Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya setiap kita pasti pernah membuat kesalahan, tapi bagaimana jika kesalahan itu bisa melukai orang yang paling kita cintai? Dalam cerpen “Cinta yang Terlambat,” Wendy, seorang remaja SMA yang gaul dan aktif, harus menghadapi penyesalan mendalam setelah kedurhakaannya pada sang ibu.
Cerita ini mengisahkan perjalanan emosional Wendy dalam memperbaiki hubungan dengan ibunya, penuh dengan perjuangan dan air mata, serta langkah-langkah kecil menuju penebusan. Ini adalah cerita yang menggugah hati tentang cinta, maaf, dan kesempatan kedua yang tidak boleh disia-siakan.
Kisah Sedih Seorang Anak Durhaka
Popularitas dan Jarak
Di sebuah sekolah menengah atas yang selalu penuh dengan hiruk pikuk para siswa, Wendy adalah salah satu siswi yang paling dikenal. Penampilannya selalu modis, senyum lebarnya tak pernah absen, dan ia dikelilingi banyak teman. Popularitasnya membuat Wendy merasa di atas awan. Ia selalu terlibat dalam setiap kegiatan sekolah: dari organisasi siswa, acara musik, hingga pesta ulang tahun teman-temannya. Di mata teman-temannya, Wendy adalah sosok yang sempurna. Namun, di balik popularitasnya, ada sesuatu yang ia coba tutupi hubungan yang renggang dengan keluarganya.
Suatu sore, Wendy duduk di teras rumahnya sambil menatap layar ponselnya yang terus berbunyi. Grup chat teman-temannya ramai membahas rencana jalan-jalan di akhir pekan. Tanpa ragu, Wendy mengetik dengan cepat, “Aku ikut! Jangan lupa jemput aku ya!”
Tak lama kemudian, pintu depan rumah terbuka. Ibu Wendy, yang tampak lelah setelah seharian bekerja, masuk dengan senyum lembut. “Wendy, kamu sudah makan? Ibu sudah buatkan makanan kesukaanmu,” ujar ibunya dengan suara lembut, namun terdengar sedikit serak.
Wendy hanya mengangkat bahu. “Aku nggak lapar, Bu. Lagi diet, lagian nanti mau makan sama teman-teman.”
Senyum ibunya perlahan memudar, tetapi ia berusaha tetap ramah. “Tapi ini kan makanan kesukaanmu, Nak. Ibu sudah capek-capek masak sejak tadi pagi.”
Namun Wendy tidak menggubris. Ia sibuk menata rambutnya di depan kaca, bersiap pergi bersama teman-temannya. Tanpa merasa bersalah, ia berkata, “Bu, tolong jangan ganggu aku dulu. Aku mau siap-siap. Nanti aku balik malam, nggak usah tungguin, ya!”
Ibunya terdiam sejenak, sambil melihat putrinya yang dulu kecil dan manis kini telah tumbuh menjadi gadis remaja yang terasa jauh. “Wendy, Ibu hanya cuma khawatir kalau kamu pulang terlalu malam. Bagaimana kalau kamu tidak pergi dulu hari ini? Ibu ingin kita makan malam bersama.”
Wendy menghela napas panjang, merasa kesal. “Ibu tuh selalu saja mengatur! Aku sudah besar, Bu, nggak perlu dilarang-larang terus. Lagi pula, ini cuma sekali-sekali. Kenapa sih Ibu nggak bisa mengerti?”
Kata-kata itu seperti pisau tajam yang sudah mengiris hati ibunya. Wanita itu menundukkan kepala, sambil menyembunyikan air matanya yang mulai mengalir. Dengan suara pelan, ia berkata, “Ibu cuma ingin yang terbaik untukmu, Wendy.”
Wendy tak membalas. Ia meraih tasnya dan berjalan keluar rumah tanpa menoleh ke belakang. Di luar, teman-temannya sudah menunggu di mobil dengan tawa ceria. Wendy bergabung, meninggalkan rumah dan ibunya yang masih berdiri di depan pintu, menatap kepergian putrinya dengan tatapan penuh kesedihan.
Malam itu, Wendy pulang larut. Rumah sudah sepi, lampu di ruang tamu sudah dimatikan. Hanya ada lampu kecil di dapur yang masih menyala. Wendy berjalan pelan menuju kamarnya, berusaha agar tak menimbulkan suara. Namun, ia berhenti sejenak ketika melihat meja makan. Di sana, ada sepiring nasi dan lauk yang sudah dingin, lengkap dengan catatan kecil yang ditulis tangan oleh ibunya.
