Daftar Isi
Selami dunia emosional dan penuh makna melalui cerpen Antara Kita dan Hujan: Kisah Rindu di Tengah Badai, yang mengisahkan perjalanan hati Zarina Qistina, seorang remaja desa di Sumber Rejeki, Jawa Timur, yang menghadapi kesedihan, pengorbanan, dan harapan di tengah hujan deras dan banjir tahun 2024. Dengan detail yang memikat dan alur yang menyentuh, cerita ini membawa pembaca pada petualangan emosional bersama sahabatnya, Rizqan Alfarizi, dan pencarian akan cinta keluarga yang hilang. Siapkah Anda terbawa oleh tetesan hujan yang menyimpan rindu dan kekuatan?
Antara Kita dan Hujan
Hujan yang Membawa Kenangan
Di sebuah desa kecil bernama Sumber Rejeki, yang tersembunyi di balik perbukitan hijau Jawa Timur, tahun 2024 menyisakan jejak hujan yang tak pernah usai. Langit selalu kelabu, dan udara membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Di sudut desa itu, hiduplah seorang remaja bernama Zarina Qistina, yang lebih dikenal sebagai Zari oleh teman-temannya. Gadis berusia 16 tahun ini memiliki rambut cokelat panjang yang sering ia biarkan tergerai, mata hazel yang dalam, dan senyum yang jarang terlihat sejak kepergian seseorang yang sangat berarti baginya. Zari tinggal bersama neneknya, Halimah, dalam sebuah rumah kayu tua yang dikelilingi pohon jati dan kolam kecil yang penuh lumut.
Zari adalah anak yatim piatu. Ayahnya, Rafiuddin, meninggal dalam kecelakaan truk saat ia masih bayi, sementara ibunya, Laila, menghilang tanpa jejak ketika Zari berusia 10 tahun, meninggalkannya dalam tangisan dan pertanyaan yang tak terjawab. Halimah, neneknya yang sudah renta, menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa, meski tubuhnya kini lemah dan tangannya gemetar saat memasak nasi di dapur tungku. Rumah mereka sederhana, dengan atap genteng yang bocor saat hujan deras, dan lantai kayu yang berderit setiap kali ada yang melangkah.
Pagi itu, hujan turun sejak subuh, membangunkan Zari dengan suara gemericik di atap. Ia bangun dari kasurnya yang terbuat dari anyaman bambu, mengenakan jaket lusuh warna biru tua, dan membantu neneknya menutup genteng yang bocor dengan plastik bekas. “Nek, hujan ini kok nggak berhenti-berhenti ya?” tanyanya sambil menghela napas. Halimah hanya tersenyum tipis, matanya keriput penuh cerita. “Hujan ini bawa kenangan, Zari. Dulu, Ibu kamu suka nyanyi di bawah hujan,” jawabnya, membuat hati Zari bergetar.
Zari duduk di ambang pintu, memandang hujan yang jatuh deras, membawa ingatan tentang seseorang yang pernah menjadi sahabatnya—Rizqan Alfarizi, atau yang ia panggil Zan. Zan adalah anak baru di desa, pindah dari kota bersama keluarganya dua tahun lalu. Ia memiliki rambut hitam ikal, mata cokelat cerah, dan senyum yang bisa menghangatkan siapa saja. Zari dan Zan sering menghabiskan waktu bersama, berlarian di sawah saat hujan, mengumpulkan daun jati yang jatuh, atau duduk di tepi kolam sambil berbagi cerita. Tapi semuanya berubah ketika Zan dan keluarganya pergi meninggalkan desa tanpa pamit, meninggalkan Zari dengan hati yang hancur.
Hujan itu selalu mengingatkannya pada Zan. Setiap tetes air yang jatuh seolah membawa suara tawa Zan atau bisikan janji mereka untuk selalu berteman. Zari sering menangis diam-diam di malam hari, memeluk boneka tua pemberian Zan, sebuah kelinci kecil yang sudah compang-camping. “Kenapa kamu pergi, Zan?” gumamnya, tapi tak ada jawaban selain suara hujan.
