Air Mata Jakarta: Perjuangan Ghalisa Menjaga Ibu Kota dari Polusi dan Sampah

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam pernah kebayang gak, gimana rasanya jadi remaja SMA yang nekat berjuang sendirian untuk lingkungan? Ghalisa, gadis gaul dan aktif dari Jakarta, membuktikan kalau kepedulian bisa dimulai dari langkah kecil tapi penuh makna.

Cerpen ini bakal ngajak kamu menyelami perjuangan Ghalisa menyelamatkan sungai kecil yang terlupakan di tengah hiruk pikuk ibukota. Ceritanya gak cuma bikin haru, tapi juga menginspirasi banget! Yuk, baca sampai habis dan temukan arti sebenarnya dari keberanian untuk membuat perubahan!

 

Perjuangan Ghalisa Menjaga Ibu Kota dari Polusi dan Sampah

Langit Kelabu Ibu Kota

Suara klakson bersahut-sahutan, menyatu dengan deru mesin kendaraan yang tak ada habisnya. Jakarta, kota yang tak pernah tidur, kini kembali menunjukkan hiruk-pikuknya di pagi hari. Aku berdiri di balkon kamar, memandangi jalanan yang dipadati kendaraan dari ujung ke ujung. Kabut tipis polusi menggantung di udara, membuat napasku terasa berat bahkan dari lantai dua rumah.

“Lis! Udah siap belum? Mau telat ke sekolah?” teriak Mama dari bawah.

“Sebentar lagi, Ma!” jawabku sambil memasukkan sebuah buku catatan ke dalam tas. Buku itu penuh dengan rencana-rencana kecil yang aku tulis setiap kali kepikiran tentang lingkungan. Di sekolah, aku tergabung di OSIS, dan salah satu tanggung jawabku adalah mencari solusi untuk masalah lingkungan di sekitar sekolah. Tapi, sejujurnya, aku sering merasa usaha ini seperti menumbuk air di lumpur.

Keluar dari rumah, aku langsung disambut bau asap kendaraan. Jalanan sempit di depan gangku sudah dipenuhi motor dan mobil. Sambil menunggu ojek online yang kupesan, aku bisa memandang sekeliling. Pemandangan itu selalu sama: plastik kresek berserakan di tepi jalan, sisa makanan yang ditinggalkan begitu saja, dan botol-botol plastik yang mengapung di selokan kecil. Aku menggigit bibir.

“Lis, ayo naik!” Suara pengemudi ojek membuatku tersentak. Aku naik dan mencoba mengalihkan pikiran dari pemandangan yang tak pernah berubah ini.

Di sekolah, aku langsung menuju ruang OSIS. Hari ini ada rapat penting untuk membahas ide program baru. Ketika aku masuk, teman-temanku sudah berkumpul. Ada Raka, yang selalu jadi lawan diskusi paling sengit, Indira, sahabatku yang selalu mendukung, dan beberapa anggota OSIS lainnya.

“Udah lama banget kita ngomongin soal sampah di sekolah, tapi aku rasa efeknya masih kecil,” kataku membuka diskusi. “Aku punya ide: gimana kalau kita bisa mulai program ‘Zero Waste’? Kita bisa ajak teman-teman bawa botol minum sendiri, stop pakai plastik sekali pakai, dan daur ulang barang-barang bekas.”

“Lis, ide lo bagus,” kata Indira sambil tersenyum, “tapi lo tahu kan, anak-anak di sini susah banget diajak berubah. Mereka kayak gak peduli sama lingkungan.”

Raka mengangguk setuju. “Bener. Masalahnya bukan cuma di sekolah. Jakarta udah terlanjur kotor. Apa yang kita lakukan bakal keliatan gak berarti kalau orang lain gak ikut berubah.”

Perkataan Raka seperti pukulan keras buatku. Aku tahu dia ada benarnya, tapi mendengar itu tetap saja menyakitkan. “Kalau kita berpikir kayak gitu, kapan kita mulai, Ka? Semua perubahan besar kan selalu dimulai dari langkah kecil,” jawabku, berusaha tetap tenang.

Setelah diskusi panjang, akhirnya kami setuju untuk mencoba. Program ini akan dimulai minggu depan, dan aku diberi tanggung jawab untuk memimpin. Tapi di dalam hati, aku bertanya-tanya: Apakah benar langkah kecil ini bisa membawa perubahan?