“Untuk Wendy: Makanan kesukaanmu. Ibu harap kamu suka. Selamat makan, Nak. Ibu sayang kamu.”
Wendy hanya cuma melirik sebentar, lalu menghela napas dan berlalu menuju kamarnya. Ia merasa sedikit bersalah, namun ia mengabaikan perasaan itu. “Ibu terlalu berlebihan,” gumamnya pelan.
Di kamar, Wendy langsung membuka ponselnya dan melihat banyak notifikasi dari teman-temannya. Mereka mengunggah foto-foto pesta malam itu. Wendy tersenyum lebar saat melihat wajahnya di foto, tertawa bahagia bersama teman-temannya. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika ia melihat bayangan dirinya di cermin. Ia terlihat berbeda dari yang ia rasakan. Ada perasaan hampa di dadanya yang tak bisa dijelaskan.
Hari berikutnya, Wendy bangun dengan malas. Ia turun ke dapur dan menemukan ibunya sudah menyiapkan sarapan. Wanita itu terlihat sibuk, tetapi masih menyempatkan diri untuk menyapa putrinya dengan senyum yang hangat. “Selamat pagi, Wendy. Ayo sarapan dulu sebelum berangkat sekolah.”
Wendy hanya mengangguk singkat. Ia duduk dan mulai menyantap makanannya tanpa banyak bicara. Ibunya memperhatikannya dengan cemas. “Wendy, kamu baik-baik saja, kan? Kamu kelihatan lelah.”
“Sudah, Bu. Jangan cerewet. Aku baik-baik saja,” jawab Wendy ketus.
Ibunya terdiam lagi, tetapi kali ini ia mencoba berbicara lebih tegas. “Wendy, Ibu rasa kita perlu bicara. Kamu makin sering keluar malam, dan Ibu benar-benar khawatir. Apa kamu tidak bisa untuk meluangkan waktu untuk kita di rumah?”
Wendy mendengus kesal. “Ibu tuh kenapa sih? Aku kan sudah bilang kalau aku akan baik-baik saja! Kenapa selalu mengganggu urusanku?”
Tatapan kecewa terlihat jelas di wajah ibunya. Ia mencoba menahan tangisnya, tapi air mata itu tak terbendung. “Ibu hanya cuma ingin kamu tahu kalau Ibu mencintaimu, Nak.”
Wendy berdiri dengan kasar, mendorong kursinya ke belakang. “Cinta? Kalau Ibu cinta, biarkan aku hidup dengan cara aku sendiri!” teriaknya sebelum berlari keluar rumah.
Ibunya terisak, memegang dada yang terasa sesak. Ia menatap punggung putrinya yang menjauh, seperti melihat bayangan kecil Wendy di masa lalu yang masih tertawa riang memanggilnya “Ibu”.
Sementara itu, Wendy merasa lega setelah mengeluarkan kekesalannya. Namun, ada rasa bersalah yang merayap di hatinya. Ia menepisnya, berpikir bahwa ibunya hanya berlebihan. Ia tidak menyadari, setiap kata yang ia ucapkan adalah luka baru yang menggores hati ibunya.
Wendy tak tahu, bahwa jarak yang ia ciptakan akan semakin sulit untuk ditempuh kembali.
Ketika Jarak Menjadi Luka
Wendy kembali ke sekolah setelah pertengkaran besar dengan ibunya. Di sekolah, wajah ceria dan senyumnya tetap terpampang. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang perasaannya yang sesungguhnya. Teman-temannya terus tertawa bersamanya, berbicara tentang pesta berikutnya, rencana jalan-jalan, dan hal-hal yang tampak begitu dangkal di mata Wendy hari itu. Namun, ia bisa memilih untuk bisa menutupi sebuah perasaan sedihnya dengan canda dan tawa.
Di balik popularitasnya, Wendy merasakan kehampaan. Ia merasa seperti aktor yang harus memainkan peran tertentu di depan semua orang. Tapi siapa yang tahu bahwa di balik layar, ia merasa sendirian? Ia rindu masa-masa di mana ia dan ibunya begitu dekat. Dulu, ibunya adalah teman terbaiknya. Mereka sering menonton film bersama, tertawa saat memasak di dapur, bahkan berbicara tentang mimpi-mimpi Wendy yang ingin menjadi desainer terkenal. Namun kini, semua itu hanya kenangan yang terhapus oleh waktu dan ego.
