Daftar Isi
Banyak manfaat yang bisa kamu dapatkan ketika mempelajari suatu legenda daerah yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah kamu bisa mengenal lebih dalam budaya daerah tersebut, apalagi legenda merupakan bagian kebudayaan daerah juga.
Nah, kali ini akan ada 8 legenda dari Kalimantan Tengah dengan latar cerita yang beragam. Ada yang berupa legenda terbentuknya suatu tempat, cerita cinta, dan lainnya yang tentu saja sangat menarik untuk disimak.
Legenda Batu Mamben
Pada zaman dulu, Mamben dan istrinya melakukan perjalanan dagang sebagai mata pencaharian mereka. Mereka tiba di suatu desa yang dipimpin oleh Dahiang Ama Bujang. Di desa tersebut, Mamben dan istrinya diangkat sebagai saudara oleh Dahiang Ama Bujang. Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Mamben dan istrinya pun pamit pergi dari desa.
Di sisi lain, Dahiang Ama Bujang melanjutkan kehidupannya ke ladang dengan menaiki sebuah perahu. Ternyata mereka menemukan dua buah mayat mengapung yang merupakan mayat Mamben dan istrinya. Dahiang Ama lantas menepikan dua mayat itu. Malam harinya, dia bermimpi bertemu dengan Mamben yang bercerita kalau dia dan istrinya telah di bunuh dan hartanya dicuri.
Namun, mereka belum sepenuhnya meninggal, dikarenakan mayat mereka akan berubah menjadi batu. Benar saja, keesokan harinya, Dahiang Ama mendatangi dua mayat yang masih dia tutupi daun itu ternyata telah berubah menjadi batu.
Legenda Desa Tambak Bajai
Sebelum dinamai sebagai Desa Tambak Bajai, desa ini adalah sebuah desa tenteram di bawah pimpinan Demang Bahandang Balaw. Singkatnya, di desa itu baru saja ada pesta pernikahan Nyai Kuwu, adik dari Demang.
Nyai Kuwu itu merasa tak bisa tidur setelah melaksanakan pesta pernikahannya selama 7 hari 7 malam. Sehingga, dia memilih datang ke danau untuk menghirup udara segar ditemani dayangnya. Malapetaka ternyata menimpa Nyai Kuwu, yang mana dia tiba-tiba diterkam buaya dan jatuh ke sungai. Sang dayang pun panik dan meminta bantuan kepada Demang. Demang begitu terkejut dengan kabar itu.
Dengan membawa keris, dia segera mencebur ke sungai. Tak disangka-sangka, sungai tersebut bukan sekedar sungai, sungai itu berubah selayaknya perkampungan biasa. Dengan penuh kemarahan melihat adiknya akan dinikahkan dengan putra raja di sungai itu, Demang segera menumpas siapa saja yang mencoba menyelematkan adiknya.
Akhirnya, dia berhasil menyelamatkan Nyai Kuwu. Ketika dia telah naik ke permukaan dengan membawa adiknya, ternyata justru banyak sekali buaya yang mati di daratan. Demang baru sadar jika yang dia bunuh tadi adalah jelmaan buaya. Atas kejadian ini, desa tersebut pun dijuluki Desa Tambak Bajai atau timbunan buaya.
Legenda Meninggalnya Raja Bunu
Raja Bunu adalah seorang raja yang sedang sekarat akibat sakit parah yang dia alami. Dua saudaranya, Raja Sangen dan Raja Sangiang mengusulkan agar Raja Paninting Tarung, anak Raja Bunu datang ke rumah sepasang suami istri tabib bernama Nyai Jaya dan Mangku Amat.
Sayangnya, berkali-kali Raja Paninting Tarung datang ke rumah tabib tersebut, dia selalu gagal berjumpa dengan mereka. Ini membuat Raja Sangen dan Raja Sangiang tidak percaya pada Raja Paninting Tarung. Mereka menganggap jika Raja Paninting Tarung tidak benar-benar datang ke sana. Dia bahkan membawa bukti pintu rumah dan alat yang biasa digunakan untuk pengobatan pasien kepada kedua pamannya.
Di sisi lain, Nyai Jaya dan Mangku Amat menegtahui kabar jika Raja Paninting baru datang ke rumah mereka. Mereka menyayangkan tindakan Raja Paninting yang tak mau bersabar menunggu mereka pulang. Sangat disayangkan juga ketika dia membawa alat pengobatan itu, dan kini Raja Bunu justru sudah meninggal.
Legenda Patung Abeh
Dahulu, ada seorang ibu dan anaknya yang tinggal di tengah hutan jauh dari pemukiman selepas kepergian suaminya. Mereka begitu miskin hingga untuk makan saja sangat kesusahan. Si anak yang masih berusia 5 tahun selalu merengek setiap kali merasa lapar.
Sementara, ladang mereka pun belum bisa membuahkan hasil. Si anak terus-terusan menangis dan meminta makan pada ibunya hingga berbulan lamanya. Merasa putus asa, si ibu pulang ke rumah dari pekerjaan ladang dan betapa kagetnya dia melihat nasi dan lauk sudah disajikan di meja makan.
