Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak ada yang hilang, tapi nggak bisa ngerti apa? Kayak air mata yang nggak bisa jatuh lagi, atau kenangan yang tiba-tiba kabur tanpa alasan.
Cerita ini mungkin bakal ngebawa kamu ke tempat yang sedikit aneh, sedikit gelap, tapi pasti bakal bikin kamu mikir tentang kehilangan, tentang perubahan, dan gimana caranya kita bisa berdamai dengan itu semua. Jadi, siap buat ngebaca cerpen yang satu ini? Let’s dive in!
Air Mata yang Hilang
Sungai yang Menghapus
Sungai itu selalu mengalir dengan tenang, seolah tak peduli apa yang terjadi di dunia luar. Di sepanjang alirannya, tak ada suara kecuali gemericik air yang seolah-olah bergumam dengan ritme yang menenangkan. Namun, ada yang aneh di sini. Airnya tidak pernah berubah, meskipun musim berganti. Setiap tetesan yang jatuh seolah mengandung rahasia, rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang datang dengan hati penuh kesedihan.
Di tepi sungai itu, seorang gadis berdiri terpaku. Namanya Rachma, dan matanya kosong. Ada banyak hal yang hilang darinya—kehilangan yang tak akan bisa digantikan dengan kata-kata atau pelukan siapa pun. Dia datang ke sini dengan harapan yang samar, percaya bahwa sungai ini bisa memberi jawaban untuk semua yang mengganjal di hatinya.
“Apa yang kamu cari di sini?” Suara itu mengalir lembut di telinga Rachma, memecah kesunyian yang sudah lama mengisi hatinya.
Rachma menoleh. Seorang pemuda berdiri tak jauh darinya, dengan tatapan mata yang sepertinya jauh lebih kosong dari yang ia rasakan. Niko, itu namanya. Entah sejak kapan dia ada di sana, tetapi Rachma merasa seolah-olah dia sudah mengenal pemuda ini sejak lama.
“Aku… aku hanya ingin mencoba,” jawab Rachma, suara yang keluar sedikit lebih keras dari yang dia inginkan. “Mereka bilang, air mata yang hilang di sungai ini tidak akan pernah kembali. Aku ingin tahu apakah itu benar.”
Niko tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri, matanya terfokus pada permukaan air yang berkilau. Seolah ada sesuatu yang dia cari di sana. Setelah beberapa lama, dia akhirnya membuka mulut, suaranya lebih berat, seperti beban yang ingin ditumpahkan.
“Air mata yang hilang… apa yang kamu kira akan terjadi setelah mereka menghilang?” tanya Niko, namun suaranya terdengar lebih seperti pertanyaan untuk dirinya sendiri daripada untuk Rachma.
Rachma mengernyit. Pertanyaan itu tidak sepenuhnya ia pahami. “Aku tidak tahu,” katanya jujur. “Mungkin aku hanya ingin… menghapus semuanya. Menghapus rasa sakit yang selalu ada di sini.” Rachma meletakkan tangan di dada, tepat di atas jantungnya, tempat yang selalu terasa berat.
Niko menoleh, matanya kini menatap Rachma lebih dalam. “Hanya air mata yang bisa menghapus semuanya?” tanyanya, terdengar sinis namun penuh rasa iba.
Rachma terdiam. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin mencoba.” jawabnya lagi, dengan suara yang lebih lembut. “Terkadang, rasanya aku terlalu lelah untuk menangis. Tetapi entah kenapa, air mata itu… tetap datang.”
Ada keheningan di antara mereka. Rachma merasa canggung, tetapi juga seperti menemukan pemahaman yang samar di balik tatapan Niko yang penuh penderitaan. Mereka berdua tahu betul, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar air mata yang mengalir.
Setelah beberapa saat, mereka berjalan bersama menuju tepi sungai. Rachma melihat airnya yang sangat jernih, hampir tidak ada riak yang mengganggu permukaannya. Seolah mengundang mereka untuk mendekat dan membiarkan kesedihan itu tenggelam ke dalamnya.