Di sekolah, Zari adalah siswi kelas dua SMP Negeri 1 Sumber Rejeki, sebuah bangunan tua dengan dinding plester yang mengelupas. Ia duduk di bangku dekat jendela, tempat ia bisa memandang hujan di luar sambil melamun. Teman-temannya, seperti Aisyah dan Dwi, sering mengajaknya bermain, tapi Zari lebih suka menyendiri. Gurunya, Bu Siti, sering memperhatikan kesedihan di matanya. “Zari, ada apa? Kamu kelihatan murung,” tanyanya suatu hari setelah pelajaran selesai.
Zari menggeleng, tak ingin menceritakan luka di hatinya. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek,” jawabnya dengan senyum dipaksakan. Ia tak ingin orang lain tahu bahwa ia masih menunggu kabar dari Zan, meski harapannya kini memudar.
Malam itu, hujan semakin deras, dan listrik di desa padam. Zari membantu neneknya menyalakan lampu minyak, sementara angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding. Halimah menceritakan kisah masa lalu, tentang bagaimana Laila, ibunya, pernah menari di bawah hujan bersama Rafiuddin sebelum pernikahan mereka. “Ibu kamu bahagia dulu, Zari. Tapi hujan juga bawa duka,” katanya, membuat Zari bertanya-tanya tentang ibunya yang hilang.
Keesokan harinya, Zari menemukan sebuah surat tua terselip di laci meja, ditulis dengan tinta memudar. Surat itu dari Laila, ditujukan untuk Halimah, berisi permohonan maaf dan janji untuk kembali suatu hari. “Ibu pergi mencari kebahagiaan, Nek. Jaga Zari untukku,” tulisnya. Zari menangis membacanya, merasa dikhianati sekaligus rindu. Hujan di luar seolah menangisi nasibnya.
Di sekolah, Zari mulai menulis puisi tentang hujan dan kenangan, menuangkannya di buku catatan kecil yang ia simpan rapat. Puisi itu berjudul “Antara Kita dan Hujan,” dan ia membacakannya di kelas atas desakan Bu Siti. Suaranya gemetar, tapi kata-kata itu menyentuh hati teman-temannya. “Ini indah, Zari. Kamu punya bakat,” kata Bu Siti, tapi Zari hanya mengangguk pelan.
Hujan terus turun, membawa Zari ke dalam dunia kenangan dan pertanyaan. Ia sering berjalan di sawah saat hujan reda, mencari jejak Zan, meski ia tahu itu sia-sia. Di hatinya, ada harapan kecil bahwa Zan akan kembali, membawa jawaban atas kepergiannya. Bab ini ditutup dengan Zari yang berdiri di tepi kolam, memandang pantulan wajahnya di air yang bergoyang, ditemani suara hujan yang tak pernah berhenti.
Bayang di Balik Tetesan
Hujan di Sumber Rejeki tak pernah benar-benar pergi sepanjang Desember 2024, menciptakan genangan di setiap sudut desa dan membawa udara dingin yang menusuk tulang. Zarina Qistina, atau Zari, kini menghadapi hari-harinya dengan beban yang semakin berat. Usia 16 tahunnya terasa seperti beban tua, dengan tanggung jawab merawat neneknya, Halimah, yang kesehatannya terus menurun, dan luka hati yang belum sembuh akibat kepergian Zan dan Laila. Setiap tetes hujan seolah mengingatkannya pada janji-janji yang tak terpenuhi dan wajah-wajah yang hilang dari hidupnya.
Pagi itu, Zari bangun dengan demam ringan, tapi ia tetap membantu Halimah memasak ubi rebus untuk sarapan. Dapur kayu tua dipenuhi asap dari tungku, dan Zari batuk-batuk sambil mengaduk panci. “Zari, istirahat aja. Nenek kuat,” kata Halimah, tapi Zari menolak. Ia tak ingin neneknya kelelahan, terutama setelah dokter desa memperingatkan bahwa Halimah menderita rematik parah yang membutuhkan perawatan rutin.
Di sekolah, Zari berjalan kaki tiga kilometer dengan payung rusak yang bocor, membuat jaketnya basah kuyup. Ia duduk di kelas dengan tubuh menggigil, mencoba fokus pada pelajaran matematika, tapi pikirannya melayang ke Zan. Ia ingat saat mereka pernah berlindung di bawah pohon jati saat hujan, tertawa sambil berbagi roti yang dibawa Zan dari rumah. “Zari, kapan kita ke kota bareng?” tanya Zan saat itu, dan Zari mengangguk penuh semangat. Tapi kini, pohon itu hanya berdiri diam, menyaksikan kesepiannya.
