Anugerah Nama: Kisah Ghazam, Sang Pembawa Cahaya

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya siapa nih yang bilang jadi anak gaul hanya tentang hangout dan seru-seruan? Di balik popularitasnya, Ghazam menghadapi masalah besar yang mengguncang hidupnya.

Dalam cerpen “Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan”, kita diajak mengikuti perjalanan emosional seorang anak SMA yang tak hanya berjuang untuk menjaga persahabatan, tapi juga berusaha membantu keluarganya yang sedang dilanda krisis. Cerita ini penuh dengan perjuangan, harapan, dan kekuatan cinta terhadap keluarga dan teman-teman. Yuk, baca sampai habis dan temukan bagaimana Ghazam menjadi pelita di tengah badai!

 

Kisah Ghazam, Sang Pembawa Cahaya

Makna di Balik Nama

Pagi itu, seperti biasa, Ghazam melangkahkan kaki dengan penuh semangat ke sekolah. Seragam putih abu-abunya terbalut rapi, sepatu hitamnya berkilap, dan senyum cerah tak pernah lepas dari wajahnya. Di sepanjang koridor sekolah, banyak yang memanggil namanya dengan riang.

“Zam! Sini dulu, bro!” teriak Dika dari kejauhan, diikuti oleh beberapa teman lainnya yang sedang berkumpul di depan kelas.

Ghazam menoleh sambil tersenyum lebar, melambaikan tangan sebelum bergegas menghampiri mereka. Hidupnya memang dipenuhi dengan kesibukan, tetapi justru itulah yang membuatnya menikmati setiap detik yang ia jalani. Di tengah hiruk pikuk pergaulannya, ada satu hal yang selalu membuatnya merasa istimewa namanya.

Nama “Ghazam” bagi kebanyakan orang mungkin hanya sekadar nama yang terdengar unik. Namun, bagi Ghazam, itu lebih dari sekadar label yang diberikan orang tua. Nama itu adalah identitas, pengingat dari kisah masa kecilnya yang selalu diceritakan sang ibu dengan penuh kebanggaan.

Waktu masih kecil, Ghazam kerap mendengarkan ibunya bercerita tentang hari kelahirannya. Hari itu, langit mendung pekat seolah enggan memberikan cahaya kepada dunia. Hujan deras mengguyur tanpa henti, membuat suasana malam semakin suram. Tapi, ketika Ghazam lahir, tiba-tiba hujan berhenti. Langit yang tadinya gelap mendadak cerah, seakan-akan dunia menyambut kehadirannya dengan penuh cahaya.

“Ghazam,” kata ibunya suatu malam sambil membelai rambutnya, “kamu adalah cahaya dalam kegelapan. Itu alasan kenapa Mama dan Papa kasih nama kamu Ghazam. Nama itu punya arti khusus pembawa cahaya.”

Kata-kata itu melekat dalam benak Ghazam hingga ia dewasa. Setiap kali mendengar namanya dipanggil, ada tanggung jawab tak kasat mata yang ia rasakan. Tanggung jawab untuk menjadi pribadi yang memberikan pengaruh baik bagi sekitarnya. Namun, seiring bertambahnya usia, ia mulai mempertanyakan: apakah ia benar-benar layak membawa nama itu? Apakah ia sudah menjadi “cahaya” bagi orang-orang di sekitarnya?

Suatu siang, saat ia sedang duduk di kantin bersama teman-temannya, Dika tiba-tiba bertanya, “Zam, lo pernah mikir gak sih kenapa nama lo keren banget?”

Pertanyaan itu membuat Ghazam termenung sesaat. “Maksud lo?”

“Iya, nama lo kan berarti pembawa cahaya. Gua rasa lo memang cocok sama nama itu, soalnya lo selalu ada buat bantu kita-kita,” Dika menjelaskan sambil menyeruput es teh manisnya.

Ghazam hanya tersenyum, meski dalam hati ia merasa sedikit tergelitik. “Apa iya gua udah jadi sebuah ‘cahaya’ buat kalian semua?” pikirnya dalam hati. Selama ini, ia memang selalu berusaha menjadi teman yang baik, membantu ketika ada yang kesulitan, dan aktif dalam segala hal. Tapi, apakah itu cukup?

Malam harinya, sepulang dari sekolah, Ghazam memutuskan untuk duduk bersama ibunya di teras rumah. Mereka sering berbincang di sini, di bawah langit yang terbuka lebar, ditemani bintang-bintang yang berkelip.

