Air Mata Bawang Putih Bawang Merah: Kisah Irshaad di Balik Senyuman

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Dalam hidup, kita sering menghadapi masa-masa yang penuh dengan cobaan dan tekanan, sama seperti yang dialami Irshaad dalam cerpen “Titik Terendah”. Cerita ini mengisahkan perjuangan seorang remaja SMA yang dikenal gaul dan ceria, namun diam-diam menyimpan luka dalam keluarganya.

Bagaimana Irshaad menghadapi tekanan dari ayah tirinya yang kejam dan rasa tanggung jawab untuk melindungi ibunya, semuanya ditulis dengan penuh emosi dan ketegangan. Cerpen ini mengajak kita menyelami sisi gelap dari hidup seorang remaja yang berjuang melawan keterpurukan, dengan sentuhan persahabatan dan harapan yang menyentuh hati.

 

Air Mata Bawang Putih Bawang Merah

Senyuman yang Patah

Irshaad melangkah dengan tenang di lorong sekolah. Tas yang tergantung di bahunya terasa lebih ringan dari biasanya, bukan karena isinya yang berkurang, melainkan karena ia berhasil menyembunyikan rasa lelah dan kesedihan yang menumpuk di dalam dirinya. Di mata teman-temannya, Irshaad adalah sosok yang tak pernah lelah tersenyum, seorang anak SMA yang penuh energi, gaul, dan selalu punya teman di setiap sudut sekolah. Namun, tak ada yang tahu bahwa setiap senyum yang ia tunjukkan adalah topeng, sebuah perisai untuk menutupi badai yang bergejolak dalam hatinya.

“Bro, nanti nongkrong di kafe, ya?” Riko, salah satu teman dekatnya, tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang.

Irshaad berbalik dengan senyuman lebar yang seolah-olah datang tanpa usaha. “Pasti, gue nggak pernah nolak kalo udah urusan nongkrong,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Dalam keramaian sekolah itu, Irshaad tampak menikmati hidupnya. Dia selalu hadir di setiap obrolan ringan, ikut tertawa dalam setiap candaan, dan sering kali menjadi pusat perhatian di antara teman-temannya. Seolah tak ada yang kurang dari hidupnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa hampa yang terus menggerogoti.

Sepulang sekolah, Irshaad memilih untuk pulang ke rumah dengan perasaan yang bercampur aduk. Di sekolah, dia bisa menjadi orang lain, seseorang yang ceria dan penuh kebahagiaan. Tapi begitu kakinya melangkah ke halaman rumah, semua yang dirasakannya di sekolah seakan hilang. Rumah, bagi Irshaad, bukanlah tempat berlindung. Rumah adalah arena pertarungan di mana ia harus selalu waspada, menjaga diri dari kemarahan dan kekejaman ayah tirinya, Pak Rahman.

Ketika ia membuka pintu rumah, suara televisi menyambutnya. Di ruang tamu, duduklah Arfan, adik tirinya yang sedang asyik menonton acara favoritnya. Sementara itu, ayah tirinya, Pak Rahman, duduk di sebelahnya, dengan raut wajah yang tampak tegang dan dingin.

“Kamu telat pulang lagi!” suara berat Pak Rahman yang langsung menghantam Irshaad begitu dia masuk. Tidak ada sapaan ramah atau tanya kabar, hanya tuduhan dan kemarahan yang terus-menerus.

Irshaad menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Tadi ada kegiatan ekstrakurikuler, Pak. Makanya tadi agak lama,” jawabnya pelan sambil melepaskan sepatunya di depan pintu.

“Selalu ada alasan!” Pak Rahman berdiri dan menghampiri Irshaad dengan langkah berat. “Apa kamu nggak pernah belajar tanggung jawab, hah? Kamu pikir hidup ini cuma buat bersenang-senang di luar sana?!”

Irshaad menunduk, tak berani membalas tatapan tajam ayah tirinya. Dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah situasi. Di mata Pak Rahman, dia selalu salah, selalu menjadi ‘bawang merah’ dalam rumah ini. Arfan, di sisi lain, seolah kebal dari segala kesalahan. Anak kesayangan Pak Rahman itu selalu dibanggakan, apa pun yang dia lakukan, bahkan saat dia hanya duduk-duduk menonton televisi.