Akan tetapi, ketika dipanggil-panggil, si anak justru tak menyahut. Barulah ketika si ibu menutup pintu, dia melihat anaknya sudah berubah menjadi patung. Ibunya menangis tersedu melihat anaknya. Patung itu lantas dinamai Patung Abeh sesuai dengan nama anak itu. Hingga kini, patung itu masih ada di Dayu, Barito Selatan, Kalimantan Tengah.
Asal Mula Burung Elang
Raja Sangian sedang mengalami sakit dan meminta bantuan kepada anaknya, Rangkang Karangan untuk memanggil tabib Nyai Jaya dan Mangku Amat. Ketika sampai di rumah tabib itu, Nyai Jaya justru bilang kalau Raja Sangian sudah sembuh.
Rangkang tentu tidak percaya dengan perkataan Nyai Jaya, sehingga membuat Nyai Jaya membawakan dua buah kipas yang harus dikipaskan di muka ayahnya kalau saja ayahnya belum sembuh. Ternyata, ayah benar-benar sembuh dari penyakitnya. Dengan begitu, dua kipas tadi tidaklah berguna lagi.
Ayah dan anak itu pun menerbangkan kedua kipas dan betapa ajaibnya, kipas itu berubah menjadi burung jantan dan betina yang besar. Oleh masyarakat, burung tersebut pun ditengarai sebagai burung elang, sehingga kejadian tadi menjadi sebuah asal mula burung elang.
Asal Mula Tanaman Padi
Alkisah, di Desa Tanah Lingo sedang terjadi kemarau panjang yang amat membuat warganya kesusahan. Sumber air kering, tanaman mati, dan udara panas begitu menyiksa mereka. Beritu Taun sebagai kepala desa mendapat ilham jika penyebab terjadinya kekeringan ini adalah karena dosa-dosa warga desa tersebut.
Untuk membersihkan dosa-dosa mereka, maka harus ada seorang yang rela menumpahkan darahnya. Tentu saja semua warga desa tak ada yang mau melakukannya. Namun, Putri Liyung, putri dari Beritu Taun malah mengajukan diri. Beritu Taun sebenarnya enggan menerima permintaan putrinya, tapi karena tak ada satupun warga yang mau, dengan berat hati dia mengikhlaskan anaknya.
Ketika hari pengorbanan tiba, hujan tiba-tiba datang lagi ke desa tersebut. Kemarau panjang telah usai. Muncullah tanaman yang sekilas seperti rumput namun mempunyai bulir-bulir. Tanaman inilah kemudian disebut sebagai padi.
Murlaw dan Punoi
Murlaw ingin membuka sebuah ladang dengan terlebih dulu menebang pohon-pohon. Ternyata ada satu pohon yang terus saja tumbuh keesokan harinya meskipun sudah ditebang sampai habis. Akhirnya, Murlaw memutuskan untuk menunggu pohon itu semalaman.
Diluar dugaan, ternyata ada burung punai yang berkicau begitu nyaring hingga membuat pohon itu tumbuh. Saat Murlaw mendekati burung itu, burung itu kaget dan malah terjatuh berubah menjadi seorang wanita. Wanita tersebut sangat cantik sehingga membuat Murlaw jatuh cinta dan memberi nama wanita itu Punoi. Mereka menikah dan dikaruniai seorang anak.
Saat sang anak lahir, si anak suka sekali mendengar ibunya menyanyikan sebuah lagu. Padahal lagu itu tidak boleh dinyanyikan oleh Punoi. Akhirnya, demi kebaikan semuanya, Punoi menyanyikan lagu itu dan tanpa sepengetahuan siapapun, dia berubah menjadi seekor burung punai lagi dan terbang bebas ke langit.
Pulau Hanaut dan Pulau Lepeh
Hiduplah seorang raja dengan nama Lumuh Peang yang mempunyai putri bernama Lumuh Lenggana dan putra bernama Lumuh Sumpit. Saat Lumuh Peang mulai sakit-sakitan, dia menunjukkan sebuah warisan batu intan yang begitu bercahay kepada kedua anaknya. Beberapa waktu kemudian, Lumuh Peang meninggal dan tahta kearajaan jatuh ke Lumuh Lenggana.
Kerajaan di bawah Lumuh Lenggana tidak berjalan baik, bahkan dua bersaudara itu mulai bertikai memperebutkan batu intan itu. Oleh karena pertikaian itu, dua bersaudara itu justru terkena hukuman berupa badai yang menghantam hingga membuat kapal yang mereka tumpangi terpecah belah. Lalu, muncullah sebuah pulau bernama Pulau Hanaut dan Pulau Lepeh yang letaknya saling berdekatan.
Menarik bukan 8 legenda yang telah dikisahkan di atas? Dengan mengetahui kisah-kisah seperti legenda tadi, pastinya bisa menambah pengetahuanmu mengenai kebudayaan di Kalimantan Tengah. Selain itu, dengan mengetahui legenda-legenda daerah, kamu juga bisa lebih menghargai perbedaan di setiap budaya yang ada.
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1982). Ceritera Rakyat Daerah Kalimantan Tengah.