“Mama, kenapa dulu Mama sama Papa kasih nama aku Ghazam?” tanya Ghazam tiba-tiba. Meskipun ia sudah tahu ceritanya, malam ini ia ingin mendengarnya lagi seolah mencari jawaban yang lebih mendalam dari sekadar kisah lama.

Ibunya tersenyum hangat, tatapannya penuh kasih sayang. “Kamu sudah tahu, Nak. Mama dan Papa kasih nama itu karena kami yakin kamu akan jadi anak yang bisa memberikan cahaya di sekitar kamu. Setiap nama itu doa, Ghazam. Nama kamu bukan hanya sekadar kata, tapi harapan besar.”

Ghazam terdiam sejenak, memikirkan kata-kata ibunya. “Tapi, Ma… gimana caranya aku tahu kalau aku benar-benar jadi ‘cahaya’ itu?”

Ibunya menghela napas, lalu menatap mata Ghazam dalam-dalam. “Nak, menjadi cahaya bukan soal menjadi sempurna. Menjadi cahaya berarti kamu bisa membantu orang-orang di sekitar kamu, sekecil apapun itu. Setiap kali kamu memberikan senyuman, memberikan tanganmu untuk membantu, atau hanya mendengarkan orang yang butuh, kamu sudah menjadi cahaya bagi mereka.”

Ucapan itu membekas di hati Ghazam. Selama ini, ia terlalu fokus pada definisi besar tentang “cahaya,” padahal, menjadi cahaya tidak harus selalu dalam skala besar. Cahaya bisa datang dalam bentuk kecil namun berarti persis seperti cahaya bintang yang terlihat kecil dari bumi, tetapi tetap bersinar terang di langit malam.

Sejak malam itu, Ghazam semakin yakin dengan perannya. Ia tidak perlu meragukan apakah ia sudah menjadi “pembawa cahaya” atau belum. Setiap kebaikan yang ia lakukan, sekecil apapun itu, sudah cukup untuk menjawab panggilan dari namanya.

Keesokan harinya di sekolah, Ghazam kembali dengan semangat baru. Setiap interaksi yang ia lakukan dari menyapa teman-teman, membantu guru mengangkat buku, hingga berbicara di depan kelas dilakukan dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab yang ia emban. Nama Ghazam bukan hanya sekadar identitas, tapi juga kompas yang menuntunnya dalam bertindak.

“Bro, makasih banget udah bantu gua kemarin ngerjain tugas,” ujar Rizky, salah satu teman sekelasnya.

Ghazam tersenyum. “Santai aja, Ki. Gua seneng bisa bantu.”

Percakapan sederhana itu mungkin biasa bagi kebanyakan orang, tapi bagi Ghazam, itu adalah momen di mana ia bisa merasakan dirinya memenuhi harapan di balik namanya. Setiap langkah yang ia ambil, ia yakini membawa sedikit terang bagi mereka yang membutuhkannya.

Dan di situlah Ghazam menemukan makna sejati dari namanya. Bukan soal menjadi yang terbaik atau paling sempurna, tapi tentang menjadi seseorang yang selalu hadir untuk orang lain menjadi cahaya yang mungkin tidak selalu terlihat terang, tapi selalu ada saat dibutuhkan.

 

Cahaya di Tengah Pergaulan

Hari-hari setelah percakapan mendalam dengan ibunya, Ghazam menjalani hidup dengan perasaan yang berbeda. Ada semangat baru dalam dirinya, perasaan bahwa setiap langkah yang ia ambil, sekecil apapun itu, bisa menjadi terang bagi orang lain. Ia mulai melihat setiap interaksi dengan teman-temannya bukan sekadar pergaulan biasa, tapi sebagai kesempatan untuk benar-benar hadir, menjadi seseorang yang bisa diandalkan dan membawa kebahagiaan bagi mereka.

Di sekolah, Ghazam memang dikenal sebagai anak yang gaul. Temannya banyak, dari berbagai kalangan. Ia mudah akrab dengan semua orang, dari anak-anak yang rajin belajar, hingga mereka yang suka berkumpul di kantin sepanjang hari. Bukan karena ia ingin terkenal, tetapi karena itulah sifat alaminya ramah dan tulus dalam setiap pertemanan. Namun, meski begitu, ada satu tantangan yang selalu ia rasakan: bagaimana menjadi ‘cahaya’ di tengah pergaulan yang luas tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Suatu hari, ketika jam istirahat, Ghazam sedang duduk di bangku taman sekolah bersama teman-temannya. Obrolan mereka santai, penuh canda tawa seperti biasanya. Tiba-tiba, sebuah topik muncul yang membuat suasana berubah.