“Sudah, Pak. Irshaad baru pulang, biarkan dia istirahat dulu,” suara ibunya terdengar dari dapur, tapi tak pernah cukup kuat untuk membela putranya sepenuhnya.

Pak Rahman melirik istrinya dengan pandangan tak suka. “Kamu selalu membela dia. Makanya dia nggak pernah belajar disiplin!”

Irshaad merasakan dadanya sesak. Setiap kata-kata kasar yang keluar dari mulut ayah tirinya seolah mengiris hatinya sedikit demi sedikit. Dia ingin melawan, ingin berteriak bahwa ini semua tidak adil, tetapi suaranya selalu tertahan. Apa gunanya berbicara jika tak ada yang mendengar? Ibunya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, hanya bisa menunduk pasrah di hadapan suaminya. Sementara itu, Arfan duduk diam, seolah menikmati kekacauan ini tanpa merasa perlu campur tangan.

Irshaad bergegas masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan lembut, dan duduk di ujung tempat tidurnya. Kamar ini adalah satu-satunya tempat di rumah di mana dia bisa merasa sedikit tenang. Tapi bahkan di sini, ia tidak bisa benar-benar merasa damai. Irshaad menatap sekeliling, melihat dinding kamarnya yang penuh poster band favoritnya, gitar yang tergantung di sudut ruangan, dan beberapa buku yang berantakan di meja. Semua benda-benda itu adalah pengingat dari kehidupan normal yang ia rindukan hidup sebelum ayah kandungnya meninggal, sebelum semua rasa sakit dan kekerasan ini terjadi.

Dia memejamkan matanya sejenak, mencoba mengatur napas. Pikiran tentang ayah kandungnya, almarhum Pak Hasan, kembali membanjiri benaknya. Ayahnya dulu adalah sosok yang lembut, penuh cinta, dan selalu mendukungnya apa pun yang terjadi. Mereka sering duduk bersama di teras rumah sambil berbicara tentang mimpi-mimpi masa depan Irshaad. Tapi semua itu kini hanya tinggal kenangan. Sejak Pak Hasan meninggal, ibunya menikah lagi dengan Pak Rahman, dan sejak itu, rumah ini tak lagi sama.

Irshaad merasakan air mata menggenang di sudut matanya, tapi dia menahannya. Bukan karena dia tidak ingin menangis, tapi karena dia sudah terlalu sering menangis. Di depan teman-temannya, dia selalu kuat, tetapi di sini, di dalam kamarnya, dia hanya seorang anak yang rapuh, yang terus mencoba bertahan di dunia yang tampak tak peduli.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah kesunyian. Pesan dari Riko masuk, “Bro, jangan lupa nanti nongkrong, ya!”

Irshaad menatap layar ponselnya, mencoba untuk tersenyum, meski hatinya terasa hancur. “Iya, gue pasti datang,” balasnya singkat.

Malam itu, meskipun fisiknya ada di kafe bersama teman-temannya, pikiran Irshaad melayang jauh. Di dalam kepalanya, suara-suara ayah tirinya terus berputar, mengingatkan bahwa dia tidak akan pernah bisa benar-benar merasa damai. Setiap kali tertawa bersama teman-temannya, ada bagian dari dirinya yang merasa bersalah, seolah-olah dia sedang membohongi dunia dengan senyuman palsu. Tapi itulah Irshaad anak yang selalu terlihat bahagia, meskipun di dalam hatinya, ada kepedihan yang tak terkatakan.

Sepulang dari kafe, dia berjalan pulang dengan langkah yang berat. Langit malam tampak tenang, seolah bertentangan dengan badai yang ada di dalam dirinya. Irshaad berdiri sejenak di depan pintu rumahnya, mengambil napas dalam sebelum memasukinya. Begitu dia membuka pintu, suasana tegang kembali menyergapnya. Di dalam rumah, tak ada tempat untuk rasa lega atau tawa. Hanya ada rasa cemas dan takut, menunggu kapan ledakan kemarahan berikutnya akan datang.

Irshaad berusaha bertahan, tapi dia tahu, semakin hari, senyumannya semakin rapuh.

