Daftar Isi
“Anak Jaman Now: Pergaulan Penuh Drama dan Harapan di Era Digital” mengajak Anda masuk ke dunia Zivara, seorang remaja yang terjebak dalam tekanan media sosial dan pergaulan modern di Jakarta. Cerpen ini menawarkan kisah emosional yang penuh konflik, dari ejekan di balik layar hingga perjalanan menemukan persahabatan sejati. Bagaimana Zivara menghadapi drama squad dan membangun harapan baru? Temukan inspirasi dan pelajaran berharga dari cerita ini yang relevan dengan kehidupan anak muda masa kini—baca selengkapnya di sini!
Anak Jaman Now
Bayang di Balik Layar
Di sebuah perumahan modern di pinggiran kota Jakarta, di mana gedung-gedung tinggi berdampingan dengan rumah-rumah bertingkat dua, hiduplah seorang remaja bernama Zivara. Nama itu, yang berarti “cahaya hujan” dalam bahasa yang ia sendiri tak tahu asal-usulnya, terasa ironis bagi gadis berusia 16 tahun itu. Rambutnya yang pirang terang—pewarnaan yang ia pilih untuk menonjol di antara teman-temannya—selalu tergerai acak-acakan, mencerminkan kekacauan dalam hidupnya. Zivara adalah bagian dari generasi yang tumbuh di era digital, di mana ponsel pintar adalah ekstensi tangan, dan media sosial adalah panggung untuk menunjukkan eksistensi. Namun, di balik layar yang bersinar, ia menyimpan luka yang tak pernah ia bagikan.
Pagi itu, Zivara bangun dengan suara notifikasi yang tak henti berbunyi dari ponselnya yang tergeletak di atas meja samping ranjang. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah gorden, menciptakan pola di lantai kamarnya yang penuh dengan pakaian berserakan dan buku-buku pelajaran yang tak disentuh. Ia menggosok mata yang masih sayu, menatap layar ponselnya dengan rasa campur aduk. Pesan dari grup WhatsApp temen deketnya, “Squad Vibes,” penuh dengan leletan kata dan emoji, membahas rencana nongkrong di kafe terbaru di mall. Tapi di antara pesan-pesan itu, ada satu yang membuat jantungnya berdegup kencang: foto dirinya yang diambil diam-diam saat ia tertidur di kelas kemarin, lengkap dengan caption jahat, “Tidur lagi nih, Zivara si pemalas!”
Zivara merasa wajahnya panas. Ia tahu siapa yang mengirimnya—Rynzel, cowok paling populer di sekolah yang selalu punya cara membuat orang lain merasa kecil. Rynzel, dengan rambut mohawk berwarna merah menyala dan senyum sinis yang menjadi ciri khasnya, adalah pemimpin tak resmi dari “Squad Vibes.” Zivara ingin membalas, tapi jarinya bergetar di atas layar. Ia memilih untuk diam, seperti biasa, dan mematikan ponselnya. Namun, bayangan foto itu terus menghantuinya, membuatnya merasa telanjang di depan dunia.
Setelah mandi dengan tergesa-gesa, Zivara mengenakan seragam sekolahnya—rok plisket abu-abu dan kemeja putih yang sedikit kusut—dan turun ke lantai bawah. Ibunya, seorang single parent bernama Lestari, sedang sibuk menyiapkan sarapan: nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi. “Ziv, cepat makan, nanti terlambat,” panggil Lestari dengan suara lembut namun tegas. Zivara hanya mengangguk, duduk di kursi makan tanpa antusiasme. Ia menusuk nasi dengan garpu, tapi pikirannya masih terjebak di foto itu. Ia tak pernah bercerita pada ibunya tentang pergaulannya yang penuh drama, takut Lestari akan khawatir atau, yang lebih buruk, melarangnya bergaul dengan “Squad Vibes.”