Pada siang hari, ketika istirahat sekolah, Wendy duduk di kantin bersama teman-temannya. Sambil menyeruput minuman favoritnya, ia berpura-pura tertawa saat salah satu temannya, Alia, bercerita tentang liburan mereka yang akan datang. “Wendy, kamu bakal ikut liburan ke Bali, kan? Harus ikut, kita udah lama banget nggak liburan bareng,” ujar Alia dengan mata berbinar.
Wendy mengangguk tanpa berpikir panjang. “Iya, aku pasti ikut. Nggak mungkin aku lewatkan momen seru kayak gitu,” balasnya, meskipun di dalam hatinya, ia merasa cemas. Ia tahu bahwa jika ia pergi liburan, akan ada lagi pertengkaran dengan ibunya.
Sore itu, Wendy memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Ia bisa memilih duduk di taman sekolah yang sepi, tempat favoritnya untuk bisa menyendiri. Angin sore yang sejuk meniup rambutnya yang panjang, dan ia menatap langit biru yang perlahan berubah menjadi oranye keemasan. Tiba-tiba, ia teringat wajah ibunya senyum lembut yang selalu menyambutnya saat pulang sekolah dulu.
“Apa aku benar-benar keterlaluan?” gumam Wendy pada dirinya sendiri. Ia meraih ponselnya dan membuka chat ibunya. Ada beberapa pesan yang masih belum ia balas.
“Wendy, kamu baik-baik saja di sekolah?” “Wendy, Ibu masak sup favoritmu. Ayo pulang cepat, ya.” “Wendy, Ibu kangen ngobrol sama kamu. Kapan kita bisa makan malam bersama lagi?”
Membaca pesan-pesan itu, hati Wendy terasa berat. Ia tahu, ibunya selalu mencoba untuk mendekatinya. Tapi ia selalu mengabaikannya, berpikir bahwa itu hanya karena ibunya terlalu protektif. Tanpa sadar, air mata Wendy menetes perlahan. Ia buru-buru menyeka air matanya ketika Alia tiba-tiba datang menghampirinya.
“Hei, Wendy! Kenapa kamu di sini sendirian? Lagi sedih?” tanya Alia dengan nada bercanda, namun matanya menunjukkan kekhawatiran.
Wendy segera memasang senyum palsu. “Nggak kok, cuma lagi pengen sendiri sebentar,” jawabnya, mencoba menutupi air matanya.
Alia mengangguk pelan, lalu duduk di sebelahnya. “Kamu tahu nggak, Wen? Aku nggak pernah lihat kamu menangis. Kamu selalu terlihat kuat di depan kita semua.”
Kalimat itu seperti tamparan bagi Wendy. Ia selalu berpura-pura kuat, padahal kenyataannya, ia merasa begitu rapuh. “Kadang, kita nggak perlu selalu terlihat kuat, Lia,” jawab Wendy pelan.
Saat pulang ke rumah, suasana terasa berbeda. Rumah tampak gelap, dan tak ada suara dari dapur. Biasanya, ibunya selalu berada di sana, menyiapkan makan malam. Wendy mengerutkan kening, merasa ada yang aneh. Ia menyalakan lampu ruang tamu dan melihat catatan di meja:
“Wendy, Ibu harus ke rumah sakit. Ibu merasa kurang sehat. Tolong jaga rumah, ya.”
Wendy merasakan perasaan panik yang tak biasa. Ia langsung meraih kunci mobil dan bergegas menuju rumah sakit. Selama perjalanan, pikiran buruk memenuhi kepalanya. “Kenapa Ibu nggak bilang kalau dia sakit? Apa aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri sampai tidak melihatnya?”
Sesampainya di rumah sakit, Wendy berlari menuju ruang gawat darurat. Ia melihat sosok ibunya terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan lemah. Dokter yang memeriksanya memberikan penjelasan singkat bahwa ibunya mengalami kelelahan parah dan tekanan darah rendah. Mereka menyarankan agar ibunya beristirahat total.
Wendy mendekati ibunya dengan perasaan bersalah. Ia menggenggam tangan ibunya yang dingin, dan air matanya mengalir tanpa henti. “Maaf, Bu… Maaf aku selalu menyakiti Ibu…” bisiknya pelan.