 

Luka di Balik Tawa

Malam itu, Irshaad kembali terperangkap dalam rutinitas yang tak pernah ia harapkan. Setelah pulang dari kafe bersama teman-temannya, ia mendapati rumahnya dalam suasana yang senyap, seperti bom waktu yang menunggu untuk meledak. Ayah tirinya, Pak Rahman, duduk di sofa dengan pandangan yang dingin, sementara Arfan asyik dengan ponselnya, tak peduli apa yang terjadi di sekelilingnya. Irshaad berjalan perlahan melewati ruang tamu, berharap bisa lolos dari perhatian Pak Rahman tanpa memicu konflik baru.

“Kenapa pulang malam lagi, hah?!” suara Pak Rahman menggelegar, memecah keheningan.

Irshaad terdiam sejenak. Hatinya berdegup kencang, tetapi dia mencoba tetap tenang. “Tadi habis nongkrong sama teman-teman, Pak. Nggak lama kok,” jawabnya sambil berusaha untum terdengar biasa saja.

“Nongkrong?! Nongkrong terus! Apa kamu nggak punya rasa tanggung jawab? Kamu pikir hidup cuma buat main-main, hah?!” Pak Rahman bangkit dari sofa, mendekat dengan langkah berat.

Irshaad mundur setengah langkah, mencoba menjaga jarak. Kepalanya tertunduk, menahan emosi yang mulai berkecamuk di dalam dirinya. “Aku sudah selesai semua tugas sekolah, Pak,” jawabnya pelan.

Tapi jawaban itu tidak pernah cukup. Bagi Pak Rahman, apa pun yang Irshaad lakukan selalu salah. Ketika tangan kasar ayah tirinya tiba-tiba mendorong dadanya dengan keras, Irshaad hampir jatuh mundur, tetapi ia berhasil menyeimbangkan dirinya. Tubuhnya gemetar, bukan karena rasa sakit fisik, tetapi lebih karena luka batin yang terus-menerus digoreskan oleh ayah tirinya.

“Kamu nggak pernah belajar, ya? Kamu pikir ini rumahmu bisa kamu atur sesuka hati?!” Pak Rahman berteriak, matanya yang memancarkan kemarahan yang tak bisa dipadamkan. “Kalau kamu terus kayak gini, kamu jangan harap aku akan kasih kamu tempat di sini!”

Irshaad hanya diam. Kata-kata itu, ancaman itu, sudah terlalu sering ia dengar. Setiap kali Pak Rahman marah, ancaman mengusirnya dari rumah selalu menjadi senjata. Dan setiap kali, Irshaad hanya bisa mengangguk, menahan semua amarah yang berkobar di dalam dadanya. Dia tak punya pilihan. Meski rumah ini penuh dengan kekerasan dan ketidakadilan, dia tak punya tempat lain untuk pergi.

Setelah serangkaian makian dan cacian dari ayah tirinya, Irshaad akhirnya bisa masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu dengan pelan, berusaha menghindari bunyi keras yang bisa memicu lebih banyak amarah. Begitu pintu terkunci, Irshaad duduk di lantai, bersandar pada dinding. Napasnya tersengal-sengal, bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosinya yang terus-menerus terkuras.

“Apa salahku? Kenapa aku selalu dianggap musuh di rumah ini?” batinnya bertanya-tanya, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang bisa menghilangkan rasa sakit itu.

Dalam kesunyian kamarnya, Irshaad meraih gitar yang tergantung di dinding. Jari-jarinya yang gemetar mulai memetik senar-senar gitar itu dengan lembut. Musik adalah satu-satunya pelarian yang bisa membuatnya merasa sedikit lega, meski hanya sementara. Ia mulai memainkan lagu-lagu yang biasa ia mainkan bersama ayah kandungnya dulu, ketika hidup masih terasa lebih sederhana dan penuh cinta.

