Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasa, di tengah hujan yang deras, ada perasaan yang nggak bisa kamu lupain? Begitu juga yang dirasain sama Nadira. Setelah segala hal yang hancur, ada satu hal yang dia pelajarin: kadang, hujan itu bukan cuma buat basahin, tapi juga buat nyembuhin. Yuk, baca ceritanya, siapa tau kamu juga nemuin secercah harapan di balik hujan yang lagi turun.
Antara Aku dan Hujan
Rintik yang Menghapus Jejak
Hujan mulai turun perlahan, merembes ke sela-sela atap dan membasahi aspal di bawahnya. Nadira menatap keluar jendela, melihat dunia yang seakan terbendung dalam kabut tipis. Udara di luar dingin, dan tak ada yang tampak bergerak selain tetesan hujan yang jatuh begitu saja, seperti setiap perasaan yang ada dalam hatinya—diam dan terhimpun. Ia ingin menangis, tapi ia tahu tak ada yang bisa mengubah kenyataan yang sudah terlalu jelas.
“Kenapa hujan selalu datang waktu yang nggak tepat?” Nadira bergumam, memeluk diri sendiri. Hujan seperti teman lama yang kembali, tapi kali ini ia hanya menawarkan kesendirian, bukan kenyamanan.
Hari itu, cuaca begitu kelam. Matahari yang biasanya menyinari kota ini kini tak tampak sama sekali. Malah, langit memutuskan untuk menutup rapat-rapat segala harapan yang sempat ada. Begitu pula dengan hati Nadira, yang tiba-tiba terasa begitu berat, menahan beban yang semakin menyesakkan. Ia mengingat saat-saat itu—saat Arka masih ada.
“Saat aku menyukaimu, aku merasa dunia lebih terang,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tapi, kenapa setelah itu semuanya gelap?”
Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Hanya ada rasa kehilangan yang mendalam, dan ia tak tahu lagi bagaimana cara melanjutkan hidup yang kini terasa kosong.
Seperti biasa, Nadira duduk di pojokan ruang tamunya, menyandarkan punggung pada dinding yang sejuk. Suasana rumah yang sebelumnya terasa penuh dengan canda tawa, kini hanya dipenuhi oleh keheningan. Semuanya terasa hampa. Ia menarik nafas panjang, memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi. Taman itu, yang tak jauh dari rumah, memiliki banyak kenangan bersama Arka. Mungkin, di sana, ia bisa menemukan sedikit kedamaian, atau mungkin ia hanya mencari alasan untuk kembali merasakan kebersamaan yang hilang.
Taman itu tampak sepi ketika Nadira tiba. Hanya ada deretan pohon-pohon tua yang tak lagi memberi perlindungan seperti dulu. Bangku kayu yang pernah menjadi tempat mereka berbicara sepanjang waktu, kini tampak usang, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti Nadira.
Nadira duduk di bangku itu, menatap kosong ke depan. Ada suara angin yang melambai lembut, tetapi itu tidak cukup untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Dulu, Arka sering mengajaknya ke sini untuk sekadar berbincang tentang segala hal—tentang masa depan, tentang harapan, tentang cinta. Tapi hari itu, hanya ada dia dan hujan yang menemani.
“Nadira, kenapa kamu selalu terlihat seperti ini?” suara Arka tiba-tiba terngiang di telinganya, seolah dia masih di sana, berdiri di sampingnya.
“Karena kamu nggak ada di sini lagi,” jawab Nadira pelan, meski hanya dalam hatinya.
Seminggu yang lalu, Arka berdiri di tempat ini dengan ekspresi yang tidak pernah dilupakan Nadira. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak begitu serius, hampir seperti ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Nadira masih ingat jelas kata-katanya.
“Kita harus berhenti, Nadira,” Arka berkata, memandangnya dengan tatapan yang sulit dimengerti.
“Apa maksudmu? Kita baik-baik saja, kan?” Nadira bertanya, tidak percaya.