“Jadi, kamu percaya ini akan menghapus semuanya?” Niko bertanya, suaranya yang biasa terdengar datar kini mengandung keraguan.
Rachma berhenti sejenak, melihat ke dalam air yang tenang. “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin percaya, setidaknya untuk sekali ini.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin merasakan bahwa aku bisa melepaskan semuanya. Aku ingin tahu kalau itu mungkin.”
Niko mengangguk pelan. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di samping Rachma. Keduanya menatap air, merasa berat di dada meskipun mereka tak mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya, Rachma menundukkan kepalanya. Tanpa berkata lebih lanjut, air mata mulai mengalir. Mereka turun perlahan, seperti hujan yang datang tiba-tiba, membawa segala kesedihan yang selama ini dipendam. Saat tetesannya menyentuh kulitnya, dia merasa seperti membiarkan beban itu terlepas, meskipun sedikit. Seketika itu, air di sungai tampak bergerak sedikit lebih cepat, menyapu air mata yang jatuh tanpa meninggalkan jejak.
Niko berdiri di sampingnya, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya memandangi sungai dengan tatapan kosong, matanya tidak pernah lepas dari permukaan yang perlahan meredakan kesedihan mereka.
“Apakah itu cukup?” tanya Rachma, suaranya hampir berbisik. “Apakah aku bisa merasa lebih baik sekarang?”
Niko memandang sungai, seolah-olah sedang merenung tentang jawabannya. “Mungkin air mata itu menghilang, tetapi rasa sakit yang lebih dalam… entahlah. Itu bukan sesuatu yang bisa hilang begitu saja.”
Rachma menggigit bibirnya, menatap Niko. Ada kepahitan yang muncul dalam kata-katanya, namun dia tahu betul bahwa Niko sedang berbicara dari pengalaman. “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan agar bisa merasa bebas?”
Niko menundukkan kepalanya, menatap tanah sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya perlahan. “Aku hanya tahu bahwa terkadang, apa yang hilang… tidak akan pernah bisa kembali.”
Rachma merasa kata-kata itu menembus hatinya dengan cepat. Dia ingin percaya bahwa air mata yang hilang bisa memberikan kedamaian, tetapi kenyataannya, sesuatu yang lebih dalam masih membebani mereka berdua. Tidak ada yang bisa menghapusnya, bahkan dengan kekuatan terbesar sekalipun.
Mereka berdiri di sana, menatap sungai yang terus mengalir, berharap bahwa suatu saat nanti, mereka akan menemukan jalan keluar dari kesedihan yang sepertinya tak ada habisnya.
Namun, pada akhirnya, mereka hanya berdua, dengan kesedihan yang sama namun tak terucapkan, di tepi sungai yang tak pernah berhenti mengalir.
Sungai itu tidak memberi jawaban, hanya membawa pergi air mata mereka, tanpa meninggalkan apa-apa.
Di Bawah Pohon yang Tumbang
Pagi hari datang begitu lambat, terasa beban di dada Rachma semakin berat setiap detik yang berlalu. Keheningan masih terasa di antara mereka, meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan mereka di tepi sungai. Niko tetap ada, tapi tidak banyak yang ia ungkapkan, seperti ada sesuatu yang ia pendam lebih dalam. Rachma sendiri merasa seolah-olah waktu tidak bergerak dengan normal. Begitu banyak pertanyaan di benaknya, namun ia takut untuk menyuarakannya.
Pagi itu, mereka duduk di bawah pohon tua yang sudah tumbang di tepi hutan. Cabang-cabangnya yang bengkok menyentuh tanah, dan dedaunan yang berguguran berserakan di sekitar mereka. Rachma menarik napas panjang, merasakan udara segar yang mencoba mengusir kegelisahannya. Namun, pikirannya masih terikat pada percakapan mereka beberapa hari yang lalu. Air mata yang hilang, itu terus berputar di kepalanya. Ada rasa tak nyaman yang muncul—seolah-olah mereka hanya menghindari kenyataan.