Lagu-lagu itu adalah kenangan dari masa lalu, masa ketika Irshaad masih bisa merasakan hangatnya kasih sayang ayahnya. Setiap nada yang ia mainkan membawa kembali ingatan tentang ayahnya yang selalu mendukungnya, memberikan nasihat bijak, dan memberinya kekuatan. Tapi semua itu sudah hilang. Kini, ia hanya sendirian, terperangkap dalam rumah yang lebih mirip penjara daripada tempat perlindungan.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Irshaad terkejut, mengira ayah tirinya akan masuk lagi untuk melanjutkan amarahnya. Namun yang masuk adalah ibunya, Bu Laila. Wajahnya terlihat lelah, seolah menanggung beban yang tak kalah berat dari yang dirasakan Irshaad. Dia melangkah masuk dengan pelan, lalu duduk di sebelah Irshaad tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Ibu tahu kamu capek,” katanya akhirnya dengan suara lembut. “Tapi tolong bersabar, ya, Nak. Ibu juga nggak bisa banyak berbuat. Kamu tahu kan, keadaan sekarang…”

Irshaad menoleh ke arah ibunya. Matanya yang biasanya kuat kini dipenuhi dengan kesedihan yang ia tahan selama ini. “Bu, kenapa semuanya jadi begini?” tanyanya, suaranya bergetar. “Kenapa Ayah harus pergi, kenapa kita harus hidup kayak gini?”

Bu Laila hanya bisa menghela napas panjang. “Ibu juga nggak tahu jawabannya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil. Tapi kita harus terus berjalan. Harus kuat.”

Kata-kata itu seharusnya memberikan Irshaad kekuatan, tetapi malah membuatnya merasa lebih lemah. Ia tahu ibunya juga menderita, tapi dia berharap ibunya bisa melakukan lebih banyak untuk melindunginya. Namun, setiap kali ia melihat ibunya yang terlihat semakin tua dan lelah karena tekanan hidup, Irshaad tahu bahwa ia tak bisa menuntut lebih dari wanita yang sudah memberinya segalanya.

“Ibu, aku capek,” Irshaad berbisik, hampir tak terdengar. “Capek selalu pura-pura senang di depan orang lain, capek diperlakukan kayak musuh di rumah sendiri.”

Bu Laila memandang putranya dengan mata berkaca-kaca. “Ibu tahu, Nak. Tapi kita harus bertahan. Ayah tirimu… dia keras, tapi dia juga sedang berusaha menghidupi kita.”

Irshaad ingin sekali berteriak bahwa alasan itu tidak cukup, bahwa semua ini tidak adil. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Ia hanya bisa menunduk, menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia terlalu lelah untuk berdebat, terlalu lelah untuk menangis.

Setelah beberapa saat hening, Bu Laila bangkit dan menyentuh kepala Irshaad dengan lembut, sebuah gestur yang jarang ia tunjukkan belakangan ini. “Tidur, ya, Nak. Besok kamu masih harus ke sekolah.”

Irshaad mengangguk pelan, meski matanya masih menatap kosong ke lantai. Setelah ibunya keluar dari kamar, Irshaad meletakkan gitarnya dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Malam semakin larut, tetapi matanya tetap terbuka, memandang langit-langit kamar yang gelap.

Pikirannya kembali melayang ke sekolah, tempat di mana ia bisa menjadi “Irshaad” yang lain. Di sekolah, dia adalah sosok yang diinginkan oleh semua orang teman yang selalu siap membantu, rekan yang ceria, anak yang tampak sempurna di mata orang lain. Tapi di balik semua itu, tak ada yang tahu luka yang ia sembunyikan. Setiap kali ia tertawa bersama teman-temannya, ada bagian dari dirinya yang terus merintih dalam kesunyian.

Pikirannya melayang ke Riko, teman dekatnya. Dia ingin menceritakan semua ini kepada Riko, ingin berbagi beban yang selama ini ia tanggung sendiri. Namun, ada rasa takut yang menghantuinya takut dianggap lemah, takut kehilangan citra kuat yang selama ini ia bangun. Di matanya, Riko selalu memandangnya sebagai sosok yang tak pernah goyah, seseorang yang bisa menghadapi apa saja. Irshaad tak ingin merusak citra itu.

Malam itu, di tengah kesunyian, Irshaad bergulat dengan dirinya sendiri. Di satu sisi, ia ingin melepaskan semua topeng yang selama ini ia pakai, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa dunia luar tak akan peduli dengan rasa sakitnya. Yang mereka inginkan hanyalah senyumnya, tawa yang ia paksakan, dan sikap positif yang tak pernah putus.