“Tidak, kita tidak baik-baik saja. Kita hanya bertahan, Nadira. Aku merasa kita semakin jauh, dan aku nggak tahu bagaimana cara membuat semuanya seperti dulu lagi.”
Nadira menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Tidak bisa, rasanya perasaan itu begitu nyata. Arka tampak seperti orang yang sudah memutuskan segalanya, sementara dia masih berjuang, memikirkan bagaimana mereka bisa memperbaiki semuanya. Tapi Arka sudah tidak bisa melihat itu lagi.
“Kamu nggak bisa gitu, Arka!” Nadira hampir berteriak, suara hatinya yang hilang dalam hujan. “Kita sudah melalui banyak hal. Kenapa harus berhenti sekarang?”
Arka menunduk, menatap telapak tangannya, seolah mencari alasan. “Kadang, aku merasa cinta itu bukan tentang bertahan, Nadira. Cinta itu tentang memberi ruang untuk berkembang. Aku merasa kita sudah berhenti berkembang.”
Dan itu adalah akhir dari segalanya. Arka pergi begitu saja, meninggalkan Nadira dengan tanya yang tak terjawab. Tidak ada lagi kebersamaan, tidak ada lagi tawa yang mengiringi langkah mereka. Hanya ada kesepian yang sekarang menguasai hatinya.
Tetesan hujan semakin deras, menghantam tanah dengan suara yang keras. Nadira menutup mata, mencoba mencegah air mata yang ingin jatuh. Tapi seketika, rasa itu datang begitu saja, menyesakkan.
“Kenapa kita nggak bisa selamanya seperti ini, Arka?” Nadira berbisik, menahan isak tangis yang hampir pecah.
Langit yang kelabu semakin meresapi suasana hati Nadira. Mungkin, hujan tidak pernah bisa menghapus kenangan, pikirnya. Hujan malah membawa semuanya kembali, mengingatkannya pada setiap kata, setiap sentuhan, setiap tawa yang pernah ada.
Dari jauh, suara langkah kaki mulai terdengar. Nadira menoleh, melihat seorang pria berjalan mendekat dengan payung di tangannya. Tanpa sadar, Nadira melirik wajah pria itu, dan sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Tapi dalam sekejap, ia kembali sadar—tidak ada yang bisa menggantikan Arka. Hujan tetap jatuh, dan ia harus belajar menerima kenyataan ini, meski dengan hati yang hancur.
Hujan Tak Pernah Bohong
Hujan masih turun dengan kecepatan yang sama, tak peduli pada langkah-langkah kecil yang meninggalkan jejak di tanah basah. Nadira berjalan perlahan, menunduk, berusaha mengabaikan kenyataan yang semakin menyesakkan dada. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi pun ikut merasakan beban yang ada dalam hatinya. Hujan ini, yang dulu mengingatkan pada canda tawa bersama Arka, kini hanya membuatnya semakin terperosok dalam kesedihan.
Langkahnya membawa Nadira melewati gang-gang sempit yang sudah dikenalnya. Tidak ada tempat yang lebih dekat dengan hatinya selain kota ini—tempat di mana dia dan Arka pertama kali bertemu, tempat di mana cinta itu tumbuh, dan tempat yang kini terasa begitu asing. Semuanya berubah, bahkan jalan-jalan yang dulu pernah dipenuhi kenangan manis, kini hanya menjadi kenangan yang tak bisa diubah.
Di depan sebuah kafe kecil, Nadira berhenti sejenak, menatap ke dalam lewat jendela. Ada pasangan muda yang sedang duduk bersama, tertawa dengan riang. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Nadira merasa janggal melihatnya, seolah cinta yang dulu dia dan Arka miliki kini hanya milik orang lain, sementara dia terkunci dalam kenangan yang tak berujung.