“Eh, lo semua tau kan si Farel? Denger-denger dia lagi kena masalah besar sama guru karena nyontek pas ujian kemarin,” kata Dika dengan nada sedikit mengejek.

Semua mata tertuju pada Dika. Beberapa teman mulai ikut membicarakan Farel, melemparkan komentar-komentar pedas yang memperparah situasi. Ghazam diam, menyimak dengan hati-hati. Farel adalah teman sekelas mereka yang memang jarang terlihat bergaul, agak pendiam, dan lebih sering sendirian. Ghazam mengenalnya sekilas, tapi tak pernah dekat.

“Sial, kalau dia sampai dikeluarin dari sekolah, gak ada yang bakal kangen juga, sih,” timpal salah satu teman mereka.

Ghazam mulai merasa ada yang tidak benar. Mendengar teman-temannya berbicara buruk tentang seseorang yang bahkan tidak ada di situ membuat hatinya gelisah. Ia bisa saja diam, mengikuti arus pembicaraan, tapi itu bukan dirinya. Jika ia ingin benar-benar menjadi “cahaya”, ia harus berani bersuara, bahkan jika itu tidak populer di kalangan teman-temannya.

“Eh, kita gak tahu situasi sebenarnya gimana, kan?” ucap Ghazam perlahan, namun cukup tegas untuk membuat yang lain berhenti bicara. “Mungkin aja dia lagi ada masalah pribadi atau apa gitu. Kita gak bisa langsung nge-judge kayak gitu.”

Semua teman-temannya terdiam. Mereka tidak menyangka Ghazam akan berkata demikian, karena biasanya ia selalu ikut dalam setiap obrolan tanpa banyak berpihak. Dika, yang paling dekat dengan Ghazam, menatapnya dengan kening berkerut.

“Serius, Zam? Lo bela dia?” tanya Dika.

Ghazam menarik napas dalam-dalam. “Gua gak bilang gua bela dia. Tapi gua juga gak setuju kalau kita langsung ngomongin orang tanpa tahu cerita lengkapnya. Kalau kita bener-bener teman yang baik, harusnya kita cari tahu dulu apa yang terjadi sama dia, bukannya malah ngomongin di belakang.”

Suasana jadi kikuk. Beberapa teman lain menunduk, mungkin merasa bersalah atas komentar mereka. Ghazam tahu ini tidak mudah, tapi ia harus melakukannya. Jika ia membiarkan obrolan negatif terus berlanjut, itu akan bertentangan dengan prinsipnya. Sebagai seseorang yang membawa nama “pembawa cahaya”, ia harus bisa menghadirkan kebaikan, meski terkadang itu berarti harus berdiri sendiri.

Setelah istirahat selesai, Ghazam merasa lega meskipun sedikit canggung dengan teman-temannya. Ia tahu tidak semua orang akan setuju dengan caranya berbicara, tapi itulah perjuangan yang harus ia hadapi. Menjadi seseorang yang baik tidak selalu mudah, dan sering kali, itu membuatnya harus melawan arus. Namun, ia merasa yakin, setidaknya ia sudah melakukan yang benar.

Keesokan harinya, saat Ghazam baru tiba di sekolah, ia melihat Farel duduk sendirian di bangku taman, wajahnya tampak murung. Sementara teman-temannya sudah berkumpul di kelas, Ghazam merasa ada dorongan kuat untuk menghampiri Farel. Mungkin ini kesempatan yang tepat untuk menunjukkan kepeduliannya, meski mereka belum pernah dekat sebelumnya.

“Rel, lo gak apa-apa?” tanya Ghazam dengan sangat lembut, duduk di sampingnya.

Farel tampak terkejut. Mungkin ia tidak menyangka ada seseorang yang mendekatinya setelah semua gosip yang beredar. Ia menghela napas berat, lalu menunduk.

“Gak ada yang peduli, Zam. Semua orang cuma lihat gua sebagai anak yang bikin masalah. Gua nyontek karena gua gak ngerti materi, tapi gak ada yang mau tahu alasan di baliknya,” Farel berkata lirih, suaranya terdengar serak.

