Anita dan Kenangan Tak Terlupakan: Perjuangan Seorang Gadis Gaul Menghadapi Kehilangan Ibunya

Posted on

Kisah Anita mengungkapkan perjalanan emosionalnya setelah kehilangan ibu tercinta. Dalam artikel ini, Anda akan membaca bagaimana Anita berjuang menghadapi kesedihan dan tantangan hidup, sambil mencari kekuatan baru di tengah kegelapan.

Temukan bagaimana dukungan teman dan keluarga membantunya melanjutkan hidup dan menemukan harapan di hari-hari yang penuh duka. Artikel ini menyajikan refleksi mendalam tentang kekuatan dan keberanian yang ditemukan dalam proses penyembuhan setelah kehilangan.

 

Perjuangan Seorang Gadis Gaul Menghadapi Kehilangan Ibunya

Kehilangan yang Mengubah Segalanya

Hari itu cerah, dan suara tawa teman-teman gue memenuhi ruang kelas. Tapi buat gue suasana ceria ini terasa jauh dari jangkauan. Anita, gue, duduk di bangku belakang memandangi langit biru di luar jendela dengan hati yang terasa berat. Gue nyari kekuatan buat tetap tersenyum di depan teman-teman, tapi semua terasa kosong.

Dua minggu lalu, dunia gue hancur. Ibu gue, satu-satunya orang yang selalu ada buat gue udah pergi selamanya. Kanker yang selama ini kami coba sembunyikan dari banyak orang akhirnya mengalahkan kekuatan nyokap. Gue masih ngerasa nggak percaya, merasa kayak gue terjebak di dalam mimpi buruk yang nggak bisa gue bangun.

Ibu gue adalah segalanya. Dia bukan cuma ibu, tapi juga sahabat terbaik gue. Dari pagi sampai malam dia selalu ada untuk mendukung gue dalam segala hal. Gue ingat betapa cerianya dia saat gue dapet nilai bagus, atau betapa sabarnya dia ngadepin semua keributan gue di rumah. Dia selalu tahu cara bikin gue merasa lebih baik, bahkan di hari-hari paling suram sekalipun.

Setelah kepergiannya, rumah kami jadi sepi. Gue ngerasa kayak setiap sudut di rumah ngingetin gue sama dia. Suara ketawa yang dulu sering gue denger sekarang digantikan oleh kesunyian. Gue berusaha ngerasa kuat, tapi kadang-kadang, rasa sakit itu datang dengan tiba-tiba, bikin gue merasa kayak gue nggak bisa bernapas.

Sekolah jadi tempat pelarian gue. Gue berusaha aktif di berbagai kegiatan ikut ekstrakurikuler, dan terus bersosialisasi dengan teman-teman. Tapi di balik semua tawa dan kebahagiaan yang gue tunjukkan hati gue masih berduka. Gue takut kalau teman-teman mulai merasa jenuh dengan keluhan dan kesedihan gue, jadi gue berusaha untuk tetap terlihat bahagia di depan mereka.

Suatu hari, gue duduk di kantin, bersama dengan teman-teman dekat gue, Maya dan Lina. Mereka duduk di sekeliling meja ngobrol tentang tugas sekolah dan rencana akhir pekan. Gue ngerasa kayak gue berada di luar kelompok, meskipun gue duduk di tengah-tengah mereka. Gue sering melamun, memikirkan ibu gue, dan merasa terasing di tengah keramaian.

Tiba-tiba, Maya ngebuka topik yang bikin gue merasa terjebak. “Anita, gimana keadaan di rumah? Lo jarang cerita akhir-akhir ini.”

Gue ngerasa mata gue mulai berkaca-kaca. Gue tahu Maya cuma pengen tahu, tapi setiap kali orang nanya tentang ibu, rasanya kayak luka itu dibuka lagi. Gue berusaha tersenyum dan bilang, “Gue baik-baik aja, Maya. Semua sudah mulai membaik.”

Lina, yang duduk di sebelah Maya, menatap gue dengan tatapan prihatin. “Kita tahu ini berat buat lo, Anita. Kalau lo butuh apa-apa, kita di sini buat lo.”

Gue cuma manggut-manggut berusaha menahan air mata yang hampir menetes. “Makasih Lina. Gue cuma butuh waktu.”