“Apa kamu nggak rindu kita ngobrol di sini?” Nadira berbisik pada dirinya sendiri. “Apa kamu nggak ingat waktu itu, Arka?”
Di dalam kafe itu, di antara secangkir kopi yang baru diseduh dan aroma roti yang masih hangat, ia mendengar suara Arka—suara yang selalu ia kenali, suara yang dulu bisa menenangkan hatinya. Dulu, setiap kali mereka duduk di tempat ini, Arka akan menggenggam tangannya dengan lembut dan berbisik, “Kamu tahu, Nadira, aku merasa tenang kalau kita bersama.”
Tapi kenangan itu hanyalah bayang-bayang yang kini semakin pudar. Nadira menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Tidak ada yang bisa membawa Arka kembali. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Tiba-tiba, suara hujan yang semakin deras membuatnya terkejut. Tetesan hujan jatuh dengan lebih keras, menutupi suara riuh di sekitar. Nadira merasa seolah hujan ini sedang berbicara padanya—mengajaknya untuk pergi lebih jauh, untuk meninggalkan masa lalu yang tak pernah bisa digapai kembali. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang menahan dirinya. Hujan ini, entah mengapa, seperti sebuah pengingat—pengingat bahwa hidup terus berjalan, meski perasaan itu masih tertinggal di tempat yang sama.
“Kenapa aku nggak bisa berhenti berharap?” Nadira bertanya pada dirinya sendiri, berjalan semakin cepat menembus hujan yang semakin deras.
Saat langkahnya tiba di sebuah jembatan kecil yang melintasi sungai, Nadira berhenti. Ia memandang sungai yang mengalir deras, airnya hitam pekat, penuh dengan sisa-sisa hujan yang turun sejak pagi. Sungai ini, yang dulu terasa begitu damai, kini hanya memberi kesan kelam, seperti hatinya yang semakin terlupakan.
Di bawah jembatan itu, Nadira bisa melihat pantulan dirinya di permukaan air. Gadis yang dulu penuh semangat, yang selalu bisa tersenyum lepas, kini hanya ada keraguan dan kesedihan. Tanpa sadar, air matanya jatuh, mengalir di pipinya dan bergabung dengan tetesan hujan yang jatuh ke tanah.
“Arka…” bisiknya, menyebut nama itu dengan suara yang hampir tak terdengar.
Kenangan tentang Arka datang begitu saja. Teringatlah mereka saat pertama kali bertemu—sebuah kebetulan yang akhirnya membawanya pada kisah cinta yang begitu indah. Nadira ingat bagaimana mereka tertawa bersama, bagaimana mereka saling berbagi cerita tentang impian dan harapan. Segala sesuatu terasa sempurna, hingga akhirnya waktu membuat semuanya hancur.
“Apa yang salah dengan kita, Arka?” Nadira bertanya pada langit yang gelap, berharap hujan bisa menjawabnya. “Kenapa kamu memilih untuk pergi?”
Di baliknya, langit yang kelabu hanya memberi jawaban dalam bentuk gerimis yang semakin ringan, seolah memberikan rasa dingin yang menenangkan. Nadira tahu, bahwa meski hujan ini tak bisa memberi jawab, ia harus menerima kenyataan. Arka sudah pergi, dan ia harus belajar hidup tanpa kehadirannya.
Beberapa saat kemudian, langkahnya mulai terasa lebih ringan. Hujan yang semula deras kini hanya menyisakan rintik halus yang membasahi tanah. Nadira menyeka air matanya, berusaha tersenyum, meski hanya sedikit. Ia merasa seperti ada sesuatu yang berusaha berubah dalam dirinya—sesuatu yang perlahan meresap dalam hatinya, meski ia tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata.
“Aku akan baik-baik saja,” ujarnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Aku harus baik-baik saja.”