Ghazam merasa hatinya tersentuh. Ia tahu betapa sulitnya berada dalam posisi seperti Farel dihakimi tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan diri. Ia sendiri pernah berada di situasi serupa, meski dalam konteks yang berbeda.

“Gua ngerti perasaan lo, Rel,” ujar Ghazam pelan. “Kadang orang cuma lihat kesalahan kita, tanpa tahu apa yang sebenarnya kita alami. Tapi gua di sini, dan gua mau dengerin cerita lo.”

Farel menatap Ghazam dengan mata berkaca-kaca, terkejut mendengar kata-kata itu. Tanpa menunggu lebih lama, Farel mulai bercerita tentang tekanan yang ia rasakan di rumah, betapa sulitnya ia mengejar pelajaran karena harus membantu keluarganya setiap hari. Ia merasa kehilangan arah, dan itu membuatnya melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terjadi.

Selama beberapa menit, Ghazam hanya mendengarkan. Ia tidak menyela, tidak menghakimi, hanya duduk dan menjadi telinga bagi Farel yang selama ini merasa tidak didengar. Ketika Farel selesai, Ghazam menepuk pundaknya dengan lembut.

“Kita semua pernah bikin kesalahan, Rel. Tapi itu gak berarti lo gagal. Yang penting sekarang, lo harus bangkit lagi. Kalau lo butuh bantuan untuk belajar, gua siap bantu lo. Kita bisa belajar bareng, dan lo gak harus jalanin ini sendirian,” ujar Ghazam dengan penuh keyakinan.

Farel mengangguk pelan, matanya sedikit lebih cerah. Mungkin untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada yang peduli padanya.

Hari-hari berikutnya, Ghazam dan Farel semakin sering belajar bersama. Meski awalnya hanya di sela-sela istirahat, mereka akhirnya mulai bertemu setelah jam sekolah untuk mengulang pelajaran yang sulit bagi Farel. Ghazam yang memang cerdas dan aktif, dengan sabar membantu Farel mengejar ketertinggalannya. Setiap langkah kecil yang mereka ambil menjadi bukti bahwa perjuangan bukan soal besar kecilnya langkah, tapi tentang konsistensi dan ketekunan.

Tak terasa, Farel mulai menunjukkan kemajuan. Nilai-nilainya perlahan naik, dan kepercayaan dirinya pun kembali tumbuh. Ghazam melihat ini dengan perasaan bangga, bukan hanya pada Farel, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia tahu, perjuangan ini bukan tentang dirinya, tapi tentang bagaimana ia bisa menjadi ‘cahaya’ yang membantu orang lain menemukan jalan keluar dari kegelapan.

Teman-temannya mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi antara Ghazam dan Farel, tapi itu tidak penting. Ghazam tidak butuh pengakuan dari mereka. Ia tahu bahwa menjadi ‘pembawa cahaya’ berarti melakukan hal-hal baik tanpa berharap pujian, tapi semata-mata karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Dan di situlah Ghazam merasa damai. Perjuangannya di tengah pergaulan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka yang membutuhkan. Meski sering kali tak terlihat, cahaya itu tetap bersinar, membimbing mereka yang tersesat menuju arah yang lebih baik.

 

Cahaya yang Mulai Menerangi

Waktu berjalan dengan cepat, dan semester akhir semakin mendekat. Setiap sudut sekolah dipenuhi oleh semangat para siswa yang berusaha mempersiapkan diri untuk ujian akhir. Ghazam masih tetap seperti dirinya yang selalu aktif, gaul, dan dikelilingi oleh banyak teman. Namun, sejak ia mulai lebih dekat dengan Farel, ada sesuatu yang berubah dalam pandangannya tentang persahabatan dan pergaulan. Apa yang ia lakukan bersama Farel selama ini bukan hanya tentang membantu temannya yang sedang terpuruk, tetapi juga menjadi pelajaran bagi dirinya sendiri tentang arti keberanian, kepedulian, dan perjuangan.

Farel, yang dulunya pendiam dan jarang terlibat dalam kegiatan sosial, perlahan mulai berubah. Kepercayaan dirinya tumbuh, dan ia mulai lebih sering tersenyum. Tidak hanya itu, ia juga mulai berani berinteraksi dengan teman-teman lain di sekolah. Meski perubahan itu terjadi secara bertahap, Ghazam bisa melihat betapa perjuangan Farel untuk bangkit dari masa sulitnya benar-benar membuahkan hasil. Itu membuat Ghazam semakin yakin bahwa perjuangan kecil yang ia lakukan bersama temannya ini bukanlah hal yang sia-sia.