Bu Siti, yang memperhatikan keadaan Zari, memintanya ke ruang guru setelah pelajaran. “Zari, kamu sakit. Pulang aja, ya. Aku akan minta Aisyah antar kamu,” katanya dengan nada khawatir. Zari ingin menolak, tapi tubuhnya tak lagi kuat. Aisyah, teman baiknya yang ceria, mengantarnya pulang dengan sepeda, mengobrol untuk menghibur. “Zari, kamu harus cerita apa yang bikin kamu sedih. Aku dengerin,” kata Aisyah, tapi Zari hanya diam.
Di rumah, Halimah panik melihat Zari yang pucat. Ia memasak jamu tradisional dari kunyit dan jahe, meski tangannya gemetar. “Zari, kamu jangan sakit. Nenek cuma punya kamu,” katanya, membuat Zari menangis pelan. Malam itu, hujan deras membawa angin kencang, dan atap rumah bocor parah. Zari harus bangun berkali-kali untuk mengganti ember yang penuh, sementara Halimah berdoa di sudut ruangan.
Keesokan harinya, Zari merasa lebih baik, tapi ia mendapat kabar buruk dari tetangga, Pak Darno. “Zari, jembatan ke sekolah ambruk karena hujan. Kalian nggak bisa ke mana-mana untuk beberapa hari,” katanya. Zari terdiam, tahu bahwa ini berarti ia tak bisa ke sekolah atau mencari bantuan. Ia mulai khawatir tentang stok makanan, yang hanya tersisa sedikit ubi dan beras.
Di tengah keterbatasan, Zari mencoba bertahan. Ia membantu Halimah merajut kain untuk dijual ke pedagang desa, meski hasilnya kecil. Suatu malam, saat hujan reda sebentar, Zari menemukan sebuah kotak tua di gudang, berisi foto-foto Laila dan Rafiuddin, serta surat lain dari Laila. Surat itu ditulis setahun sebelum ia hilang, berisi rencana untuk membawa Zari ke kota. “Zari, Ibu janji akan kembali dengan kehidupan baru untuk kita,” tulisnya. Zari menangis membacanya, merasa ditinggal dua kali—oleh ibu dan sahabatnya.
Hujan kembali turun, membawa banjir kecil ke halaman rumah. Zari dan Halimah harus menggali parit sederhana untuk mengalirkan air, tapi tenaga mereka terbatas. Zari ingat Zan, yang pernah membantu menggali parit saat hujan sebelumnya. “Kalau Zan ada di sini, pasti dia bantu,” gumamnya, tapi ia tahu itu hanya khayalan.
Suatu hari, Zari mendapat kunjungan tak terduga dari anak tetangga, Fajri, yang membawa berita. “Zari, aku denger dari pedagang, ada orang dari kota yang nyari keluarga di sini. Namanya Rizqan,” katanya. Hati Zari berdegup kencang. Bisakah itu Zan? Ia memutuskan menulis surat untuk Zan, meninggalkannya di pos ronda desa dengan harapan pedagang membawanya.
Malam itu, hujan membawa mimpi buruk. Zari bermimpi tentang Zan yang berdiri di tengah hujan, memanggil namanya, tapi ia tak bisa mendekat. Ia terbangun dengan keringat dingin, memeluk boneka kelinci tua itu. Di hatinya, ada campuran harapan dan ketakutan. Bab ini ditutup dengan Zari yang berdiri di ambang pintu, memandang hujan yang terus turun, menunggu jawaban dari masa lalunya.
Bisikan di Tengah Hujan
Hujan di Sumber Rejeki terus mengguyur tanpa henti sepanjang Januari 2024, menciptakan banjir kecil yang merendam halaman rumah kayu tua tempat Zarina Qistina, atau Zari, tinggal bersama neneknya, Halimah. Udara dingin menusuk tulang, dan suara gemericik air yang menetes dari atap yang bocor menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari gadis 16 tahun itu. Setelah berminggu-minggu terisolasi akibat jembatan menuju desa ambruk, Zari merasa seperti terperangkap dalam gelembung kesedihan dan harapan yang bercampur aduk. Surat yang ia tulis dengan penuh harapan untuk Rizqan Alfarizi, atau Zan, masih menjadi misteri besar—apakah surat itu berhasil sampai ke tangan pedagang, atau apakah Zan akan membacanya dan kembali ke hidupnya?