Akhirnya, dengan mata yang berat dan pikiran yang kusut, Irshaad tertidur. Namun, bahkan dalam tidurnya, ia tak bisa benar-benar merasa tenang. Mimpi-mimpinya dipenuhi dengan bayangan-bayangan ketakutan dan kecemasan ketakutan akan masa depan, ketakutan akan kehidupan yang terus menghimpitnya tanpa belas kasihan.

Di pagi harinya, seperti biasa, Irshaad bangun dan mengenakan seragam sekolahnya. Dia menatap cermin, melihat pantulan dirinya anak yang gaul, aktif, penuh tawa, meskipun di dalam hatinya, ada luka yang tak pernah sembuh. Dia menarik napas dalam-dalam, memasang senyuman palsunya, lalu melangkah keluar dari kamarnya, bersiap menghadapi hari yang penuh kepalsuan lagi.

Babak kedua dalam hidupnya dimulai, dan Irshaad tahu, perjuangan ini masih jauh dari selesai.

 

Topeng yang Retak

Pagi itu, Irshaad melangkah menuju sekolah dengan langkah yang berat. Setiap harinya terasa seperti menjalani kehidupan yang bukan miliknya, seolah dia hidup dengan dua identitas yang sepenuhnya berbeda. Di satu sisi, dia adalah anak yang penuh energi, teman yang baik, dan pemimpin dalam lingkaran pertemanannya. Namun, di sisi lain, ada kenyataan pahit yang tak pernah bisa ia tunjukkan pada siapa pun.

Sampai di sekolah, seperti biasa, Irshaad disambut dengan suara riuh teman-temannya. Mereka memanggilnya, tertawa bersama, dan mengajaknya bercanda. Irshaad, dengan senyum yang sudah terlatih, menanggapi setiap godaan dan canda mereka. Namun, jauh di dalam hatinya, senyum itu hanyalah cangkang kosong, sebuah topeng yang ia kenakan agar orang lain tak melihat kerapuhannya.

Hari itu, sekolah terasa lebih lama dari biasanya. Selama pelajaran berlangsung, pikiran Irshaad melayang jauh, memikirkan kehidupannya di rumah. Ingatan tentang ibunya yang semakin lelah, tentang Pak Rahman yang tak pernah memberikan sedikit pun penghargaan atau kasih sayang, terus menghantui pikirannya. Matanya berkali-kali menatap kosong keluar jendela, mengabaikan penjelasan guru yang sedang mengajar di depan kelas.

Riko, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan perubahan sikap Irshaad. Biasanya, Irshaad selalu aktif, sering mengajukan pertanyaan atau bercanda di sela-sela pelajaran. Namun kali ini, Riko melihat sahabatnya itu terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia menepuk bahu Irshaad pelan, mencoba memanggilnya kembali ke realitas.

“Bro, lo kenapa sih? Dari tadi kayak nggak fokus,” tanya Riko dengan suara pelan, memastikan agar tak mengganggu suasana kelas.

Irshaad tersentak sedikit, sadar bahwa dia sedang diawasi. “Ah, nggak, gue cuma lagi mikirin tugas aja. Lagi banyak pikiran,” jawabnya dengan senyum tipis, berusaha menyembunyikan kegalauannya.

Riko menatapnya dengan curiga. “Serius lo? Kayaknya ada yang lebih dari sekadar tugas deh. Lo mau cerita, nggak?”

Irshaad terdiam sejenak. Sebagian dirinya ingin menceritakan semuanya pada Riko, sahabat yang selalu ada untuknya, yang selalu bisa dipercaya. Namun, ada ketakutan yang menghentikannya. Ketakutan bahwa jika dia membuka diri, topeng yang selama ini ia kenakan akan hancur. Irshaad takut akan penilaian orang-orang, takut dianggap lemah, takut tidak lagi menjadi “Irshaad” yang mereka kenal.

“Nggak, gue beneran cuma lagi banyak tugas aja. Nanti juga kelar,” jawabnya lagi, kali ini dengan senyum yang lebih meyakinkan.