Suatu hari, saat istirahat siang, Farel menghampiri Ghazam di kantin. Kali ini, wajah Farel terlihat lebih cerah dari biasanya. “Zam, lo tahu enggak? Nilai ulangan matematika gua naik! Gua dapat delapan puluh, men!” ucap Farel dengan semangat, suaranya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap.

Ghazam langsung berdiri dari kursinya dan sambil menepuk pundak Farel dengan sangat bangga. “Gila! Serius, Rel? Gua bangga banget sama lo! Ini hasil kerja keras lo selama ini. Gua tahu lo bisa.”

Farel tersenyum lebar. Matanya berbinar penuh kebahagiaan, seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya perlahan mulai menghilang. “Kalau bukan karena lo, gua mungkin udah nyerah, Zam. Serius deh, gua berutang banyak sama lo.”

“Gak usah mikir begitu, Rel. Ini semua karena lo. Gua cuma bantu sedikit aja. Yang bikin semua ini berhasil ya lo sendiri, karena lo nggak pernah nyerah,” jawab Ghazam, tulus. Ia tidak ingin Farel merasa berutang budi, karena bagi Ghazam, inilah esensi persahabatan yang sebenarnya saling mendukung tanpa mengharapkan imbalan.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang lain mengganggu pikiran Ghazam. Ia merasa dirinya harus lebih dari sekadar teman yang ada di saat temannya membutuhkan. Ia ingin menjadi contoh yang baik, seseorang yang bisa memberikan inspirasi bukan hanya bagi Farel, tapi juga untuk teman-temannya yang lain. Keinginan ini semakin kuat ketika ia melihat banyak teman-temannya mulai mengalami tantangan serupa kesulitan dalam belajar, masalah keluarga, atau bahkan tekanan pergaulan yang semakin besar.

Malam harinya, Ghazam duduk di kamar, memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk membantu lebih banyak orang. Sambil menatap langit-langit, pikirannya melayang pada ide untuk membentuk kelompok belajar. Bukan sekadar belajar materi pelajaran sekolah, tetapi juga tempat untuk saling mendukung dan memotivasi satu sama lain. Kelompok yang bisa menjadi ‘cahaya’ bagi mereka yang merasa tersesat, seperti Farel dulu.

Esok harinya, Ghazam mengumpulkan keberaniannya untuk membicarakan idenya dengan teman-temannya yang lain. Saat istirahat tiba, ia mengajak Dika, Raka, dan beberapa teman dekatnya untuk duduk bersama di bangku taman sekolah.

“Eh, gua punya ide nih, tapi gua gak tahu gimana menurut kalian,” ucap Ghazam sambil mencoba membaca reaksi teman-temannya.

Dika, yang paling penasaran, langsung menimpali, “Apaan tuh, Zam? Ayo cerita aja!”

Ghazam menghela napas sebentar, lalu menjelaskan idenya. “Gua kepikiran buat bikin kelompok belajar bareng. Tapi bukan cuma buat belajar pelajaran sekolah aja. Kita juga bisa jadi tempat buat saling cerita, saling bantu kalau ada masalah. Kayak, misalnya, kalau ada yang kesulitan di rumah atau ada yang lagi down, kita bisa jadi support system buat mereka.”

Suasana sejenak hening. Teman-temannya tampak terkejut, karena biasanya Ghazam dikenal sebagai sosok yang suka bercanda dan tidak terlalu serius membahas hal-hal semacam ini. Namun, kali ini mereka melihat sisi Ghazam yang berbeda lebih dewasa dan penuh empati.

“Wah, keren sih, Zam. Tapi lo yakin kita bisa ngajak banyak orang buat ikutan?” tanya Raka, yang biasanya cenderung ragu terhadap hal-hal baru.

“Gua yakin,” jawab Ghazam tegas. “Ini gak harus besar di awal. Kita mulai aja dari orang-orang yang dekat sama kita dulu. Gua cuma pengen kita semua bisa saling bantu, karena gua yakin banyak dari kita yang mungkin lagi ngerasa terpuruk tapi gak tahu harus ngadu ke siapa.”