Saat perjalanan pulang, aku sengaja berjalan kaki melewati kampung kecil di dekat sekolah. Di sana ada sungai yang dulunya bersih, tempat anak-anak bermain dan orang-orang mencuci pakaian. Sekarang, sungai itu berubah menjadi selokan besar yang penuh sampah. Airnya hitam, mengalir lambat dengan bau menyengat.

Aku berhenti di tepi sungai, memandanginya dengan perasaan campur aduk. Dulu, aku sering ke sini bersama teman-temanku, bermain air, menangkap ikan kecil, atau sekadar duduk-duduk di tepi. Tapi sekarang, tempat ini tak ubahnya seperti tempat pembuangan akhir.

Ketika aku sedang tenggelam dalam pikiran, seorang anak kecil muncul. Dia membawa kantong plastik besar, penuh dengan sampah rumah tangga. Dengan santainya, dia melempar kantong itu ke sungai.

“Hei!” Aku memanggilnya tanpa sadar.

Anak itu menoleh, terlihat bingung. “Kenapa, Kak?”

“Kenapa kamu buang sampah ke sungai?” tanyaku.

“Semua orang juga buang sampah di sini, Kak. Ibu bilang, ini tempat sampah kita,” jawabnya polos.

Aku terdiam, hatiku seperti diremas. Anak itu tidak salah. Dia hanya mengikuti kebiasaan yang sudah berlangsung lama di lingkungan ini.

“Kalau sampah terus dibuang ke sungai, airnya jadi kotor. Kamu suka main di sini gak?” tanyaku, berusaha berbicara lembut.

“Dulu suka, Kak. Sekarang sungainya bau,” jawabnya dengan suara pelan.

Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa sedihku. “Kamu tahu? Kalau semua orang berhenti buang sampah di sini, mungkin sungainya bisa bersih lagi. Kamu mau bantu aku ajak teman-teman kamu supaya gak buang sampah di sini?”

Anak itu mengangguk, wajahnya mulai tersenyum.

Malam itu, aku menulis di buku catatanku, mencoba mengubah ideku menjadi lebih besar. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di luar sana. Kalau aku bisa mengajak anak-anak kecil seperti tadi untuk peduli, bukankah itu juga sebuah langkah kecil yang berarti?

Namun, aku juga tahu perjuangan ini tidak akan mudah. Jakarta sudah lama terjebak dalam kebiasaan buruk yang sulit diubah. Aku menatap buku catatanku yang penuh coretan. Apakah aku cukup kuat untuk melanjutkan ini?

Tapi kemudian aku teringat wajah anak kecil tadi, senyumnya yang polos. Kalau dia bisa mulai peduli, kenapa orang lain tidak? Dengan semangat itu, aku menutup buku catatan dan berjanji pada diriku sendiri: Aku tidak akan menyerah. Langit Jakarta memang kelabu, tapi aku percaya, selalu ada harapan di balik awan mendung

 

Sungai yang Menangis

Suara klakson kendaraan kini kembali menjadi musik latar di pagi hari yang sangat sibuk. Hari ini, aku memutuskan untuk berangkat lebih pagi ke sekolah, meskipun rapat OSIS baru dimulai setelah jam pelajaran pertama. Tapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikiranku sejak kemarin: sungai kecil yang berubah menjadi tempat pembuangan sampah.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju ruang OSIS. Ruangan itu masih sepi, hanya ada Indira yang sedang memeriksa daftar hadir kegiatan. Dia melirikku, tersenyum kecil.

“Rajin banget lo pagi-pagi udah nongol,” katanya sambil mengetik di laptopnya.

Aku duduk di kursi sebelahnya, membuka buku catatanku yang penuh coretan rencana. “Dir, gue kepikiran soal sungai yang di dekat sekolah. Lo tahu kan, yang ada di belakang kampung itu?” tanyaku sambil menatapnya dengan penuh serius.

Indira mengangguk. “Oh iya, gue tahu. Itu mah udah lama jadi kayak gitu. Kenapa emang?”

Aku menceritakan kejadian kemarin, tentang anak kecil yang membuang sampah di sana dan alasannya yang polos. Wajah Indira berubah, matanya ikut suram.

“Sedih banget ya, Lis. Mereka tuh gak ngerti kalau yang mereka lakukan salah. Tapi ya gimana, lingkungan mereka kayak gitu dari dulu.”