Ibunya membuka mata perlahan dan tersenyum lemah. “Wendy, Ibu baik-baik saja. Jangan menangis, Nak. Ibu senang kamu di sini,” ucapnya dengan suara serak, tetapi tetap lembut.
Wendy menggeleng, hatinya terasa hancur. “Aku terlalu egois, Bu. Aku selalu mementingkan teman-temanku, sementara Ibu yang selalu ada buat aku malah aku abaikan…”
Ibunya mengelus pipi Wendy dengan lembut. “Ibu mengerti, Wendy. Kamu masih muda, kamu punya banyak hal yang ingin kamu lakukan. Ibu hanya berharap kita bisa lebih sering bersama, seperti dulu.”
Wendy menunduk, menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku janji, Bu… Aku akan berubah. Aku nggak mau kehilangan Ibu.”
Malam itu, Wendy duduk di samping ibunya hingga tertidur. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kedamaian. Ia menyadari bahwa semua popularitas, semua teman-teman, dan semua kesenangan yang ia cari di luar rumah tidak ada artinya tanpa cinta dan kasih sayang ibunya.
Namun, perjalanan Wendy untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ibu masih panjang. Ia tahu bahwa janji yang diucapkannya malam itu tidak bisa ditepati hanya dengan kata-kata. Ia harus menunjukkan lewat tindakan, dan itu membutuhkan usaha keras yang selama ini ia hindari. Baginya, ini adalah awal dari perjuangan baru bukan hanya cuma melawan di dunia luar saja, tetapi bisa melawan egonya sendiri.
Menghadapi Rasa Bersalah yang Mendalam
Pagi itu, Wendy terbangun di kursi rumah sakit dengan tubuh yang terasa pegal. Matanya masih berat dan sembab karena menangis sepanjang malam. Ketika ia melihat ibunya yang tertidur lemah di ranjang rumah sakit, perasaan bersalah kembali menghantamnya seperti ombak besar yang menghancurkan bebatuan di pantai. Wendy menyadari betapa jauhnya ia telah melangkah dari ibunya sosok yang selalu memberikan cinta tanpa syarat, meskipun ia terus menerus mengabaikannya.
Pagi itu, Wendy memutuskan untuk mengambil cuti dari sekolah. Ia tidak ingin meninggalkan ibunya sendiri di rumah sakit. Ia menghubungi Alia untuk memberitahukan bahwa ia tidak akan masuk sekolah hari itu.
“Wendy, kamu kenapa nggak masuk sekolah? Apa ada masalah?” tanya Alia dengan nada suara yang cemas di telepon.
Wendy menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Ibu sakit, Lia. Aku harus di sini, nemenin Ibu,” jawabnya singkat.
“Astaga, aku nggak tahu! Apa aku perlu datang ke rumah sakit?” tawar Alia dengan nada panik.
Namun Wendy menggeleng, meskipun Alia tidak bisa melihatnya. “Nggak usah, Lia. Aku cuma butuh waktu sendiri sekarang. Nanti aku kabarin, ya.”
Setelah menutup telepon, Wendy memutuskan untuk keluar sebentar membeli sarapan bagi ibunya. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah seluruh tubuhnya dibebani oleh perasaan bersalah yang mendalam. Di dalam pikirannya, suara-suara masa lalu terus mengulang percakapan terakhir mereka di rumah, ketika ia membentak ibunya tanpa alasan yang jelas.
Ketika Wendy kembali ke kamar rumah sakit, ia melihat ibunya sudah terbangun dan sedang menatap keluar jendela. Mata ibunya yang biasanya penuh semangat kini tampak lelah dan kosong. Wendy meletakkan kantong sarapan di meja dan menghampiri ibunya dengan senyum canggung.
“Ibu, aku bawain bubur dan teh manis hangat. Ibu pasti belum sarapan, kan?” ucap Wendy sambil mengeluarkan bubur dari kantong plastik.
Ibunya menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Wendy. Kamu nggak perlu repot-repot, Nak.”
Wendy merasakan ada jarak dalam suara ibunya. Meskipun ibunya mencoba bersikap seperti biasa, Wendy bisa merasakan perubahan yang halus tapi nyata. Ia duduk di samping ibunya, berusaha mencari topik pembicaraan, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, ia hanya duduk diam, menatap bubur yang belum disentuh.
