lain khawatir tentang konsekuensi hukum dari deklarasi ini. Kencana, meski lemah, berdiri untuk berbicara, suaranya menggema di ruangan. “Kita bukan lagi Jawa, Sunda, atau Batak di mata penjajah. Kita adalah Indonesia! Jika kita tak bersatu hari ini, kapan lagi?” Kata-kata itu disambut tepuk tangan meriah, dan Rangga merasa dadanya dipenuhi kebanggaan. Namun, di tengah semangat, suara derap sepatu di luar gedung membuat semua orang terdiam. Polisi Belanda!

Wirahadi segera memerintahkan semua orang bersembunyi di ruang belakang, sementara Rangga dan Kencana mengambil posisi untuk menyimpan dokumen penting. Pintu depan dijebol, dan beberapa polisi masuk dengan senapan terhunus. “Semua berdiri! Ini adalah razia!” teriak seorang perwira dalam bahasa Belanda. Rangga, dengan jantung berdegup kencang, menyelinap ke balik lemari tua, menarik Kencana bersamanya. Dari celah kayu, ia melihat beberapa perwakilan ditangkap, termasuk Arga, yang berusaha melawan namun akhirnya tersungkur dengan pukulan buttstock senapan.

Namun, di tengah kekacauan, seorang pemuda bernama Hasanudin, yang menyamar sebagai pelayan, berhasil mengalihkan perhatian polisi dengan membanting nampan penuh cangkir, menciptakan suara keras yang membingungkan musuh. Ini memberi kesempatan bagi Rangga, Kencana, dan beberapa lainnya untuk melarikan diri melalui pintu samping. Mereka berlari melalui gang-gang sempit, dengan Kencana terengah-engah karena luka lamanya. Rangga menggendongnya di pundaknya, meski kakinya gemetar karena lelah. Di belakang, suara tembakan dan teriakan masih terdengar, tetapi mereka tak berhenti sampai tiba di sebuah rumah kosong di dekat Kali Ciliwung.

Di dalam rumah itu, dengan napas terengah-engah, Kencana memegang tangan Rangga. “Kita harus lanjutkan, meski mereka menangkap banyak dari kita,” katanya. Rangga mengangguk, meski air mata mengalir di wajahnya. Ia memikirkan Arga, Ratna, dan semua yang telah dikorbankan. Namun, di tengah keputusasaan, ia merasa tekadnya semakin kuat. Mereka memutuskan untuk mengadakan sesi darurat di malam hari, di sebuah loteng tersembunyi di kawasan Glodok, dengan hanya segelintir perwakilan yang tersisa.

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Kongres dilanjutkan dengan suasana yang penuh emosi. Hanya ada dua puluh orang yang hadir, termasuk Rangga, Kencana, Wirahadi, dan Srikandi. Dengan cahaya lilin yang redup, Kencana membacakan draf sumpah yang telah disepakati: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Suara mereka bergema, penuh dengan harapan dan pengorbanan. Rangga, yang berdiri di samping Kencana, merasa seolah-olah jiwa semua pemuda yang gugur bersatu dalam momen itu.

Setelah sumpah diucapkan, mereka bernyanyi bersama, lagu “Indonesia Raya” yang baru saja diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman, yang hadir secara diam-diam dengan biolanya. Suara biola dan nyanyian itu terdengar rapuh namun megah, membawa Rangga ke dalam gelombang emosi yang tak bisa diucapkan. Di luar, polisi masih berpatroli, tetapi di dalam loteng itu, sebuah sejarah baru lahir. Setelah selesai, Kencana memeluk Rangga, air mata mereka bercampur. “Kita berhasil,” bisiknya. “Untuk Ratna, untuk Arga, untuk semua.”

Keesokan harinya, Rangga kembali ke rumah di tepi Kali Ciliwung, membawa kabar sumpah kepada Ibu Wulan Sari dan Kiranawati. Ibu menangis haru, memeluknya erat, sementara Kiranawati bernyanyi kecil-kecilan dengan lagu yang ia dengar dari Rangga. Namun, kebahagiaan itu bercampur duka, karena banyak teman yang masih ditahan. Rangga berjanji untuk terus berjuang, menulis surat ke berbagai daerah untuk menyebarkan semangat Sumpah Pemuda.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Rangga berdiri di lapangan Jakarta, bersama Kiranawati yang kini dewasa, menatap bendera merah putih yang berkibar. Di dadanya, ia membawa kenangan akan Kencana, Ratna, dan semua pemuda yang telah mengorbankan jiwa mereka. Api jiwa pemuda yang ia nyalakan pada 1928 kini menjadi nyala besar yang membebaskan tanah air, sebuah warisan yang akan dikenang selamanya di hati bangsa Indonesia.

Api Jiwa Pemuda: Kisah Heroik Sumpah Pemuda Indonesia bukan hanya kisah masa lalu, tetapi pelajaran abadi tentang keberanian, persatuan, dan pengorbanan yang membentuk bangsa kita hari ini. Dari perjuangan Rangga, Kencana, dan para pemuda pemberani, kita diingatkan akan api semangat yang terus menyala, menginspirasi generasi muda untuk menjaga kemerdekaan. Jangan lewatkan kesempatan untuk merenung dan menghargai warisan ini!

Terima kasih telah bergabung dalam perjalanan inspiratif ini! Bagikan semangat Sumpah Pemuda kepada keluarga dan teman, dan kembali lagi untuk lebih banyak cerita heroik yang membanggakan. Hingga bertemu lagi, pembaca setia!

Leave a Reply