“Makanya gue kepikiran buat sesuatu yang lebih dari sekadar di sekolah. Kita bisa mulai bersihin sungai itu bareng anak-anak kecil di sana. Sekalian kasih edukasi biar mereka tahu pentingnya jaga lingkungan,” jelasku.

Indira mengerutkan kening, terlihat berpikir keras. “Ide lo bagus, Lis. Tapi lo sadar gak, ini bakal sulit banget? Anak-anak mungkin mau diajak, tapi gimana dengan orang dewasa di sana? Mereka yang sudah kebiasaan buang sampah ke sungai.”

Kata-kata Indira seperti menambah beban di pikiranku, tapi aku tetap yakin. “Kita mulai aja dulu dari yang kecil. Kalau anak-anaknya berubah, siapa tahu mereka bisa ngasih pengaruh ke keluarga mereka.”

Rapat OSIS hari itu berlangsung panas. Aku mempresentasikan idenya kepada teman-teman, tapi tak semua setuju. Raka, seperti biasa, jadi orang pertama yang mengkritik.

“Lis, gue ngerti lo punya niat baik. Tapi ini Jakarta, Lis. Kota ini udah terlalu kotor, terlalu padat. Kita bisa ngurusin sekolah aja udah berat, apalagi mau bersihin sungai di luar sana.”

Aku menatap Raka, sambil berusaha tetap tenang meskipun dadaku kini mulai terasa sesak. “Ka, kalau kita hanya cuma diem aja, kapan bisa perubahan itu mulai? Gue tahu ini sangat berat, tapi gue gak bisa hanya cuma ngelihat dan gak ngelakuin apa-apa.”

“Lis, lo punya mimpi yang bagus. Tapi realitanya, kita butuh banyak banget tenaga dan waktu buat ngelakuin itu. Gue cuma takut lo kecewa nanti,” jawab Raka, suaranya melembut.

Aku menunduk sejenak, sambil mencoba menahan air mata yang kini hampir jatuh. Tapi aku gak boleh kelihatan lemah. “Gue gak peduli seberat apa pun. Gue hanya cuma tahu, gue gak akan bisa berhenti untuk coba.”

Dua hari kemudian, aku dan Indira pergi ke sungai itu. Kami membawa karung besar, sarung tangan, dan masker. Awalnya aku ragu, tapi melihat Indira yang begitu semangat, rasanya seperti mendapat tambahan energi.

Saat kami mulai memungut sampah di tepi sungai, beberapa anak kecil yang bermain di sekitar menatap kami dengan bingung. Salah satunya, anak yang kemarin aku temui, mendekat.

“Kakak lagi ngapain?” tanyanya polos.

Aku tersenyum. “Kakak lagi bersihin sungai ini. Kamu mau bantu?”

Anak itu ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Aku ajak teman-teman ya, Kak.”

Tak lama, lima anak kecil bergabung dengan kami. Mereka membantu memungut plastik, botol, dan sampah lainnya. Awalnya aku merasa malu saat melihat beberapa orang dewasa hanya menonton dari jauh. Tapi aku mencoba mengabaikannya dan terus bekerja.

“Kak, ini kok banyak banget sampahnya? Sampai kapan kita beresinnya?” tanya salah satu anak.

Aku terdiam, lalu menjawab dengan suara pelan, “Gak apa-apa, sedikit demi sedikit. Yang penting kita mulai.”

Ketika hari mulai gelap, kami selesai mengumpulkan beberapa karung sampah. Meski rasanya belum ada apa-apanya dibandingkan dengan banyaknya sampah yang masih tersisa, melihat sungai sedikit lebih bersih memberiku harapan.

Di rumah, aku merebahkan diri di kasur. Seluruh tubuh terasa lelah, tapi hatiku tenang. Aku membuka ponsel, memandangi foto-foto anak-anak kecil yang membantu tadi. Wajah mereka yang ceria meskipun dikelilingi sampah mengingatkanku pada satu hal: semangat itu masih ada.

Namun, tak lama kemudian, aku mendapat pesan dari Indira.

“Lis, tadi gue denger beberapa warga ngomongin kita. Mereka bilang gak ada gunanya bersihin sungai kalau semua orang masih buang sampah sembarangan. Gue takut ini bakal jadi masalah buat lo.”