“Kenapa kita di sini?” tanya Rachma akhirnya, setelah beberapa lama diam. Suaranya sedikit serak, seolah-olah berbicara sudah terlalu lama tidak ia lakukan.
Niko hanya duduk, menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang tumbang itu. Matanya menatap kosong ke depan, ke hutan yang gelap dan rapat, seolah-olah hutan itu menyembunyikan sesuatu yang sangat penting. Dia mengangkat bahu, dan sesaat kemudian, seulas senyum samar terlihat di wajahnya. Senyum yang penuh arti, yang sulit untuk dimengerti.
“Karena pohon ini sudah tumbang, dan kita sama-sama ada di sini,” jawab Niko, nada suaranya pelan, namun ada kesan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata itu.
Rachma menatapnya. “Tapi kenapa selalu ada yang hilang setelah setiap pertemuan?” Ia tahu, pertanyaannya terasa aneh, bahkan konyol. Namun, itu adalah hal yang terus mengganggu pikirannya. Bagaimana bisa mereka berdua begitu dekat, tetapi ada semacam tembok yang tidak pernah bisa dihancurkan?
“Apakah kamu pikir sesuatu bisa hilang begitu saja?” Niko bertanya, matanya kini tertuju pada Rachma. Ada kesedihan yang begitu dalam tercermin di sana. “Kadang, hilangnya itu bukan berarti menghapus. Terkadang, hilang itu hanya membuat kita mencari lebih dalam lagi. Mencari sesuatu yang kita tak tahu apa itu.”
Rachma merasa seolah-olah Niko berbicara untuk dirinya sendiri, bukan untuknya. Dia menggigit bibirnya, memikirkan kata-kata itu. “Tapi kenapa kita harus mencari lagi?” tanyanya, hampir berbisik. “Apa yang hilang sebenarnya sudah tidak bisa ditemukan, kan?”
Niko tidak langsung menjawab. Ia memandang tanah, lalu dengan pelan mengangkat tangan, membelai dedaunan yang tergeletak di dekat mereka. Ada keheningan panjang yang mengisi ruang di antara mereka. Tiba-tiba, Niko bangkit dari duduknya dan melangkah beberapa langkah ke depan, jauh dari Rachma.
Rachma menatap punggung Niko yang perlahan menjauh, kemudian ia berdiri dan mengikuti langkahnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya, suaranya sedikit terkejut.
Niko berhenti, lalu berbalik perlahan. Wajahnya lebih serius dari sebelumnya. “Ke tempat yang kamu tidak ingin kunjungi,” jawabnya dengan nada yang agak menggantung.
Rachma menatap Niko dengan cemas, namun ia tidak tahu harus berkata apa. Niko hanya tersenyum miris, dan tanpa berkata-kata lagi, ia melanjutkan langkahnya menuju bagian hutan yang lebih dalam. Rachma mengikuti, merasa sedikit takut tetapi juga penasaran. Mereka berjalan dalam keheningan, langkah kaki mereka yang beriringan hanya terdengar di bawah selimut dedaunan yang jatuh.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa sangat berbeda. Di sana, ada sebuah pohon besar yang sudah mati, batangnya keropos dan rantingnya tidak lagi memiliki kehidupan. Tanah di sekitar pohon itu penuh dengan bebatuan besar, seolah-olah alam telah berusaha menutupi kenyataan bahwa tempat ini telah kehilangan makna.
“Ini tempat yang kamu maksud?” Rachma bertanya, suaranya lebih pelan daripada sebelumnya.
“Ya.” Niko menjawab singkat, lalu duduk di atas sebuah batu besar yang tergeletak di dekat pohon mati itu. “Tempat ini juga mati, seperti halnya kita. Hanya kita yang tidak bisa melihatnya.”
Rachma mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
Niko menatap Rachma dengan tatapan kosong, seolah ada sebuah misteri yang hanya ia tahu. “Kamu merasa kehilangan sesuatu, kan?” katanya, menatap mata Rachma dengan tajam. “Tapi apa yang kamu sebenarnya cari? Sebuah penghiburan? Atau hanya sekadar alasan untuk terus hidup?”