Pagi itu, Zari terbangun dengan tubuh lelah setelah malam yang dipenuhi mimpi buruk tentang Zan yang berdiri di tengah hujan dengan senyum pucat, memanggil namanya namun tak bisa disentuh. Ia merasa kedinginan, tapi tetap bangkit dari kasur anyaman bambu untuk membantu Halimah memasak bubur ubi dengan api tungku yang hampir padam akibat kayu basah. Dapur kecil dipenuhi asap tebal yang membuat Zari batuk berkali-kali, sementara angin dingin menerpa dinding rumah hingga bergetar seperti akan roboh. “Zari, istirahat aja dulu, Nak. Nenek masih kuat masak,” kata Halimah dengan suara parau, tangannya yang sudah keriput gemetar saat mengaduk panci tua. Zari menggeleng pelan, matanya sembab karena asap dan kelelahan. “Nggak apa-apa, Nek. Aku bantu, biar cepat selesai,” jawabnya, meski dadanya terasa sesak.
Banjir kecil di halaman rumah membuat Zari dan Halimah harus bekerja keras untuk menggali parit lebih dalam, meski alat mereka hanya terdiri dari sekop tua yang sudah tumpul dan ember plastik yang bolong di beberapa bagian. Zari bekerja dengan pakaian basah menempel di kulitnya, lumpur tebal menutupi kakinya hingga betis, dan setiap gerakan terasa seperti melawan beban raksasa. Keringat bercampur air hujan mengalir di wajahnya, tapi ia tak berhenti. Ia teringat Zan, yang pernah membantu menggali parit serupa dua tahun lalu dengan tawa ceria dan tangan kuat yang tak pernah lelah. “Kalau Zan ada di sini, pasti dia bantu aku sekarang,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh desau angin dan suara hujan. Tapi angin hanya membalas dengan bisikan dingin, seolah menertawakan harapannya yang rapuh.
Di tengah kesulitan itu, Zari mendapat kunjungan tak terduga dari Aisyah, teman sekolahnya yang ceria, yang membawa sepiring nasi hangat dan ikan asin yang dibungkus daun pisang. Aisyah datang dengan sepeda tua, ban depannya sedikit kempes karena lumpur, dan wajahnya penuh simpati. “Zari, aku khawatir sama kamu. Nenek kamu gimana kondisinya sekarang?” tanya Aisyah sambil meletakkan makanan di meja kayu tua yang sudah lapuk. Zari menghela napas panjang, menjelaskan bahwa Halimah semakin lemah karena rematik dan kurangnya makanan bergizi, serta tentang surat yang ia kirim untuk Zan. Ia masih ragu menceritakan segalanya, tapi Aisyah mendengarkan dengan sabar. “Kamu harus cerita apa yang bikin kamu sedih, Zari. Aku dengerin,” kata Aisyah, menepuk pundak Zari lembut. Zari hanya mengangguk, tak sanggup mengucapkan lebih banyak.
Malam itu, hujan membawa kejutan yang tak terduga. Saat Zari duduk di ambang pintu dengan lampu minyak yang redup, ia mendengar suara langkah kaki berderit di lumpur di luar rumah. Jantungnya berdegup kencang ketika sebuah bayangan muncul di bawah payung robek yang compang-camping. “Zari?” panggil suara itu, lembut namun penuh keraguan. Zari mengenali suara itu dalam sekejap—Zan. Dengan langkah gemetar dan tanpa mempedulikan hujan yang membasahi tubuhnya, Zari berlari ke luar, air mata bercampur hujan di wajahnya. Zan berdiri di sana, rambut hitam ikalnya basah menempel di dahi, matanya cokelat cerah penuh penyesalan dan kelelahan. “Zan? Kamu… kenapa baru sekarang?” tanya Zari, suaranya pecah oleh emosi yang tak terkendali.