Di sekolah, suasana tak jauh berbeda. SMA Harapan Jaya adalah tempat di mana status sosial ditentukan oleh jumlah like di Instagram dan cerita di Snapchat. Zivara, meski tergolong populer karena gaya berpakaiannya yang berani, selalu merasa seperti penutup buku yang indah dengan isi kosong. Di kantin, ia duduk bersama “Squad Vibes”—Rynzel, gadis energik bernama Tazhira, dan cowok pendiam bernama Jelvar. Mereka tertawa keras membahas rencana malam ini, tapi Zivara hanya tersenyum tipis. Tazhira, dengan rambut pendek berwarna ungu dan tato temporer di lengannya, melemparkan komentar, “Eh, Ziv, lo ikut kan? Kalo lo nolak lagi, Rynzel bakal bikin meme lo lagi nih.”
Rynzel tertawa, menatap Zivara dengan mata yang penuh tantangan. “Iya, lo kan idola tidur kita. Harus ikut biar ada hiburan,” katanya, disambut tawa temen-temannya. Zivara meremas tangannya di bawah meja, merasa perutnya mual. Ia ingin bangkit dan pergi, tapi rasa takut ditinggal sendirian lebih besar. “Aku ikut,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keramaian kantin.
Malam itu, mereka bertemu di kafe bernama “Neon Brew,” tempat yang penuh dengan lampu LED berwarna-warni dan musik EDM yang mengguncang dinding. Zivara duduk di sudut, memandangi temen-temannya yang asyik berdansa dan berfoto untuk diunggah ke Instagram. Ia memesan secangkir latte, tapi tak tersentuh, tangannya sibuk memutar-mutar ponselnya. Di layar, ia membuka chat pribadi dengan Jelvar, satu-satunya yang pernah menunjukkan sedikit kebaikan padanya. “Lo baik-baik aja?” tulis Jelvar, dengan emoji wajah sedih.
Zivara ragu-ragu menjawab. Jelvar, dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat ke belakang dan tatapan yang penuh pemikiran, adalah kontradiksi di antara “Squad Vibes.” Ia jarang bicara, tapi selalu ada di dekat Zivara saat ia merasa terpojok. “Ga apa-apa,” balas Zivara akhirnya, meski hati kecilnya berteriak sebaliknya.
Tiba-tiba, Rynzel mendekat dengan gelas berisi minuman berbusa di tangannya. “Eh, Ziv, lo kok diem aja? Lo kan harus bikin konten buat kita,” katanya, lalu tanpa permisi mengambil ponsel Zivara dan mulai merekam video. Zivara panik, mencoba merebutnya kembali, tapi Rynzel lebih cepat. “Cekrek!” suara shutter kamera terdengar, dan dalam hitungan detik, video Zivara yang terlihat bingung dan malu diunggah ke story Instagram Rynzel dengan caption, “Zivara si bintang malam, lucu banget pas panik!”
Tawa temen-temannya menggema, tapi bagi Zivara, itu seperti pisau yang menusuk. Ia merasa air mata mengintip di sudut matanya, tapi ia menahannya. Ia bangkit dari kursi, mengabaikan panggilan Rynzel, dan berlari keluar kafe. Udara malam yang dingin menyambutnya, membawa aroma asap kendaraan dan bunga liar dari taman di dekatnya. Ia duduk di bangku taman, menutup wajahnya dengan tangan, membiarkan tangisnya pecah pelan. Untuk pertama kalinya, ia merasa pergaulan yang ia kejar hanyalah ilusi—sebuah panggung di mana ia selalu jadi bahan ejekan, bukan bagian dari kelompok.
Di kejauhan, ia mendengar langkah kaki. Jelvar muncul, jaket kulitnya yang sedikit usang tampak mencolok di bawah lampu jalan. Ia tak berkata apa-apa, hanya duduk di samping Zivara dan menawarkan sebotol air dari tasnya. “Lo ga salah,” katanya pelan setelah beberapa saat. “Mereka yang salah.”
Zivara menatapnya, air matanya masih mengalir. “Tapi aku ga bisa ninggalin mereka, Jel. Aku takut sendirian.”