Pesan itu membuat perutku terasa mual. Aku tahu perjuangan ini belum selesai. Mungkin baru saja dimulai. Tapi aku juga tahu satu hal: aku tidak akan menyerah.

Langit Jakarta memang kelabu, tapi aku akan terus berjuang untuk melihat setitik biru di sana.

 

Suara dari Dalam Lumpur

Minggu pagi, aku kembali ke sungai kecil itu, kali ini hanya dengan Indira. Kami berdua membawa lebih banyak peralatan: sapu lidi, cangkul kecil, dan karung tambahan. Sepanjang perjalanan, Indira terus mencoba mencairkan suasana dengan candaan, tapi aku hanya tersenyum kecil. Kata-kata warga yang kudengar dari pesan Indira kemarin terus mengusik pikiranku.

Sesampainya di sungai, pemandangan yang kulihat membuatku terdiam. Sampah yang kami kumpulkan dua hari lalu sudah kembali memenuhi tepian sungai. Karung-karung yang kami tinggalkan untuk sementara bahkan tampak disobek oleh binatang, menyebarkan isinya kembali ke air. Rasanya seperti semua kerja keras kami tak ada artinya.

“Astaga, Lis…” Indira menutup mulutnya dengan tangan, matanya membulat.

Aku hanya berdiri mematung. Tenggorokanku terasa tercekat, mataku mulai memanas.

Indira menghampiriku, menepuk bahuku pelan. “Kita harus apa sekarang?” tanyanya, suaranya lembut.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam emosi. “Kita mulai lagi, Dir. Mau sampai kapanpun, gue gak mau berhenti.”

Hari itu, kami membersihkan sungai sekali lagi, tapi kali ini terasa lebih berat. Sampah yang sebelumnya hanya berada di tepian sekarang sebagian tenggelam ke lumpur. Butuh tenaga ekstra untuk menariknya keluar. Keringat bercucuran, tangan terasa perih meskipun sudah memakai sarung tangan. Namun, di tengah perjuangan itu, suara kecil mengagetkanku.

“Kak Ghalisa!”

Aku menoleh. Anak-anak yang membantu kami sebelumnya kembali datang, kali ini membawa lebih banyak teman. Ada sekitar sepuluh anak kecil, semuanya membawa kantong plastik atau sekadar tangan kosong.

“Boleh bantu lagi, Kak?” tanya salah satu dari mereka dengan mata berbinar.

Hatiku terasa hangat. Aku tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Tentu saja boleh. Tapi hati-hati ya, jangan sampai kena benda tajam.”

Anak-anak itu bergabung, membuat suasana yang tadinya suram menjadi lebih ceria. Mereka tertawa, saling bercanda, bahkan sesekali berlomba siapa yang bisa mengumpulkan sampah terbanyak. Aku memperhatikan mereka, merasa ada sedikit harapan di tengah keputusasaan.

Namun, kehadiran anak-anak itu ternyata menarik perhatian warga sekitar. Beberapa orang dewasa mulai berkumpul di dekat kami, menonton dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada yang mengobrol sambil menunjuk-nunjuk, ada juga yang hanya berdiri dengan wajah datar.

Aku mencoba mengabaikan mereka, tapi tak lama kemudian salah satu dari mereka mendekat. Seorang ibu paruh baya dengan wajah keras menghampiriku.

“Anak-anak ini bantu bersihin sungai karena kamu yang suruh, ya?” tanyanya tajam.

Aku tertegun, tapi berusaha tersenyum sopan. “Iya, Bu. Kami hanya ingin sungai ini lebih bersih. Airnya bisa dipakai lagi untuk mandi atau main.”

Wanita itu menghela napas panjang, menggeleng. “Kamu ini anak sekolah, ya? Masih kecil udah mikirin hal yang gak ada gunanya. Mau bersihin berapa kali pun, besok pasti kotor lagi. Mending kalian belajar aja, biar gak capek-capek buat hal yang percuma.”

Kata-katanya menusuk hatiku seperti pisau. Aku ingin membalas, tapi entah kenapa rasanya semua keberanianku hilang. Aku hanya menunduk, merasa kecil dan tidak berarti. Indira yang biasanya selalu vokal, kali ini juga memilih diam.