Riko mengangguk, meskipun tampaknya dia masih ragu. “Oke, kalau lo bilang gitu. Tapi kalau ada apa-apa, lo tahu kan gue selalu ada buat lo?”

Irshaad mengangguk pelan, hatinya berdebar karena rasa bersalah. Ia tahu bahwa Riko peduli padanya, tapi ia tak bisa—atau mungkin tak berani—untuk membagi beban yang selama ini ia pikul sendiri. Setelah percakapan singkat itu, Irshaad mencoba kembali fokus pada pelajaran, meski pikiran-pikirannya terus berkecamuk di dalam kepala.

Saat bel sekolah berbunyi tanda pulang, Irshaad berniat untuk segera pergi. Namun, di tengah perjalanan keluar dari gerbang sekolah, Riko tiba-tiba menarik lengannya.

“Bro, lo nggak ikut nongkrong sama yang lain hari ini? Anak-anak udah nunggu di kafe, lho,” ajak Riko dengan senyum penuh semangat.

Biasanya, Irshaad tak pernah menolak undangan seperti ini. Nongkrong bersama teman-teman di kafe adalah rutinitasnya—tempat di mana dia bisa tertawa dan melupakan sejenak segala kekacauan di rumah. Tapi hari ini, Irshaad merasa terlalu lelah, bukan secara fisik, melainkan emosional.

“Nggak dulu deh, gue langsung balik aja. Lagi nggak enak badan,” jawab Irshaad singkat.

Riko menatapnya dengan khawatir, tapi akhirnya mengangguk. “Oke deh, lo istirahat ya. Kalau ada apa-apa, kabarin gue.”

Irshaad hanya mengangguk, lalu bergegas pergi. Setiap langkahnya terasa semakin berat saat ia meninggalkan gerbang sekolah. Dia tak langsung pulang ke rumah, melainkan berjalan tanpa arah, mencoba mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Jalanan yang biasanya ramai dengan anak-anak sekolah lain kini terasa sepi baginya. Rasanya seperti dunia terus berjalan, sementara dia terjebak dalam pusaran emosinya sendiri.

Langkah kaki Irshaad membawanya ke sebuah taman kecil yang terletak tak jauh dari sekolah. Taman ini adalah tempat yang sering ia kunjungi ketika ingin sendirian, tempat di mana ia bisa duduk di bangku kayu dan merenungkan kehidupannya tanpa gangguan. Begitu sampai di sana, Irshaad duduk di salah satu bangku di bawah pohon yang rindang. Ia menatap langit yang mulai berubah warna, menandakan sore akan segera datang.

Di tengah kesunyian itu, tanpa ia sadari, air mata mulai mengalir di pipinya. Selama ini, dia selalu berusaha kuat, selalu memasang senyuman meski hatinya terluka. Tapi sekarang, ketika tak ada yang melihat, semua emosi itu tumpah tanpa bisa ia kendalikan. Dia merasa begitu lelah—lelah berpura-pura, lelah menanggung semuanya sendirian.

“Kenapa hidup gue harus kayak gini?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara angin yang berhembus lembut. “Kenapa gue harus terus jadi orang lain di depan semua orang?”

Tangannya menggenggam erat-erat celana seragamnya, berusaha meredam perasaan yang semakin tak terkendali. Irshaad ingin berteriak, ingin marah, ingin meluapkan semua kekesalannya pada dunia yang terasa begitu tak adil. Tapi dia hanya bisa menangis dalam kesunyian, menangisi segala beban yang selama ini ia tanggung sendiri.

Setelah beberapa saat, tangisnya mereda, meski hatinya masih terasa sesak. Irshaad menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa menangis tidak akan mengubah apa pun, tapi setidaknya, untuk sesaat, dia bisa merasakan sedikit kelegaan. Meski begitu, masalah-masalahnya tetap ada, dan Irshaad tahu bahwa dia harus kembali ke rumah tempat di mana masalah-masalah itu menunggu untuk menghantamnya lagi.