Jelvar menghela napas, matanya menatap ke langit yang gelap. “Lo ga sendirian, Ziv. Aku ada di sini. Dan lo punya pilihan—tetap di drama itu, atau cari temen yang beneran menghargai lo.”
Kata-kata itu mengguncang Zivara. Ia ingin percaya, tapi bayangan tawa Rynzel dan caption jahat di media sosial terus berputar di kepalanya. Malam itu, ia pulang dengan hati yang berat, ponselnya tetap mati untuk menghindari notifikasi yang hanya akan memperburuk perasaannya. Di kamarnya, ia menatap cermin, melihat wajahnya yang basah oleh air mata dan rambut pirang yang kini terasa seperti topeng. Ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah pergaulan ini worth it? Atau akankah ia cukup berani untuk memulai ulang, mencari cahaya di tengah gelapnya dunia digital?
Di luar, suara klakson kendaraan terdengar samar, mencampur dengan desir angin malam. Zivara menutup mata, merasakan beban di dadanya yang semakin berat. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan dirinya yang sejati baru saja dimulai, dan itu akan menjadi jalan yang penuh liku—tapi mungkin, dengan Jelvar di sisinya, ia bisa menemukan harapan di tengah kekacauan.
Retakan di Antara Tawa
Hari berikutnya di SMA Harapan Jaya dimulai dengan suasana yang berbeda bagi Zivara. Pagi itu, langit Jakarta dipenuhi awan tebal yang menggantung rendah, menciptakan suasana kelabu yang seolah mencerminkan hati Zivara. Ia bangun dengan mata sembab, akibat tidur yang tak nyenyak setelah kejadian di Neon Brew malam tadi. Ponselnya tetap mati, dibiarkan tergeletak di sudut meja, seolah ia sengaja memutuskan koneksi dengan dunia yang selama ini mengikatnya. Di lantai bawah, aroma kopi hitam dari dapur Lestari menyelinap ke kamarnya, membawa sedikit kehangatan yang tak mampu menembus dinginnya perasaannya.
Zivara turun dengan langkah berat, mengenakan seragam yang ia setrika sendiri karena Lestari harus berangkat kerja lebih awal. Ia duduk di meja makan, menatap sepiring nasi uduk dengan ayam suwir yang disiapkan ibunya sebelum pergi. “Makan ya, Ziv, jangan cuma diem,” tulis Lestari dalam pesan singkat yang ia tinggalkan di atas meja. Zivara mengangguk pada dirinya sendiri, meski tak ada yang melihat, dan mulai makan dengan gerakan mekanis. Pikirannya melayang ke Jelvar—kata-kata “lo ga salah” yang terngiang di kepalanya seperti mantra yang mencoba membangun kembali kepercayaan dirinya.
Di sekolah, Zivara memilih untuk menghindari kantin dan langsung menuju kelas. Ia duduk di bangku belakang, membuka buku matematika yang sudah berdebu, berusaha menyibukkan diri dengan rumus-rumus yang tak ia pahami. Namun, suara langkah kaki yang mendekat membuatnya menegang. Tazhira muncul di ambang pintu kelas, rambut ungu pendeknya bergoyang saat ia berjalan dengan penuh percaya diri. “Ziv, lo kemarin kenapa kabur gitu?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara penasaran dan sindiran. “Rynzel marah loh, katanya lo bikin malu squad.”
Zivara menunduk, jarinya menggenggam pena terlalu erat hingga terasa sakit. “Aku ga enak badan,” jawabnya singkat, berharap Tazhira akan pergi. Tapi gadis itu malah duduk di sampingnya, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan story Instagram Rynzel yang masih aktif. Video Zivara yang panik tersebar, dan di kolom komentar, temen-temen lain menertawakannya dengan emoji tertawa dan kalimat-kalimat seperti “LOL Ziv emg bikin hari ini seru.” Zivara merasa perutnya mual, tapi ia berusaha menjaga wajahnya tetap datar.