“Udah, anak-anak. Balik sana, jangan main di sini lagi. Nanti kalian malah sakit,” lanjut ibu itu, kali ini bicara pada anak-anak. Suaranya lebih pelan, tapi tetap tegas. Anak-anak itu menatapku dengan ragu, menunggu isyarat.

Aku hanya bisa tersenyum lemah. “Gak apa-apa, teman-teman. Terima kasih udah bantu Kakak hari ini. Kalian hebat banget,” ucapku, mencoba terdengar ceria meskipun dadaku terasa sesak.

Sepeninggal anak-anak dan warga, aku dan Indira melanjutkan pekerjaan dengan suasana yang jauh lebih sunyi. Langit mendung mulai menggantung, seolah-olah ikut merasakan perasaanku. Indira sesekali melirikku, tapi dia tidak berkata apa-apa, membiarkanku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

Saat kami akhirnya selesai dan bersiap pulang, aku menatap sungai itu sekali lagi. Meski sebagian besar sampah sudah kami angkut, airnya tetap keruh, berwarna kecokelatan. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah semua ini ada gunanya? Apakah aku hanya membuang-buang waktu?

“Mau tahu pendapat gue?” tanya Indira tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku menoleh, sedikit kaget. “Apa?”

“Lo luar biasa, Lis,” katanya, suaranya serius. “Gue tahu tadi lo pasti sakit hati denger kata-kata mereka, gue juga sakit hati denger itu. Tapi lo gak nyerah. Dan itu yang bikin gue salut. Gak semua orang punya keberanian kayak lo.”

Air mataku akhirnya jatuh. Aku buru-buru menghapusnya, tapi Indira hanya tertawa kecil. “Udah, nangis aja. Gak ada yang ngeliat kok.”

Kami tertawa bersama, meskipun air mataku terus mengalir. Aku merasa sedikit lebih ringan, seperti bebanku terangkat sedikit. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri: apapun yang terjadi, aku tidak akan menyerah.

Aku mungkin tidak bisa mengubah dunia, tapi aku bisa mencoba membuat bagian kecil dari dunia ini sedikit lebih baik. Dan itu sudah cukup.

 

Harapan di Tengah Kota yang Lelah

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pergi ke balai warga. Setelah pertemuan singkat dengan Indira malam sebelumnya, aku tahu kalau langkah kecil saja tidak cukup. Sungai itu hanya sebagian kecil dari masalah besar yang dihadapi kota ini. Aku harus berbicara langsung dengan mereka yang punya pengaruh lebih besar.

“Lo yakin mau ke sana sendirian?” tanya Indira sambil menyeruput jus mangga yang dia pesan di kantin sekolah.

Aku mengangguk. “Gue harus coba. Kalau gak mulai sekarang, kapan lagi?”

Indira mendesah pelan. “Lo keras kepala banget sih, Lis. Tapi gue dukung lo, ya. Jangan takut, oke?”

Aku tersenyum. “Makasih, Dir. Gue gak akan menyerah.”

Balai warga itu tidak terlalu besar, tapi terasa seperti tempat yang penuh tekanan bagiku. Dindingnya dipenuhi poster-poster himbauan untuk menjaga kebersihan kota, tapi ironisnya, di halaman depan ada tumpukan sampah plastik berserakan. Aku mengetuk pintu dengan tangan gemetar, menunggu seseorang menjawab.

Seorang pria paruh baya dengan kemeja kusut membuka pintu. Wajahnya tampak lelah, mungkin karena pekerjaan yang menumpuk. “Ada apa, Nak?” tanyanya dengan suara berat.

“Saya Ghalisa, Pak. Saya ingin bicara soal sungai kecil di dekat kompleks. Sungai itu penuh sampah, dan saya ingin membantu membersihkannya, tapi…” suaraku terhenti. Rasanya sulit untuk menjelaskan semuanya sekaligus.

Pria itu menghela napas panjang, mengundangku masuk. Aku duduk di kursi kayu tua, sementara dia mengambil dokumen dari meja. “Kami sudah tahu tentang masalah sungai itu. Bukan cuma kamu yang ngeluh, Nak. Banyak warga lain juga, tapi ya, masalahnya selalu sama.”

“Apa masalahnya, Pak?” tanyaku penasaran.

“Anggaran,” jawabnya singkat. “Kami gak punya dana cukup buat proyek pembersihan besar. Selain itu, kalau dibersihkan sekalipun, warga sering kali balik lagi buang sampah sembarangan. Itu kebiasaan yang susah diubah.”