Dan saat itu, ketika langkah Nadira mulai lebih pasti, ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti hujan yang perlahan mereda, ada harapan baru yang mulai tumbuh dalam hatinya. Mungkin, tidak sekarang, tetapi suatu hari nanti, ia akan menemukan dirinya kembali—tanpa Arka, tanpa kenangan-kenangan itu, hanya dirinya sendiri yang mampu bangkit kembali.
Namun untuk saat ini, hujan adalah teman yang ia butuhkan untuk bertahan. Mungkin, setelah ini, ia akan menemukan keberanian untuk menatap langit yang lebih cerah.
Di Balik Rintik Hujan
Hari-hari berjalan dengan kecepatan yang tidak pernah bisa dipahami oleh hati yang terluka. Nadira sudah mulai terbiasa dengan hujan yang datang dan pergi, seperti perasaan yang tidak pernah bisa ia kendalikan. Rintik-rintik hujan yang sering menemani langkahnya kini tidak lagi terasa menyakitkan, meskipun masih ada bayang-bayang Arka yang mengikuti ke mana pun ia pergi.
Namun, entah mengapa, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada sebuah kekuatan yang menariknya untuk terus maju, walaupun sesekali rasa sakit itu datang kembali, seperti hujan yang tak kunjung reda.
Pagi itu, langit tampak lebih cerah meskipun awan-awan gelap masih mengintai di kejauhan. Nadira memutuskan untuk keluar, untuk mencari udara segar yang akan menenangkan pikirannya. Ia melangkah keluar dari apartemennya, mengenakan jaket coklat tua yang sudah sedikit usang—sama seperti dirinya, yang perlahan-lahan mulai memudar.
Ia berjalan melewati jalan yang sama, tempat-tempat yang dulunya begitu hidup dengan tawa dan kata-kata dari Arka. Namun, kali ini tidak ada yang menemani langkahnya. Semua terasa sunyi, meskipun di luar sana, kehidupan tetap berjalan seperti biasa.
Di sebuah kafe kecil yang sama, Nadira berhenti sejenak. Tanpa sengaja, matanya tertuju pada sebuah meja di sudut, tempat yang sering ia dan Arka duduki bersama. Di sana, ada seorang pria yang sedang duduk sendirian, menatap ponselnya dengan ekspresi datar. Tidak ada yang spesial, hanya seorang pria yang tampak seperti orang biasa. Namun, ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Nadira teringat pada seseorang yang sudah lama ia lupakan.
“Apa yang kamu lihat?” Nadira bergumam pelan, hampir tidak terdengar. Namun, matanya tetap terpaku pada pria itu, yang kini sedang mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tepat ke arah hujan yang mulai turun lagi.
Tanpa sadar, Nadira melangkah menuju meja itu, meskipun ada rasa ragu yang mengganjal di hatinya. Apa yang membuatnya melangkah tanpa berpikir? Kenapa ia merasa seperti ingin berbicara dengan orang asing ini, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu bisa jadi hanya sebuah ilusi yang tercipta di dalam kepalanya?
Hujan semakin turun, dan suara gemericiknya mulai mengisi ruang kafe yang sempit. Nadira berdiri di depan meja pria itu, ragu-ragu. Pria itu menoleh dan tersenyum, seolah tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Senyum yang tidak asing, namun tidak bisa ia kenali.
“Maaf, apakah saya mengganggu?” Nadira bertanya, mencoba mengatur napasnya.
Pria itu mengangkat alis, lalu menjawab dengan suara yang tenang, “Tidak, kamu nggak mengganggu. Hujan turun dengan sangat deras, kan?”
Nadira mengangguk pelan. “Iya, hujan memang selalu datang tiba-tiba,” jawabnya, tanpa sadar. Lalu ia menambah, “Seperti perasaan yang datang begitu saja.”
Pria itu menatapnya lebih lama, seolah menilai sesuatu di dalam diri Nadira. Nadira merasa sedikit canggung, namun ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa lebih nyaman. Mungkin itu hanya perasaan sementara, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan orang asing ini. Sesuatu yang entah mengapa terasa lebih nyata dari apa yang ia rasakan selama ini.