Dika mengangguk setuju. “Gua suka ide lo, Zam. Apalagi belakangan ini gua juga liat banyak teman kita yang kayaknya mulai kesulitan, tapi mereka gak pernah cerita. Kalau ada tempat buat kita saling dukung, gua yakin itu bakal ngebantu banyak orang.”

Raka dan beberapa teman lain juga akhirnya setuju. Mereka sepakat untuk memulai dari lingkup kecil, dengan tujuan besar menjadi ‘cahaya’ bagi teman-teman mereka yang mungkin sedang berada dalam kegelapan. Kelompok ini tidak hanya akan fokus pada belajar, tapi juga berbagi pengalaman hidup, menjadi tempat di mana setiap anggotanya bisa merasa diterima tanpa takut dihakimi.

Hari pertama pertemuan kelompok belajar diadakan di rumah Ghazam. Meski hanya beberapa teman dekat yang datang, suasananya terasa hangat dan penuh semangat. Mereka duduk melingkar di ruang tamu, membicarakan pelajaran sekolah hingga tantangan pribadi yang mereka hadapi. Perlahan, kelompok ini tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar tempat belajar. Ini menjadi tempat di mana setiap orang bisa merasa didengar, dihargai, dan didukung.

Ghazam merasa bangga melihat perkembangan kelompok ini. Ia menyadari, inilah cara terbaik untuk benar-benar hidup sesuai dengan arti namanya. Menjadi ‘cahaya’ bukan berarti harus selalu berada di depan dan terlihat terang. Terkadang, cahaya itu cukup bersinar di belakang, memberikan kehangatan dan arah bagi mereka yang membutuhkan.

Namun, perjuangan ini belum selesai. Ghazam tahu bahwa tantangan masih akan terus datang. Mungkin di antara teman-temannya masih ada yang meragukan pentingnya dukungan emosional, atau mungkin ada yang enggan berbicara tentang masalah mereka. Tetapi ia yakin, dengan tekad dan semangat yang ia dan teman-temannya miliki, kelompok ini akan terus tumbuh dan menjadi tempat yang membawa perubahan positif bagi semua orang di sekitarnya.

Beberapa minggu berlalu, dan kelompok belajar mereka mulai mendapatkan perhatian lebih dari teman-teman lain di sekolah. Bahkan guru-guru mulai mendengar tentang inisiatif Ghazam dan teman-temannya. Suatu hari, Bu Ratna, guru bimbingan konseling, mendekati Ghazam saat jam istirahat.

“Ghazam, saya dengar kamu dan teman-temanmu membuat kelompok belajar dan saling mendukung di luar jam sekolah,” ucap Bu Ratna dengan senyum hangat. “Saya sangat terkesan dengan inisiatif kamu. Kalau kamu butuh dukungan dari sekolah, jangan ragu untuk berbicara dengan saya, ya.”

Ghazam terkejut sekaligus merasa bangga. Ternyata, apa yang ia mulai bersama teman-temannya memberikan dampak yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Tidak hanya untuk mereka yang terlibat langsung, tetapi juga bagi lingkungan sekolah secara keseluruhan.

Di titik ini, Ghazam menyadari satu hal yang penting perjuangan menjadi cahaya tidak pernah sia-sia. Setiap langkah kecil yang ia ambil, setiap kata-kata positif yang ia bagikan, semuanya perlahan tapi pasti mulai menerangi jalan bagi orang lain. Dan meski ia tahu masih banyak tantangan yang menunggu di depan, ia merasa yakin bahwa selama ia terus berjuang, cahaya itu akan terus bersinar.

 

Pelita di Tengah Badai

Waktu berlalu dengan cepat. Kelompok belajar yang Ghazam inisiasi bersama teman-temannya semakin berkembang. Awalnya hanya terdiri dari beberapa orang terdekat, kini sudah lebih banyak siswa yang tertarik bergabung. Bahkan, beberapa guru di sekolah mulai mendukung penuh inisiatif ini. Bagi Ghazam, ini adalah bukti bahwa keinginannya untuk menjadi cahaya benar-benar terwujud, perlahan tapi pasti. Namun, layaknya setiap perjalanan hidup, selalu ada ujian yang datang di tengah kebahagiaan.

Suatu hari, ketika Ghazam sedang asyik berdiskusi dengan Farel, Dika, dan beberapa anggota kelompok belajar lainnya di perpustakaan, ia menerima pesan singkat dari ibunya.

“Nak, sepulang sekolah nanti langsung pulang, ya. Ada hal penting yang harus Ibu bicarakan.”