Dengan langkah yang lebih pelan, Irshaad akhirnya memutuskan untuk pulang. Namun, begitu ia sampai di depan pintu rumahnya, suara keras dari dalam rumah sudah terdengar. Ada perdebatan sengit di antara Pak Rahman dan ibunya. Kata-kata kasar dan makian terdengar jelas, dan hati Irshaad kembali mencelos. Ia tahu bahwa ini adalah bagian lain dari hidupnya yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun—rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, kini menjadi tempat penuh ketegangan dan pertengkaran.

Irshaad membuka pintu dengan hati-hati, mencoba menghindari perhatian kedua orang di ruang tamu. Tapi kali ini, keberuntungannya tak berpihak padanya. Pak Rahman langsung menoleh ke arahnya dengan wajah merah karena marah.

“Kamu ke mana aja seharian?! Kenapa pulang telat lagi, hah?!” teriak Pak Rahman, matanya menyala penuh kemarahan.

Irshaad hanya bisa diam, tak ingin memperburuk situasi. “Aku habis dari sekolah, Pak,” jawabnya pelan.

Tapi jawaban itu tak pernah cukup. Seperti biasa, Pak Rahman mendekat, matanya tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Sekolah, sekolah, sekolah! Selalu itu alasanmu! Kamu pikir aku bodoh?!”

Irshaad menahan napas, tangannya gemetar. Dia ingin melawan, ingin membela dirinya, tapi rasa takut yang sudah tertanam selama bertahun-tahun menghalanginya. Ia hanya bisa menunduk, menerima cacian yang kembali dilontarkan kepadanya.

“Kamu ini nggak pernah berguna! Cuma jadi beban buat keluarga ini!” seru Pak Rahman lagi, kali ini suaranya jadi lebih keras.

Ibunya, yang selama ini hanya diam, akhirnya angkat bicara. “Sudahlah, Mas. Anak ini baru pulang dari sekolah. Jangan terlalu keras.”

Namun, intervensi ibunya hanya membuat keadaan semakin memburuk. Pak Rahman berbalik ke arah Bu Laila, matanya menyala marah. “Kamu juga! Selalu membelanya! Kamu nggak lihat apa dia cuma bikin masalah di rumah ini?!”

Irshaad merasa dadanya semakin sesak. Dia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa dia bukanlah beban, bahwa dia sudah melakukan yang terbaik. Namun, mulutnya tetap terkunci, dan air mata yang tadi kini mengalir membasahi pipi

 

Titik Terendah

Langit sore yang biasa menemani Irshaad dalam perjalanan pulang kini terasa begitu suram. Seolah-olah alam merasakan kekacauan yang sedang terjadi dalam hidupnya. Setelah pertengkaran hebat di rumah sore itu, Irshaad merasa hatinya hancur. Di rumah, ia tak pernah merasa aman. Sekolah, yang dulu menjadi pelariannya, kini mulai terasa semakin jauh. Segalanya semakin sempit. Tekanan itu kian menghimpitnya hingga rasanya ia tak mampu bernapas.

Malam itu, setelah pertengkaran berakhir, Irshaad duduk diam di sudut kamarnya. Cahaya bulan yang masuk dari jendela kamar seakan menjadi satu-satunya saksi dari kepedihan yang ia rasakan. Pikirannya berputar, tak bisa tenang. Kata-kata Pak Rahman terus bergema dalam kepalanya. “Kamu cuma jadi beban buat keluarga ini!” Ucapan itu menusuk hatinya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.

Air mata yang sudah ia tahan selama berjam-jam akhirnya kembali mengalir. Irshaad tidak bisa lagi menyembunyikan kerapuhannya. Di depan teman-temannya, ia selalu menjadi sosok yang ceria dan tangguh, tetapi di dalam dirinya, ia tak lebih dari seorang remaja yang penuh luka. Dia merasa lelah menjadi seseorang yang berbeda di setiap tempat. Rasanya seperti ia hidup dengan dua wajah wajah yang tersenyum di depan dunia, dan wajah yang menangis dalam keheningan.

Ia memandang ke arah meja belajarnya. Di sana, tergeletak tumpukan buku pelajaran, catatan-catatan yang penuh dengan ambisi dan harapan. Irshaad dulu bermimpi besar ia ingin menjadi seorang dokter, seseorang yang bisa membantu banyak orang, termasuk ibunya. Namun, impian itu sekarang terasa begitu jauh. Bagaimana mungkin ia bisa meraih impian itu jika di rumah saja ia dianggap sebagai beban?