Rachma terdiam. Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah benar-benar ia tanyakan pada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berada di tepi jurang yang dalam, sebuah tempat tanpa jawabannya, tanpa jalan keluar.
“Aku tidak tahu,” akhirnya Rachma menjawab, suaranya tercekat. “Aku hanya ingin tahu kenapa semuanya terasa begitu kosong.”
Niko menghela napas panjang. “Terkadang, kita mencari sesuatu yang hilang karena kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan tanpa itu. Tapi ada kalanya… kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ditemukan kembali. Bahkan jika kita mencarinya sepanjang hidup kita.”
Ada sesuatu dalam suara Niko yang membuat Rachma merasa seolah-olah dia sedang berbicara tentang dirinya, tentang kesedihannya yang dalam, yang tak bisa dijelaskan. Dia merasa seperti sedang terjebak dalam sebuah labirin tak berujung, mencoba mencari jalan keluar yang tidak pernah ada.
“Tapi aku masih ingin mencarinya,” katanya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu apakah ada cara untuk membuat semuanya kembali seperti semula.”
Niko hanya tersenyum miris, sebuah senyum yang sangat berbeda dari senyum yang biasanya. Senyum yang penuh dengan penyesalan. “Kamu tidak bisa kembali,” jawabnya pelan. “Kadang, kita harus belajar untuk menerima bahwa apa yang hilang… tidak akan pernah kembali. Dan itu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan.”
Rachma tidak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang mulai menggerogoti. Ketakutan bahwa, mungkin, apa yang ia cari memang tidak ada di dunia ini. Tapi ia tidak bisa menyerah begitu saja.
“Kalau begitu,” katanya akhirnya, menatap Niko dengan mata yang penuh keyakinan, meski ada keraguan yang mendalam. “Aku akan terus mencari, meski aku tahu itu sia-sia.”
Niko mengangguk pelan, matanya tetap kosong. “Itulah yang kita semua lakukan. Mencari, meski kita tahu tidak ada yang akan kembali.”
Dan dengan itu, mereka berdua kembali terdiam, duduk di bawah pohon mati yang mengingatkan mereka pada hal-hal yang telah hilang, yang tak akan pernah kembali.
Bayangan yang Mengikuti
Malam mulai jatuh dengan cepat, menggelapkan hutan yang sebelumnya terasa terang oleh cahaya senja. Rachma masih duduk di bawah pohon mati itu, tubuhnya terasa lelah namun pikirannya tak kunjung tenang. Kata-kata Niko berputar-putar dalam kepalanya, seakan menjadi mantra yang tak bisa dilepaskan. Tidak ada yang bisa kembali. Apa yang sebenarnya dicari? Kenapa Niko terlihat seperti tahu lebih banyak daripada yang ia katakan? Dan yang lebih membuatnya bingung—apakah benar bahwa apa yang hilang itu tidak bisa ditemukan kembali?
Dedaunan yang berguguran berdesir, angin malam yang mulai dingin menusuk kulit. Tiba-tiba, ia merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Ia menoleh ke sekeliling, dan meskipun hutan itu nampak sama seperti sebelumnya, ada ketegangan di udara yang membuatnya merasa terjebak.
Niko berdiri, melemparkan pandangan kosong ke arah hutan yang gelap. “Ada sesuatu yang salah dengan tempat ini,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan. Rachma mengikuti arah pandangnya, dan matanya menemukan bayangan samar yang bergerak di antara pohon-pohon.
“Apa itu?” tanya Rachma, suara terbata. Jantungnya mulai berdegup kencang.
Niko tidak menjawab. Dia hanya mengerutkan kening, matanya terfokus pada bayangan yang semakin mendekat. Rachma merasa seolah dunia di sekitarnya melambat, dan udara yang semula segar kini terasa berat. Bayangan itu semakin jelas, semakin nyata—seperti sesuatu yang terbuat dari kabut yang tak bisa dipahami.