Zan menunduk, tangannya yang memegang payung gemetar. Ia menjelaskan bahwa keluarganya dipaksa pindah ke kota karena utang besar yang menumpuk, dan ia tak punya kesempatan untuk memberi kabar karena sibuk bekerja di bengkel kecil untuk membantu ayahnya. “Aku cari cara balik, Zari. Suratmu… aku baru dapat kemarin dari pedagang yang lelet itu,” katanya, mengeluarkan surat lusuh dari sakunya yang sudah basah kuyup. Zari menangis tersedu, memeluk Zan erat meski bajunya dingin dan penuh lumpur. Di dalam hatinya, ada kelegaan bercampur luka lama yang belum sembuh.
Zan tinggal sementara di rumah Zari, membantu memperbaiki atap yang bocor dengan daun kelapa kering dan menggali parit yang lebih dalam untuk mengalirkan air banjir. Kehadirannya membawa kehangatan yang lama hilang, tapi juga membuka kembali luka yang Zari coba kubur. Suatu malam, di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip, Zan menceritakan hidupnya di kota—kerja kasar di bengkel dari pagi hingga tengah malam, tangan yang penuh luka akibat besi tajam, dan perjuangan keluarganya yang hampir putus asa. “Aku rindu desa ini, rindu kamu, Zari,” katanya dengan suara parau, membuat Zari tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. Tapi hujan terus turun, dan banjir semakin parah, mengancam rumah mereka yang sudah rapuh.
Halimah, yang senang melihat Zari ceria kembali, mulai menceritakan lebih banyak tentang Laila, ibu Zari yang hilang. “Ibu kamu pernah janji balik, Zari. Mungkin hujan ini tanda dia dekat,” katanya sambil memandang foto lama Laila yang tersimpan di kotak kayu. Zari tak yakin, tapi harapan kecil mulai bersemi di hatinya. Ia dan Zan memutuskan mencari jejak Laila, bertanya pada tetangga seperti Pak Darno dan pedagang desa yang sering bepergian. Mereka berjalan di lumpur, mengetuk pintu rumah-rumah, dan mendengarkan cerita-cerita tua tentang Laila yang dulu dikenal ceria. Tapi tak ada kabar pasti, hanya bisik-bisik bahwa ia mungkin di kota, bekerja sebagai penjahit.
Banjir memuncak pada akhir Januari, merendam lantai rumah hingga lutut. Zari, Zan, dan Halimah terpaksa mengungsi ke rumah Pak Darno, tetangga yang rumahnya terletak di bukit kecil dan lebih aman dari banjir. Perjalanan itu sulit, dengan Zan menggendong Halimah yang lemah di punggungnya, sementara Zari membawa beberapa barang berharga seperti foto keluarga dan boneka kelinci tua. Di rumah Pak Darno, yang sudah penuh pengungsi, Zari menulis puisi baru berjudul “Hujan dan Janji,” menuangkannya di buku catatan yang sudah basah di ujung-ujungnya. Ia membacakannya di depan semua orang, suaranya gemetar tapi penuh perasaan, dan kata-kata itu menyentuh hati para pendengar. “Ini indah, Zari. Kamu punya jiwa penyair,” kata Pak Darno, menawarkan bantuan—sebuah perahu kecil yang ia pinjam dari saudaranya untuk mencari bantuan di desa sebelah.
Zari dan Zan memutuskan berlayar ke desa sebelah, meski hujan deras dan arus sungai yang ganas membuat perjalanan berbahaya. Mereka mengenakan jaket lusuh dan membawa sekantong kecil berisi roti basi sebagai bekal. Di perahu, Zari dan Zan berbagi cerita dan ketakutan yang selama ini mereka pendam. “Kalau aku hilang lagi, janji kamu tetap tunggu, ya?” tanya Zan, matanya menatap Zari dengan serius. Zari mengangguk, air mata bercampur hujan di wajahnya, dan ia memegang tangan Zan erat. Perjalanan itu penuh ketegangan, dengan perahu bergoyang hebat, tapi mereka berhasil sampai di desa sebelah. Di sana, mereka mendapat bantuan dari posko bencana—beras, obat-obatan, dan selimut—yang cukup untuk seluruh pengungsi di Sumber Rejeki.