“Perasaan yang datang tiba-tiba itu kadang memang bisa menghancurkan kita,” pria itu berkata, suara rendahnya mengalun tenang. “Tapi, kamu tahu, hujan tidak pernah menghancurkan. Hujan cuma membersihkan, meskipun kadang rasanya lebih berat.”
Nadira mengangguk, mencoba mencerna kata-katanya. “Iya, kadang rasanya sangat berat,” ia menjawab pelan. “Tapi aku belajar, hujan itu nggak selalu buruk. Mungkin itu caranya untuk membuat kita merasa lebih baik setelahnya.”
Pria itu tersenyum lagi, kali ini senyum yang sedikit lebih lebar. “Kadang, yang kita butuhkan hanya waktu. Waktu untuk merasakan dan melewati semuanya. Tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk perasaan.”
Nadira terdiam. Ada yang berbeda dalam kata-kata pria itu. Seolah ia sudah melalui banyak hal yang sama, seolah dia bisa merasakan apa yang dirasakan Nadira. Mungkin ia tidak mengenal pria ini, tapi ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Nadira merasa bahwa ia tidak sendirian. Mungkin, justru di tengah kesendirian ini, ia bisa menemukan sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih menenangkan.
Pria itu kemudian meneguk kopinya, dan dengan perlahan, ia meletakkan cangkir itu di meja. “Kamu tahu, hujan itu bukan hanya tentang air yang jatuh dari langit. Hujan itu tentang apa yang kita rasakan di dalam hati. Kalau kita tidak bisa menerima hujan, kita nggak akan bisa melihat keindahan setelahnya.”
Nadira terdiam, memandang pria itu dengan sedikit kebingungan. “Apa kamu sedang berbicara tentang cinta?” tanyanya pelan.
Pria itu mengangguk, namun hanya sedikit. “Cinta dan hujan punya banyak kesamaan. Keduanya datang tanpa permisi. Keduanya bisa membuat kita merasa terhanyut, tapi kalau kita bisa bertahan, kita akan tahu bahwa semuanya akan berlalu.”
Tiba-tiba, Nadira merasakan ada kehangatan dalam percakapan ini. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa belajar untuk tidak terlalu menganggap serius perasaannya. Mungkin, cinta memang datang seperti hujan—terkadang membasahi dan meresap dalam, namun pada akhirnya memberi ruang untuk sesuatu yang lebih baik.
“Terima kasih,” Nadira berkata pelan. Ia tahu, meskipun tidak ada yang bisa menggantikan Arka, setidaknya ada seseorang yang membuatnya sedikit mengerti bahwa semua perasaan itu memang harus dilewati. Dengan hujan, dengan waktu, dan dengan keberanian untuk melangkah ke depan.
Pria itu tersenyum. “Kadang, kamu harus melepaskan apa yang kamu anggap sebagai akhir, untuk menemukan apa yang sebenarnya baru dimulai.”
Hujan terus jatuh, dan Nadira tahu, meskipun rasa sakit itu masih ada, ia harus berjalan melewati rintik hujan ini—karena mungkin, setelah hujan reda, ada langit yang lebih cerah menanti.
Hujan yang Membawa Harapan
Hari-hari setelah percakapan itu berjalan dengan lebih ringan, meskipun perasaan Nadira masih kadang mengendap di kedalaman hatinya. Hujan, yang dulu datang membawa kesedihan, kini terasa seperti teman lama yang selalu setia menemaninya tanpa menghakimi. Entah kenapa, setelah berbicara dengan pria itu di kafe, Nadira merasa sedikit lebih kuat, sedikit lebih siap untuk menghadapi kenyataan yang harus ia terima. Bahwa semua yang terjadi dengan Arka—perpisahan mereka—bukanlah akhir dari segala sesuatu. Mungkin, itu adalah awal dari perjalanan baru.