“Ibu…” Wendy memulai dengan suara yang hampir berbisik. “Maaf kalau aku udah bikin Ibu sakit. Aku nyesel, Bu…”
Ibunya menggeleng pelan, menepuk tangan Wendy dengan lembut. “Kamu nggak bikin Ibu sakit, Nak. Ibu cuma terlalu lelah. Mungkin Ibu yang terlalu keras kepala, tetap ingin melakukan segalanya sendiri tanpa meminta bantuanmu.”
Wendy merasa hatinya semakin perih mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa ibunya mencoba menutupi kesedihan dan rasa sakitnya agar tidak membuat Wendy merasa lebih bersalah. Namun, hal itu justru bisa membuat Wendy merasa lebih buruk.
“Aku janji, Bu. Aku bakal lebih perhatian sama Ibu. Aku nggak akan sibuk dengan teman-teman dan kegiatan lain lagi. Ibu lebih penting dari semuanya…” Wendy menatap mata ibunya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan berubah.
Ibunya hanya tersenyum lembut, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Ibu senang mendengar kamu bilang begitu, Wendy. Tapi ingat, perubahan itu butuh waktu. Jangan hanya karena rasa bersalah, kamu mengubah hidupmu. Lakukan karena kamu benar-benar mau, bukan hanya karena kamu merasa harus.”
Wendy terdiam. Kata-kata ibunya menusuk tepat ke dalam hatinya. Selama ini, ia terlalu terbiasa melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan orang lain atau karena merasa terpaksa, bukan karena benar-benar tulus. Ia sadar bahwa perjuangannya tidak hanya melawan perasaan bersalah, tetapi juga melawan sifat egonya yang selalu ingin menang.
Hari-hari berlalu, dan ibunya akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Namun, kesehatan ibunya belum pulih sepenuhnya. Ia masih lemah dan sering merasa pusing. Wendy memutuskan untuk tinggal di rumah selama beberapa hari, merawat ibunya dan mengurus keperluan rumah. Namun, teman-temannya mulai mempertanyakan keputusannya.
“Wendy, kita udah rencanain liburan ke Bali ini selama berminggu-minggu! Kamu beneran nggak bisa ikut?” suara Alia yang terdengar putus asa di telepon.
Wendy menggigit bibirnya, hatinya terasa terbelah dua. “Maaf, Lia. Aku nggak bisa ninggalin Ibu sekarang. Dia masih butuh aku.”
Alia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku ngerti, Wen. Tapi kita semua bakal kangen sama kamu di sana.”
Wendy hanya tersenyum lemah. “Aku juga bakal kangen sama kalian. Tapi kali ini, aku harus milih keluargaku dulu.”
Setelah menutup telepon, Wendy merasa sedikit lega. Untuk pertama kalinya, ia memilih keluarganya tanpa merasa terpaksa atau terbebani. Namun, ia juga tahu bahwa jalan di depannya masih panjang. Memilih keluarganya hari ini bukan berarti semua masalah selesai begitu saja. Ia masih harus membuktikan bahwa ia benar-benar berubah.
Suatu malam, ketika Wendy sedang mencuci piring di dapur, ibunya tiba-tiba datang menghampiri. Ibunya terlihat lebih sehat dan segar, meskipun masih sedikit pucat. “Wendy, Ibu ingin ngomong sesuatu,” katanya sambil duduk di meja makan.
Wendy menoleh, mengeringkan tangannya dengan cepat. “Apa itu, Bu?”
Ibunya menatapnya dengan mata yang penuh kasih sayang. “Ibu bangga sama kamu, Wendy. Ibu tahu ini nggak mudah buat kamu, tapi Ibu lihat kamu berusaha keras.”
Wendy tertegun. Ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari ibunya. Ia merasa matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia sedang menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Ibu, aku… Aku cuma ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu aku udah banyak salah. Aku udah nyakitin Ibu,” suaranya mulai bergetar.
Ibunya menggeleng pelan dan tersenyum. “Yang penting kamu menyadari kesalahanmu, Nak. Itu langkah pertama yang paling sulit. Ibu percaya kamu bisa berubah, Wendy. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, ya.”
Wendy tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia memeluk ibunya erat, merasakan kehangatan dan cinta yang sudah lama hilang dari kehidupannya. “Aku janji, Bu… Aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini.”