“Lo harus minta maaf ke Rynzel,” lanjut Tazhira, matanya menatap Zivara dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Dia bilang kalo lo ga balik ke squad, lo bakal di-unfollow semua. Lo kan ga mau jadi loser, kan?”
Kata-kata itu seperti tamparan bagi Zivara. Ia ingin berteriak bahwa ia lelah menjadi bahan ejekan, tetapi rasa takut ditinggalkan mengikat lidahnya. “Aku pikir-pikir dulu,” katanya akhirnya, suaranya pelan. Tazhira mengangkat bahu, lalu pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Zivara sendirian dengan pikirannya yang kacau.
Di tengah jam pelajaran, Zivara mendapat pesan dari Jelvar. “Meet me di perpustakaan, ada yang mau aku kasih.” Dengan hati-hati, ia keluar kelas saat guru tak melihat, dan berjalan menuju perpustakaan yang sepi. Di antara rak-rak buku yang penuh debu, ia menemukan Jelvar duduk di sudut, membaca buku tebal dengan sampul usang. Ia menoleh saat Zivara mendekat, lalu mengangguk kecil sebagai salam.
“Aku nemu ini,” kata Jelvar, menunjukkan buku di tangannya. Itu adalah buku catatan tua, penuh tulisan tangan yang memudar. “Aku suka cari buku bekas di sini. Ini cerita tentang anak-anak jaman dulu, sebelum semua ini—” ia menunjuk ponsel Zivara, “—ada. Mereka ga pake media sosial, cuma ketemu langsung, ngobrol, bantu-bantu. Kayak… lebih sederhana.”
Zivara mengambil buku itu, membukanya perlahan. Tulisan di dalamnya berbicara tentang persahabatan yang tulus, tentang anak-anak yang saling mendukung tanpa perlu validasi online. Ia merasa sesuatu bergetar di dadanya—perasaan yang asing, seperti harapan. “Tapi sekarang ga gitu, Jel,” katanya, suaranya parau. “Semua soal like, follower, dan drama. Aku ga tahu cara keluar dari ini.”
Jelvar menatapnya dengan mata yang penuh empati. “Lo bisa mulai dari kecil. Ga usah peduli apa kata Rynzel atau Tazhira. Lo punya aku, dan itu cukup buat langkah pertama.”
Kata-kata itu membuat Zivara terdiam. Ia ingin percaya, tapi bayangan unfollow massal dan ejekan temen-temennya terasa nyata. Namun, ada bagian dari dirinya yang mulai lelah—lelah menjadi boneka di panggung “Squad Vibes.” Ia mengangguk pelan, menyimpan buku itu di tasnya sebagai simbol janji kecil pada dirinya sendiri.
Malam itu, Zivara duduk di kamarnya, menatap ponsel yang akhirnya ia nyalakan. Notifikasi berderet, sebagian besar dari “Squad Vibes” yang memintanya klarifikasi. Tapi ada satu pesan dari nomor tak dikenal: “Ziv, aku Rynzel. Lo kalo ga minta maaf besok, lo selesai di sini. Pikir baik-baik.” Zivara membaca pesan itu berkali-kali, tangannya gemetar. Ia ingin membalas dengan kemarahan, tapi ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan.
Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela dengan lembut. Zivara membuka buku tua dari Jelvar, membaca satu halaman lagi. Ia membayangkan hidup tanpa tekanan like, tanpa caption yang menyakiti, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada celah kecil di dinding yang telah ia bangun. Ia mengambil pena, menulis di buku harian yang sudah lama terlupakan: “Hari ini, aku mau coba jadi diri sendiri. Mungkin ga gampang, tapi aku ga mau jadi bayangan di balik layar lagi.”