Tiba-tiba, bayangan itu berhenti tepat di hadapan mereka. Rachma menahan napas, matanya lebar. Itu bukan makhluk hidup, tapi lebih seperti bayangan dari masa lalu, wajah yang samar namun penuh dengan kesedihan. Wajah yang ia kenal, meskipun sudah lama hilang.
“Siapa kamu?” tanya Rachma, suaranya bergetar. Bayangan itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap mereka dengan mata yang kosong, seolah-olah tidak pernah meninggalkan tempat ini.
Niko melangkah mundur sedikit, namun matanya tidak bisa lepas dari bayangan itu. “Jangan dekati dia,” katanya, suara serius namun penuh dengan peringatan. “Itu bukan yang kamu pikirkan.”
Rachma merasa matanya semakin panas, seperti ada air mata yang tiba-tiba ingin mengalir, meskipun ia tidak tahu kenapa. “Ini tidak nyata,” bisiknya pada dirinya sendiri. Namun, meskipun mulutnya berkata begitu, hatinya meronta-ronta. Ada sesuatu dalam diri bayangan itu yang mengenalnya, dan itu bukan hanya sekadar kebetulan.
“Apa yang kamu inginkan?” Rachma berusaha menenangkan dirinya, meskipun jantungnya hampir melompat keluar dari dada. Ia menatap bayangan itu lebih dalam, berusaha memahami apa yang terjadi. Mengapa ia merasa begitu tersentuh? Kenapa ada perasaan kosong yang begitu dalam ketika melihat wajah itu?
Bayangan itu tiba-tiba bergerak maju, dan Rachma terkejut saat merasa tangan dingin yang tak kasat mata menyentuh wajahnya. Ia menutup mata, mencoba menepisnya, namun tangan itu terasa semakin nyata. Niko segera menarik Rachma menjauh, membuatnya terjatuh ke tanah.
“Jangan biarkan dia menyentuhmu,” suara Niko keras dan tegas. Namun, Rachma masih merasa ada sesuatu yang menariknya, seperti ada kaitan yang tak bisa dijelaskan dengan bayangan itu.
“Kenapa? Kenapa aku merasa seperti ini?” tanya Rachma, matanya kosong, bingung. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mendekat, ingin menyentuh bayangan itu, tetapi ia tahu itu salah.
“Itu adalah bagian dari kenangan yang sudah lama hilang,” jawab Niko, suaranya kini penuh dengan rasa takut yang tidak biasa ia tunjukkan. “Dia bukan siapa-siapa yang pernah kamu kenal, Rachma. Itu bukan dia, itu hanya bayangan dari hal-hal yang sudah berlalu. Jangan biarkan dirimu terjerat.”
Namun, meskipun Niko memperingatkannya, Rachma merasakan dorongan yang kuat untuk berdiri dan mendekat. Bayangan itu semakin nyata, dan wajahnya yang samar mulai terbentuk dengan lebih jelas. Ia mengenali wajah itu. Itu adalah wajahnya sendiri, tapi bukan yang ia kenal sekarang—wajah itu tampak lebih muda, lebih polos, dan penuh dengan kesedihan yang tak terkatakan.
“Kenapa aku…?” Rachma merasa suaranya tercekat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa seperti semuanya runtuh di sekelilingnya.
“Karena kamu masih mencari,” jawab bayangan itu, suaranya terdistorsi dan seolah datang dari dalam dirinya sendiri. “Kamu selalu mencari, Rachma. Mencari hal yang hilang. Mencari aku. Tapi kamu tidak akan pernah menemukannya. Karena aku sudah pergi.”
Tiba-tiba, Rachma merasa seolah dirinya terhimpit oleh sesuatu yang berat, seperti masa lalu yang datang begitu cepat dan menenggelamkan semuanya. Ia terjatuh ke tanah, merasa keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Bayangan itu, yang sekarang tampak lebih nyata dari sebelumnya, melayang di atasnya, seolah-olah mengawasi dengan tatapan yang penuh dengan rasa sakit.
“Apa yang terjadi padaku?” Rachma berbisik, suaranya terputus-putus, hampir tak bisa terdengar. “Kenapa aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri?”