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang terus berulang. Gue berusaha menjaga rutinitas sekolah, tapi setiap kali pulang ke rumah, gue ngerasa kehilangan yang mendalam. Gue sering duduk sendirian di kamar, melihat foto-foto ibu dan mengenang momen-momen yang pernah kami lewati bersama.

Ada satu malam yang gue ingat dengan jelas. Gue duduk di tepi ranjang, melihat langit malam melalui jendela kamar. Gue memegang sebuah foto ibu yang gue letakkan di meja samping tempat tidur. Di foto itu, ibu tersenyum dengan ceria, seolah dia tahu bahwa segala sesuatu bakal baik-baik saja. Gue mulai berbicara pada foto itu, dengan suara yang hampir tidak terdengar.

“Ibu, gue kangen banget sama lo. Gue nggak tahu harus gimana tanpa lo. Semua terasa sulit. Gue cuma pengen lo ada di sini buat ngasih semangat kayak dulu.”

Air mata gue jatuh di pipi, dan gue merasakan rasa sakit yang mendalam. Meskipun gue berusaha untuk tetap kuat di depan teman-teman, gue merasa seperti gue kehilangan bagian dari diri gue sendiri. Gue berusaha beradaptasi dengan kehilangan ini, tapi setiap hari terasa seperti perjuangan yang tanpa akhir.

Gue berjanji pada diri sendiri untuk terus berjuang, untuk menghormati kenangan ibu dengan hidup sebaik mungkin. Gue tahu ini bukan perjalanan yang mudah, tapi gue juga tahu kalau ibu gue ingin gue tetap bahagia dan kuat. Dengan setiap langkah, gue berusaha untuk tetap ingat pada kata-kata ibu, dan terus maju meskipun rasanya berat.

Dan begitulah, setiap hari gue berjuang untuk melawan kesedihan dan mencoba menemukan kembali diri gue sendiri di tengah kehilangan yang mendalam. Gue tahu perjalanan ini bakal panjang dan penuh tantangan, tapi gue bertekad untuk terus maju, dengan kenangan ibu sebagai kekuatan dan inspirasi gue.

 

Gelombang Kenangan yang Menghantam

Sekolah semakin menjadi medan perang bagi gue. Setiap hari, gue berjuang untuk menghadapi rutinitas yang terasa semakin berat setelah kepergian ibu. Di luar, semuanya tampak normal—teman-teman tertawa, guru mengajar, dan semua orang menjalani hari mereka seperti biasa. Tapi di dalam hati gue, semua terasa kacau. Kepergian ibu meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan, dan gue masih berjuang untuk menavigasi hidup baru gue tanpa dia.

Di kelas, gue berusaha untuk fokus. Namun, di tengah penjelasan guru, pikiran gue sering melayang jauh. Gue melihat gambar ibu yang tersimpan di dompet gue setiap kali gue merasa overwhelmed. Gambar itu menjadi pengingat tentang betapa berartinya dia dalam hidup gue. Ketika pelajaran selesai, gue menyimpan kembali gambar itu dan berusaha menata kembali perasaan gue sebelum keluar dari kelas.

Teman-teman gue, Maya dan Lina, terus berusaha ada untuk gue. Mereka sering menanyakan keadaan gue dan menawarkan bantuan, tapi kadang-kadang, perhatian mereka justru membuat gue merasa semakin tertekan. Gue tahu mereka peduli, tapi gue merasa terjepit antara keinginan untuk berbagi dan rasa malu karena terus-menerus mengeluh.

Suatu hari, kami punya jadwal ujian besar di sekolah. Gue udah belajar dengan keras, tapi setiap kali gue mencoba untuk fokus, pikiran gue teralihkan oleh kenangan tentang ibu. Gue duduk di bangku ujian, berusaha keras untuk tidak terbawa emosi, tapi setiap kali gue melihat kertas ujian, rasa sakit itu kembali menghantam.

Selesai ujian, gue pergi ke tempat parkir sekolah dan duduk sendirian di mobil. Gue merasakan ketidakberdayaan yang mendalam dan mulai menangis dengan deras. Mungkin orang-orang di luar tidak tahu apa yang sedang gue alami, tapi di dalam mobil itu, gue merasa seperti gue bisa mengeluarkan semua rasa sakit yang gue tahan selama ini.