Besok adalah hari keputusan. Zivara tahu, jika ia memilih melawan Rynzel, ia mungkin kehilangan segalanya—tapi jika ia menyerah, ia juga kehilangan dirinya. Di tengah suara hujan yang semakin kencang, ia menutup mata, berharap menemukan keberanian yang selama ini tersembunyi di balik rambut pirang dan senyum palsunya. Jelvar ada di pikirannya, seperti cahaya kecil di tengah badai yang ia hadapi sendirian.
Langkah di Ujung Tebing
Pagi hari di SMA Harapan Jaya terasa berat bagi Zivara, seolah udara pagi yang lembap membawa beban yang tak terucap. Jam menunjukkan 06:30 WIB saat ia berdiri di depan cermin kamarnya, menatap pantulan dirinya yang tampak pucat. Rambut pirangnya yang biasanya ia atur dengan hati-hati kini dibiarkan tergerai begitu saja, mencerminkan kekacauan batinnya. Ponselnya bergetar di atas meja, notifikasi dari “Squad Vibes” terus berdatangan, sebagian besar berisi tekanan halus dari Tazhira dan ancaman dari Rynzel yang belum ia balas. Di luar, suara klakson motor dan deru kendaraan pagi Jakarta menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah rasa sesak di dadanya.
Zivara menghela napas dalam-dalam, mengenakan seragamnya dengan gerakan lambat. Ia memutuskan untuk membawa buku tua yang diberikan Jelvar, menyimpannya di tas sekolahnya sebagai pengingat janji kecil yang ia tulis malam tadi. Di lantai bawah, ia menemukan secangkir teh hangat yang ditinggalkan Lestari, lengkap dengan catatan sederhana: “Semangat ya, Ziv!” Ia tersenyum tipis, merasakan sedikit kehangatan dari cinta ibunya, meski hatinya masih diliputi ketidakpastian. Setelah menyelesaikan teh itu, ia bergegas keluar, naik angkot yang penuh sesak menuju sekolah, pikirannya berputar mencari keberanian untuk menghadapi hari ini.
Sesampainya di sekolah, Zivara langsung menuju kelas, menghindari keramaian di halaman yang dipenuhi siswa yang asyik mengobrol dan merekam video untuk TikTok. Di kelas, ia duduk di bangku belakang seperti biasa, membuka buku matematika untuk menyamarkan kegelisahannya. Namun, tak lama kemudian, Rynzel masuk dengan langkah percaya diri, diikuti Tazhira yang tersenyum genit. Rynzel menarik kursi di depan Zivara, duduk dengan posisi yang menantang, matanya menatap tajam. “Lo udah pikir mateng belum, Ziv?” tanyanya, suaranya dingin. “Aku ga suka nunggu.”
Zivara menelan ludah, tangannya mencengkeram pena terlalu erat. “Aku… aku minta maaf kalo kemarin bikin lo kesel,” katanya pelan, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan apa yang ia inginkan. Rynzel menyeringai, menepuk pundak Zivara dengan kasar. “Bagus. Lo ikut kita sore ini di Neon Brew lagi, buat bukti lo setia. Kalo ga, lo tahu akibatnya.”
Tazhira tertawa kecil, menambahkan, “Iya, Ziv, lo ga mau jadi bahan meme lagi kan? Udah malu-maluin squad.” Zivara mengangguk lelet, meski perutnya terasa mual. Ia melirik ke arah pintu, berharap Jelvar muncul, tapi kelas itu sepi selain tawa Rynzel yang menggema.
Saat jam istirahat, Zivara menyelinap ke perpustakaan, tempat ia tahu Jelvar sering menghabiskan waktu. Ia menemukan pemuda itu duduk di sudut, membaca buku lain dengan konsentrasi penuh. “Jel,” panggil Zivara pelan, suaranya bergetar. Jelvar menoleh, matanya langsung menangkap kegelisahan di wajah temannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya, menutup bukunya dan mengundang Zivara duduk.