Bayangan itu mendekat, namun kali ini tidak ada lagi sentuhan. Hanya kata-kata yang mengisi ruang hampa di antara mereka. “Kamu tidak akan bisa kembali ke masa lalu, Rachma. Kamu tidak bisa mengembalikan apa yang hilang. Semua air mata itu telah jatuh, dan mereka tidak akan kembali ke pelukanmu.”
Niko berdiri di samping Rachma, menatap bayangan itu dengan tatapan penuh kebingungan dan ketakutan. Ia ingin berbicara, namun kata-katanya terhenti di tenggorokannya. Wajah Rachma yang penuh dengan keraguan kini dipenuhi dengan air mata yang mengalir tanpa bisa ia cegah. Ia merasakan ada bagian dari dirinya yang hilang, yang entah sejak kapan ia tidak bisa temukan lagi.
“Kamu masih ingin mencari?” tanya Niko, suaranya seperti terjebak dalam pergulatan batinnya sendiri.
Rachma mengangguk lemah, meski hatinya terasa berat. “Aku ingin menemukan kembali apa yang hilang,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku harus.”
Namun, bayangan itu tertawa, suara yang sunyi namun tajam.
“Tidak ada yang bisa kembali, Rachma,” katanya pelan, suara itu seperti angin yang berbisik, menghilang perlahan bersama malam yang semakin gelap.
Dan dengan itu, bayangan itu menghilang, meninggalkan Rachma yang terjatuh dalam kehampaan, sementara Niko hanya berdiri diam, menatap ke arah tempat bayangan itu menghilang.
Matahari yang Tak Pernah Terbit
Pagi datang dengan perlahan, meskipun Rachma tahu bahwa segala sesuatunya tidak akan pernah sama lagi. Cahaya lembut dari matahari yang mulai menyentuh hutan itu terasa asing. Ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia mengerti dengan kata-kata. Rachma duduk termenung di bawah pohon mati yang sama, memandang ke kejauhan. Dunia terasa lebih jauh dari dirinya, seperti melayang dalam ruang kosong yang tak terjangkau.
Niko duduk di sampingnya, diam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya keheningan yang berbicara lebih dalam daripada apapun. Sesekali, ia melirik Rachma, tetapi ia tahu bahwa apa yang terjadi kemarin—semuanya—terlalu berat untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri.
“Aku tidak tahu lagi harus bagaimana,” Rachma akhirnya berkata, suaranya penuh keletihan. “Aku rasa aku… aku sudah kehilangan terlalu banyak.”
Niko menatapnya dengan tatapan yang lembut. “Kadang-kadang, kita memang harus kehilangan sesuatu untuk bisa mengerti apa yang sebenarnya kita cari,” katanya pelan. “Tapi itu bukan berarti kita harus terus mencari apa yang hilang itu. Mungkin… kita hanya perlu menerima kenyataan, Rachma.”
Rachma menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa,” jawabnya dengan suara hampir tak terdengar. “Aku merasa seperti aku harus mencari. Mencari semua yang hilang dalam diriku. Semua yang telah pergi…”
Niko menarik napas panjang, menatap matahari yang mulai tinggi di langit. “Terkadang, yang hilang itu bukan sesuatu yang bisa kita temukan dengan mencarinya,” katanya lagi, “Tapi dengan berhenti mencari.”
Rachma terdiam, pikirannya berputar-putar. Ada rasa perlawanan yang kuat dalam dirinya, sebuah dorongan yang tidak bisa ia jelaskan. Apa yang hilang dalam dirinya—air mata yang mengering, kenangan yang terlupakan, atau mungkin lebih dari itu—sepertinya tak akan bisa ia temukan jika ia terus terjebak dalam pencarian yang sia-sia.
“Kenapa aku merasa begitu kosong?” akhirnya ia bertanya, menatap Niko dengan tatapan yang mencari jawaban. “Kenapa seolah-olah aku tidak bisa kembali menjadi diriku yang dulu?”