Ketika gue merasa agak tenang, gue memutuskan untuk pergi ke tempat favorit ibu—taman kecil di pinggir kota yang sering kami kunjungi bersama. Taman itu penuh dengan bunga-bunga indah dan suasana yang menenangkan. Gue sering duduk di bangku yang sama di mana ibu dan gue duduk bersama, berbicara tentang berbagai hal.

Hari itu, cuaca cerah dan angin berhembus lembut, namun suasana di taman terasa sepi. Gue duduk di bangku itu, memandang ke arah kolam kecil di tengah taman. Di sini, gue merasa seperti ibu gue masih ada di sekitar gue, mendengarkan setiap kata yang gue ucapkan. Gue mulai berbicara kepada ibu dalam hati, berharap bahwa dia bisa mendengar dan memberi gue sedikit kekuatan.

“Ibu gue tahu bahwa gue harus terus maju, tapi rasanya itu sangatlah sulit tanpa lo. Semua terasa tidak lengkap. Gue cuma butuh lo ada di sini, ngebantu gue mengatasi semua ini.”

Gue merasa seperti waktu berhenti sejenak di taman itu. Setiap hembusan angin dan suara burung membuat gue merasa lebih dekat dengan kenangan ibu. Gue memejamkan mata dan membayangkan ibu sedang duduk di sebelah gue, memberikan senyum dan kata-kata semangat yang selalu membuat gue merasa lebih baik.

Hari-hari berikutnya, gue mulai merasa sedikit lebih kuat. Meskipun gue masih merasa sedih dan tertekan, gue mulai mencoba untuk mengatasi rasa sakit itu dengan cara yang lebih sehat. Gue mulai menulis di jurnal, menggambarkan perasaan dan kenangan gue tentang ibu. Menulis menjadi pelarian bagi gue, cara untuk mengeluarkan semua perasaan yang gue simpan dalam hati.

Sekolah tetap menjadi tantangan besar, tapi gue mulai mencoba untuk lebih fokus pada hal-hal positif. Gue bergabung dengan beberapa kegiatan baru dan mencoba untuk membuka diri lebih banyak kepada teman-teman. Gue tahu bahwa ibu pasti ingin gue bahagia, dan meskipun gue belum sepenuhnya pulih, gue berusaha untuk menghargai setiap momen yang ada.

Suatu malam, saat gue duduk di kamar dan memandang bintang-bintang lewat jendela, gue merasakan rasa damai yang perlahan-lahan menggantikan rasa sakit. Gue tahu kalau proses penyembuhan ini bakal panjang, tapi gue juga mulai merasa bahwa gue bisa menghadapinya. Setiap kenangan ibu yang gue simpan dalam hati menjadi sumber kekuatan baru yang bikin gue terus maju.

Dengan setiap hari yang berlalu, gue berusaha untuk bangkit dari kesedihan dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil di sekitar gue. Gue belajar untuk menghargai setiap momen dan terus bergerak maju, meskipun rasa sakit itu masih ada. Gue tahu ibu gue selalu ada di hati gue, dan dengan kekuatan itu, gue terus berjuang untuk hidup yang lebih baik.

Di tengah perjuangan dan kesedihan, gue menemukan kekuatan baru dalam diri gue. Gue menyadari bahwa meskipun ibu tidak lagi ada di samping gue, kenangan dan cinta yang dia tinggalkan akan selalu membimbing gue melalui setiap langkah hidup. Dan dengan semangat itu, gue terus melangkah maju, berusaha untuk hidup dengan cara yang ibu pasti banggakan.

 

Menemukan Kekuatan dalam Kegelapan

Hari-hari semakin terasa membingungkan. Kadang-kadang, gue merasa seperti gue terjebak di dalam kabut tebal yang nggak kunjung menghilang. Setiap kali gue berpikir gue mulai menemukan jalan keluar dari kesedihan, gelombang baru datang menghantam, membuat gue merasa seakan-akan gue kembali ke titik awal. Kehilangan ibu nggak pernah benar-benar hilang dari pikiran gue, dan gue berusaha mencari cara untuk menghadapinya.