Kembali ke desa dengan perahu penuh harapan, Zari dan Zan disambut dengan sorak sorai warga. Mereka membagikan bantuan, dan Halimah menangis haru saat melihat cucunya selamat. Zari merasa ada kekuatan baru dalam dirinya, seolah hujan telah membawa jawaban atas doanya. Ia dan Zan duduk di tepi banjir setelah membagikan bantuan, memandang langit yang mulai cerah dengan semburat jingga. Tangan mereka saling menggenggam, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Zari merasa damai. Bab ini ditutup dengan Zari yang menatap Zan, berbisik, “Terima kasih, karena kamu balik,” sementara hujan perlahan reda, meninggalkan jejak harapan di bumi yang basah.
Pelangi di Akhir Hujan
Setelah berminggu-minggu banjir mengguncang Sumber Rejeki, Februari 2024 akhirnya membawa sinar matahari pertama yang hangat ke desa kecil itu. Zarina Qistina, atau Zari, berdiri di depan rumah kayu tua yang kini telah diperbaiki bersama Rizqan Alfarizi, atau Zan, dan Halimah, neneknya yang tersenyum bangga. Banjir surut, meninggalkan lumpur tebal dan jejak harapan baru di hati gadis 16 tahun itu. Rumah mereka kini memiliki atap baru dari seng bekas yang didapat dari bantuan posko, dinding diperkuat dengan bambu segar dari hutan, dan lantai kayu diganti dengan semen sederhana yang dibantu warga. Kehadiran Zan membawa perubahan besar, dan pencarian jejak Laila, ibu Zari yang hilang, mulai menunjukkan titik terang setelah berbulan-bulan penuh ketidakpastian.
Pagi itu, Zari membantu Halimah membersihkan sisa lumpur di dalam rumah, menyapu lantai dengan sapu lidi yang sudah usang sambil bernyanyi pelan—lagu lama yang pernah dinyanyikan Laila. Zan, yang sedang memotong kayu untuk memperkuat dinding, sesekali melirik Zari dengan senyum hangat. Suasana ceria terasa di udara, diperkaya oleh tawa Salma, adik Aisyah, yang membantu membawa ember air bersih dari sumur desa. Zari mulai mengajar anak-anak desa membaca di bawah pohon jati yang besar, menggunakan buku-buku bekas yang dibawa Zan dari kota dan kertas-kertas yang ia rakit dari daun pisang kering. “Zari, kamu lahir jadi guru,” kata Zan sambil meletakkan gergaji, membuat pipi Zari memerah dan ia hanya bisa tersenyum malu.
Jejak Laila akhirnya ditemukan melalui seorang pedagang tua bernama Pak Joko, yang sering bepergian ke kota. Ia mengenali Laila dari deskripsi Zari—wanita berusia sekitar 35 tahun dengan rambut panjang dan tanda lahir di leher—dan mengatakan bahwa Laila tinggal di sebuah gang sempit di kota, bekerja sebagai penjahit di toko kecil. Ia menyesal meninggalkan Zari karena tekanan ekonomi dan janji suami baru yang tak pernah ditepati. Dengan bantuan Zan, Zari menulis surat panjang, menuangkan rindu, kecewa, dan maaf yang ia pendam selama bertahun-tahun. Surat itu ia beri hiasan kecil dari daun kering yang ia kumpulkan, sebagai simbol cinta yang tak pernah padam. Beberapa minggu kemudian, saat hujan ringan turun, seorang wanita paruh baya tiba di desa dengan wajah penuh air mata—Laila. “Zari, Ibu salah. Ibu rindu kamu,” katanya, memeluk Zari erat hingga keduanya menangis bersama. Pertemuan itu penuh emosi, dengan Halimah yang ikut menangis haru sambil memegang tangan cucu dan putrinya, seolah waktu telah membawa mereka kembali bersatu.
Zan memutuskan untuk tinggal di desa, bekerja bersama Pak Darno untuk membuka bengkel kecil di tepi jalan desa. Ia menggunakan keahliannya memperbaiki mesin dari kota, memperbaiki sepeda warga dan alat pertanian dengan upah sederhana yang cukup untuk hidup. Zari melanjutkan sekolah dengan beasiswa yang diurus Bu Siti, belajar di sekolah malam yang baru dibuka di desa sebelah, meski perjalanan dua jam dengan sepeda bersama Zan sering kali melelahkan. Laila membuka usaha jahit rumahan di sudut rumah, membuat pakaian dan kain batik sederhana yang laris di pasar desa, membawa pendapatan tambahan untuk keluarga. Keluarga Zari perlahan pulih, dengan rumah baru yang dibangun bersama warga—dinding bambu diganti dengan papan kayu, dan atap seng diperkuat dengan tambahan penyangga. Suatu hari, setelah hujan ringan yang hanya berlangsung sejam, pelangi muncul di langit, melengkung indah di atas perbukitan, menjadi simbol harapan yang telah lama mereka tunggu.