Zivara menceritakan pertemuan dengan Rynzel, kata-kata ancaman, dan tekanan untuk kembali ke “Squad Vibes.” Air mata mengintip di sudut matanya saat ia berkata, “Aku ga tahu harus gimana, Jel. Aku takut mereka unfollow aku, takut ga ada yang mau temen sama aku lagi. Tapi aku juga ga mau hidup begini terus.”
Jelvar mendengarkan dengan sabar, lalu mengeluarkan buku tua dari tasnya. “Lo inget cerita di buku ini?” tanyanya, membuka halaman yang berbicara tentang persahabatan sejati. “Mereka ga butuh like buat saling dukung. Lo ga perlu Rynzel buat ngerasa berharga, Ziv. Lo cukup jadi diri lo.”
Kata-kata itu menyentuh hati Zivara, tapi ia masih ragu. “Tapi kalo aku nolak, aku ga punya siapa-siapa,” bisiknya, suaranya hampir putus. Jelvar menggelengkan kepala. “Lo punya aku. Dan aku yakin lo bisa cari temen lain yang beneran care. Mulai dari nol ga gampang, tapi worth it.”
Zivara menatap buku itu, merasakan dorongan kecil di dadanya. Ia mengangguk pelan, memutuskan untuk mencoba. “Aku ga mau ke Neon Brew sore ini,” katanya tegas. “Aku mau coba keluar dari drama ini.”
Jelvar tersenyum, memberikan jempol kecil sebagai dukungan. “Aku dukung lo. Kalo lo butuh temen, aku ada di sini.”
Sore itu, Zivara menghadapi momen krusial. Saat “Squad Vibes” berkumpul di kantin untuk pergi ke Neon Brew, Zivara mendekati Rynzel dengan langkah yang sedikit gemetar. “Aku ga ikut,” katanya, suaranya lebih keras dari yang ia kira. Rynzel menatapnya dengan mata terbelalak, lalu tertawa sinis. “Serius, Ziv? Lo mau jadi penutup buku kosong? Fine, unfollow!” Ia mengeluarkan ponselnya, menunjukkan layar saat ia menghapus Zivara dari daftar temannya di depan semua orang.
Tazhira dan yang lain ikut tertawa, beberapa bahkan merekam momen itu untuk diunggah. Zivara merasa dunia berputar, tapi ia berdiri tegak, menahan air mata. “Kalau itu yang lo mau, silakan,” katanya, lalu berbalik pergi. Di belakangnya, tawa Rynzel memudar, digantikan oleh suara langkah kakinya yang menjauh.
Zivara berjalan keluar sekolah, duduk di halte bus dengan hati yang bercampur aduk—sedih, takut, tapi juga ada sedikit lega. Ponselnya bergetar, notifikasi unfollow dan komentar jahat mulai membanjiri akunnya. Ia ingin menangis, tapi Jelvar muncul di sampingnya, membawa dua botol air dingin. “Lo kuat banget, Ziv,” katanya, memberikan satu botol. “Ini baru awal. Besok bakal lebih gampang.”
Malam itu, Zivara pulang dengan langkah berat, tapi ada perubahan kecil di dalam dirinya. Ia membuka buku harian, menulis: “Hari ini aku kehilangan ‘temen’, tapi mungkin aku nemuin diri aku sendiri. Terima kasih, Jel.” Di luar, hujan turun lagi, mencuci jalanan Jakarta yang ramai, seolah membawa harapan baru untuk Zivara. Ia tahu jalan ini penuh rintangan—tahanan dari Rynzel mungkin belum selesai, dan ia harus membangun ulang pergaulannya dari nol. Tapi dengan Jelvar di sisinya, ia merasa ada cahaya kecil di ujung tebing yang ia hadapi.