Ghazam terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda dari nada pesan ibunya kali ini. Ibu Ghazam tidak biasanya mengirim pesan seformal itu, terutama di siang hari ketika dia tahu anaknya masih sibuk di sekolah. Firasat buruk mulai menghantui benak Ghazam, tapi dia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Toh, mungkin itu hanya sesuatu yang biasa.

Setelah jam sekolah usai, Ghazam berpamitan kepada teman-temannya dan bergegas pulang. Di sepanjang perjalanan, pikirannya terus menerawang. Hati kecilnya tahu bahwa sesuatu sedang terjadi, tapi dia berusaha menahan diri untuk tidak berprasangka buruk. Setibanya di rumah, ia mendapati ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah yang tampak sedikit murung.

“Ibu, ada apa? Kok, tiba-tiba nyuruh Ghazam pulang cepet?” tanya Ghazam, mencoba untuk tenang.

Ibu Ghazam menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Nak, ada kabar dari kantor ayahmu…”

Mendengar nama ayah disebut, tubuh Ghazam tiba-tiba terasa dingin. Ayahnya adalah seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta, dan akhir-akhir ini memang sering pulang larut karena beban kerja yang berat. “Ayah kenapa, Bu?” Ghazam bertanya dengan hati-hati.

Ibu Ghazam mengusap matanya yang mulai memerah. “Ayahmu baru saja diberhentikan dari pekerjaannya, Nak. Perusahaan tempat ayah bekerja mengalami kebangkrutan. Dan… kita mungkin harus berhemat mulai sekarang.”

Bagai petir di siang bolong, berita itu menghantam Ghazam. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pikirannya kacau balau, membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada keluarganya. “Tapi… kenapa, Bu? Kok bisa secepat ini? Bukannya ayah selalu bilang kerjaannya aman-aman aja?”

Ibu Ghazam mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. “Iya, nak. Ayah juga tidak menyangka ini akan terjadi. Semua berjalan begitu cepat. Tapi yang jelas, kita harus kuat. Ayah sudah berusaha, dan sekarang saatnya kita membantu ayah dengan cara kita.”

Kata-kata ibunya menguatkan Ghazam, tapi hatinya masih berat menerima kenyataan ini. Bukan hanya masalah keuangan yang tiba-tiba muncul, tetapi juga bagaimana ia harus menjaga semangat kelompok belajar yang sudah ia bangun. Ghazam tahu, perubahan besar ini akan mempengaruhi segalanya. Dan, dalam hati kecilnya, ia khawatir.

Beberapa hari setelah kabar itu, Ghazam mulai merasakan dampaknya. Ayahnya terlihat semakin murung, sering diam di rumah tanpa ada aktivitas. Suasana di rumah mereka juga menjadi lebih sunyi, tak lagi dipenuhi tawa dan canda seperti biasanya. Ghazam mencoba menyembunyikan kekhawatirannya di depan teman-temannya, tapi tentu saja, mereka bisa merasakan ada yang berbeda dari dirinya.

Suatu sore, ketika Ghazam sedang duduk sendiri di taman sekolah setelah sesi kelompok belajar telah selesai, Farel menghampirinya. “Zam, gua perhatiin lo akhir-akhir ini kayaknya lagi kurang semangat. Ada masalah, ya?”

Ghazam terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus bercerita atau tidak. Tapi akhirnya, ia memilih untuk membuka diri kepada Farel, temannya yang sudah melalui banyak hal bersamanya. “Iya, Rel. Gua lagi ada masalah di rumah. Ayah gua… kehilangan pekerjaannya.”

Farel menatap Ghazam dengan penuh simpati. Ia tahu betapa beratnya berita itu bagi sahabatnya. “Gua gak tau harus bilang apa, Zam. Tapi gua yakin lo kuat. Lo selalu jadi orang yang bisa diandalkan, dan gua yakin lo bisa ngelewatin ini.”

“Masalahnya bukan cuma gua, Rel. Gua gak tau gimana caranya buat ngejaga semua ini tetap berjalan. Gua takut kelompok ini jadi gagal karena gua gak bisa fokus lagi.”

Farel menggeleng pelan. “Zam, kelompok ini bukan cuma soal lo. Lo memang yang inisiasi, tapi kita semua udah jadi bagian dari ini. Kita semua bakal ngejaga biar kelompok ini tetap hidup. Lo gak harus ngejalanin semuanya sendirian.”