Kata-katanya seperti tembok besar yang menghalangi semua harapanku. Aku menunduk, mencoba menahan air mata. “Tapi, Pak, kalau kita gak mulai dari sekarang, sungai itu bisa jadi lebih buruk. Nanti anak-anak yang tinggal di sekitar sana malah kena penyakit.”

Dia mengangguk pelan, seolah-olah memahami, tapi tidak punya jawaban. “Apa yang kamu mau lakukan?”

Aku pulang dari balai warga dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku tahu perjuanganku belum selesai. Tapi di sisi lain, aku merasa sendirian. Aku membuka obrolan grup teman-teman sekolahku, mencoba mencari dukungan.

“Guys, gue butuh bantuan,” tulisku singkat.

Respon mereka mengejutkanku. Dalam waktu kurang dari lima menit, hampir semua temanku membalas. Mereka penasaran, ingin tahu apa yang bisa mereka lakukan. Aku menjelaskan rencanaku: membuat acara besar untuk membersihkan sungai, melibatkan warga sekitar, anak sekolah, bahkan kalau bisa pemerintah kota.

“Boleh ajak teman dari sekolah lain gak?” tanya Dinda, salah satu temanku.

“Tentu aja boleh,” jawabku antusias.

Hari Sabtu pagi, lebih dari dua puluh orang berkumpul di pinggir sungai kecil itu. Mereka datang dengan membawa sapu, karung, bahkan beberapa spanduk yang bertuliskan “Save Our River”. Hatiku terasa penuh, melihat begitu banyak orang yang bersedia meluangkan waktu mereka untuk sesuatu yang aku yakini.

“Kita mulai dari sini,” kataku lantang, mencoba menyemangati mereka. “Sungai ini mungkin kecil, tapi kalau kita bisa membersihkannya, kita tunjukin kalau kita peduli.”

Semua orang bersorak, semangat mereka membakar rasa lelah yang sempat menghantuiku. Kami mulai bekerja. Sampah-sampah diangkat, lumpur dikorek, bahkan beberapa anak memanjat pohon untuk memungut plastik yang tersangkut di cabang.

Namun, tak lama kemudian, hujan turun. Aku merasa putus asa, berpikir bahwa semua orang akan pulang dan meninggalkanku sendirian. Tapi ternyata aku salah. Bukannya pergi, mereka malah semakin bersemangat. Beberapa temanku mulai menyanyikan lagu-lagu ceria, sementara yang lain tetap bekerja di bawah hujan.

“Gue gak bakal biarin lo kerja sendirian, Lis!” teriak Indira sambil tertawa, rambutnya basah kuyup.

Melihat mereka, air mataku jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena haru. Aku merasa tidak lagi sendirian. Aku merasa perjuanganku, sekecil apapun, berarti.

Ketika sore tiba, hujan mulai reda, dan sungai kecil itu tampak lebih bersih dari sebelumnya. Airnya masih keruh, tapi setidaknya sekarang tidak ada lagi sampah yang berserakan. Warga yang lewat mulai memperhatikan, beberapa bahkan tersenyum dan mengangguk padaku.

Seorang bapak tua yang tinggal di dekat sungai mendekat. Dia memegang sebuah termos dan beberapa cangkir plastik. “Minum dulu, Nak,” katanya lembut. “Kalian hebat. Sudah lama gak ada yang peduli sama sungai ini.”

Aku menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak,” ucapku dengan suara serak.

Hari itu, aku pulang dengan tubuh lelah tapi hati yang penuh harapan. Aku tahu perjuangan ini belum selesai. Masih banyak yang harus dilakukan. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa yakin bahwa aku bisa melakukannya, selama aku tidak menyerah.

Dan sungai kecil itu, yang dulunya hanya tempat pembuangan sampah, kini menjadi simbol kecil harapan di tengah kota yang lelah.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Ghalisa ini ngingetin kita kalau perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, bahkan dari sungai kecil di tengah kota. Jakarta memang penuh tantangan, tapi dengan semangat dan kepedulian seperti Ghalisa, harapan itu selalu ada. Jadi, yuk kita semua ambil peran, sekecil apapun itu, buat lingkungan yang lebih baik! Kalau Ghalisa bisa, kenapa kita enggak?

Leave a Reply