Malam itu, Wendy merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Ia tahu bahwa perjalanan untuk memperbaiki hubungan dengan ibunya belum selesai. Masih banyak hal yang harus ia lakukan, banyak luka yang harus disembuhkan. Tapi setidaknya, ia sudah mengambil langkah pertama ke arah yang benar. Dan itu sudah cukup untuk bisa membuatnya merasa lebih kuat.
Melangkah Bersama di Jalan Penebusan
Hari itu, langit cerah biru tanpa awan. Namun, hati Wendy masih terasa kelabu. Meskipun hubungan dengan ibunya mulai membaik, bayangan masa lalunya terus menghantui. Dia ingat semua teriakan, semua kata kasar yang pernah ia lontarkan. Rasa bersalah itu tetap mengendap di sudut hatinya, seperti noda yang sulit dihapus.
Wendy duduk di teras rumah, menatap halaman yang sepi. Ibunya sedang tidur siang di kamar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga melati yang dulu ditanam ibunya dengan penuh kasih. Wendy ingat saat-saat ibunya menyiram tanaman itu setiap pagi, tersenyum bahagia melihat bunga-bunga mekar. Tapi sekarang, bunga melati itu terlihat layu, seperti kehilangan semangat hidupnya sama seperti ibunya yang kini lebih sering duduk diam, jarang tersenyum.
“Aku sudah membuat Ibu seperti ini,” pikir Wendy dengan air mata yang menggenang. Dia memeluk lututnya, menunduk, mencoba menahan rasa sakit yang berputar di dadanya.
Saat itulah, suara lembut ibunya terdengar dari belakang. “Wendy, kamu nggak apa-apa?”
Wendy terkejut dan menoleh. Ibunya berdiri di sana, mengenakan baju tidur sederhana, tapi wajahnya terlihat lebih segar dari biasanya. Wendy cepat-cepat menghapus air matanya, mencoba tersenyum.
“Aku baik-baik saja, Bu. Ibu sudah merasa lebih baik?” tanya Wendy sambil berdiri, menghampiri ibunya.
Ibunya mengangguk pelan, tapi ada sesuatu dalam tatapan ibunya yang membuat Wendy sadar bahwa ibunya tahu ia baru saja menangis. “Ibu merasa lebih baik, Nak. Tapi yang Ibu khawatirkan adalah kamu,” kata ibunya sambil memegang tangan Wendy dengan lembut.
Mendengar itu, Wendy merasa seluruh tubuhnya gemetar. Dia tidak bisa lagi menahan semuanya. Air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. “Ibu, aku benar-benar menyesal,” kata Wendy di sela-sela tangisannya. “Aku tahu aku sudah menyakiti Ibu berkali-kali. Aku nggak tahu apakah aku bisa memperbaiki semuanya.”
Ibunya menarik napas dalam dan memeluk Wendy erat, seolah ingin melindunginya dari rasa sakit yang ia rasakan sendiri. “Semua orang membuat kesalahan, Wendy. Yang penting adalah kamu sadar dan mau berubah. Ibu sudah memaafkan kamu, Nak.”
Wendy memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya berbicara dengan seorang konselor. Awalnya, ia merasa canggung. Apa yang bisa ia ceritakan kepada orang asing tentang masalah pribadinya? Namun, Wendy tahu ia harus melakukannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk ibunya. Ia ingin memperbaiki dirinya, benar-benar berubah menjadi lebih baik.
Di ruang konseling sekolah, Wendy duduk di kursi sambil meremas tangannya sendiri. Ia merasa jantungnya berdetak kencang. Di depannya duduk Bu Sari, konselor yang terkenal ramah dan bijaksana.
“Wendy, kamu ingin cerita apa hari ini?” tanya Bu Sari dengan senyum lembut.
Wendy menatap lantai, berusaha mencari kata-kata. “Saya… Saya merasa bersalah, Bu. Saya udah nyakitin ibu saya,” jawabnya pelan.
Bu Sari mencondongkan tubuh ke depan, menunjukkan ketertarikannya. “Bisa ceritakan lebih lanjut? Apa yang membuat kamu merasa begitu?”
Wendy mulai bercerita, tentang bagaimana ia mengabaikan ibunya selama ini, tentang kemarahannya yang tidak terkendali, dan bagaimana akhirnya ia sadar ketika ibunya jatuh sakit. Tangisnya pecah lagi di tengah cerita, tapi Bu Sari tidak memotong. Dia membiarkan Wendy meluapkan semua perasaannya.