Niko diam sejenak, berpikir. “Karena dirimu yang dulu tidak ada lagi. Kamu sudah berubah, Rachma. Perubahan itu tidak selalu buruk, meskipun terasa menyakitkan.”
Rachma menundukkan kepala, menahan air mata yang tiba-tiba ingin mengalir. Bayangan itu, wajah itu—semuanya seakan datang kembali dan mengganggu pikirannya. “Aku ingin berhenti merasa seperti ini, Niko,” bisiknya. “Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
Niko meletakkan tangan di bahunya, memberi sedikit kenyamanan. “Mungkin kita harus belajar menerima kehilangan, Rachma. Karena kadang, hanya dengan menerima yang hilang, kita bisa menemukan sesuatu yang lebih besar.”
Rachma mengangkat kepalanya, menatap Niko dengan tatapan kosong. “Dan jika tidak ada yang bisa ditemukan? Jika semua itu hilang begitu saja?”
“Jika itu yang terjadi,” Niko menjawab dengan pelan, “Maka itu memang harus terjadi. Tidak semua kehilangan memiliki jawaban yang jelas. Kadang, kita hanya perlu membiarkan semuanya pergi.”
Rachma merasakan keheningan yang mendalam menyelimuti mereka berdua. Tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu. Bayangan yang mengikutinya semalam masih ada di benaknya, mengingatkannya akan sesuatu yang telah lama hilang, sesuatu yang tak akan pernah ia dapatkan lagi. Tapi, meskipun begitu, ada sesuatu yang baru dalam hatinya—sesuatu yang masih bisa tumbuh meski tersembunyi dalam kesedihan.
Hutan sekitar mereka tetap diam, seakan turut merasakan beban yang dibawa oleh Rachma. Matahari yang telah sepenuhnya muncul di atas langit tidak memberi kehangatan seperti yang diharapkan. Seakan-akan, dunia ini telah kehilangan satu bagian yang penting, dan tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan itu.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima semua ini,” Rachma akhirnya mengaku. “Tapi aku ingin mencoba.”
Niko menatapnya lama, dan akhirnya ia mengangguk pelan. “Itu sudah cukup,” jawabnya. “Mencoba itu sudah cukup.”
Rachma memejamkan matanya sejenak, merasakan angin yang berhembus lembut. Ia tahu, meskipun ia masih merasa terjebak, ia harus mencoba untuk berdamai dengan kenyataan yang ada. Mungkin, akhirnya ia akan bisa menerima bahwa ada hal-hal yang memang harus hilang, dan tidak semua yang hilang bisa ditemukan kembali.
Namun, meskipun air matanya telah mengering, ada sesuatu yang tetap tinggal dalam hatinya—sebuah luka yang akan selalu ada, tapi juga sebuah kekuatan untuk terus hidup, untuk terus maju.
Dengan perlahan, ia berdiri. Niko mengikuti, dan bersama-sama mereka mulai berjalan kembali, meninggalkan pohon mati dan bayangan yang tak terjangkau itu di belakang mereka.
Langit yang semakin terang terasa seperti pengingat—bahwa ada sesuatu yang harus dilepaskan agar sesuatu yang baru bisa datang. Bahkan jika itu berarti berjalan dalam kesendirian, bahkan jika itu berarti tak pernah menemukan jawaban untuk setiap kehilangan.
Dan meskipun matahari terus terbit setiap hari, ada satu hal yang tetap pasti: Rachma tidak akan pernah sama lagi. Tapi itu bukanlah akhir. Itu hanyalah sebuah awal dari perjalanan yang tak terduga.
Mungkin kita nggak bisa mengembalikan apa yang hilang, dan mungkin juga kita nggak akan pernah sepenuhnya mengerti kenapa itu semua terjadi. Tapi, yang pasti, hidup terus berjalan, dan kita belajar untuk tetap berdiri meskipun ada bagian yang hancur.
Jadi, jangan takut untuk melepaskan, karena kadang kehilangan justru membawa kita menuju hal-hal yang lebih besar. Teruslah mencari, teruslah berjalan. Karena meskipun air mata bisa hilang, harapan itu nggak akan pernah pergi.