Sekolah menjadi tempat yang penuh kontradiksi. Di satu sisi, gue menemukan pelarian dari kenyataan pahit di rumah. Di sisi lain, gue merasa semakin tertekan oleh tekanan akademis dan ekspektasi sosial. Gue berusaha keras untuk menjaga penampilan luar gue, terus tampil ceria dan bersemangat di depan teman-teman. Tapi di balik senyum itu, ada beban yang terus-menerus menghimpit hati gue.

Suatu hari, gue memutuskan untuk ikut serta dalam festival sekolah yang diadakan setiap tahun. Festival ini adalah acara besar yang melibatkan semua siswa, dari pertunjukan musik hingga bazaar makanan. Gue pikir ini bisa jadi cara yang bagus buat mengalihkan perhatian gue dari rasa sakit dan memberikan gue sesuatu yang positif untuk difokuskan.

Gue bergabung dengan kelompok teman-teman gue untuk menyiapkan stan makanan. Gue merasa senang bekerja bersama mereka, tertawa dan ngobrol saat mempersiapkan berbagai hidangan. Namun, saat malam festival tiba, gue merasa agak tertekan. Semua orang tampak sangat antusias, sementara gue merasa terasing di tengah keramaian.

Saat festival berlangsung, gue berdiri di belakang stan, melayani pengunjung dan mencoba untuk tersenyum meskipun hati gue terasa berat. Melihat semua orang bersenang-senang membuat gue merasa sedih karena gue merasa tidak bisa sepenuhnya ikut merasakan kebahagiaan itu. Gue merasa seperti gue hanya berperan sebagai figuran dalam kehidupan yang terus berlanjut tanpa gue.

Ketika malam semakin larut, gue merasa semakin cemas. Gue memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar untuk mendapatkan udara segar. Gue berjalan di sekitar lapangan festival, memandangi kerumunan orang yang menikmati waktu mereka. Gue berhenti di tempat yang agak sepi di pinggir lapangan, mencoba menenangkan pikiran gue.

Di sinilah, gue melihat sebuah lampu kecil berkelip di kejauhan. Itu adalah stan kecil dengan lampu-lampu berwarna yang menarik perhatian gue. Gue mendekati stan itu dan melihat seorang wanita tua yang tampak ramah, sedang membuat kerajinan tangan. Wanita itu tersenyum saat melihat gue mendekat.

“Selamat malam, nak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu dengan lembut.

Gue merasa ada ketenangan dalam suara wanita itu, dan gue akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Gue cuma butuh sedikit waktu untuk diri sendiri. Terlalu banyak yang terjadi akhir-akhir ini.”

Wanita itu mengangguk dengan pengertian. “Kehilangan memang sulit. Tapi kadang-kadang, kita harus mencari cara untuk mengingat kenangan baik dan terus melanjutkan hidup.”

Dia melanjutkan, “Saya buat kerajinan tangan ini untuk mengingatkan diri sendiri bahwa meskipun hidup penuh dengan perubahan dan kesedihan, ada keindahan dalam setiap momen yang kita miliki.”

Gue membeli salah satu kerajinan tangan wanita itu—sebuah liontin kecil dengan ukiran halus—sebagai pengingat akan kata-katanya. Saat gue memegang liontin itu di tangan, rasanya seperti gue mendapatkan sedikit ketenangan. Gue merasa lebih siap untuk menghadapi segala sesuatu yang masih harus gue hadapi.

Ketika festival berakhir, gue kembali ke stan dengan perasaan yang agak lebih tenang. Teman-teman gue menyambut gue dengan ceria dan bertanya tentang perjalanan gue. Gue berusaha untuk tetap positif, meskipun gue tahu gue belum sepenuhnya pulih dari kesedihan. Namun, gue mulai merasa bahwa gue bisa mencoba untuk melihat masa depan dengan lebih optimis.

Malam itu, gue duduk sendirian di balkon rumah, memandangi bintang-bintang. Gue memegang pendant kecil yang gue beli, merasa sedikit lebih terhubung dengan ibu melalui kenangan dan nasihat wanita tua di festival. Setiap bintang di langit malam tampak seperti titik cahaya di tengah kegelapan, mengingatkan gue bahwa ada harapan meskipun gue merasa terjebak dalam kesedihan.