Zari menulis puisi terakhir berjudul “Pelangi dan Kita,” menuangkannya di buku catatan baru yang ia beli dengan uang tabungan pertamanya. Ia membacakannya di perayaan desa yang diadakan untuk merayakan pemulihan pasca-banjir, dengan warga berkumpul di lapangan terbuka yang diterangi lentera. Kata-kata puitisnya merayakan cinta, pengampunan, dan kekuatan untuk bangkit, dan suaranya yang lembut membawa getaran emosi di hati pendengar. Zan dan Laila berdiri di sisinya, sementara Halimah duduk di kursi kayu dengan senyum bangga, dikelilingi anak-anak desa yang ikut menyanyi. Setelah acara, Zari duduk di tepi kolam tua, memandang pantulan pelangi di air yang jernih, dan berbisik, “Terima kasih, hujan, karena membawa mereka kembali.”
Hari-hari berikutnya, Zari mulai mengajar secara rutin, mengumpulkan anak-anak desa di bawah pohon jati setiap sore, menggunakan buku-buku yang ia pinjam dari Bu Siti dan papan tulis sederhana yang dibuat Zan dari kayu bekas. Ia mengajarkan mereka membaca, menulis, dan bahkan menyanyi lagu-lagu tradisional yang ia pelajari dari Halimah. Laila sering bergabung, mengajarkan anak-anak cara menjahit pola sederhana, sementara Zan memperbaiki alat tulis atau membawa cerita dari kota. Keluarga mereka kini menjadi pusat komunitas, dan Zari merasa hidupnya memiliki tujuan baru.
Suatu malam, saat bulan purnama menerangi desa, Zari duduk bersama Zan di tepi kolam, memandang bintang-bintang yang bersinar terang setelah berbulan-bulan tersembunyi di balik awan. “Zan, aku takut hujan datang lagi dan pisahkan kita,” katanya pelan. Zan memegang tangannya, menatap Zari dengan mata penuh keyakinan. “Kali ini, aku nggak akan pergi, Zari. Kita akan hadapi apa pun bareng,” jawabnya. Zari tersenyum, merasa damai untuk pertama kalinya dalam waktu lama.
Zari tahu, perjalanan hidupnya belum selesai. Ia bermimpi melanjutkan sekolah ke kota suatu hari nanti, menjadi penulis atau guru yang menginspirasi, sambil tetap menjaga keluarganya. Laila dan Halimah mendukung mimpinya, sementara Zan menjadi pendamping setianya. Cerita mereka, yang lahir dari hujan dan banjir, kini berlanjut di bawah pelangi, penuh harapan dan cinta. Bab ini ditutup dengan Zari yang menatap langit, memegang buku penuh puisinya, dan berdoa agar hujan berikutnya membawa kebaikan, bukan duka.
Antara Kita dan Hujan: Kisah Rindu di Tengah Badai adalah cerminan nyata tentang kekuatan cinta, pengampunan, dan harapan yang lahir dari kesulitan. Perjalanan Zarina Qistina mengajarkan kita untuk tetap bertahan dan mencari cahaya di ujung badai, dengan pelangi sebagai simbol kemenangan hati. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca setiap bab cerpen ini dan temukan inspirasi untuk menghadapi tantangan hidup Anda sendiri—baca sekarang dan rasakan keajaiban kisah ini!
Terima kasih telah menyelami kehangatan dan emosi dalam Antara Kita dan Hujan: Kisah Rindu di Tengah Badai. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kekuatan dalam hati Anda. Bagikan artikel ini dengan teman-teman Anda untuk menyebarkan harapan, dan tetap pantau kami untuk cerita-cerita menyentuh lainnya. Sampai jumpa di artikel berikutnya!