Kata-kata Farel menenangkan Ghazam, tapi tetap saja ada perasaan tak berdaya yang sulit ia hilangkan. “Tapi gua juga harus bantu keluarga gua. Gua gak bisa ninggalin tanggung jawab gua di rumah.”

Farel tersenyum kecil, menepuk bahu Ghazam. “Itu justru yang bikin lo lebih hebat, Zam. Lo peduli sama keluarga lo dan teman-teman lo. Dan kita semua ada di sini buat bantu lo. Lo gak sendiri.”

Sejak saat itu, Ghazam memutuskan untuk terus maju. Ia sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi, tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Ia tahu ada banyak hal yang harus ia perjuangkan keluarganya, teman-temannya, dan dirinya sendiri. Setiap hari, ia mulai lebih bijaksana mengatur waktu antara membantu di rumah dan tetap berkomitmen pada kelompok belajarnya.

Dalam kelompok, teman-teman semakin merasakan perubahan yang terjadi pada Ghazam. Meski ia masih menjadi sosok yang ceria dan gaul, ada kedewasaan yang terpancar dari cara ia menghadapi masalah. Bahkan, beberapa teman yang dulu hanya mengikuti kelompok belajar tanpa banyak bicara, kini mulai lebih terbuka tentang masalah pribadi mereka.

Suatu ketika, saat kelompok belajar sedang membahas persiapan ujian akhir, Raka tiba-tiba mengangkat tangan. “Gua pengen ngomong sesuatu,” katanya pelan, membuat semua orang menoleh padanya. Raka, yang selama ini terkenal pendiam dan cenderung tertutup, akhirnya membuka diri. “Gua selama ini diem aja, tapi sebenernya gua juga lagi ada masalah di rumah. Bokap gua juga lagi kesulitan kerja, dan gua gak tau harus gimana.”

Ghazam terkejut mendengar pengakuan itu. Ternyata, Raka juga menghadapi hal yang hampir sama dengannya. Perlahan, Ghazam tersenyum dan menatap Raka dengan penuh pengertian. “Lo gak sendiri, Ka. Kita semua ada di sini buat lo, sama kayak lo ada di sini buat kita.”

Mendengar itu, Raka terlihat lebih tenang. Dan bagi Ghazam, momen itu adalah bukti bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Kelompok belajar yang mereka bentuk bukan hanya menjadi tempat untuk belajar akademis, tapi juga tempat di mana mereka bisa saling menguatkan di saat-saat terberat.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan ujian akhir semakin dekat. Ghazam kini lebih fokus daripada sebelumnya. Meski masalah keluarganya belum terselesaikan sepenuhnya, ia merasa lebih kuat karena dukungan teman-temannya. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjuangannya untuk tetap menjadi cahaya di tengah kegelapan.

Suatu malam, saat Ghazam sedang mengulang pelajaran di kamarnya, ayahnya mengetuk pintu dan masuk. “Nak, Ibu bilang kamu banyak bantu di rumah ya akhir-akhir ini. Ayah bangga sama kamu.”

Ghazam tersenyum kecil. “Ayah nggak perlu mikirin itu. Ghazam cuma ngelakuin apa yang harus Ghazam lakuin.”

Ayah Ghazam duduk di tepi ranjang, menatap putranya dengan bangga. “Kamu udah dewasa, Zam. Ayah minta maaf kalau selama ini ayah bikin kamu khawatir. Tapi ayah janji, kita bakal ngelewatin ini bareng-bareng.”

Malam itu, Ghazam tidur dengan perasaan lega. Ia tahu, jalan hidupnya masih panjang dan penuh tantangan, tapi ia yakin bisa menghadapinya. Dengan keluarga dan teman-teman di sampingnya, ia merasa siap untuk apa pun yang datang. Dan yang paling penting, ia sudah menemukan arti dari namanya menjadi cahaya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Ghazam mengajarkan kita bahwa di balik sosok yang populer dan gaul, ada kekuatan yang luar biasa ketika dihadapkan dengan tantangan hidup. Meski harus berjuang demi keluarga dan teman-temannya, Ghazam tetap teguh, menjadi pelita di tengah gelapnya masalah. Semoga kisah ini bisa menginspirasi kita semua untuk selalu kuat menghadapi badai, dan tetap menjadi cahaya untuk orang-orang yang kita cintai. Jadi, apa yang bisa kamu lakukan untuk menjadi cahaya bagi orang lain?

Leave a Reply