Sejak malam itu, gue mulai mencoba untuk lebih terbuka kepada teman-teman dan keluarga tentang perasaan gue. Gue mulai berbicara lebih banyak tentang kenangan ibu dan bagaimana gue merasa kehilangan. Teman-teman gue, Maya dan Lina, semakin sering ada di samping gue, menawarkan dukungan yang sangat berarti.

Dalam perjalanan menuju pemulihan, gue mulai menemukan kekuatan dalam diri gue yang belum pernah gue sadari sebelumnya. Gue belajar bahwa meskipun hidup ini penuh dengan kesedihan dan tantangan, ada cara untuk menemukan kebahagiaan dan makna di dalamnya. Gue bertekad untuk terus berjuang, menghargai setiap momen yang gue miliki, dan merayakan kenangan indah yang ditinggalkan ibu.

Gue tahu proses penyembuhan ini bakal panjang dan penuh dengan tantangan. Tapi dengan setiap langkah kecil, gue mulai merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi masa depan. Gue terus melangkah maju dengan harapan bahwa suatu hari, gue akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati, meskipun ibu tidak lagi di samping gue.

Dan begitulah, setiap hari gue berusaha untuk bangkit dari kesedihan, menemukan kekuatan baru dalam diri gue, dan melanjutkan hidup dengan cara yang ibu pasti banggakan. Gue terus mencari cahaya di tengah kegelapan, dan dengan setiap langkah kecil, gue merasa lebih dekat untuk menemukan kembali diri gue sendiri.

 

Menyusun Kembali Potongan-Potongan Kehidupan

Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan setiap hari rasanya seperti mendaki bukit yang curam. Gue mulai merasa lebih kuat, tapi ada kalanya kenangan dan rasa sakit datang menyerang tanpa peringatan. Gue terus berusaha beradaptasi dengan hidup tanpa ibu, dan meskipun prosesnya sangat berat, gue mulai belajar cara baru untuk menyusun kembali potongan-potongan kehidupan gue.

Suatu pagi, gue bangun dengan rasa cemas. Gue tahu hari ini adalah hari penting—hari di mana gue harus menghadapi presentasi besar di depan kelas tentang proyek kelompok. Proyek ini sudah gue persiapkan dengan serius, tapi kegugupan gue rasanya meluap-luap. Gue berusaha menenangkan diri dengan cara yang sama seperti yang gue lakukan setiap hari: mengingat nasihat ibu dan berusaha fokus pada apa yang bisa gue kendalikan.

Ketika gue berdiri di depan kelas, melihat mata-mata teman-teman dan guru yang menunggu, gue merasakan jantung gue berdegup kencang. Gue mulai berbicara, berusaha untuk tetap tenang dan percaya diri. Namun, semakin lama gue berbicara, semakin banyak kenangan ibu yang datang menyerbu pikiran gue, membuat gue merasa seolah-olah gue akan kehilangan kendali.

Di tengah presentasi, suara gue mulai bergetar. Gue merasa semua mata tertuju pada gue, dan meskipun gue berusaha keras untuk melanjutkan, rasa sakit yang gue simpan dalam hati hampir membuat gue terhenti. Gue mengambil napas dalam-dalam dan memandang gambar ibu yang gue simpan di dalam dompet. Gue membayangkan senyumnya yang selalu memberi gue dorongan semangat.

Gue akhirnya menyelesaikan presentasi dengan penuh usaha, meskipun rasanya sangat melelahkan. Ketika gue duduk kembali di bangku gue, gue merasa sangat lega dan sekaligus letih. Maya dan Lina, yang duduk di samping gue, memberikan tepuk tangan dan sorakan kecil. Meskipun gue merasa sedikit terhibur, gue juga merasa sangat lelah.

Hari itu, setelah sekolah berakhir, gue memutuskan untuk pergi ke perpustakaan lokal yang sering kami kunjungi bersama ibu. Gue selalu mengingat betapa senangnya ibu berada di tempat itu, di mana kami bisa membaca buku-buku lama sambil berbicara tentang berbagai hal. Perpustakaan itu memiliki suasana yang tenang dan damai, dan gue merasa seperti berada di tempat yang tepat untuk merenung.