Cahaya di Balik Layar Baru
Pagi hari di Jakarta pada Senin, 23 Juni 2025, terasa segar dengan hembusan angin yang membawa aroma hujan semalam. Jam menunjukkan 10:05 WIB saat Zivara berdiri di depan SMA Harapan Jaya, menatap bangunan sekolah dengan perasaan campur aduk. Setelah keputusannya tegas untuk keluar dari “Squad Vibes” kemarin, ia merasa seperti baru saja melangkah keluar dari sangkar yang selama ini membelenggunya. Rambut pirangnya yang tergerai dibiarkan alami hari ini, tanpa styling berlebihan, dan tas di bahunya terasa lebih ringan meski buku tua dari Jelvar masih tersimpan di dalamnya. Namun, di dalam hatinya, ada ketakutan yang mengintai—bagaimana hari ini akan berjalan tanpa dukungan kelompok yang dulu ia andalkan?
Zivara masuk ke kelas dengan langkah pelan, menghindari pandangan temen-temen yang mungkin masih membicarakan drama kemarin. Kabar unfollow massal Rynzel telah menyebar seperti api, dan bisik-bisik mulai terdengar saat ia melewati koridor. Ia duduk di bangku belakang, membuka buku matematika sebagai tameng, tapi pikirannya melayang ke Jelvar. Pemuda itu janji akan menemuinya di perpustakaan saat istirahat, dan Zivara merasa itu adalah cahaya kecil yang ia pegang erat.
Saat bel istirahat berbunyi, Zivara bergegas ke perpustakaan, tempat yang kini menjadi surga baginya. Jelvar sudah menunggu, duduk di sudut dengan buku catatan terbuka di depannya. Di sampingnya, ada sebotol jus jeruk yang ia beli dari kantin. “Buat lo,” kata Jelvar sambil mendorong botol itu ke arah Zivara. “Lo kuat kemarin. Aku bangga.”
Zivara tersenyum tipis, mengambil jus itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Tapi aku takut, Jel. Mereka masih ngomongin aku. Rynzel malah bikin story baru, bilang aku ‘nggak punya nyali.’ Aku ga tahu apa yang harus kulakukan.”
Jelvar mengangguk, matanya penuh pemahaman. “Itu cuma omong kosong buat nyakitin lo. Lo ga perlu buktiin apa-apa ke mereka. Tapi kalo lo mau, kita bisa cari cara buat lo mulai lagi—dari nol, tapi dengan temen yang beneran.”
Zivara menatapnya, merasakan harapan kecil yang mulai tumbuh. “Maksud lo gimana?”
Jelvar tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku kenal beberapa orang di klub literasi. Mereka ga peduli sama like atau drama. Cuma suka nulis, ngobrol, dan bantu-bantu. Lo suka nulis di buku harian, kan? Mungkin lo bisa coba gabung.”
Zivara ragu, tapi ia teringat catatan yang ia tulis malam tadi. “Aku… aku mau coba,” katanya akhirnya, suaranya penuh tekad. Jelvar mengangguk, lalu mengirim pesan ke temen-temen klubnya, mengatur pertemuan sore ini di taman sekolah.
Sore itu, Zivara bertemu dengan tiga anggota klub literasi: Nivora, gadis pendiam dengan kacamata bulat dan rambut cokelat panjang; Klyden, cowok tinggi dengan jaket lusuh yang suka menggambar; dan Serina, yang selalu membawa buku puisi dan tersenyum hangat. Mereka duduk di bawah pohon beringin di taman sekolah, dikelilingi oleh suara burung dan angin sepoi-sepoi. Nivora menawarkan buku catatan kosong kepada Zivara, berkata, “Kamu bisa mulai nulis apa aja di sini. Ga ada tekanan, cuma buat luapin perasaan.”
Zivara mengambil buku itu, jarinya menyentuh kertas kosong dengan hati-hati. Untuk pertama kalinya, ia merasa tak dinilai. Ia mulai menulis tentang perasaannya—sedih karena ditinggal “Squad Vibes,” takut menghadapi hari esok, tapi juga harapan kecil yang muncul berkat Jelvar dan temen-temen baru ini. Klyden menggambar sketsa sederhana di samping tulisannya, sementara Serina membacakan puisi pendek tentang keberanian, membuat Zivara tersenyum tulus untuk pertama kalinya dalam beberapa hari.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Rynzel dan Tazhira muncul di ujung taman, diikuti beberapa anak lain dari “Squad Vibes.” Rynzel mendekat dengan langkah sombong, ponselnya merekam video. “Eh, Zivara si penutup buku kosong sekarang jadi penyair, ya?” ejeknya, disambut tawa temen-temannya. “Lo pikir lo keren sama geng aneh ini?”