Setelah beberapa saat, Bu Sari berbicara. “Wendy, kamu sudah membuat langkah besar dengan menyadari kesalahanmu. Itu bukan hal yang mudah. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kamu melanjutkannya. Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
Wendy menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Saya ingin berubah, Bu. Saya ingin menjadi anak yang lebih baik untuk ibu saya. Tapi kadang-kadang, saya nggak tahu harus mulai dari mana.”
Bu Sari tersenyum hangat. “Mulai dari hal-hal kecil, Wendy. Tunjukkan cinta dan perhatianmu setiap hari, walaupun hanya dengan tindakan sederhana. Itu akan sangat berarti bagi ibumu.”
Sepulang dari konseling, Wendy merasa sedikit lega. Dia punya rencana kecil di pikirannya. Wendy mulai membantu ibunya lebih sering di rumah. Dia memasak sarapan, membersihkan rumah, dan merawat taman. Setiap hari, dia mencoba melakukan sesuatu untuk membuat ibunya tersenyum. Awalnya, ibunya tampak kaget dengan perubahan Wendy. Namun, seiring berjalannya waktu, senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah ibunya.
Suatu hari, Wendy memutuskan untuk mengajak ibunya berjalan-jalan di taman kota, tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat Wendy masih kecil. Mereka berjalan pelan, menikmati udara segar. Bunga-bunga di taman bermekaran dengan warna-warna cerah, seolah-olah menyambut kembalinya hubungan mereka yang mulai membaik.
“Ibu ingat tempat ini?” tanya Wendy sambil tersenyum.
Ibunya mengangguk, menatap sekeliling dengan mata berbinar. “Tentu saja, Nak. Di sini kita dulu sering duduk sambil makan es krim. Kamu selalu minta rasa cokelat,” kata ibunya sambil tertawa kecil.
Wendy ikut tertawa, tapi hatinya terasa hangat. “Aku masih suka cokelat, Bu,” katanya sambil membeli dua es krim dari pedagang yang lewat. Mereka duduk di bangku taman, menikmati es krim bersama seperti dulu.
“Wendy, Ibu sangat bangga dengan perubahanmu,” kata ibunya tiba-tiba, menatap Wendy dengan mata penuh cinta.
Wendy tertegun, merasakan air mata mengalir di pipinya. Tapi kali ini, itu adalah air mata bahagia. “Aku hanya ingin membuat Ibu bahagia, Bu. Aku janji, aku nggak akan pernah menyakiti Ibu lagi.”
Mereka berdua saling berpelukan di bawah langit biru yang cerah. Wendy merasa seperti beban berat yang selama ini menghimpit dadanya perlahan terangkat. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, bahwa ia mungkin akan menghadapi banyak rintangan di depan. Tapi kali ini, ia tidak takut. Ia tidak akan lari lagi.
Wendy dan ibunya berjalan pulang dengan senyum di wajah mereka, bergandengan tangan seperti dua sahabat. Wendy merasa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar menemukan apa yang ia cari cinta, kedamaian, dan kebahagiaan yang tulus. Dan ia tahu, semua itu dimulai dari satu langkah sederhana: meminta maaf dan berjanji untuk memperbaiki semuanya.
Malam itu, Wendy tidur dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu bahwa ia telah mengambil langkah besar dalam hidupnya, dan meskipun perjalanannya belum berakhir, ia siap untuk melangkah bersama ibunya, melewati setiap tantangan yang datang.
“Terima kasih, Ibu,” bisiknya sebelum memejamkan mata. “Karena sudah memaafkanku dan memberiku kesempatan kedua.”
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerpen ini bukan hanya cuma sekadar cerita tentang sebuah penyesalan, tetapi juga pelajaran penting bagi kita semua. Betapa sering kita menganggap remeh cinta dan pengorbanan orang tua, hingga akhirnya waktu tidak lagi memberi kesempatan untuk berkata “maaf” atau “aku mencintaimu.” Melalui kisah Wendy, kita diingatkan untuk lebih menghargai kasih sayang ibu yang tulus dan tak tergantikan. Jangan sampai seperti Wendy yang terlambat menyadari ucapkan rasa sayangmu sekarang, sebelum kesempatan itu berlalu dan hanya menyisakan penyesalan.