“Apakah aku memang seburuk itu?” pikirnya dalam hati. Kata-kata Pak Rahman terus menghantui, seolah-olah meruntuhkan setiap keyakinan yang dulu ia miliki tentang dirinya sendiri.

Di tengah pergulatan batinnya, ponsel Irshaad berbunyi. Ada pesan dari Riko.

“Bro, gue ngerasa bahwa lo ada yang aneh banget akhir-akhir ini. Serius deh, gue khawatir sama lo. Gue dan anak-anak yang lain nggak pernah ngelihat lo se-down ini. Apa ada masalah? Please, cerita sama gue. Gue selalu ada buat lo, Irsh!”

Pesan itu membuat Irshaad terdiam. Di satu sisi, ia merasa tersentuh. Ia tahu bahwa Riko adalah sahabat yang baik, seseorang yang tulus peduli padanya. Namun, di sisi lain, ada ketakutan yang tak pernah hilang. Takut bahwa jika ia benar-benar membuka diri, jika ia benar-benar menunjukkan betapa hancurnya dia, orang-orang akan menjauh. Riko mungkin akan melihatnya berbeda tidak lagi sebagai Irshaad yang kuat dan penuh semangat, tetapi sebagai anak yang lemah dan penuh masalah.

Namun, di tengah ketakutannya, Irshaad merasa ia tak bisa terus seperti ini. Topeng yang selama ini ia kenakan sudah retak. Ia tahu bahwa ia tak bisa terus berpura-pura kuat di depan semua orang sementara di dalam dirinya, ia perlahan-lahan hancur.

Dengan tangan gemetar, Irshaad membalas pesan Riko.

“Rik, gue capek. Gue nggak kuat lagi. Ada banyak hal yang selama ini gue sembunyiin, dan gue nggak tahu gimana cara ngatasinnya.”

Setelah mengirim pesan itu, Irshaad menunggu dengan jantung berdebar. Mungkin ini adalah pertama kalinya ia benar-benar menunjukkan kelemahannya kepada seseorang. Ada rasa takut, tapi juga sedikit kelegaan. Mungkin, hanya mungkin, kali ini dia tak harus menghadapi semuanya sendirian.

Tak lama kemudian, pesan balasan dari Riko masuk.

“Gue bakal ke rumah lo sekarang. Tunggu gue.”

Irshaad menghela napas. Dia tak pernah benar-benar ingin bertemu siapa pun malam ini, tapi mungkin Riko adalah pengecualian. Mungkin malam ini adalah malam di mana dia akhirnya bisa berbagi beban yang selama ini ia pikul sendiri.

Tak sampai setengah jam, Irshaad mendengar suara ketukan pelan di jendela kamarnya. Ia berjalan ke arah jendela dan sambil membuka tirai. Di sana, berdiri Riko dengan wajah penuh kekhawatiran.

Irshaad membuka jendela dan membiarkan sahabatnya itu masuk. Riko langsung duduk di lantai, menatap Irshaad dengan sorot mata penuh empati.

“Bro, lo nggak perlu ngomong kalau lo nggak mau,” ujar Riko pelan, “Gue cuma mau lo tahu bahwa lo nggak sendiri. Apapun yang lo rasain, apapun yang lo hadapi, gue di sini.”

Kata-kata itu, yang sederhana namun tulus, membuat dinding pertahanan Irshaad runtuh. Selama bertahun-tahun, ia selalu merasa sendirian dalam menghadapi segala masalahnya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Irshaad merasa ada seseorang yang benar-benar peduli, seseorang yang tidak menghakimi.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? “Titik Terendah” bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga tentang kekuatan menghadapi kenyataan pahit dalam hidup. Irshaad mengajarkan kita bahwa di balik senyum yang kita lihat sehari-hari, ada perjuangan yang tak selalu terlihat. Meskipun terasa sulit, dukungan dari sahabat dan kepercayaan pada diri sendiri bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan. Sebuah kisah yang menginspirasi dan penuh makna, mengingatkan kita bahwa kita tak pernah benar-benar sendirian, meski di titik terendah kita.

Leave a Reply