Zivara merasa jantungnya berdegup kencang, tapi kali ini ia tak ingin mundur. Ia berdiri, menatap Rynzel dengan mata yang teguh. “Aku ga peduli apa yang lo bilang, Ryn. Aku capek jadi boneka lo. Ini temenku sekarang, dan mereka lebih baik dari lo.”
Rynzel terdiam sejenak, lalu tertawa keras. “Bagus, Ziv. Tapi lo bakal nyesel.” Ia berbalik, meninggalkan taman bersama gengnya, tapi Zivara tahu ini belum selesai. Namun, untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian. Nivora memegang tangannya, Klyden memberikan sketsa tambahan sebagai dukungan, dan Serina membisikkan, “Kamu kuat, Ziv.”
Malam itu, Zivara pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia membuka buku harian, menulis: “Hari ini aku nemuin temen sejati. Rynzel mungkin masih nyakitin aku, tapi aku ga takut lagi. Ini awal yang baru.” Di luar, langit Jakarta mulai gelap, lampu-lampu kota menyala satu per satu, menciptakan pemandangan yang indah dari jendela kamarnya.
Keesokan harinya, Zivara kembali ke sekolah dengan kepala tegak. Rynzel mencoba menggoda lagi dengan meme baru, tapi kali ini Zivara memilih mengabaikan, fokus pada klub literasi yang kini menjadi dunianya. Jelvar, Nivora, Klyden, dan Serina menjadi lingkaran baru yang mendukungnya, mengajarinya bahwa persahabatan sejati tak butuh validasi digital, melainkan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Di akhir minggu, Zivara memutuskan untuk membersihkan akun Instagramnya, menghapus foto-foto lama yang dipaksakan oleh “Squad Vibes,” dan mengunggah satu foto sederhana: dirinya bersama temen-temen klub literasi, tersenyum di taman sekolah. Captionnya pendek: “Mulai dari nol, tapi dengan hati yang penuh.” Like mungkin tak sebanyak dulu, tapi komentar dari Jelvar, “Pride of you, Ziv,” dan dukungan temen-temen barunya membuatnya merasa lebih berharga daripada sebelumnya.
Zivara tahu perjalanan ini belum selesai—Rynzel mungkin akan terus mencari cara untuk menyakitinya, dan ia masih harus membuktikan diri pada dirinya sendiri. Tapi di balik layar baru yang ia bangun, ia menemukan cahaya—cahaya harapan, persahabatan, dan keberanian untuk menjadi Zivara yang sejati, bukan bayangan di era digital yang penuh drama.
Cerpen “Anak Jaman Now: Pergaulan Penuh Drama dan Harapan di Era Digital” bukan hanya kisah tentang tantangan anak muda di era digital, tetapi juga tentang kekuatan untuk bangkit dan menemukan persahabatan yang tulus di tengah tekanan. Dengan karakter Zivara yang relatable dan perjalanan emosionalnya yang mendalam, cerita ini menginspirasi pembaca untuk mengejar keberanian menjadi diri sendiri, meninggalkan drama, dan membuka babak baru dalam hidup. Jangan lewatkan untuk merenungkan pesan ini dan bagikan kisahnya kepada teman-teman Anda!
Terima kasih telah membaca ulasan tentang “Anak Jaman Now: Pergaulan Penuh Drama dan Harapan di Era Digital.” Semoga cerita ini memberi Anda semangat untuk menghadapi tantangan dan menemukan makna dalam pergaulan Anda sendiri. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa tinggalkan pendapat Anda di kolom komentar!