Gue duduk di meja favorit gue, di dekat jendela besar yang menghadap taman kecil di luar. Gue mulai membaca buku yang sering kami baca bersama. Setiap halaman terasa seperti jembatan yang menghubungkan gue dengan kenangan ibu. Gue merasa seperti bisa merasakan kehadirannya di samping gue saat gue menyelami kata-kata dalam buku.

Sambil membaca, gue merasa sebuah dorongan untuk mulai menulis surat untuk ibu. Gue menulis dengan hati-hati, mencurahkan semua perasaan dan pikiran gue. Gue menulis tentang bagaimana gue berjuang, bagaimana gue merasa kehilangan, dan bagaimana gue mencoba untuk tetap kuat. Menulis surat ini menjadi terapi tersendiri bagi gue, memberi gue kesempatan untuk berbicara dengan ibu seolah dia masih ada di sini.

Saat sore menjelang, gue keluar dari perpustakaan dengan perasaan yang agak lebih ringan. Gue merasa seperti ada bagian dari diri gue yang sudah mulai pulih, meskipun gue tahu perjalanan ini belum selesai. Gue melanjutkan perjalanan pulang, memikirkan segala hal yang telah gue alami dan bagaimana gue bisa mulai membangun kembali hidup gue.

Ketika gue sampai di rumah, gue melihat keluarga kecil gue yang tersisa—ayah dan adik gue—duduk di ruang tamu. Mereka menatap gue dengan tatapan penuh pengertian. Ayah udah mencoba untuk mendukung gue dengan cara yang terbaik yang dia bisa, dan meskipun hubungan kami agak tegang setelah kepergian ibu, gue tahu dia berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga kami.

Gue memutuskan untuk berbicara dengan ayah tentang perasaan gue, mengungkapkan apa yang gue rasakan dan bagaimana gue berjuang untuk terus maju. Kami berbicara dengan jujur tentang rasa sakit dan kehilangan, dan gue merasa sedikit lega setelah akhirnya berbagi beban dengan ayah.

Malam itu, sebelum tidur, gue duduk di balkon rumah sambil memandang bintang-bintang di langit. Gue memegang pendant kecil yang gue beli dari festival, merasa nyaman dengan kehadirannya. Gue tahu proses penyembuhan ini bakal panjang, tapi gue mulai merasa bahwa gue bisa menghadapi tantangan ini dengan lebih baik.

Gue mulai belajar bahwa meskipun kehilangan ibu meninggalkan luka yang dalam, ada kekuatan dan keberanian dalam diri gue yang bisa gue temukan dengan setiap langkah kecil. Dengan dukungan teman-teman, keluarga, dan kenangan ibu yang selalu ada di hati gue, gue merasa lebih siap untuk menghadapi masa depan.

Gue tahu ada banyak tantangan yang masih harus gue hadapi, tapi gue juga tahu bahwa gue tidak sendirian. Dengan setiap hari yang berlalu, gue terus berjuang untuk melanjutkan hidup dengan cara yang ibu pasti banggakan. Gue belajar untuk menghargai setiap momen dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, meskipun perjalanan ini penuh dengan rintangan dan kesedihan.

Dan begitulah, dengan setiap langkah baru, gue menyusun kembali potongan-potongan kehidupan gue. Gue terus berusaha untuk bangkit dari kesedihan dan menemukan kekuatan baru di dalam diri gue. Meskipun jalan menuju pemulihan ini penuh dengan tantangan, gue merasa lebih siap untuk menghadapi setiap hari, dengan kenangan ibu sebagai cahaya yang memandu gue.

 

Dengan setiap langkah yang diambil Anita dalam menghadapi kesedihan, kita belajar bahwa kekuatan dan harapan dapat ditemukan meskipun dalam kegelapan. Kisah ini mengingatkan kita tentang pentingnya dukungan dari orang-orang terdekat dan bagaimana kita dapat menemukan kembali diri kita setelah kehilangan. Semoga artikel ini memberikan inspirasi dan pemahaman bagi Anda yang sedang menghadapi tantangan serupa. Terima kasih telah membaca, dan semoga perjalanan Anita memberikan dorongan dan kekuatan bagi kita semua untuk terus melangkah maju dengan penuh harapan.

Leave a Reply