Pagi itu, cuaca terasa lebih cerah. Hujan yang sebelumnya mengguyur seakan berhenti sejenak, memberikan ruang bagi matahari untuk keluar dan menebarkan cahayanya yang hangat. Nadira berdiri di jendela apartemennya, memandangi kota yang sibuk, seolah semuanya sudah mulai melangkah maju.
Tapi, ia tahu, ada sesuatu yang masih tertinggal—sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Ada perasaan yang menggantung di udara, seperti janji yang belum terlunasi. Hati Nadira terasa lebih ringan, tetapi ia belum sepenuhnya melepaskan masa lalu.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, mengganggu lamunannya. Sebuah pesan masuk, berasal dari nomor yang tidak dikenal. Nadira ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pesan itu.
“Aku tahu ini mungkin agak aneh, tapi aku ingin bilang terima kasih. Percakapan itu membuatku berpikir banyak hal. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari.”
Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Nadira berhenti sejenak. Tidak ada nama pengirim, hanya sebuah pesan singkat yang terasa tulus. Senyum tipis muncul di wajahnya. Mungkin, setelah semua yang ia alami, akhirnya ada seseorang yang memahami. Mungkin, dunia memang punya cara tersendiri untuk memberikan pelajaran—bukan dalam bentuk nasihat, tetapi dalam bentuk percakapan yang tak terduga.
Dengan hati yang sedikit lebih tenang, Nadira membalas pesan itu dengan kalimat yang sederhana.
“Terima kasih juga. Mungkin suatu saat nanti kita akan berbicara lagi, kalau waktunya tepat.”
Lalu ia menutup ponselnya dan melangkah keluar dari apartemen. Hari itu terasa berbeda. Hujan mungkin sudah reda, tetapi ada sebuah kenyataan baru yang mulai terbentuk dalam hidupnya—kenyataan yang memberinya harapan. Nadira tahu, perjalanan belum selesai, dan mungkin masih ada banyak hujan yang harus ia hadapi. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk itu. Karena setelah hujan, ada pelangi. Dan setelah perpisahan, selalu ada kesempatan untuk memulai yang baru.
Nadira berjalan menyusuri trotoar, langkahnya lebih mantap dari sebelumnya. Di kejauhan, awan masih menyisakan sedikit gerimis, namun ia tahu, kali ini, ia tidak takut lagi. Tak perlu lagi ada rasa sakit yang mengikatnya. Tak perlu lagi ada keraguan yang membelenggu.
Dan saat hujan mulai turun lagi, Nadira tersenyum. Bukan karena ia melupakan Arka atau apa yang telah terjadi, tapi karena ia tahu, perasaan itu sudah cukup. Ia sudah melewati itu semua. Kini, saatnya untuk menyambut sesuatu yang baru. Sesuatu yang datang dengan cara yang tak terduga, namun tetap penuh harapan.
Hujan, yang dulu menjadi simbol kesedihannya, kini menjadi simbol kebebasan. Karena di balik hujan, selalu ada langit yang menanti untuk disambut.
Dan mungkin, setelah ini, Nadira akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum memberikan hatinya pada orang lain. Karena, seperti yang dikatakan pria itu, terkadang yang kita butuhkan hanya waktu—untuk melepaskan, untuk menerima, dan untuk memulai lagi.
Dengan langkah yang lebih pasti, Nadira melangkah menuju masa depan.
Dan akhirnya, Nadira sadar kalau hidup emang nggak selalu mulus. Tapi setelah hujan yang deras, pasti ada pelangi yang nunggu. Kadang, kita harus ngelaluin kesedihan dulu supaya bisa ngerasain kebahagiaan yang lebih indah. Mungkin hujan itu nggak selalu jelek, kan? Kalau kamu lagi ngerasain hal yang sama, inget aja, nggak selamanya hujan itu bikin basah. Kadang, dia datang buat nyegerin hati kita.